Di tengah riuhnya kehidupan yang penuh tekanan, di mana setiap napas terasa berat karena tuntutan dan salah paham yang mengurung jiwa, hadir secercah manis yang mengalir lembut bak es krim vanila berlapis coklat, menyatu dalam harmoni rasa yang tak terduga. Di antara perjalanan itu, terlintas kata-kata lembut dari seorang yang berarti:
"kakakk, ini es krim untuk kakakk dari kak Kathie"
Kata-kata itu menggantung di udara, membawa embun kehangatan yang tak lekang, lalu aku terdiam sesaat. Dengan langkah pelan, aku menemui katt, di mana tawa dan keakraban pun menyapa saat terselip ucapan "Maaciii kattttt". Balasan lembut datang seraya terdengar, "Sama samaaa dewww, supaya dingin deww setelah semua yang terjadi."
Aku pun merasa bahagia, seolah menemukan oasis di tengah gurun tekanan hidup yang kadang menyiksa dan terperangkap dalam bisu kesalahpahaman. Di balik segala getir dan dinamika hari, muncullah sukacita yang lembut, mewarnai langkah dengan kenikmatan es krim yang menghapus kepahitan.
Aku pun cukup terkejut ketika mendapat hadiah es krim itu—hadiah dari sosok yang tegas, yang pernah mengukir air mata dengan perdebatan sengit yang membuatku tersedu. Namun, di balik setiap tetes air mata yang pernah jatuh, tersimpan makna bahwa bukan setiap benturan mengakibatkan permusuhan dan kebencian; sebaliknya, mungkin itu adalah proses pembentukan yang diizinkan Tuhan untuk menyempurnakan jiwa.
Kadang kita menemukan diri berada di posisi yang tak enak, sesak, dan terjebak dalam perasaan sendiri, tanpa menyadari bahwa kondisi itu adalah proses yang harus dijalani untuk menempa kemurnian hati—kemurnian yang lahir dari penderitaan yang mendalam namun penuh dengan makna. Di balik setiap proses yang pahit, tersembunyi banyak kebahagiaan yang telah Tuhan berikan, tinggal bagaimana kita memilih untuk peka pada anugerah itu, bukan hanya menuntut agar dimengerti.
Kebahagiaan pun sering kali hadir dalam keriangan sederhana, seperti saat malam-malam, ketika aku menunggu adikku latihan di gereja, aku bermain kartu uno bersama Chloe, gadis mungil berusia tiga tahun. Betapa luar biasanya, bahwa seorang anak kecil dengan usia tiga tahun sudah dapat bermain kartu uno, meski caranya berbeda dari aturan orang dewasa. Kami bermain dengan menyusun warna-warna kartu, menciptakan aturan kami sendiri yang sederhana namun penuh keceriaan.
"Ini kesini, ini kesini kan auntiee?" seru Chloe dengan polos sambil menyusun kartu berwarna serasi. Balasan pun mengalir, "Yappssss chloeeee, kamu pinter banget!!!!"
Kebahagiaan itu juga hadir saat bermain kartu uno bersama teman-teman, di mana permainan itu bukan sekadar permainan, melainkan pelajaran tentang strategi dan kehidupan. Setiap kartu yang terkeluarkan menyimpan sejuta cerita, bagai bait-bait puisi yang tak lekang oleh waktu, dan kami sebagai penikmat setiap momen, meresapi detik-detik berharga seolah-olah sedang menulis puisi tentang arti kemenangan dan persahabatan sejati.
Aku pun kerap memperhatikan dengan diam-diam cara dan taktik teman-temanku; mulai dari yang selalu menang setiap saat hingga yang baru pernah menang sekali. Saat aku mengamati permainan, tersadar bahwa rahasia kemenangan terletak pada susunan kartu yang disusun berdasarkan warna, angka, dan simbol secara beruntun—suatu keputusan yang memudahkan untuk memilih langkah selanjutnya. Kartu-kartu khusus seperti +2, +4, dan reverse, disimpan untuk momen-momen mendesak, menambahkan strategi dalam setiap langkah permainan.
Kini, di penghujung cerita yang bukan hanya tentang es krim atau perdebatan, tetapi tentang perjalanan hidup yang penuh warna, terselip pula filosofi mendalam dari permainan kartu uno. Seperti kartu-kartu yang disusun dengan seksama, hidup kita pun merupakan rangkaian momen—kadang tersusun rapi, kadang teracak—namun setiap putaran memberi pelajaran tentang keberanian mengambil risiko, tentang harmoni dalam perbedaan, dan tentang kecantikan dalam mengubah tiap langkah menjadi puisi yang penuh makna.
Komentar
Posting Komentar