Chiko & Chika (3)

 Malam itu, angin mengalir pelan di antara pepohonan. Mereka duduk berdampingan di teras rumah kecil di puncak bukit—tak jauh dari kota, tapi cukup tinggi untuk membuat bintang-bintang terlihat lebih dekat. Lampu kuning menggantung di atas kepala mereka, menggoyang lembut diterpa angin. Keheningan di antara mereka bukanlah kekosongan, melainkan ruang yang nyaman untuk bernapas dan berbagi.

Chika menatap cangkir teh di tangannya, uapnya perlahan menghilang ke udara malam. Ia berkata dengan suara yang hampir seperti bisikan,

"Kalau dipikir-pikir... dulu aku menulis untuk melepaskan. Sekarang, aku menulis untuk menjaga."

Chiko menoleh perlahan. Tatapannya tenang, dan senyum tipis muncul di wajahnya.

"Aku baca lagi tulisanmu yang tentang dandelion," katanya. "Dulu aku pikir kamu rapuh, mudah diterbangkan angin. Tapi sekarang aku tahu... kamu bukan cuma dandelion. Kamu tanah. Tanah yang diam, tapi menghidupkan. Kamu membuat bunga-bunga lain berani tumbuh."

Chika menatapnya, matanya berkilat lembut dalam cahaya lampu.

"Dan kamu," ujarnya, "adalah hujan pelan. Tak selalu datang… tapi selalu ditunggu."


Mereka tertawa kecil bersama. Bukan karena lucu, tapi karena mereka tahu kalimat-kalimat itu bukan sekadar puitis. Itu adalah cara mereka saling memahami—tanpa harus menjelaskan terlalu banyak.


Beberapa detik kemudian, Chiko bertanya,

"Chik, kamu masih punya mimpi itu, kan? Yang kamu cerita waktu itu. S2 Sastra di UNPAD?"


Chika mengangguk, matanya bersinar.

"Iya. Masih. Aku sedang menabung pelan-pelan. Rasanya... mimpi itu tetap hidup walau aku kadang lelah menjangkaunya."


Chiko menghela napas ringan. "Aku juga masih punya mimpi. Aku ingin jadi peneliti yang nggak cuma berkutat di angka dan data. Tapi juga bisa membantu orang memahami makna di balik semua itu."

Chika tersenyum, lembut.

"Mirip ya... caramu membaca angka, dan caraku membaca kata. Kita sama-sama sedang mencari makna."

"Mungkin kita memang dua orang yang memaknai hidup dari sudut yang berbeda," jawab Chiko, "tapi tetap melihat ke arah yang sama."


Angin malam kembali berembus, membawa aroma tanah yang baru saja disirami embun. Dalam diam itu, Chika menatap langit sejenak, lalu kembali pada wajah Chiko.

"Kalau nanti waktunya tiba... aku kuliah di Bandung, dan kamu kebetulan sedang penelitian di sana… mau temani aku ngopi di perpustakaan kampus?"

Chiko mengangguk kecil, matanya tak lepas dari wajah Chika.

"Aku akan datang. Bukan sebagai seseorang yang ingin menggenggammu, tapi sebagai teman jiwa... yang ingin terus melihatmu tumbuh."

-- 

Seiring waktu, Chiko mulai hadir dalam hidup Chika dengan cara yang tenang, nyaris tak terasa—seperti embun pagi yang tak pernah minta dilihat, tapi selalu ada. Ia tak pernah menerobos ruang pribadi Chika, namun entah bagaimana, ia selalu tahu kapan harus datang, kapan harus diam. Kadang, hanya satu tautan jurnal yang ia kirimkan, disertai catatan pendek: “Mungkin ini bisa bantu kamu nulis esai sastra.”

Chika tak selalu membalas dengan logika. Kadang, hanya sepotong puisi ia kirimkan sebagai balasan—puisi yang tak selalu Chiko pahami, namun selalu ia simpan diam-diam di catatan kecil ponselnya, seperti rahasia yang ingin terus ia jaga.

Suatu sore, di sebuah kafe mungil yang baru saja buka di dekat kampus, Chika sedang menulis, tenggelam dalam dunianya sendiri. Lalu Chiko datang, membawa dua cangkir kopi dan sebuah kotak kecil di tangannya.

"Aku nemu ini waktu beli buku. Nggak tahu kenapa... tapi rasanya kamu harus punya," katanya pelan.

Chika membuka kotak itu—sebuah bros kecil berbentuk dandelion, berwarna perak, seperti sepotong kenangan yang dikembalikan padanya.

Ia tersenyum. Senyum yang nyaris retak oleh air mata. "Kamu ingat..."

"Aku bukan pelupa, Cha. Aku cuma butuh waktu untuk belajar mengungkapkan," jawab Chiko, menatapnya lekat.

Mereka duduk lama. Tak banyak kata yang diucapkan. Tapi keheningan di antara mereka tak lagi seperti jurang yang memisahkan. Kini ia telah menjadi jembatan—yang tak perlu dilintasi, cukup dirasakan.

---

Beberapa minggu berselang, mereka hadir di sebuah seminar. Chika sebagai peserta. Chiko sebagai pembicara tamu. Di tengah sesi tanya-jawab, Chika mengangkat tangan. Suaranya tenang, namun pertanyaannya menembus lapisan formalitas:

"Menurut Anda, bagaimana seorang peneliti bisa tetap menjaga sisi manusiawinya saat terlalu lama berkutat dengan data?"

Chiko terdiam sesaat. Matanya menemukan milik Chika di antara puluhan pasang mata lain. Dan untuk sesaat, ruangan itu menghilang dari kesadarannya.

"Peneliti yang baik," jawabnya akhirnya, "perlu seseorang yang mengingatkannya tentang makna. Entah lewat tulisan, atau lewat seseorang yang diam-diam menyelipkan puisi di antara baris-baris data. Karena di balik angka… selalu ada kisah yang ingin dimengerti."

Chika tersenyum. Dan Chiko tahu—ia sedang membicarakannya.

---

Malam itu, di bawah langit Bandung yang dingin dan berangin, mereka duduk berdua tanpa rencana, tanpa naskah.

"Kita ini apa, Chiko?" tanya Chika, suaranya nyaris seperti bisikan.

"Kita adalah dua pohon yang tumbuh bersebelahan," jawabnya perlahan. "Akar kita mungkin bersentuhan di bawah tanah, tapi kita tetap berdiri sendiri. Kita bukan milik satu sama lain… tapi kita saling menguatkan."

Chika menatapnya, lembut, namun penuh makna. "Dan kalau suatu hari badai datang?"

"Aku akan tetap berdiri di sampingmu," bisik Chiko. "Bukan untuk jadi perisai… tapi untuk jadi pohon yang belajar menahan angin bersamamu."

---

Mereka tak pernah jadi pasangan dalam pengertian dunia. Tak ada label, tak ada janji, tak ada pelukan yang disematkan dalam definisi. Tapi tak ada satu pun yang bisa menggantikan tempat mereka di hati satu sama lain.

Mereka bukan cinta biasa. Mereka adalah jiwa-jiwa yang saling menemukan dalam sunyi. Teman jiwa—yang tak butuh gelar romantis untuk saling menjaga. Untuk tumbuh. Untuk berjalan bersama, dalam langkah-langkah kecil menuju selamanya.

--

Malam itu, hujan mengguyur Bandung tanpa jeda, seolah langit ikut merasakan kelelahan yang Chika bawa pulang. Presentasi penting yang gagal, harapan yang runtuh, dan langkah yang terasa berat memaksanya menyeret tubuh hingga ke ambang pintu. Sesampainya di kamar, ia tak langsung menangis—tapi begitu pintu tertutup, segalanya runtuh. Tubuhnya terjatuh ke lantai, dan untuk sesaat, dunia terasa seperti tempat yang terlalu sunyi untuk dijalani sendirian.

"Tuhan… aku capek," bisik hatinya, nyaris tak terdengar.

Ponselnya bergetar pelan. Nama itu muncul: Chiko.

"Kamu di mana?"

Chika membalas dengan jujur:

“Di kamar. Lagi nggak pengen ketemu siapa-siapa.”

Tak lama kemudian, balasan datang:

"Kalau begitu, aku cuma duduk di luar aja ya. Nggak maksa ketemu. Aku bawa roti dan teh hangat."

Dan benar saja. Tak lama setelah itu, terdengar suara langkah yang pelan di depan pintu. Suara kantong kertas yang diletakkan dengan hati-hati, lalu hening.

Chika membuka pintu perlahan. Hujan masih turun. Di sana, Chiko duduk di anak tangga, tubuhnya basah kuyup. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tapi tatapannya—dalam, tenang, dan tak berpindah—berbicara lebih banyak dari ribuan kalimat: “Aku di sini. Aku tidak akan pergi.”

Chika duduk di sampingnya. Hujan memeluk mereka dalam diam. Untuk pertama kalinya, Chika membiarkan air matanya jatuh di hadapan seseorang. Tak lagi ia sembunyikan perihnya.

“Aku ngerasa semuanya sia-sia, Chiko. Nggak ada yang benar-benar lihat aku… nggak ada yang ngerti,” ujarnya lirih.

Chiko tak langsung menjawab. Ia menarik napas, lalu berkata dengan suara rendah, hampir seperti gumaman.

“Aku ngerti, Chika… Bahkan sebelum kamu nulis tentang dandelion itu, aku udah ngerti.”

Chika menoleh padanya, matanya masih basah.

“Tapi kamu diam.”

“Aku diam… karena aku takut ucapanku nggak cukup buat tenangkan badaimu. Tapi sekarang aku sadar, kamu nggak butuh dijawab. Kamu cuma butuh ditemani.”

Tak banyak yang mereka katakan malam itu. Tapi dari keheningan itulah tumbuh sesuatu yang lebih jujur dari semua kalimat—kehadiran.

Keesokan harinya, Chika terbangun dengan mata sembap, tapi hatinya terasa sedikit lebih ringan. Di atas meja, sebuah catatan kecil menantinya:

“Bahkan bunga yang tumbuh di antara beton pun tetap bisa mekar. Jangan menyerah. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Aku di sini, selalu.”

--

Hari-hari pun berlalu. Waktu berjalan pelan, lalu cepat, seperti hidup yang tahu caranya menyembuhkan luka tanpa benar-benar menghapus bekasnya. Chika terus melangkah, terseok tapi setia. Ia menulis, membaca, menyusun tesisnya dengan air mata dan harapan. Malam-malamnya panjang, tapi langkahnya tak surut. Dan akhirnya, hari itu pun tiba—hari di mana Chika mengenakan toga, bukan lagi sebagai mahasiswi yang mencoba bertahan, melainkan sebagai seorang perempuan yang telah melalui badai dan tumbuh kuat karenanya.

Langit Bandung cerah hari itu. Angin berembus tenang, seolah ikut merayakan langkah yang telah ditempuh Chika dengan penuh peluh dan doa. Di panggung yang megah dan hangat itu, namanya dipanggil dengan lantang, disambut tepuk tangan yang menggema di seluruh ruangan:

"Chika Wijaya — Magister Sastra, Lulusan Terbaik Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, dengan predikat Magna Cumlaude."

Sekejap waktu berhenti. Air matanya mengambang, bukan karena luka, tapi karena syukur yang terlalu dalam untuk didefinisikan kata. Ia menunduk pelan, menyebut nama Tuhan dalam hatinya, lalu menatap ke arah bangku penonton.

Dan di sana—seperti biasa—Chiko berdiri. Tak ada sorakan, tak ada selebrasi besar. Hanya satu sosok yang berdiri diam, menatapnya dengan mata penuh haru dan bangga, seolah ingin berkata: “Akhirnya sampai juga, ya. Kamu luar biasa.”

Usai semua acara, ketika semua orang sibuk mengabadikan momen, Chika perlahan menjauh dari kerumunan. Ia melangkah ke taman kecil di sisi kampus, tempat yang sunyi tapi penuh kenangan. Tempat yang dulu pernah menjadi saksi bisu air matanya, dan kini—menjadi saksi senyumnya yang tumbuh dari luka.

Dan di sana, seperti yang sudah sering ia rasakan… Chiko menunggunya.

Ia membawa buket kecil berisi dandelion kering, dirangkai rapi dalam bingkai kaca. Perlahan, ia menyerahkannya pada Chika.

“Kamu ingat waktu kamu nulis tentang dandelionmu?” tanyanya, suaranya lembut seperti sore yang tenang.

Chika mengangguk pelan. “Kenapa kamu simpan?”

“Karena setiap kali aku lupa siapa diriku… aku baca ulang tulisanmu, dan aku kembali percaya.”

Chika menatapnya, suara hatinya hampir terdengar saat ia berkata lirih, “Kamu juga dandelionku, Chiko… tapi yang memilih untuk tinggal.”

Chiko tersenyum, mata mereka bertemu dalam hening yang tak lagi asing.

“Dan kamu adalah rumah tempat aku belajar jadi manusia.”

Tak ada pelukan sore itu. Tapi Chiko menggenggam tangannya—erat, hangat, sederhana. Tanpa janji manis, tanpa kata-kata besar. Hanya ada genggaman yang berkata: aku di sini, dan aku tetap di sini.

Dan untuk Chika, itu sudah lebih dari cukup. 

---


Di taman kecil dekat kampus, di bawah langit yang perlahan memerah seperti luka yang sembuh oleh cahaya, Chika dan Chiko duduk berdampingan. Senja melukis wajah mereka dengan warna-warna lembut, dan angin menggoyangkan dedaunan seperti doa yang sedang mencari jalan pulang.


Chika membuka buku catatannya—buku tua dengan sudut-sudut yang sudah mulai lelah, tempat ia biasa menyimpan doa dan rencana-rencana kecil yang belum sempat ditanam. Jari-jarinya menyentuh halaman dengan khidmat, seakan setiap huruf adalah napas dari harapan yang belum sempat disebutkan.


"Aku sering nulis tentang kamu di sini," ucapnya lirih, "Tapi bukan sebagai kekasih. Kamu lebih dari itu. Kamu... teman jiwaku."


Chiko hanya tersenyum, senyum yang tidak gegas, seperti seseorang yang tahu bahwa kata-kata paling jujur tidak perlu terburu-buru.


"Kalau aku buka laptopku," balasnya pelan, "namamu muncul di setiap catatan hidupku. Bahkan di draf artikel yang nggak pernah kupublikasikan. Kamu seperti benang merah di antara pikiranku yang kusut."


Keheningan datang, bukan sebagai tamu asing, tapi sebagai sahabat lama yang tahu bahwa diam pun bisa menyembuhkan. Dua jiwa duduk di pelataran waktu, tidak berkata-kata, hanya mendengar gemetar detak jantung mereka yang saling menyebut nama dalam sunyi.


"Aku nggak tahu takdir bakal bawa kita ke mana nanti," lanjut Chiko, suaranya serupa desir angin yang menyentuh dedaunan. "Tapi kalau kamu bersedia… yuk, kita bertumbuh bareng. Nggak harus sebagai pasangan dulu, tapi sebagai dua sahabat yang saling bantu jadi versi terbaik dari diri masing-masing."


Chika mengangguk pelan. Matanya berkaca, bukan karena sedih, tapi karena ia merasa didengar oleh semesta melalui suara Chiko.


"Kamu tahu?" bisiknya. "Selama ini aku nunggu seseorang yang bisa ngomong kayak gitu. Bukan janji manis, tapi langkah nyata. Kamu."


Dan ketika Chiko menggenggam tangannya, dunia seakan mengecil jadi ruang sunyi antara dua tangan yang saling percaya.


"Kita mulai dengan mimpi kecil, ya?" katanya. "Aku bantu kamu nulis bukumu. Kamu bantu aku ngerapiin proposal risetku yang masih kacau. Terus, kita bikin waktu doa mingguan. Cuma berdua. Tanpa basa-basi. Yang penting hadir."


Chika tersenyum, senyum yang tumbuh dari dalam dada.


"Dan kita kirim satu surat tiap bulan," tambahnya. "Tentang apapun—rasa syukur, kegelisahan, atau mimpi. Surat itu akan jadi warisan cinta kita. Bukan cinta yang menuntut, tapi cinta yang mencatat."


Chiko mengangguk, seolah semua yang ia cari kini telah ditemukan.


"Setuju. Dan kalau suatu hari nanti aku ragu, kamu bacakan surat itu buatku. Kalau kamu lelah, aku bacakan surat darimu sampai kamu tenang dan tertidur dalam damai."



Tiga tahun berjalan seperti aliran sungai yang tak pernah sama, tapi selalu kembali membawa kejernihan. Mereka belum menikah, belum juga menulis status yang resmi, tapi setiap mata yang melihat mereka bisa merasakan: cinta mereka bukan cinta yang ramai—melainkan cinta yang bertumbuh perlahan, diam-diam, dalam-dalam.


Chika telah menerbitkan buku pertamanya, Sang Penjaga Doa, dengan pengantar yang ditulis langsung oleh Chiko. Sedangkan Chiko menyelesaikan risetnya dan kini sering berbicara di hadapan banyak mahasiswa, tapi yang paling mereka banggakan bukanlah pencapaian itu.


Yang mereka banggakan adalah satu hal: mereka tidak pernah saling pergi.


Di akhir minggu, mereka masih duduk di taman kecil itu—tempat di mana segalanya bermula. Di sana, mereka membuka surat bulanan dari masing-masing, membaca pelan-pelan seperti menyimak ulang naskah kehidupan.


Malam itu, Chiko menyerahkan satu amplop baru. Kertasnya sedikit kusut, seperti telah lama disimpan di dalam dompet dekat hati.


> “Untuk dandelionku,

Terima kasih sudah bertahan.

Terima kasih karena nggak menyerah, bahkan saat aku nyaris membatalkan segalanya karena takut dan ragu.

Terima kasih sudah hadir, bukan sebagai pengisi kekosongan, tapi sebagai teman seperjalanan menuju kedewasaan.

Aku nggak tahu masa depan. Tapi aku tahu siapa yang ingin kutemani untuk melewatinya.

Bolehkah… suatu saat nanti, kita saling menyebut satu sama lain di altar, di hadapan Tuhan, sebagai sahabat jiwa yang memilih untuk hidup bersama?”




Chika menutup surat itu perlahan, tanpa menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menggenggam tangan Chiko lebih erat, seolah ingin menyampaikan bahwa jawabannya telah mengakar di balik diamnya.


Malam itu, dua dandelion kecil beterbangan di udara, menyusuri langit senja seperti dua doa yang tak bersuara—namun saling menuju pada takdir yang sama.

-----

Hari-hari setelah itu tidak meledak dengan kembang api atau pelukan yang meletup-letup. Hubungan mereka mengalir—sunyi tapi dalam—seperti sungai tua yang tahu ke mana muaranya, tak pernah terburu-buru tapi pasti. Mereka tetap menulis surat, tetap duduk di taman kesayangan setiap Sabtu sore, tetap membedah halaman-halaman buku atau percakapan tentang hidup, seolah waktu tak pernah mencuri apapun dari mereka. Bedanya, kini tak ada lagi yang ditahan. Semua yang dulu dijaga di balik dada, kini tumbuh di antara jeda.

Chiko adalah langit senja yang tenang tapi teguh. Ia datang bukan dengan lentera emas, tapi dengan peta—peta yang digambar dengan tangan gemetar tapi niat yang bulat. Di peta itu, ada rumah mungil di lereng bukit, kebun kecil yang selalu hijau karena tangan mereka yang merawatnya, dan satu ruang kerja: sisi kanan untuk Chika menulis puisi, sisi kiri untuk Chiko membaca dunia dalam diamnya yang khas.

Suatu malam, di bawah langit yang menaburkan bintang seolah tak pelit, mereka duduk di beranda kayu yang berdecit lembut. Angin malam menyisir rambut Chika pelan-pelan, seperti mengusap restu. Dan Chiko, dengan suara rendah yang terasa seperti hujan pertama setelah kemarau panjang, menarik selembar kertas dari sela bukunya yang mulai usang.

“Aku tahu kamu suka yang tumbuh perlahan, yang disiram sabar… Jadi malam ini aku nggak bawa cincin. Tapi aku bawa daftar kecil—hal-hal sederhana yang ingin aku jalani bersamamu.”

Lalu Chiko mulai membaca, perlahan-lahan, seperti mengeja doa:

1. Menemanimu menerbitkan buku pertamamu—menjadi saksi lahirnya kata-kata dari jiwamu sendiri.

2. Bangun subuh, coba masak sarapan meski sering gagal dan berakhir beli bubur ayam di ujung jalan.

3. Membuat playlist berdua—lagu-lagu yang hanya bisa kita mengerti artinya lewat tatapan.

4. Membangun rumah kecil yang bukan hanya tempat pulang, tapi juga tempat jiwa-jiwa lain merasa diterima.

5. Menulis surat cinta setiap ulang tahunmu—karena cinta juga butuh disuarakan, bukan hanya dirasakan.

6. Dan terakhir… menua bersamamu, tanpa kehilangan rasa kagum satu sama lain.

Chika tersenyum kecil. Matanya berkabut, tapi bukan karena kesedihan—melainkan karena damai yang hangat, mengalir sampai ke ujung-ujung jari seperti teh manis yang dituangkan dalam cangkir porselen tua.

Chika: “Aku nggak butuh cincin malam ini. Yang kamu bawa… lebih dari cukup. Aku sudah memilihmu bahkan sebelum kamu sempat bertanya.”

Dan malam itu, tak ada saksi lain kecuali bintang-bintang dan detak dua hati yang bersahut-sahutan dalam diam. Tapi mungkin, justru dalam diam itulah mereka benar-benar menjadi satu: dua sahabat jiwa yang memilih, dengan sadar dan lembut, untuk berjalan bersama dalam musim apa pun yang datang.

-- 

Persiapan yang Tak Perlu Mewah, Asal Penuh Kasih

Tidak ada lampu sorot atau karpet merah. Tidak ada aula megah dengan langit-langit kristal. Tapi di mata Chika dan Chiko, apa yang mereka siapkan lebih dari cukup—karena di antara dua hati yang telah lama saling mengenal dalam diam, cinta tidak butuh panggung. Cinta hanya butuh tempat yang mengenalnya.

Mereka duduk berdua di teras rumah Chika pada suatu sore yang tenang. Angin pelan menyapu rambutnya, sementara Chiko menatap langit dengan senyum kecil yang tak pernah terburu-buru.

“Aku pengin pernikahan kita sederhana aja,” ucap Chika pelan, jemarinya menggulung ujung selimut tipis yang menutup lututnya.

Chiko menoleh, matanya lembut, suaranya dalam. “Aku tahu. Kita nggak perlu apa-apa yang megah. Kita cuma perlu saling genggam dan tetap percaya.”

Chika tersenyum, menunduk sedikit. “Kita nggak sedang pamer apa-apa…”

“…kita cuma sedang merayakan apa yang selama ini kita jaga diam-diam,” lanjut Chiko.


Dan begitulah semuanya dimulai.

---

1. Tempatnya: Taman kecil di dekat rumah masa kecil Chika.

Taman itu tidak berubah sejak ia masih belasan tahun—rumputnya tetap teduh, bangkunya masih hangat dari matahari sore, dan pohon besar di ujung timur masih menyisakan ranting yang dulunya sering ia sandarkan kepala. Di sanalah Chika dulu sering membaca puisi dan menulis surat-surat yang tak pernah dikirimkan.

Ketika Chika mengajukan tempat itu pada Chiko, ia sedikit ragu. “Kamu yakin nggak apa-apa, Ki? Taman itu... kecil. Biasa aja.”

Chiko memegang tangannya. “Kalau itu tempat kamu menemukan kedamaian… maka biarlah taman itu juga jadi tempat pertama kita melangkah bersama.”

---

2. Undangannya: Ditulis tangan.

Mereka duduk berdampingan, tinta tumpah sedikit di ujung kuku, tapi senyum mereka tak luntur. Undangan-undangan itu bukan sekadar ajakan, tapi potongan hati yang disusun dengan teliti. Setiap amplop berisi kutipan tulisan Chika, dan catatan singkat dari Chiko—yang akhirnya berani menulis, meski hanya satu atau dua kalimat.

Salah satu kutipan berbunyi:

"Cinta bukan hanya tentang menemukan orang yang tepat, tapi juga menjadi orang yang tetap—di tengah goncang dan guncang.”

Di ujung kalimat itu, Chiko menulis:

“Terima kasih sudah jadi rumah yang tetap, bahkan saat aku merasa tersesat.”

---

3. Gaun Chika: Sederhana, dengan dandelion kecil dijahit di bagian lengan.

Ezra yang menemani Chika memilih kain. Mereka tertawa, menangis sedikit, lalu tertawa lagi.

“Aku cuma pengin jadi diriku sendiri di hari itu,” kata Chika, menatap cermin.

Ezra mengangguk, lalu diam-diam menjahit satu dandelion kecil di kerah dalam gaun itu.

Saat menyerahkan gaun yang sudah selesai, Ezra berkata, “Kamu nggak akan sendiri lagi, Chi. Tapi kamu tetap akan jadi Chika, si gadis yang suka meniup dandelion dan percaya pada keajaiban.”

---

4. Lagu saat Chika berjalan menuju Chiko: In Love With You – Regine Velasquez & Jacky Cheung.

Chika memilih lagu itu diam-diam, lalu memutarnya suatu malam di ruang tamu.

Chiko mendengarkan sambil menyender, lalu berkata pelan, “Kalau itu lagu yang kamu rasa bisa menggambarkan kita, maka aku akan berdiri di ujung sana sambil mendengarkannya. Dan berharap waktu berjalan lebih lambat, biar aku bisa mengingat semuanya.”

Dan dalam sunyi malam itu, keduanya tahu: bukan liriknya yang penting, tapi bagaimana lagu itu menjadi doa mereka.

---

5. Kado untuk tamu: Buku kecil berjudul Surat-Surat yang Tak Pernah Kukirim.

Buku itu adalah jantung dari Chika. Ia menyusunnya dalam malam-malam panjang, mengulang setiap tulisan, memilih dengan hati-hati, menghapus lalu menulis ulang. Tulisan-tulisan itu adalah fragmen cintanya—sejak rasa itu tumbuh, hingga akhirnya berani menjadi nyata.

Di halaman terakhir, ia menulis:

 “Dan jika kamu membaca ini di hari kami menikah, maka percayalah—semua yang ditulis dengan jujur, akan menemukan jalannya.”

Ketika Chiko membacanya diam-diam, air matanya jatuh satu. Tak banyak kata, hanya dekap pelan yang terasa lebih kuat dari janji.

---

Dan di antara segala hal sederhana itu, hanya ada satu hal yang sungguh besar: kasih. Karena mereka tahu, cinta tidak butuh banyak—hanya hati yang tulus, niat yang setia, dan dua orang yang saling memilih... setiap hari.

-- 

Malam menggantung di langit seperti tabir biru kelam yang enggan disingkap. Di beranda tua, di antara temaram lampu minyak dan semilir angin yang membawa aroma tanah dan teh melati, dua lelaki duduk bersisian dalam sunyi yang penuh gema.

Chiko, dengan telapak tangan menggenggam cangkir hangat, duduk bersisian dengan ayah Chika. Lelaki itu—seorang ayah, seorang suami yang telah melalui lembah dan puncak kehidupan—menatap langit, seolah mencari cara paling tenang untuk menyerahkan separuh jiwanya.

 “Kau tahu, Chiko…” suaranya keluar perlahan, mengalir seperti sungai yang tak hendak memotong batu tapi melingkarinya dengan sabar, “...Chika bukanlah perempuan yang mudah. Ia seperti laut di tengah musim: tenang di permukaan, tapi menyimpan badai dalam diam.”

Chiko menatap wajah lelaki itu, mata yang tak lagi muda, tapi menyimpan kebijaksanaan dari musim-musim yang telah lewat.

“Ia telah belajar terlalu dini untuk kuat. Tapi itu bukan berarti ia harus kuat selamanya.”

Chiko menunduk. Kata-kata itu seperti kunci yang membuka pintu sunyi yang lama ia jaga.

 “Saya pernah meninggalkannya, Pak. Bukan karena tak cinta, justru karena cinta yang tak saya pahami waktu itu. Saya takut menyakitinya. Tapi nyatanya, kepergian saya justru luka itu sendiri.”

Ia menghela napas.

“Selama ini saya hidup dengan kekosongan yang ganjil—seolah berjalan, tapi tak pernah sampai. Karena ternyata… saya meninggalkan tempat saya sebenarnya: hatinya.”

Ayah Chika menatapnya. Lama. Matanya tak bertanya, tapi menguji. Dan saat ia berbicara kembali, suaranya lebih lembut dari desir angin malam.

 “Luka tidak selalu membuat kita kalah. Kadang, luka membuat cinta berhenti jadi sekadar perasaan… dan tumbuh jadi keputusan.”

Ia berhenti sejenak, lalu menatap lurus ke mata calon menantunya.

 “Kalau kamu ingin jadi suami Chika, kamu harus belajar mencintainya tanpa syarat. Dalam sunyi yang tak selalu dijawab. Dalam hari-hari yang tak selalu manis. Dalam badai yang datang tiba-tiba. Karena mencintai itu bukan soal besar saat bahagia… tapi tetap tinggal saat alasan untuk bertahan terasa hilang.”

“Ia tidak sedang mencari pelindung. Ia mencari teman sejiwa. Seseorang yang bisa dia ajak diam berjam-jam tanpa merasa sepi.”


Malam itu tak menyisakan banyak kata. Tapi langit seperti ikut menunduk, menyaksikan lahirnya satu tekad: cinta yang ingin tinggal, dan tidak lagi lari.


---

Hari Ketika Semesta Berhenti Sebentar untuk Menyaksikan Cinta Pulang

Pagi datang pelan-pelan, seperti tak ingin mengganggu detak hati siapa pun. Embun masih bertebaran di dedaunan, dan angin membawa wangi rumput dan dandelion yang sengaja ditabur di sepanjang lorong taman.

Di bawah lengkung kain putih dan anyaman daun yang sederhana, Chiko berdiri. Tangannya menggenggam erat buket kecil berisi bunga mimpi dan keberanian. Di matanya, tak ada sisa keraguan—hanya kerinduan yang akan segera berakhir.

Dan kemudian, langkah itu terdengar.

Langkah yang ia kenali lebih dari detak jantungnya sendiri.

Chika Wijaya.

Melangkah perlahan seperti bait puisi yang dihafal hati. Gaunnya berwarna embun pagi, sederhana tapi agung. Dandelion kecil menghiasi lengannya, seolah semesta ingin menambahkan doa ke dalam setiap helainya. Rambutnya digelung dengan manis, dan dari wajahnya, cahaya keluar seperti matahari yang tahu waktu untuk bersinar dengan lembut.

Ezra, sahabat yang telah menyaksikan luka-luka Chika dalam diam dan pelukan, menggandeng tangannya. Di tengah lorong, Ezra mencium keningnya dan membisikkan sesuatu—tak terdengar, tapi Chiko tahu: itu restu yang penuh cinta.

Chika kini berjalan sendiri. Tapi sebenarnya, ia tak sendiri. Ia berjalan bersama ratusan doa, malam-malam yang pernah ia lewati dengan mata bengkak, harapan yang tak pernah ia biarkan mati.

Dan saat ia sampai di hadapannya, Chiko nyaris tak bisa bicara.

Tapi akhirnya ia membisikkan sesuatu, seperti yang selalu ia simpan di relung terdalam jiwanya:

“Kamu... seperti doa yang tak pernah kulupa, dan hari ini, kamu pulang ke dalamnya.”

Chika menatapnya. Matanya berkaca-kaca, tapi senyumnya penuh tenang.

“Dan kamu, Chiko… adalah luka yang sudah kuterima, kesabaran yang sudah kujalani, dan masa depan yang ingin kutuliskan setiap harinya—denganmu.”

Tak ada lonceng yang berdentang. Tak ada sorak. Tapi langit terasa seperti ikut menunduk, memberi ruang bagi dua jiwa yang akhirnya saling memilih.

Mereka berdiri di hadapan para saksi. Dan dengan suara yang pelan tapi pasti, mereka mengucap janji yang bukan sekadar kata, melainkan kehidupan itu sendiri.

 “Aku memilihmu. Sebagai rumah. Sebagai pelabuhan. Sebagai tempat tenang untuk semua badai yang pernah kualami. Aku memilihmu bukan hanya sebagai pasangan hidup… tapi sebagai sahabat jiwa. Tempat di mana aku bisa menjadi diriku sepenuhnya, dan tetap dicintai.”

Dan di bawah guguran dandelion, cinta itu dimeteraikan. Tidak dengan kehebohan, tapi dengan keheningan yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang pernah menunggu terlalu lama, dan masih tetap memilih untuk mencintai.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin