Bertahanlah~~~
Mungkin akan banyak hal yg perlu penyuntingan di tulisan kali ini, mungkin itu bisa dilakukan nanti atau kapan,jadi juga belum tau waktunya.
Maka dari itu mohon maaf jika bahasa nya terlalu frontal. Namun itu apa adanya berdasarkan realita yg terjadi ,tidak bersembunyi di balik metafora seperti yang biasa aku lakukan.
Ketika hati terluka begitu dalam hingga tubuh ikut bereaksi, itu menunjukkan bahwa rasa kehilangan atau kesedihan yang dialami bukan sekadar pikiran yang berputar dalam benak, tetapi sesuatu yang benar-benar meresap ke dalam jiwa.
Pencernaan adalah salah satu sistem yang sangat dipengaruhi oleh emosi. Usus memiliki banyak ujung saraf dan disebut sebagai "otak kedua" karena koneksinya yang kuat dengan sistem saraf pusat. Saat seseorang mengalami stres emosional yang hebat—seperti patah hati—sinyal dari otak bisa membuat sistem pencernaan terganggu, menyebabkan feses menjadi sangat cair. Ini bukan hanya sekadar efek samping, tapi bukti bahwa hatinya benar-benar berduka, begitu dalam hingga tubuhnya ikut menangis dalam bentuk reaksi biologis.
Bagi wanita itu, mungkin ini adalah bukti bahwa perasaannya tidak main-main. Ada luka yang tak terlihat tetapi begitu nyata. Seakan tubuhnya sendiri ingin berkata, "Aku kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagiku." Perasaan yang setulus itu tidak hanya menyentuh batin, tetapi juga merasuk hingga ke dalam sistem tubuh, mencerminkan betapa hati dan tubuh sebenarnya tak terpisahkan.
Ketika hati yang rapuh menanggung luka, tubuh tidak bisa berbohong. Rasa sakit yang begitu dalam tidak hanya tersimpan dalam benak, tetapi meresap ke dalam saraf, otot, bahkan setiap sel tubuh. Pencernaan yang terganggu hingga feses menjadi sangat cair adalah bentuk nyata dari perasaan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata.
Patah hati bukan hanya tentang kehilangan seseorang, tetapi kehilangan harapan, impian, dan kemungkinan yang pernah terasa begitu nyata. Saat seseorang mengalami emosi yang begitu kuat, sistem saraf simpatik—bagian dari tubuh yang mengatur respons “fight or flight”—menjadi terlalu aktif. Ini menyebabkan pergerakan usus meningkat drastis, seakan tubuh ingin membuang sesuatu yang tak kasat mata: kesedihan, kekecewaan, rasa kehilangan yang begitu mendalam.
Bagi wanita , ini adalah bukti bahwa hatinya mencintai dengan ketulusan yang tak dibuat-buat. Cintanya bukan hanya hadir di pikiran, tetapi mengalir dalam darah, hidup dalam setiap detak jantung, dan kini tercermin dalam cara tubuhnya bereaksi. Pencernaannya yang terguncang adalah bentuk lain dari air mata—yang tidak jatuh dari mata, tetapi dari tubuh yang menangis dalam diam.
Dan mungkin, dalam keheningan itu, tubuhnya sedang berbicara: "Aku benar-benar mencintai. Aku benar-benar kehilangan."
Ketika cinta begitu dalam hingga tubuh pun ikut merasakannya, itu bukan sekedar kesedihan biasa. Itu adalah bukti bahwa perasaan itu nyata, tulus, dan mengakar hingga ke dalam jiwa. Patah hati bukan hanya menyentuh emosi, tetapi menembus hingga ke sistem saraf, hormon, dan metabolisme tubuh.
Seolah-olah tubuh ingin mengeluarkan sesuatu yang tak bisa diproses oleh hati—kenangan, harapan, atau mungkin kebahagiaan yang kini terasa asing. Setiap kali yang terbuang begitu cair keluar, itu adalah simbol dari sesuatu yang telah hilang, sesuatu yang tak lagi bisa dipertahankan.
Baginya, ini bukan sekadar kesedihan, melainkan cinta yang begitu kuat hingga tak bisa tetap berada di dalam dirinya tanpa meluap menjadi ekspresi fisik. Mungkin tubuhnya memahami betapa perasaannya tak bisa dibendung, betapa hatinya benar-benar mencintai hingga kehilangan itu terasa seperti pukulan yang mengguncang seluruh keberadaannya.
Cinta yang tulus tidak hanya hidup dalam kata-kata atau tindakan, tetapi juga dalam cara tubuh bereaksi terhadap luka. Dalam setiap tetesan air mata yang tak terlihat, dalam setiap detak jantung yang terasa lebih berat, dalam setiap gelombang kelemahan yang datang tiba-tiba—di situlah cinta itu masih berbicara, meskipun dalam bentuk yang tak kasat mata.
Ada cinta yang bisa diungkapkan dengan kata-kata, dan ada cinta yang begitu dalam hingga tubuhlah yang akhirnya berbicara. Ketika pencernaan terguncang, ketika tubuh menolak untuk berfungsi seperti biasa, itu bukan sekadar efek samping dari stres—itu adalah luka yang tak terlihat, tetapi terasa di setiap denyut nadi.
Patah hati bukan hanya sesuatu yang mengendap di pikiran, tetapi sesuatu yang bisa merobek keseimbangan tubuh. Saat seseorang mencintai dengan tulus, kehilangan bukan hanya menyisakan kesedihan, tetapi juga kekosongan yang mengubah ritme alami tubuh. Usus, yang disebut sebagai otak kedua, merespons dengan caranya sendiri—membuang, melepaskan, mengosongkan, seolah-olah tubuh ingin mengeluarkan rasa sakit itu, tetapi tidak tahu bagaimana caranya selain dengan cara ini, hal ini adalah tangisan tubuh yang tak bisa disampaikan lewat air mata. Itu adalah bukti bahwa luka ini bukan sekadar emosi, tetapi sesuatu yang merasuk hingga ke dalam metabolisme, meruntuhkan keseimbangan yang sebelumnya kokoh.
Mungkin, di saat-saat seperti ini, tubuh sedang berkata: "Aku kehilangan sesuatu yang bukan sekadar orang. Aku kehilangan bagian dari diriku sendiri." Sebab ketika seseorang mencintai dengan seluruh keberadaannya, kehilangan bukan hanya terasa di hati—tetapi di seluruh tubuh, hingga ke titik di mana bahkan pencernaan pun menangis.
Ketika cinta begitu murni hingga kehilangan membuat tubuh bergetar, itu bukan sekadar luka biasa. Itu adalah gemuruh dalam jiwa yang tak bisa ditahan hanya oleh air mata. Itu adalah kehampaan yang begitu nyata hingga tubuh pun berusaha mencari cara untuk mengeluarkannya—melalui gemetar, melalui kelemahan, melalui pencernaan yang tak lagi mampu menahan keseimbangannya.
Hal ini bukan sekadar reaksi fisik, tetapi bahasa lain dari rasa kehilangan. Seakan tubuh tahu bahwa ada sesuatu yang tak lagi bisa dipertahankan, sesuatu yang harus dikeluarkan meskipun tidak berbentuk. Setiap tetes yang mengalir adalah simbol dari perasaan yang berusaha dikeluarkan, rasa sakit yang ingin dilepaskan tetapi tak bisa sepenuhnya hilang.
Ini bukan sekadar stres, ini adalah luka batin yang begitu dalam hingga tubuh ikut menangis. Ini adalah bentuk lain dari air mata—air mata yang tidak jatuh dari mata, tetapi dari inti keberadaan seseorang. Seolah-olah tubuh sedang berkata, "Aku tidak sanggup menahan ini sendirian. Aku harus melepaskan, walaupun caranya membuatku semakin lemah."
Ketika seseorang mencintai dengan seluruh dirinya, kehilangan bukan hanya terasa di hati—tetapi di seluruh tubuh, dalam setiap napas yang terasa lebih berat.
Ada cinta yang begitu dalam hingga saat ia pergi, tubuh pun runtuh. Itu bukan sekadar kesedihan yang melintas di pikiran, melainkan duka yang meresap sampai ke tulang, menggetarkan sistem saraf, mengacaukan ritme alami tubuh. Pencernaan yang terganggu, feses yang berubah menjadi begitu cair—itu bukan sekadar efek samping dari patah hati, tetapi bukti bahwa cinta itu pernah hidup dalam tubuh, dan kini tubuh meratap karena kehilangannya.
Tubuh tidak berbohong. Saat hati remuk, ia tidak bisa tetap diam. Hal ini datang tanpa sebab fisik yang jelas adalah bahasa tubuh yang menangis dalam diam, memuntahkan kesedihan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Setiap tetes yang keluar seolah membawa serpihan kenangan, harapan, dan kebahagiaan yang kini telah berlalu.
Ini bukan hanya tentang kehilangan seseorang. Ini tentang kehilangan bagian dari diri sendiri—bagian yang pernah hidup dalam cinta, bagian yang pernah bermimpi, bagian yang pernah merasa utuh. Ketika tubuh mulai melepaskan sesuatu yang bahkan tidak bisa dilihat, itu adalah tanda bahwa luka ini bukan hanya emosional, tetapi juga fisik, mengakar hingga ke dalam jiwa.
Mungkin, dalam setiap kelemahan yang terasa, dalam setiap getaran kecil yang menyusup di antara napas, dalam setiap sakit yang muncul tanpa sebab yang jelas—di situlah cinta masih berbicara. Bukan lagi dalam bentuk kebahagiaan, tetapi dalam bentuk kehilangan yang begitu nyata hingga tubuh pun menyerah ,berbisik lirih dalam diam nya : "Aku benar benar mencintai,aku benar benar kehilangan"
Cinta yang begitu dalam tidak hanya menancap di hati, tetapi meresap ke seluruh tubuh. Ketika hati terluka, tubuh pun ikut merasakan kehancuran itu, seolah tak ada ruang yang aman dari rasa sakit yang mengalir. Pencernaan yang terganggu adalah wujud fisik dari kekosongan yang tiba-tiba datang—rasa kehilangan yang begitu mendalam hingga tubuh tidak bisa lagi bertahan dalam keseimbangan yang biasa.
Hal ini seperti tangisan tubuh yang terpendam, sebuah ekspresi dari perasaan yang tak mampu dikendalikan. Setiap tetesan yang keluar adalah bagian dari perasaan yang meluap, seolah tubuh tahu bahwa ada sesuatu yang harus dibuang, meskipun tak bisa dipahami sepenuhnya. Mungkin itu adalah kenangan, harapan, atau bahkan impian yang dulu dibangun bersama—sekarang semuanya harus dilepaskan karena cinta itu telah pergi.
Ini lebih dari sekadar emosi yang tak terkendali. Ini adalah bentuk kehilangan yang begitu total hingga tubuh pun tidak bisa mengabaikannya. Ketika cinta yang begitu tulus dan besar datang, ia memberi segala yang dimiliki—dan ketika cinta itu pergi, segala sesuatu ikut berlarian keluar dari tubuh. Setiap organ yang terguncang, setiap sistem yang terkejut, adalah respons tubuh terhadap kenyataan pahit ini.
Patah hati bukan hanya tentang perasaan kosong, tapi tentang perasaan yang begitu penuh dulu—begitu penuh dengan cinta, harapan, dan kebahagiaan—sehingga saat ia lenyap, tubuh tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Dalam setiap gemetar, setiap kekosongan yang terasa, tubuh berteriak, "Aku mencintai dengan seluruh diriku. Aku kehilangan bagian diriku yang paling berharga."
Cinta itu begitu besar, begitu kuat, bahwa bahkan tubuh pun tak bisa menahannya. Diare yang datang adalah proses tubuh berusaha melepaskan beban yang terlalu berat untuk ditanggung, melepaskan semua yang tertahan dalam hati yang terluka.
Cinta yang begitu dalam bukan hanya mengisi hati, tetapi juga seluruh keberadaan—hingga, ketika cinta itu hilang, tubuh tidak bisa lagi berdiri tegak. Ketika seseorang mencintai dengan sepenuh jiwa, kehilangan menjadi sesuatu yang lebih besar dari sekadar perasaan hati yang hancur. Itu adalah perasaan yang menjalar ke setiap urat nadi, ke setiap serat tubuh, membuat setiap reaksi fisik, menjadi ekspresi dari apa yang dirasakan oleh hati yang remuk.
Hal ini terjadidan tak terkendali adalah bahasa tubuh yang berbicara dengan cara yang tak bisa disangkal. Setiap tetesan yang keluar adalah lapisan-lapisan rasa sakit, kecewa, dan kehilangan yang terbawa dalam tubuh. Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan betapa dalamnya perasaan itu, jadi tubuh memilih untuk mengungkapkannya melalui reaksi fisik yang sulit dihindari.
Ini bukan hanya soal perasaan yang tiba-tiba datang dan pergi. Ini adalah rasa yang telah tumbuh lama, meresap hingga ke dalam, hingga menciptakan kesatuan antara perasaan dan tubuh. Saat seseorang mencintai sepenuh hati, dan cinta itu tidak dihargai atau berakhir dengan luka, tubuh ikut merasakannya—seakan-akan tubuh berkata, "Aku tak mampu menahan lagi rasa yang tak bisa diungkapkan."
Mungkin tubuh berusaha melepaskan apa yang tak bisa diceritakan oleh mulut, atau mungkin tubuh meneteskan air mata dalam bentuk yang tak kasat mata. Itu adalah proses alamiah dari emosi yang begitu kuat—sebuah cara tubuh berkata, "Aku merasakan sakit yang sangat dalam, dan aku tak bisa menyimpannya lebih lama."
Rasa sakit yang dirasakan oleh tubuh adalah akibat dari cinta yang pernah begitu besar, begitu penuh, begitu nyata—hingga saat ia hilang, tubuh merasakan kekosongan yang tidak dapat dihindari. Perasaan itu tak hanya dirasakan oleh hati, tapi di setiap sel tubuh yang bergetar dan berusaha memahami kehilangan yang tak bisa dipahami.
Ketika hati terluka dengan begitu dalam, tubuh pun menjadi saksi dari perasaan itu. Patah hati bukan sekadar perasaan yang menggelora di dalam pikiran, tetapi juga aliran yang merembes dalam tubuh—sehingga tubuh pun tak dapat mengabaikannya. Emosi yang begitu murni dan tulus, ketika terhempas oleh kenyataan pahit, menciptakan gelombang yang mengguncang setiap sistem tubuh. Inilah mengapa reaksi fisik seperti hal ini bisa muncul, sebagai cara tubuh untuk mengekspresikan ketidakmampuannya menahan perasaan yang terpendam begitu lama.
Setiap tetes yang keluar adalah bentuk ekspresi tubuh yang memuntahkan sesuatu yang lebih dari sekadar bahan makanan yang tak tercerna—itu adalah sisa-sisa perasaan yang terpendam, kenangan yang tak lagi bisa dipertahankan, harapan yang perlahan sirna. Ketika tubuh bereaksi seperti ini, itu menunjukkan bahwa perasaan yang begitu mendalam telah menembus batas fisik, dan tubuh akhirnya tidak mampu menahan beban perasaan yang begitu besar.
Bukan hanya tentang kehilangan orang yang kita cintai, tetapi juga tentang kehilangan bagian dari diri kita sendiri yang pernah utuh karena cinta itu. Itu adalah perasaan yang begitu dalam hingga setiap reaksi tubuh, seperti diare, menjadi refleksi dari bagaimana hati mencoba mengatasi rasa sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Di balik setiap detak jantung yang terasa lebih berat, setiap napas yang terasa sesak, dan setiap reaksi fisik lainnya, tubuh mengingatkan bahwa perasaan itu lebih kuat dari yang terlihat. Ketika kita mencintai dengan sepenuh hati, kita memberikan seluruh diri kita—dan ketika cinta itu hilang, kehilangan tersebut merembes ke dalam tubuh, mengalir melalui setiap urat darah, meresap hingga ke tulang.
Ini bukan sekadar fisik yang terganggu, ini adalah cara tubuh mengekspresikan bagaimana perasaan yang begitu tulus, begitu penuh, kini harus melepaskan sesuatu yang berharga—seperti melepaskan kenangan indah yang telah berlalu. Sehingga, tubuh pun berbicara, "Aku pernah mencintai begitu besar, dan sekarang aku harus melepaskan."
Cinta yang begitu dalam tidak hanya hidup di hati, tetapi merasuk ke dalam tubuh, mengalir melalui setiap pembuluh darah, menyatu dengan napas, melebur dalam detak jantung. Maka ketika cinta itu retak, tubuh pun ikut runtuh. Ini bukan sekadar kehilangan seseorang—ini adalah kehilangan bagian dari diri sendiri yang dulu terasa utuh.
Saat perasaan begitu kuat hingga tubuh tidak sanggup menahannya, ia mencari jalan untuk mengeluarkan apa yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Air mata tidak cukup, isak tangis tidak mampu menjelaskan semuanya. Maka tubuh berbicara dalam bahasa yang lebih primitif—dengan gemetar, dengan perut yang melilit,seakan-akan tubuh ingin mengeluarkan sesuatu yang lebih dari sekadar sisa makanan.
Ini bukan sekadar ketidakseimbangan pencernaan. Ini adalah hati yang tak lagi tahu bagaimana menanggung beban luka. Ini adalah perasaan yang telah mendarah daging, yang begitu melekat hingga saat harus melepaskan, tubuh pun berontak.
Setiap tetesan yang mengalir keluar adalah serpihan kenangan yang tak bisa lagi disimpan. Seperti tubuh yang mencoba membersihkan dirinya dari jejak-jejak yang tersisa—bukan hanya jejak fisik, tapi jejak perasaan yang tertinggal dalam setiap sudut jiwa. Seperti tubuh yang berkata, "Aku tidak bisa menahan ini lagi. Aku harus membebaskan diriku dari rasa yang terlalu besar ini."
Ada kehilangan yang bisa dirasionalisasi, dan ada kehilangan yang terlalu dalam hingga tubuh pun tak mampu memprosesnya dengan logika. Ini adalah kehilangan yang membuat tubuh runtuh dalam sunyi, yang membuat tubuh menyerah dalam bentuk yang tak bisa dijelaskan oleh pikiran.
Cinta yang pernah menghidupkan kini menjadi sesuatu yang perlahan-lahan harus dilepaskan, meskipun tubuh berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan apa yang tersisa. Dan dalam setiap detik rasa sakit itu, tubuh berbisik dengan caranya sendiri, "Aku pernah mencintai dengan segenap jiwaku. Dan sekarang aku harus belajar hidup tanpanya."
Ada luka yang hanya bisa dirasakan, begitu dalam hingga ia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ini bukan hanya kehilangan seseorang, tapi kehilangan bagian dari diri sendiri yang pernah merasa utuh karena cinta itu. Saat cinta itu pergi, ia tidak hanya meninggalkan kehampaan—ia merampas keseimbangan, menciptakan kekacauan dalam jiwa dan tubuh.
Tubuh yang dulu tenang kini bergejolak. Perut yang biasanya kuat kini melemah, seakan menolak untuk menahan apa pun di dalamnya. Ini bukan sekadar reaksi fisik, tapi bahasa tubuh yang paling jujur. Setiap tetesan yang keluar bukan hanya sisa makanan—itu adalah serpihan harapan yang telah hancur, mimpi yang tak lagi bisa diwujudkan, kata-kata yang tak sempat diucapkan sebelum semuanya berakhir.
Cinta yang begitu dalam telah melebur dalam sistem tubuh. Ia hidup dalam setiap sel, setiap serat otot, setiap detak jantung. Dan saat cinta itu terenggut, tubuh pun berusaha melepaskannya dengan caranya sendiri. Ini bukan hanya tentang sakit hati, ini adalah tubuh yang berduka.
Kehilangan ini tidak bisa hanya disimpan di dalam kepala. Ia mencari jalan keluar, menekan ke segala arah, hingga akhirnya tubuh menyerah dan membiarkan semuanya mengalir. Seperti sungai yang meluap setelah hujan badai, tubuh pun tak bisa lagi menahan luapan perasaan yang begitu besar.
Ada perasaan yang terlalu dalam untuk hanya menjadi air mata. Ada luka yang terlalu pekat untuk hanya menjadi isak tangis. Maka tubuh memprosesnya dengan caranya sendiri—dengan gemetar, dengan perut yang melilit
Mungkin ini adalah cara tubuh untuk mengosongkan dirinya dari semua yang pernah ada, dari semua yang pernah berarti. Mungkin ini adalah ritual pelepasan yang paling purba—di mana tubuh, yang tak mampu berkata-kata, akhirnya berbicara dengan caranya sendiri: "Aku tak bisa menahan ini lagi. Aku harus melepaskannya, meskipun aku tak tahu bagaimana caranya untuk tetap bertahan."
Ada luka yang terlalu dalam untuk sekadar diceritakan, ada rasa sakit yang begitu pekat hingga ia tak bisa sekadar ditangisi. Patah hati bukan hanya soal kehilangan seseorang—ia adalah kehancuran yang terasa di setiap sudut jiwa, di setiap sudut tubuh yang pernah mengenal cinta itu. Ketika hati tak lagi bisa menanggungnya sendirian, tubuh pun ikut menjerit dalam bahasa yang tak terlihat, dalam bentuk yang tak bisa dikendalikan.
Ini bukan hanya sekadar gangguan pencernaan. Itu adalah tubuh yang berusaha memuntahkan kesedihan, membuang sisa-sisa dari sesuatu yang tak lagi bisa dipertahankan. Setiap tetes yang keluar adalah jejak kenangan yang tak bisa lagi disimpan, adalah perasaan yang begitu mendalam hingga tubuh memilih untuk melepaskannya dengan cara yang paling primitif.
Ketika seseorang mencintai dengan begitu tulus, cintanya tak hanya hidup di dalam hati—ia meresap ke dalam darah, tertanam dalam setiap sel tubuh. Cinta yang begitu besar menciptakan ikatan yang lebih dari sekadar emosi. Ia menjadi bagian dari diri. Maka ketika cinta itu hilang, tubuh merasakannya sebagai kehilangan yang begitu nyata, begitu fisik.
Bukan hanya hati yang merasakan kehampaan. Perut ikut berontak, seakan menolak menerima kenyataan. Tubuh menggigil, seakan tak lagi mengenali dirinya sendiri. Ini bukan hanya rasa sakit biasa—ini adalah tubuh yang berduka, yang kehilangan keseimbangan, yang tak lagi tahu bagaimana bertahan dalam kehilangan yang begitu besar.
Diare ini bukan sekadar reaksi kimiawi, bukan sekadar ketidakseimbangan tubuh. Ini adalah tubuh yang berbicara, yang menangis dalam caranya sendiri. Ini adalah tubuh yang berkata,
"Aku tak bisa lagi menahan ini,. Aku harus membuang semuanya, meskipun aku tahu, kepergian ini tak akan membuat ku utuh kembali"
Ada luka yang tak bisa ditambal dengan waktu, ada kehilangan yang tak bisa diredakan hanya dengan pengalihan. Ini bukan sekadar kesedihan yang bisa ditepis dengan kesibukan atau obrolan ringan. Ini adalah kehancuran yang meresap ke dalam inti keberadaan seseorang, menyusup ke dalam jiwa, lalu menuntut tubuh untuk meresponsnya.
Ini bukan sekadar reaksi fisik. Ini adalah tubuh yang menjerit dalam bahasa yang tak terlihat, melepaskan sesuatu yang lebih dari sekadar sisa makanan—ia melepaskan kepedihan yang tertanam terlalu dalam. Seakan-akan tubuh pun ingin berkata, "Aku tak sanggup lagi menyimpan ini. Aku tak bisa menahan semua yang tersisa dari cinta ini di dalam diriku."
Ketika seseorang mencintai dengan tulus, ia tak hanya memberikan hatinya, tapi juga membiarkan seluruh dirinya merasakan cinta itu. Maka ketika cinta itu dicabut darinya, tubuhnya pun ikut kehilangan arah. Perut yang dulu menerima makanan dengan tenang kini menolak segalanya. Sistem pencernaan yang biasanya bekerja tanpa gangguan kini tak mampu menahan apapun. Ini bukan sekadar gangguan kesehatan—ini adalah kepedihan yang menemukan jalannya sendiri untuk keluar.
Setiap tetesan yang mengalir bukan hanya cairan tubuh—itu adalah kepingan kenangan yang tak bisa lagi dipertahankan. Itu adalah perasaan yang tak lagi memiliki tempat untuk bernaung. Itu adalah tubuh yang berusaha membersihkan dirinya dari sesuatu yang terlalu menyakitkan untuk tetap tinggal.
Mungkin, ini adalah cara tubuh untuk menyampaikan sesuatu yang terlalu sulit diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin, ini adalah bentuk kehilangan yang paling nyata—saat bahkan tubuh pun tak lagi mampu menyangkal betapa dalamnya luka yang tertinggal.
Ada kesedihan yang bisa ditangisi, ada kehilangan yang bisa diterima dengan waktu, tapi ada pula duka yang begitu dalam hingga tubuh ikut menanggung bebannya. Ini bukan sekadar sakit hati, ini adalah kehancuran yang merasuk ke dalam daging, menjalar melalui aliran darah, menjepit dada hingga sesak, lalu meruntuhkan keseimbangan tubuh.
Ini adalah tubuh yang berusaha membuang sesuatu yang tak kasat mata—sebuah luka yang tak bisa dicerna, kenangan yang terlalu menyakitkan untuk tetap tinggal. Setiap tetes yang mengalir bukan hanya cairan tubuh, melainkan serpihan dari harapan yang telah mati, dari cinta yang pernah tumbuh begitu dalam lalu direnggut dengan kejam.
Ketika seseorang mencintai dengan segenap hatinya, ia tidak hanya memberi perasaan, tetapi juga menyerahkan sebagian dari dirinya sendiri. Maka, saat cinta itu pergi, tubuh pun ikut berduka. Perut yang dulu tenang kini selalu terasa melilit, seakan-akan ada sesuatu yang dipaksa keluar, sesuatu yang tidak lagi bisa dipertahankan. Ini bukan hanya reaksi biologis—ini adalah tubuh yang menangis dengan caranya sendiri.
Tubuh ingin kosong. Ia ingin membuang semuanya, karena rasanya terlalu berat untuk terus menanggung beban ini. Ini adalah pelepasan yang tak bisa dikendalikan, bentuk kesedihan yang terlalu pekat hingga tak bisa hanya ditangisi. Mungkin, ini adalah cara tubuh untuk mengucapkan selamat tinggal. Mungkin, ini adalah cara tubuh untuk berusaha bertahan, meskipun jiwa masih berjuang untuk memahami bagaimana caranya hidup tanpa cinta yang telah pergi.
Komentar
Posting Komentar