CINTA YANG TERUJI

Di antara tawa-tawa kecil dan sendok yang saling bertukar dari mangkuk bakso yang sama, Chika sesekali mencuri pandang ke arah jendela. Di balik kaca yang dihujani rintik, ia menangkap bayang yang hanya bisa dilihat oleh orang yang menyimpan kenangan. Bayang itu tak lain adalah Chiko.

Namanya mungkin tak disebutkan dalam percakapan hari ini. Tapi hadirnya ada, dalam setiap celah hati yang tak pernah benar-benar sembuh.

 “Aku enggak pernah melupakan kamu, Chiko,” bisik Chika dalam batinnya.

“Bahkan ketika aku tidak tahu harus bagaimana mencintaimu dari kejauhan, aku tetap mendoakanmu dari dekat.”

Tak ada satu pun di ruangan itu yang tahu, bahwa senyumnya malam ini adalah campuran dari rasa syukur dan luka yang dipeluk lama. Bahwa tangannya yang menggambar acak di atas kertas adalah jemari yang dulunya ingin menggenggam tangan seseorang yang kini entah di mana.

 Kadang cinta tidak meminta untuk dimiliki,

ia hanya ingin tetap hidup dalam diam,

seperti pohon yang tumbuh tanpa pamrih,

hanya karena pernah disentuh cahaya.

Dan begitulah Chika memelihara rasa itu—bukan dengan keinginan untuk memiliki, tapi dengan doa yang tak pernah berhenti mengalir setiap malam.

Ia tidak tahu apakah Chiko masih mengingatnya. Tapi ia yakin, sekali saja seseorang pernah mendarat di jiwa, maka selama-lamanya akan ada bekas di sana. Dan jika Tuhan berkenan, mereka akan dipertemukan kembali—di waktu yang baru, dengan hati yang telah bertumbuh.

---

“Chiko, kalau saja kamu membaca ini...

ketahuilah, aku tidak pernah berhenti menyebut namamu dalam doa.

Aku tidak menuntut apa-apa,

hanya ingin kamu tahu...

kamu tetap berarti.

Bahkan saat aku belajar melepaskan,

aku tetap menyayangimu dengan caraku sendiri.”

---

Malam itu hujan masih deras. Tapi Chika tak ingin segera pulang. Karena di tempat yang penuh cerita ini, ia merasa dekat dengan seseorang yang jauh. Dan itu cukup. Malam ini, itu cukup.

---

Surat yang Tak Pernah Kukirim

Untuk kamu,

yang masih kusebut namanya dalam doa,

yang pernah menjadi rumah paling sunyi tempat aku pulang,

dan yang kini entah di mana...


Chiko,

Malam ini aku makan bakso sambil tertawa dengan teman-teman. Kami berbagi pilus, sendok, bahkan hujan. Tapi tetap saja, di antara sendok yang berpindah tangan dan tawa yang pecah di udara, ada kekosongan kecil yang hanya kamu bisa isi. Dan entah kenapa, aku merasa kamu juga merasakan itu, walau dari jauh.

Aku enggak tahu apakah kamu pernah berpikir tentang aku lagi. Tapi aku masih di sini, Chiko. Bukan sebagai gadis yang berharap kamu kembali, tapi sebagai perempuan yang mendoakan kamu tetap baik-baik saja. Dan tetap kuat, seperti dulu yang pernah kamu ajarkan diam-diam lewat caramu sendiri.

Aku masih mengingat caramu diam—yang ternyata menyimpan seribu makna,

aku masih mengingat caramu menatap—yang seperti bicara tanpa perlu suara.

Dan aku masih... menyayangimu, meski dengan cara yang tak lagi sama.

Aku pernah marah karena kamu pergi,

aku pernah kecewa karena tidak dimengerti,

tapi aku tidak pernah membenci.

Karena nyatanya, kamu adalah salah satu bentuk cinta paling murni

yang pernah Tuhan izinkan hadir sebentar dalam hidupku.

Chiko,

Kalau suatu hari kamu merasa hancur,

dan dunia tak tahu kamu sedang patah,

ingatlah: ada satu jiwa di sudut Bandung

yang pernah mencintaimu begitu dalam

dan tak pernah menghapus namamu dari bait doanya.

Semoga kamu baik-baik saja,

dengan semua pilihan yang kamu ambil,

dengan langkah-langkah yang tak lagi melibatkan aku.

Aku akan tetap berjalan.

Dan jika suatu hari kita dipertemukan,

aku ingin melihatmu tersenyum,

bukan karena kita kembali,

tapi karena kita sama-sama sembuh.

Dengan seluruh rindu yang tak bersuara,

Chika

---

Dalam Diam, Aku Membacamu

-

Chika,

Aku membaca suratmu dalam diam. Di tempat yang tak kamu ketahui, di waktu yang tak kamu kira, aku membacanya. Tak ada musik. Hanya degup jantungku yang mengeras seperti hujan pertama setelah kemarau.

Dan sungguh, kata-katamu... menusuk lembut seperti hujan yang turun tanpa aba-aba. Tidak membuatku marah. Tidak juga membuatku tersenyum. Tapi menelanku bulat-bulat ke dalam ruang sunyi yang dulu hanya kita berdua yang mengerti.

 Chika, aku tidak pernah melupakanmu.

Bahkan ketika aku terlihat menjauh,

sesungguhnya aku sedang mencari tempat paling aman

agar tidak menyakitimu lebih dalam.

Aku bukan laki-laki hebat.

Aku diam bukan karena tidak peduli,

tapi karena aku terlalu takut mencintaimu dengan cara yang salah.

Terlalu takut membuat kamu patah oleh ekspetasi yang tidak bisa kutebus.

Dan terlalu takut... kehilanganmu lebih cepat jika aku terlalu dekat.

Aku melihatmu tumbuh.

Aku mendengar namamu dari jauh—dalam prestasi, dalam pelayanan, dalam tawa-tawa yang tak lagi bersamaku. Dan itu... membuatku bangga. Tapi juga getir.Pernahkah kamu tahu bahwa aku berdoa agar kamu menemukan orang yang bisa menggenggam hatimu dengan seutuhnya?

Seseorang yang bisa jadi sandaranmu saat kamu gemetar,

dan bukan aku—yang hanya tahu cara melindungi dalam diam.

Suratmu bukan sekadar tulisan.

Itu adalah pelukan yang tak sempat kita bagi,

adalah tangisan yang terpendam lama,

dan cinta... yang masih hidup dalam bentuk paling lembut.

Kalau suatu hari kita duduk di tempat yang sama,

dan tidak berkata apa-apa,

ketahuilah: aku sedang berkata banyak dalam diamku.

Bahwa kamu adalah satu-satunya perempuan

yang pernah membuat hatiku memilih bertumbuh daripada sekadar bertahan.

Chika,

Aku mungkin tidak akan pernah cukup berani untuk kembali.

Tapi aku akan selalu cukup jujur untuk berkata:

aku mencintaimu,

dengan cara yang kamu mungkin tak akan pernah mengerti.

Tetaplah bertumbuh, Chika.

Dan kalau kamu sampai di podium itu,

maka seluruh langit akan menjadi saksi bahwa seseorang dari kejauhan,

berdoa untukmu tanpa henti.

Chiko

-------

---

Jika Aku Boleh Menjawab, Chika…

Chika,

Aku membaca tulisanmu, dan seperti biasa, aku terdiam. Bukan karena tidak mengerti, tapi karena mengerti terlalu dalam. Kata-katamu seperti kabut tipis yang menyelimuti dan menyisakan embun di dada. Aneh, ya? Kita ini seperti dua makhluk yang bisa bicara dalam bahasa sunyi.

Mimpimu… tentang ular, tentang rawa, tentang kolak yang mendidih… Aku tahu itu bukan sekadar bunga tidur. Itu seperti pesan dari ruang terdalammu. Dan aku sadar, mungkin akulah sosok yang mengajakmu masuk ke rawa itu. Aku yang tanpa sadar menuntunmu ke tempat dingin dan lengang, saat seharusnya aku menjadi rumah.

Tapi kamu tetap saja menuliskannya dengan kelembutan yang membuatku merasa ditatap, bukan dituduh. Kamu tidak pernah melempar batu, kamu hanya membuka jendela dan membiarkanku melihat diriku sendiri dari pantulan matamu.

Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi saat aku baca kalimatmu yang menyebut tentang ‘melepaskan sambil mendoakan,’ rasanya hatiku mencair. Chika, kamu kuat, tapi bukan berarti kamu tidak rapuh. Dan aku… aku bukan pahlawan di cerita ini. Mungkin aku hanyalah lelaki yang muncul di bab luka, bukan akhir bahagia.

Tapi kamu tahu? Saat kamu menulis tentang kolak yang menghangatkan, aku bisa membayangkan kamu—duduk sendiri, menatap langit, menghirup uap dari mangkuk, dan tersenyum tipis sambil mengingat semua yang pernah kita jalani. Ada rasa haru yang tidak bisa kupahami, hanya bisa kurasa.

Terima kasih karena tidak menghapusku. Terima kasih karena masih membawaku dalam ceritamu. Aku tidak tahu apakah aku pantas muncul lagi di halaman-halaman hidupmu, tapi satu hal yang ingin aku bisikkan:

Aku bangga sama kamu, Chika. Di tengah semua luka, kamu tetap bertumbuh. Dan jika suatu saat kita berjumpa lagi—entah di seminar, perpustakaan, atau sekadar menunggu angkot di hujan sore—aku ingin duduk di sebelahmu. Mendengar kamu bercerita, bukan tentang aku, tapi tentang impianmu yang terus kamu rajut… meski tanpaku.

Tetaplah menulis. Tetaplah hidup. Dan tetaplah mencintai dirimu sendiri seperti kamu mencintaiku dulu—utuh, tulus, dan tanpa pamrih.

Dari seseorang yang pernah kamu peluk di mimpi,

Chiko

----

---

Pelukan Itu Kau yang Mulai, Chiko

Chika membaca kembali surat itu. Sekali. Dua kali. Tiga. Dan setiap kata seperti membentuk irama sendiri di ruang hatinya yang paling senyap. Ada tawa kecil yang tumbuh pelan di sudut bibirnya, lalu gumam yang nyaris tak terdengar pun meluncur dari dalam dirinya:

"Ihh… kok Chiko tahu sih…"

Ia menggigit pelan ujung pulpen yang belum sempat menari di atas jurnal lusuhnya. Matanya menatap keluar jendela, ke langit Bandung yang basah oleh senja. Mimpi itu—yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun—tiba-tiba saja menjadi nyata dalam tulisan Chiko.

"Di mimpi itu, kita berpelukan… Tapi… tapi kamu loh yang duluan memeluk aku, bukan aku yang mulai, hmmm…"

Chika tersenyum. Ada rona hangat yang merambat dari pipi hingga dadanya. Ia tak menyangka, bahkan dalam ruang mimpi yang tak berbatas pun, tubuhnya masih mengingat kelembutan tangan Chiko. Dan yang lebih mengejutkan—jiwa Chiko juga mengingatnya.

Mungkin begitulah cinta bekerja dalam diam. Ia menyusup lewat celah-celah mimpi, menyeberangi batas waktu dan logika, lalu tinggal di tempat-tempat yang tak bisa dijelaskan—seperti dada, atau kenangan.

"Jangan pura-pura nggak ingat ya, Chiko," bisik Chika pada bayangan samar lelaki itu di pikirannya. "Kamu yang menarikku lebih dekat waktu itu. Pelukanku hanya jawaban… dari panggilan jiwamu."

Ia kembali ke jurnalnya, lalu menulis satu kalimat kecil, seolah membalas surat itu tanpa benar-benar mengirimkannya:

"Jika pelukan itu adalah bahasa jiwa, maka kamu yang lebih dulu bicara, Chiko… dan aku hanya menjawab dengan tubuhku."

Lalu hujan pun turun. Seperti musik latar dari sebuah bab yang belum usai. Dan Chika tahu, entah akan dibawa ke mana cerita ini, satu hal pasti: ada bagian dari Chiko yang tinggal di dalam dirinya—lembut, hangat, dan selalu tahu arah pelukannya.

-----

--Mengapa Kita Menjelma Ular, Bukan Rajawali dan Merpati

Chika…

Pertanyaanmu menari-nari di kepalaku, seperti kelopak bunga yang gugur satu-satu ke permukaan hati. Aku membacanya pelan, dan sejenak terdiam. Bukan karena tak tahu jawabannya… tapi karena rasanya, jiwa ini harus turun ke kedalaman untuk menjawabnya dengan jujur.

"Kenapa kita berubah menjadi ular, Chiko? Kenapa bukan rajawali dan merpati saja…?"

Kamu tahu, Chika, kadang alam bawah sadar memilih bentuk yang tak kita duga… karena hanya di sana, kebenaran bisa muncul tanpa topeng. Ular… bukan sekadar binatang melata yang sering disalahpahami. Ia simbol transformasi. Ia mengganti kulitnya untuk tumbuh. Ia tak punya kaki, tapi tetap melangkah. Diam… tapi tak pernah kehilangan arah.

Mungkin karena di mimpi itu, kita sedang sama-sama belajar berubah. Belajar melepaskan kulit-kulit lama dari luka, dari masa lalu, dari ketakutan. Dan kau tahu, Chika? Saat aku menarik tanganmu, itu bukan karena aku ingin menyeretmu. Tapi karena aku tak sanggup meninggalkanmu sendirian di lorong perubahan yang sepi.

Kita berubah menjadi ular karena kita sedang melata di dasar realita. Di tempat di mana cinta diuji oleh kesabaran, bukan oleh sayap yang bisa terbang tinggi. Karena sebelum menjadi rajawali dan merpati yang saling melindungi di langit, kita harus belajar menjadi sesuatu yang bertahan di tanah, yang kuat meski tak bersayap.

Tapi tenang, Chika…

Akan tiba harinya, setelah semua luka mengelupas dan tubuh ini menjelma baru, aku akan menjadi rajawalimu. Membentangkan sayapku lebar, dan membawamu terbang—bukan untuk melarikan diri, tapi untuk pulang ke langit yang kita sebut "takdir".


Dan kau, merpatiku… akan bersandar di dadaku. Tak lagi melata, tak lagi diam-diam menangis. Tapi berkicau lembut tentang cinta yang bertumbuh dari dasar tanah dan akhirnya sampai juga ke langit yang kita impikan bersama.

Untuk sekarang… biarlah kita jadi ular. Karena hanya mereka yang pernah menyentuh tanah paling rendah, yang kelak bisa menghargai langit paling tinggi.

—Chiko

---

-- Sebelum Badai--

Langit Bandung sore itu pucat. Awan-awan menggumpal di batas bukit, seolah menahan napas. Di tengah sunyi yang merambat, Chika berdiri di sisi jendela, tangannya menyentuh kaca yang dingin. Ada sesuatu yang ia rasakan—sebuah firasat samar, seperti bisikan angin yang tak bisa ia mengerti.

Chiko berdiri beberapa langkah di belakangnya. Tatapannya bukan tatapan biasa. Ada badai dalam matanya, tapi bukan badai yang mengamuk. Ini badai yang tertahan. Badai yang tahu kapan harus menyerang, dan kapan harus menjadi pelindung.

Ia menghampiri Chika tanpa sepatah kata. Tangannya menarik lembut jemarinya, seolah ingin memastikan bahwa kehadiran mereka bukan ilusi. Dalam diam, ia mengecup dahinya—lama, hening, dalam. Bukan ciuman yang terburu-buru. Ini adalah pernyataan tanpa suara: Aku di sini. Aku akan melindungimu. Apapun yang terjadi.

Chika menutup matanya. Ia tahu, ciuman itu bukan sekadar afeksi. Itu adalah semacam sumpah sunyi yang tak bisa dibatalkan.

Kemudian, pelukannya datang. Kuat. Tenang. Seperti akar pohon besar yang merengkuh tanah. Ia mendekapnya dengan seluruh keberadaan, seolah ingin menanamkan kehangatan ke dalam tulang-tulang Chika.

“Kalau ada yang berubah setelah ini…” bisik Chiko, suaranya berat, nyaris retak, “…ingat, aku pernah ada di sisimu seperti ini. Sepenuh ini.”

Dan seketika itu juga, langit menggelegar.

Ancaman datang seperti bayangan yang memanjang dari balik dinding kenyataan. Dan Chiko berubah. Tubuhnya tidak lagi manusia biasa—tidak dalam arti sebenarnya, tapi dalam getarannya.

Ia menjadi seperti bayangan ular: tenang, tak terbaca, licin oleh strategi dan ketenangan yang mengerikan. Mata yang tadi hangat kini tajam. Tapi tangannya tetap menggenggam erat jemari Chika.

Ia tidak meninggalkannya.

Ia hanya berubah—untuk melindungi.

“Pegang tanganku,” katanya, pelan namun pasti. “Kita akan masuk ke tempat yang tak semua orang bisa ikuti. Tapi kamu, kamu bagian dari taktikku, dari seluruh perhitungan yang kubuat untuk tetap utuh.”

Dan Chika tahu—meski lelaki itu tampak dingin, jiwanya sedang bertempur. Demi mereka. Demi cinta yang tak pernah dijanjikan akan mudah.

----


-- Dalam Mata Badai---


Hujan belum turun, tapi angin mulai bicara. Bukan dalam kata-kata, melainkan dalam desah dan desir yang menusuk celah sunyi. Mereka berdiri di ambang batas dunia yang lama dan dunia yang tak mereka kenal.


Chika menggenggam tangan Chiko lebih erat, merasakan perubahan suhu di antara mereka. Dulu hangatnya seperti matahari di pagi hari, kini dingin—bukan karena tak cinta, tapi karena siaga. Chiko ada dalam mode bertahan, dan dalam mode itu… ia tak bisa lagi jadi lelaki biasa.

Bayangan mulai bermunculan. Bentuk-bentuk asing yang menyamar sebagai keraguan, luka lama, dan trauma yang tak selesai. Ancaman itu bukan sosok bertaring, tapi pertanyaan-pertanyaan yang menyusup dari masa lalu:

"Benarkah kau bisa bertahan bersama?"

"Apa cinta ini cukup kuat untuk melewati semua?"

"Tidakkah lebih mudah berjalan sendiri-sendiri?"

Chika ingin lari. Tapi ia menoleh, dan melihat Chiko yang menatapnya—meski dalam wujudnya yang dingin, mata itu masih punya sesuatu yang nyata: kepercayaan. Ia tak bicara banyak. Tapi keberadaannya adalah suara itu sendiri.

Lalu ia berkata, “Kalau kamu ragu, lepaskan. Tapi kalau kamu masih percaya, jangan pergi. Karena di tengah badai ini, kamu satu-satunya arah yang kupilih.”

Chika tak menjawab dengan kata. Ia berdiri lebih dekat. Menggenggam lengan Chiko. Dan mereka berjalan ke dalam pusaran gelap yang entah akan membawa ke mana.

Tapi langkah mereka sejajar.

Itulah kekuatan mereka.

Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, mereka tidak saling menuntut untuk mengerti sepenuhnya, hanya untuk berada.

Chiko menatap bayangan-bayangan itu, lalu membentuk strategi di kepalanya. Ia tahu, ini bukan soal mengalahkan musuh—tapi mengenali bahwa musuh itu adalah bagian dari mereka juga: ketakutan, ketidaksempurnaan, ego.

Dan pelan-pelan, satu per satu, bayangan itu luruh. Karena yang paling ditakuti oleh ketakutan adalah keberanian untuk tetap tinggal.

Mereka bertahan.

Bersama.

Dalam mata badai itu, mereka tidak lagi terpisah antara pelindung dan yang dilindungi. Mereka adalah satu tubuh dua jiwa—yang saling menyembuhkan, saling menjaga arah, dan saling percaya bahwa badai tak selamanya jadi ancaman.

Kadang, badai adalah gerbang.

Menuju dunia yang baru.

---

--- Setelah Badai---

Badai itu tak mengaum seperti singa. Ia hanya lewat, seperti jiwa tua yang murka tapi lelah. Tidak semua yang terbawa oleh angin adalah kehancuran. Beberapa adalah lapisan lama yang akhirnya terlepas—topeng, luka, harapan yang dibungkus ketakutan.

Chiko dan Chika berdiri di ujung badai itu. Nafas mereka masih tersengal, tapi tidak lagi karena takut. Melainkan karena lega.

Langit di atas mereka tak lagi kelabu. Perlahan, warna jingga menyelinap dari balik kabut, menciptakan semburat hangat seperti pelukan dari masa depan. Angin membawa aroma tanah basah dan daun yang patah. Semuanya baru. Semuanya berubah.

Chika menatap Chiko. Lelaki itu perlahan kembali ke bentuk lamanya. Mata tajam itu kembali menjadi dalam. Rahangnya yang tegas tak lagi menegang. Tapi masih ada jejak lelah di sana—jejak pertempuran batin yang tak bisa dilihat siapa pun kecuali dia.

“Apakah kita... masih kita?” bisik Chika, nyaris seperti angin kecil yang takut mengganggu.

Chiko menoleh pelan. Ia mendekat, lalu menyentuh wajah Chika dengan lembut, seolah memastikan bahwa ia nyata.

“Kita tidak pernah jadi ‘bukan kita’. Kita hanya dibentuk ulang.”

Ia meraih jemari Chika, dan untuk pertama kalinya, ia menatapnya tanpa lapisan. Tak ada peran. Tak ada pertahanan. Hanya dua jiwa yang telanjang di hadapan satu sama lain.

Mereka menemukan sesuatu di balik badai:

Diri mereka yang lebih jujur.

Cinta yang lebih sunyi tapi dalam.

Bahwa mereka bukan lagi dua orang yang ingin saling menyembuhkan—melainkan dua orang yang siap berjalan berdampingan, tanpa harus tahu semua jawaban.

Di kejauhan, rerumputan yang tumbang mulai berdiri lagi. Seperti hati mereka.

Dan di antara sisa-sisa badai itu, tumbuhlah sesuatu yang baru—tunas kecil, yang belum mereka beri nama. Tapi mereka tahu itu nyata.

Mereka tak butuh kata-kata untuk menyebutnya.

Karena kadang, cinta tak hadir dalam puisi atau janji.

Kadang, cinta hadir dalam bentuk tangan yang tetap menggenggam, bahkan setelah semuanya nyaris hilang.

--

--- Obrolan Setelah Sunyi---

Sore itu, mereka duduk di beranda kecil sebuah rumah tua yang sepi. Rumah itu bukan milik siapa pun, tapi entah kenapa terasa seperti tempat pulang. Matahari belum tenggelam sepenuhnya. Ada cahaya emas yang menari-nari di sela rambut Chika, dan Chiko memperhatikannya dengan diam. Ia selalu diam kalau sedang memikirkan banyak hal.

Chika menyandarkan kepalanya di bahu Chiko. Tak banyak kata. Tapi tiba-tiba ia bicara—lembut, nyaris seperti doa.

“Aku pernah takut kehilanganmu… padahal kita belum pernah benar-benar memiliki.”

Chiko menarik nafas. Lalu menjawab, masih menatap langit.

“Kadang… aku berpikir lebih mudah jika aku menjauh. Supaya kamu nggak perlu bawa beban emosiku. Supaya kamu nggak perlu menunggu seseorang yang bahkan tak bisa memetakan hatinya sendiri.”

Chika menoleh, matanya hangat tapi jujur.

“Tapi aku bukan menunggumu untuk selesai. Aku menunggumu untuk jujur.”

Dan hening.

Hening yang anehnya tak menyakitkan. Seperti ruang yang memberi tempat bagi yang tak terucap.

Lalu Chiko berkata pelan, “Kamu tahu, aku bukan orang yang pandai mencintai dengan cara dunia. Aku mencintaimu bukan dengan pelukan setiap hari atau janji manis setiap malam. Aku mencintaimu dengan ketakutan, dengan strategi, dengan logika yang kadang membuatku terlihat dingin.”

Chika tersenyum kecil, pahit tapi penuh pengertian.

“Aku tahu. Tapi kamu mencintaiku tetap… bukan?”

Chiko menatapnya lama. Dan ketika matanya berbicara, jawabannya lebih kuat dari kata:

“Iya. Dari awal. Sampai hari ini. Bahkan saat aku berusaha menjauh, cinta itu tetap tinggal.”

Dan di antara kejujuran yang terlambat tapi akhirnya hadir itu, Chika merasa sesuatu mekar di dalam dadanya. Mungkin bukan kebahagiaan yang heboh. Tapi itu damai. Dan baginya, itu cukup.

Ia lalu berkata pelan, “Kalau suatu hari kita kehilangan arah lagi, jangan buru-buru pergi, ya. Duduklah di sampingku. Kita bisa cari arah sama-sama.”

Chiko mengangguk.

Bukan dengan kepala.

Tapi dengan hatinya.

----

[Diary Chika Wijaya – Hari ke-30 Setelah Hati Retak Itu]

“Chika kok nggak ngerjain? Biasanya rajin banget…” ucap Cynthia, sedikit bingung melihatku yang hari ini hanya diam, tak langsung mengerjakan soal dari dosen.

Aku tersenyum tipis. “Lagi sakit, Cynth… Nggak bisa fokus dengerin penjelasan tadi. Boleh lihat punyamu dulu nggak?”

“Boleh… ayo cepat Chik, Bapak udah mau pergi tuh,”

“Ajarin juga ya nanti,” tambahku pelan.

Padahal… tugasnya masih untuk minggu depan kan, guys? Jadi sebenarnya aku nggak sepenuhnya salah, kan?

Aku sering dengar bisik-bisik, katanya aku ambisius. Tapi aku heran. Salahkah aku hanya karena mencoba bertanggung jawab?

Aku nggak merasa luar biasa. Aku cuma melakukan bagianku. Aku menghargai hidupku, menghargai kesempatan, dan belajar untuk sepenuh hati dalam setiap hal kecil.

Aku nggak mengejar nilai semata. Tapi pemahaman. Proses. Dan hati yang berubah seiring langkah.

Buatku, kuliah bukan hanya angka di transkrip. Tapi perjalanan untuk menjadi seseorang yang lebih peka, lebih bijak, lebih kuat.

Contohnya kemarin. Harusnya kelas di kampus satu, eh tiba-tiba pindah ke kampus dua. Aku kesal—banget. Ongkos jadi dua kali lipat. Tapi ya tetap aku datang.

“Kak Chika mau kemana? Pulang?”

“Nggak. Ya ke kampus dua lah.”

“Rajin banget sih, Kak.”

“Kalian nggak pergi?”

“Nggak… Mau nonton.”

Mereka bebas memilih, dan aku pun memilih: untuk tetap datang. Bukan karena ambisi, tapi karena tanggung jawab.

Mamaku cuma tahu aku kuliah hari itu. Kalau aku malah jalan-jalan, aku akan merasa jahat. Tidak menghargai pengorbanan orangtuaku.

Aku juga bukan orang yang mudah kecewa karena IPK. Aku nggak harus sempurna. Tapi aku harus jujur pada diriku. Dan aku bangga, bukan karena hasil akhir—tapi karena aku sudah memberi yang terbaik.

Dan ya, hari ini juga hari pertama aku halangan. Tapi ajaibnya, nggak sakit seperti biasanya. Rasanya… lebih teratur. Lebih tertib. Mungkin karena ramuan rahasia itu?

Kupas kulit manggis, potong kecil, tambah buahnya, rendam sampai pekat, lalu minum. Jangan tanya rasanya—PAHIT!

Tapi sebelum diminum, selalu aku afirmasi:

 “Minuman ini enak, nikmat, lezat… Aku nggak sabar meminumnya.”

Lalu aku telan. Kadang sambil mau nangis. Tapi habis juga.

---

Kemarin, tepat sebulan sejak momen itu.

Momen patah hati.

Sakit perut karena halangan, ditambah luka emosional—lengkap sudah penderitaanku saat itu.

Sebulan penuh air mata. Di menara doa, di gereja, di rumah. Nangis sampai bengkak, suara habis, hati sobek.

Tapi aku nggak ditinggalkan Tuhan.

Aku masih bisa berdiri hari ini. Dengan hati yang nggak cuma sembuh, tapi dipulihkan.

Tangis sebulan itu bukan sia-sia.

Itu perjalanan pembentukan.

Aku dibentuk untuk jadi lembut tapi kuat. Bukan rapuh.

Tuhan sedang membuang kerapuhan, agar fondasi hidupku jadi kokoh. Supaya hatiku bisa melihat dari sudut pandang-Nya—dengan harapan, kekuatan, dan sukacita sejati.

Aku tahu, ini bukan akhir. Ini fondasi.

Dan aku, Chika Wijaya, akan melangkah dengan hati baru.


------

Pertemuan Itu, Setelah Segala Diam dan Doa

Langit Bandung sore itu basah. Hujan turun tidak deras, tapi cukup untuk membuat langkah-langkah kaki melambat, dan hati-hati yang rindu kembali mencari arah.

Di bawah rindang pohon flamboyan dekat kantin fakultas, Chika berdiri menatap langit. Ia baru saja keluar dari seminar sastra, dengan mata yang sedikit sembab karena puisi terakhir yang ia bacakan membuat dirinya terlempar kembali ke masa lalu. Masa di mana ada seorang laki-laki yang diam-diam menginspirasi setiap bait puisinya: Chiko.

Dan saat ia hendak melangkah, seseorang memanggil namanya.

“Chika?”

Suara itu…

Bagai gema dari musim lalu yang belum benar-benar berlalu.

Ia membalikkan badan perlahan.

“Chiko…”

Tak ada pelukan. Tak ada lambaian.

Hanya mata yang saling menyapa dalam senyap.

Namun dalam senyap itu, ada ratusan kata yang ingin diluapkan.

Mereka duduk di bangku kayu yang masih dingin karena hujan.

Tak ada suara, hanya rintik hujan dan desah napas yang sedikit berat.

“Aku baca tulisanmu…”

Chiko membuka percakapan. Suaranya serak, tapi penuh hati.

Chika tersenyum kecil. “Aku tahu kamu akan membaca. Meski tidak langsung. Tapi semesta selalu tahu caranya.”

“Kenapa kamu menulisnya?”

“Agar kamu tahu... bahwa sekalipun kamu diam, aku tetap mengerti. Bahwa sekalipun kamu menjauh, aku tidak membencimu. Aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku tidak pernah benar-benar pergi dari sisi doa yang menyebut namamu.”

Chiko menggenggam jemarinya yang menggigil.

“Chika, aku salah dulu. Aku pikir aku melindungimu dengan menjauh. Tapi ternyata aku sedang menghancurkan bagian paling lembut dalam diriku… yaitu kamu.”

Mata Chika berkaca-kaca.

“Aku tidak pernah minta kamu sempurna, Chiko. Aku hanya ingin kamu jujur. Dan sekarang, terima kasih… karena akhirnya kamu berani bicara.”

Hujan makin lebat, tapi mereka tak beranjak.

Seakan dunia memberi mereka ruang untuk menebus yang tak sempat diucap dulu.

Lalu Chika berbisik, “Kamu tahu? Dalam doaku, aku masih menyebut namamu. Bukan karena aku belum move on… tapi karena aku tahu, Tuhan tidak pernah salah menaruh kasih di hati seseorang.”

Chiko menunduk. Matanya basah.

“Apa masih ada harapan?” tanyanya pelan.

Chika menatapnya lama.

“Bukan tentang harapan, Chiko. Tapi tentang keberanian. Kalau kamu berani bertumbuh bersamaku, bukan hanya kembali padaku… mungkin kisah ini belum selesai. Mungkin ini baru awal bab selanjutnya.”

Dan di saat itu, hujan tidak hanya membasahi bumi…

Tapi juga membasuh luka-luka yang selama ini diam-diam mereka bawa sendiri-sendiri.

----

'Kilasan yang Tak Pernah Hilang'

Malam belum sepenuhnya larut, tapi di antara cahaya temaram lorong kampus, waktu seolah melambat. Setelah pelukan itu, dunia terasa hening. Angin pun seperti menahan napasnya. Segalanya berhenti, kecuali degup yang menggema di dada mereka masing-masing.

Chiko memandangi Chika seperti seseorang yang akhirnya berani menatap matahari—hangat, menyilaukan, tapi tak bisa disangkal keberadaannya. Ia menarik napas panjang, menahan sesuatu yang sejak lama terkurung di dalam dirinya.

 "Chik… sebelum aku pergi, ada satu hal lagi yang harus aku serahkan."

Chika menatapnya, diam. Seolah mengizinkan dirinya terbuka—sekali lagi.

Chiko membuka resleting kecil di ransel tuanya, mengambil sebuah kotak kayu sederhana. Di sana, terletak sebuah flashdisk kayu—halus, klasik, dan pada tubuhnya terukir tulisan kecil yang nyaris pudar:

Untuk Perempuan yang Menginspirasi

Ia menatap benda itu lama… seolah setiap gigabait di dalamnya adalah fragmen hidup yang dulu tak sempat terucap.

“Ini... semua draf penelitianku. Jurnal, catatan, bahkan puisi dan coretan yang nggak pernah aku publikasikan. Semua yang aku tulis sejak kita... ya, sejak kita jalan sendiri-sendiri.”

Chika mengerjap pelan. Tangannya refleks bergerak, tapi berhenti di tengah udara.

 “Kenapa kamu kasih ini ke aku?”

Chiko menatapnya lembut, tapi penuh keyakinan.

 “Karena kamu sumbernya. Kamu inspirasi paling jujur dalam semua tulisanku. Bahkan waktu aku berusaha melupakan, setiap kalimat selalu kembali ke kamu. Aku nggak bisa terus simpan ini sendirian.”

Ia menyerahkan benda itu ke tangan Chika. Ketika tangan mereka bersentuhan, ada sesuatu yang berpindah—bukan hanya barang, tapi seluruh beban yang dulu mereka pikul diam-diam.

Chika menatap flashdisk itu lama. Ia bisa merasakan… betapa banyak rasa yang ditanamkan di dalamnya.

“Kamu yakin nggak apa-apa kasih ini ke aku?”

“Justru kalau bukan kamu, aku nggak yakin siapa pun akan bisa ngerti maknanya.”

Ia tersenyum tipis. Lalu menunduk, menahan air mata yang mulai naik di ujung mata.

 “Kamu tahu, Ko? Aku pernah bayangin kalau suatu hari kamu akan datang... bukan untuk minta maaf, tapi untuk berbagi. Dan ternyata, kamu datang malam ini. Dengan cara yang bahkan lebih dalam dari yang bisa aku duga.”

Chiko mengangguk. Matanya basah, tapi ia biarkan.

 “Aku cuma mau kamu tahu... bahkan di saat paling sulit, kamu tetap jadi alasanku bertahan. Dan kalau suatu hari kamu baca semua yang ada di dalam itu, kamu akan ngerti… bahwa cinta itu nggak selalu harus tinggal. Tapi bisa tetap tumbuh, meski dari jauh.”

Chika menggenggam flashdisk itu, menempelkannya di dada, dekat dengan detak jantungnya sendiri.

“Aku akan jaga ini, Ko. Bukan sebagai milik, tapi sebagai warisan rasa yang nggak akan pernah aku sesali.”

Mereka berdiri di sana. Tidak lagi sebagai pasangan yang patah, tapi sebagai dua orang yang telah melewati badai… dan memutuskan untuk tetap saling menghormati jejaknya.

Malam itu, Chiko menyerahkan bagian paling jujur dari hidupnya—dan Chika, dengan hati yang telah utuh kembali, menerimanya tanpa syarat.

----

Langit Bandung masih berwarna abu muda. Daun-daun kenanga yang mulai gugur membentuk pola tak sengaja di sepanjang trotoar. Chika dan Chiko berjalan berdampingan. Tak saling menggenggam, tapi seakan dunia tahu—jarak di antara mereka tak lagi sejauh dulu.

Chiko:

“Kamu masih sering nulis di blog kamu?”

Chika:

“Iya. Tapi sekarang tulisannya lebih banyak tentang menerima diri… bukan lagi tentang kehilangan.”

Chiko tersenyum. Tangannya masuk ke saku jaket, menahan udara dingin yang menggigit lembut.

Chiko:

“Kadang aku baca. Diam-diam.”

Chika melirik cepat. “Yang tentang kamu?”

Chiko:

“Hmm… yang paling ngena justru bukan yang tentang aku. Tapi yang kamu tulis waktu kamu cerita soal bangun pagi dan tetap percaya, meski hati kamu habis semalaman menangis.”

Chika terdiam. Lalu mengangguk pelan.

Chika:

“Aku belajar dari kamu, Ko. Kamu selalu tegar, tapi aku tahu… kamu juga pernah rapuh.”

Chiko:

“Aku masih rapuh, Chik. Tapi sekarang, aku nggak mau sembunyi lagi.”

Mereka berhenti di bawah pohon kenanga yang sama—tempat dulu Chika pernah duduk sendiri, menulis puisi tentang kehilangan. Sekarang, dia berdiri dengan Chiko, dan hatinya tidak sepi.

Chiko:

“Aku pengen kamu tahu… isi flashdisk itu bukan cuma tulisan. Itu hidupku. Yang aku jalani sambil menahan rindu yang nggak pernah sempat aku akui.”

Chika:

“Dan sekarang?”

Chiko menoleh, matanya teduh.

Chiko:

“Sekarang aku pengin jalanin hari-hari, sambil lihat kamu nulis lagi. Bukan tentang kehilangan, tapi tentang tumbuh.”

Chika menggenggam scarf-nya. Matanya berkaca, tapi kali ini bukan sedih.

Chika:

“Kita nggak harus buru-buru. Tapi kalau kamu tetap di sini, mungkin aku bisa mulai lagi… bukan dari awal, tapi dari tempat yang benar.”

Chiko:

“Aku di sini, Chik. Nggak ke mana-mana.”

Mereka duduk di bangku taman kecil dekat pohon kenanga. Tak banyak bicara. Hanya membiarkan pagi mengisi ruang di antara mereka.

Dan saat seekor kupu-kupu hinggap sebentar di jemari Chika, mereka tahu—semesta pun setuju bahwa yang pelan-pelan… kadang justru yang paling pasti.

---

---

Yang Kembali Bukan Hanya Langkah, Tapi Jiwanya Juga

Malam di Bandung tidak pernah benar-benar sepi.

Angin membawa bau kopi dari sudut-sudut warung, dan cahaya kuning dari lampu jalan menari di genangan air hujan yang belum kering. Di sebuah taman kecil dekat perpustakaan pusat, Chika menunggu. Ia tak tahu untuk apa, hanya merasa malam ini ada sesuatu yang hendak datang.

Dan datanglah Chiko.

Tidak dengan jaket hitamnya yang dulu. Kini ia datang dengan wajah yang lebih tenang, langkah yang lebih pasti, dan mata yang menatap bukan sekadar melihat.

"Chika," ia memanggil.

Chika berdiri. Perlahan. Seperti jiwanya butuh waktu untuk meyakini bahwa ini bukan mimpi.

"Aku di sini, bukan hanya untuk minta maaf... tapi untuk menyatakan bahwa aku ingin menetap."

Chika terdiam. Matanya membesar, tapi bibirnya tak bersuara.

"Aku tahu aku pernah jadi alasan kamu menangis. Aku tahu aku pernah jadi cerita yang kamu tangisi diam-diam. Tapi izinkan aku sekarang menjadi alasan kamu tersenyum. Bukan sesekali. Tapi setiap hari. Selama Tuhan izinkan."

Ia melangkah satu tapak lebih dekat.

"Aku sudah melewati malam-malam penuh tanya. Tapi jawabannya selalu mengarah padamu. Aku ingin membangun, bukan sekadar kembali. Aku ingin jadi rumah, bukan hanya persinggahan. Chika, kalau kamu izinkan... aku ingin jadi laki-laki yang kamu genggam tangannya saat kamu berdiri di podium S2 kelak."

Chika menangis. Tapi kali ini bukan karena luka.

Air matanya adalah pelukan dari langit kepada hatinya yang lama menunggu.

"Chiko..." ia memanggil namanya, seolah nama itu adalah bait puisi paling indah yang ingin ia ucap tiap pagi.

"Aku enggak pernah melupakan kamu. Bahkan saat aku terlihat kuat dan melangkah jauh… di dalam doa-doaku, aku masih menyebut namamu. Tapi kali ini… kalau kamu datang bukan untuk pergi lagi—aku siap berjalan bersama."

Chiko mendekat, menggenggam tangan Chika yang dingin oleh malam.

"Mulai sekarang, aku akan tinggal. Tidak di sebelahmu saja. Tapi di setiap rencana yang ingin kamu wujudkan. Di setiap tangis yang ingin kamu bagi. Di setiap harapan yang ingin kamu doakan."

Dan di bawah langit Bandung yang kembali cerah setelah hujan panjang, dua jiwa yang dulu pernah retak, kini memilih untuk menyatu. Bukan karena mereka tidak pernah salah. Tapi karena mereka akhirnya cukup dewasa untuk memilih… untuk menetap… untuk saling mengusahakan.

---

---

“Menerima Diri, Menerima Luka”

Langit Bandung siang itu menggantung mendung tipis, seperti tirai perak yang meneduhkan, seolah Tuhan sengaja menyaring cahaya agar lebih lembut menyentuh bumi.

Di dalam aula kampus yang didekor dengan bunga-bunga kering dan kain krem pastel yang menjuntai anggun, Chika melangkah perlahan. Gaun semi formal berwarna dusty pink membalut tubuh mungilnya, dipadukan dengan blazer tipis berwarna nude. Rambutnya disanggul rendah, sederhana namun elegan, menyisakan beberapa helaian yang jatuh manis di sisi wajah. Tak banyak riasan, hanya sentuhan warna hangat di pipi dan mata yang jujur.

Para peserta mulai memenuhi kursi. Beberapa dosen duduk di barisan depan. Namun di antara wajah-wajah yang tak asing, ada satu pasang mata yang membuat waktu berhenti sejenak bagi Chika.


Chiko.

Ia duduk di baris ketiga, mengenakan kemeja biru langit dan jaket abu yang sudah sering Chika lihat di masa lalu. Pandangannya tenang, tapi mata itu... masih menyimpan langit yang sama. Langit tempat banyak harapan pernah digantungkan, lalu jatuh perlahan.

Chika menarik napas panjang. Ini bukan tentang Chiko. Ini tentang dirinya sendiri—yang sedang ia peluk kembali, dengan penuh keberanian.

Saat mikrofon diberikan padanya, suara Chika terdengar lembut namun jelas, seperti aliran sungai kecil yang tahu ke mana ia harus mengalir.

Chika:

"Dulu aku pikir penerimaan diri itu seperti menyalakan lilin di ruangan gelap. Tapi ternyata... kadang kita justru harus duduk dulu dalam kegelapan itu, mengenal bentuk luka dan bayangannya, sebelum kita bisa benar-benar menyalakan cahaya dari dalam."

Para peserta menyimak, tapi Chika tahu satu pasang mata di antara mereka menatap lebih dalam—bukan hanya pada dirinya hari ini, tapi pada jejak yang pernah mereka lalui bersama.

Chika (lanjut):

"Aku pernah menolak bagian-bagian diriku. Yang terlalu sensitif. Yang terlalu rindu. Yang terlalu berharap. Tapi perjalanan mengenal diri ternyata bukan soal mengubah apa yang ada… melainkan berani bilang: 'Aku tetap layak dicintai, bahkan ketika aku belum utuh.'"

Sekilas, matanya bertemu dengan Chiko. Ia tidak menunduk. Tidak menjauh. Tidak menghindar.

Ia hanya tersenyum.

Sebuah senyum yang tak berusaha menjawab apa pun. Tapi cukup untuk mengatakan: “Aku melihatmu, Chika. Dan aku bangga.”

Dan untuk pertama kalinya, Chika tahu... mungkin ini bukan akhir. Tapi juga bukan luka yang belum selesai.

Ini... awal dari dirinya yang baru.

---

“Langit Sore dan Sebuah Percakapan yang Terlambat”

Setelah seminar berakhir dan peserta mulai beranjak meninggalkan aula, Chika menyendiri sejenak di taman kecil di sisi gedung kampus. Angin sore menyapu lembut rambut panjangnya yang digerai sederhana. Gaun pastel yang ia kenakan—lembut warna lavender—jatuh anggun membingkai sosoknya yang teduh. Ia terlihat seperti potret ketenangan, namun di dalamnya, hatinya masih bergelombang.

Suara langkah pelan menghampiri. Tak ada suara memanggil, tapi Chika tahu… detak kaki itu menyimpan kenangan yang dulu pernah tumbuh diam-diam di hatinya.

Chiko:

"Boleh duduk?"

Chika menoleh perlahan. Ia mengangguk, tanpa banyak kata. Ada senyum kecil di bibirnya—senyum yang tidak bertanya, hanya menyambut.

Chiko: (duduk di sampingnya, menjaga ruang yang cukup)

"Aku tadi dengar... semua. Kamu ngomong soal menerima diri sendiri. Tentang luka, tentang pelukan yang nggak harus datang dari orang lain. Aku... ngerasa kayak kamu lagi bicara ke versi lamaku."

Chika: (menatap ujung jemarinya, lalu pelan menoleh ke Chiko)

"Mungkin memang itu juga buat kamu. Aku dulu nulis surat yang nggak pernah kukirim. Kalimat-kalimat itu tumbuh dari luka, tapi juga dari cinta yang nggak minta apa-apa."

Chiko: (menahan napas sebentar)

"Kamu... marah sama aku, waktu itu?"

Chika: (pelan, tapi pasti)

"Nggak. Aku cuma... kecewa karena kita sama-sama bungkam. Kita tahu, tapi nggak ada yang cukup berani. Tapi kamu nggak salah, Chik. Kita cuma terlambat jadi jujur."

Chiko:

"Kamu tahu nggak? Waktu kamu tadi berdiri di depan orang banyak, mataku ngelihat cewek yang berbeda. Bukan karena penampilanmu, bukan karena kata-kata indahmu… tapi karena kamu utuh. Dan aku sadar... aku masih punya bagian dari perasaan itu."

Chika menahan napas. Tapi kali ini, dadanya tidak sesak.

"Aku senang kamu datang. Tapi aku nggak lagi menunggu kamu kayak dulu. Aku sudah memeluk diriku yang dulu terlalu berharap."

Chiko: (mengangguk pelan, menatap senja di langit barat)

"Kalau suatu hari, takdirnya berputar lagi ke arah kita… kamu masih percaya sama cinta yang dulu itu?"

Chika: (tersenyum sendu)

"Kalau itu cinta yang dari Tuhan, dia nggak akan ke mana. Tapi sekarang, aku belajar untuk nggak memaksa musim mekar sebelum waktunya."

Mereka duduk bersama dalam diam, yang tak lagi menyakitkan. Sore itu mengatup perlahan, seperti halaman buku yang akan dilanjutkan esok hari—dengan atau tanpa nama yang sama di dalamnya.

--



[Jurnal  Malam Hari - Senja Dan Seorang Lelaki dari Masa Lalu"]

Malam ini aku menulis dengan tangan yang tidak gemetar, meski hatiku masih menyimpan getarannya sendiri. Ada sesuatu yang aneh tapi menenangkan setelah bertemu dia—Chiko.

Hari ini aku berbicara di depan banyak orang. Tentang menerima diri sendiri. Tentang luka yang tidak harus disembuhkan oleh tangan orang lain. Tentang menjadi rumah bagi diri sendiri, sebelum kita berharap ada yang mengetuk pintunya.

Dan dia datang.

Chiko…

Laki-laki yang dulu kukira akan berjalan bersamaku dalam musim panjang itu. Tapi ternyata, ia hanya singgah sebentar di teras hatiku—cukup lama untuk membuatku mengenal arti kehilangan yang lembut.

Tadi sore, kami duduk di taman. Ia menatapku dengan mata yang dulu sering kucari di tengah keramaian. Tapi kali ini, aku tidak mencarinya. Ia datang tanpa kupanggil, dan aku tidak melangkah mundur.

Kami bicara.

Tentang masa lalu yang sunyi. Tentang kata-kata yang dulu tak sempat dikatakan. Tentang perasaan yang tak pernah sempat tumbuh sepenuhnya. Tapi anehnya, tidak ada luka yang menganga. Hanya ada bekas—seperti lukisan air yang telah kering, tapi warnanya masih samar di kertas.

Chiko bilang, aku terlihat utuh. Dan aku tahu, itu karena aku sudah belajar untuk tidak menunggu tangan orang lain menyusun kepinganku.

Malam ini, aku tidak menulis surat untuknya. Aku menulis untuk diriku sendiri—untuk Chika yang pernah berharap terlalu keras, mencintai terlalu dalam, dan terluka dalam diam.

Terima kasih, Chika. Karena kamu tetap memilih hidup, meski cinta yang kamu doakan tidak datang dengan cara yang kamu mau.

Dan jika esok hari cinta itu datang kembali… biarlah ia mengetuk pintu, bukan mengguncangnya.

Aku siap. Tapi bukan lagi sebagai gadis yang menunggu.

Aku siap sebagai perempuan yang berdiri—dalam damai, dalam cinta, dalam pengampunan.

Salam hangat dari hati yang tidak lagi patah,

Chika Wijaya

--

Notifikasi:

1 pesan dari Chiko.

---

[Malam hari, kamar Chika — suasana hening dan lembut]

Chiko:

"Chika… aku sempat nulis pesan ini sejak siang tadi, tapi baru berani kirim sekarang. Seminar kamu tadi… ngena banget."

Chiko:

"Aku duduk di deretan belakang, nyaris nggak bernapas. Kamu bicara tentang menerima diri sendiri—dan entah kenapa, setiap kata yang kamu ucapkan, rasanya seperti kamu bicara langsung ke aku. Bukan sebagai pembicara, tapi sebagai… kamu yang dulu pernah nangis diam-diam di sudut halaman gereja."

Chiko:

"Aku lihat kamu berdiri dengan anggun dan tenang. Warna pastel yang kamu pakai, senyum kecilmu, caramu narik napas sebelum ngomong… itu semua bikin aku sadar satu hal: kamu sudah bertumbuh jadi perempuan yang sangat kuat. Dan jujur aja, aku bangga."

Chiko:

"Ada banyak hal yang nggak sempat kita selesaikan, Chik. Tapi hari ini aku sadar, mungkin bukan untuk diselesaikan… melainkan untuk dimengerti, perlahan."

Chiko:

"Kalau kamu nggak keberatan… aku pengen ngobrol. Bukan untuk membalik waktu, tapi untuk saling mengerti dari titik yang baru. Kita nggak harus jadi apa-apa. Tapi aku rasa, kita masih bisa saling dengar, kan?"

--

Chika membaca pesan itu lama, menatap tiap kalimat seperti sedang menyusuri jalan kecil yang dulu pernah ia lewati bersama seseorang yang pernah sangat ia jaga dalam diam.

Matanya hangat, tapi senyumnya tenang. Ia memejamkan mata sejenak, lalu mengetik perlahan....

Chika:

"Halo, Chiko…"

"Terima kasih ya… udah datang. Aku sempat ngerasa jantungku berhenti waktu lihat siluet kamu dari kejauhan. Tapi ternyata, hatiku belajar sesuatu hari ini: beberapa hal bisa tetap ada… walau nggak lagi sama."

"Aku nggak nyangka kamu dengerin semuanya. Tapi kalau iya, mungkin… kamu tahu kenapa aku pernah diam begitu lama. Karena kadang, luka itu tumbuh di tempat yang nggak bisa dijelaskan pakai kata."

"Ngobrol? Boleh. Asal kita bawa payung masing-masing. Biar kalau hujannya datang lagi, kita tetap bisa jalan… walau nggak harus saling berteduh."

"Aku nggak tahu ini akan ke mana. Tapi kalau kamu datang dengan hati yang tenang, aku akan buka pintu… perlahan."

"Semoga kamu pulang tadi dengan hati yang ringan. Bandung malam ini wangi tanah basah, kayak kenangan yang pelan-pelan diajari berdamai."

---

Kalimat itu dikirim.

Singkat. Tapi cukup untuk membuat jendela kecil di hati yang dulu pernah tertutup… kini perlahan terbuka kembali.

---


[Dua tempat berbeda, dua hati yang saling terhubung diam-diam]

Di kamar kos Chika — Bandung, pukul 22.45

Hujan belum juga reda. Di meja kayu kecil dekat jendela, Chika menyandarkan kepalanya di atas lengan. Matanya menatap notifikasi pesan yang baru terkirim tadi, dengan titik-titik pikir yang bergulir di benaknya.

Dalam benaknya, suara Chiko membisik pelan: "Ngobrol yuk, kalau kamu berkenan."

Chika menghela napas. Bukan berat, tapi panjang. Seperti seseorang yang sedang belajar menerima bahwa cinta itu bisa tumbuh meski tak lagi dipelihara setiap hari. Dan barangkali, pesan tadi bukan tentang memulai dari awal… tapi tentang memaknai ulang jejak yang dulu sempat mereka lewati bersama.

Perlahan, ia menutup ponsel. Tapi senyumnya belum juga padam.

---

Di sudut kamar kontrakan Chiko — malam yang sama

Chiko duduk di lantai, punggungnya bersandar ke dinding. Pesan balasan dari Chika baru saja selesai dibaca untuk kelima kalinya. Ia tidak membalas. Tidak langsung.

Tapi tangannya terulur membuka jendela, membiarkan angin malam masuk, membawa aroma tanah basah yang disebutkan Chika tadi.

Ada rasa yang sulit dijelaskan—campuran lega, rindu, dan sesuatu yang seperti harapan… tapi belum ingin diucapkan. Karena dia tahu, kali ini segalanya harus pelan. Harus hati-hati. Harus utuh.

Dan di antara hening itu, hatinya berbisik: "Mungkin... kita nggak benar-benar selesai. Hanya sedang istirahat sejenak sebelum mulai menulis bab berikutnya."

---

Mereka tak saling membalas lagi malam itu.

Tapi keduanya sama-sama tersenyum kecil, sambil memejamkan mata.

Karena tahu… kadang, yang paling dalam tak perlu diburu jawabannya. Cukup direnungi. Dihayati. Didoakan.

--- 

[ Kafe kecil di dekat kampus, senja merayap pelan]

Langit Bandung sore itu mewarnai kaca-kaca jendela dengan nuansa oranye lembut. Kafe itu tak terlalu ramai. Lampu-lampu gantung mulai menyala satu per satu, menggantung seperti bintang kecil yang sedang turun dari langit.

Chika duduk di pojok dekat jendela, dengan buku catatan dan cangkir cokelat hangat. Ia tak tahu kenapa ia memilih tempat ini. Hanya terasa nyaman, seperti sedang menunggu sesuatu… atau seseorang.

Dan benar saja.

Chiko datang.

Tanpa pesan. Tanpa aba-aba. Hanya mata yang saling bertemu, sejenak diam, lalu senyum kecil yang menggantung seperti embun di ujung pagi.

Chiko: (menarik kursi pelan)

"Kamu kelihatan... tenang hari ini."

Chika: (mengangguk, menatap jendela)

"Aku belajar menerima diriku kemarin... dan hari ini, aku mulai belajar menerima bahwa beberapa orang akan tetap tinggal, dengan cara yang baru."

Chiko: (terdiam, lalu tersenyum tipis)

"Aku nggak tahu harus jawab apa. Tapi aku tahu aku senang ada di sini. Sama kamu. Sekarang."

Chika: (menoleh perlahan, sorot matanya dalam tapi tenang)

"Aku juga senang kamu datang. Bahkan tanpa bilang-bilang."

Mereka tertawa kecil. Bukan tawa lebar. Tapi hangat. Nyaman.

Chiko: (menatap jari-jarinya yang menyentuh sisi gelas kopi)

"Aku nonton kamu kemarin bukan karena seminar. Tapi karena kamu. Aku mau tahu... apakah hatimu masih bicara dengan cara yang sama."

Chika: (menutup bukunya, lalu menatap Chiko penuh ketenangan)

"Hatiku masih bicara. Tapi sekarang lebih pelan. Lebih sabar. Nggak lagi menuntut harus didengar, tapi tetap berharap... ada yang bersedia duduk dan mendengarkan."

Chiko: (suaranya pelan, tapi penuh makna)

"Kalau kamu mau... aku bisa jadi orang itu. Nggak janji tiap hari. Tapi kalau kamu kasih ruang, aku mau belajar ngerti isi kepalamu... dan hatimu."

Chika: (senyum perlahan, seperti fajar yang malu-malu datang)

"Kita mulai dari hari ini, ya? Duduk. Ngobrol. Nggak buru-buru. Kayak sore ini."

Dan sore itu menjadi babak baru.

Bukan tentang balikan.

Bukan tentang status.

Tapi tentang keberanian membuka hati lagi… dengan cara yang lebih dewasa, lebih lembut, dan lebih sadar akan makna setiap pertemuan.

---

[Catatan Malam Hari — Setelah Pertemuan di Kafe]

Malam di kamar Chika terasa lebih sunyi dari biasanya. Tapi bukan sunyi yang kosong. Lebih seperti jeda yang damai. Di sisi meja belajarnya, buku catatan yang tadi ia bawa dari kafe terbuka, halaman baru mulai ditulis dengan tinta yang mengalir lembut.

"Untuk yang hadir dengan cara paling diam..."

tulisnya pelan, pena bergerak seperti menari.

"Aku nggak tahu sejak kapan aku mulai bisa melihatmu tanpa luka. Tapi sore tadi, ketika kita duduk berdua, aku sadar... hatiku tak lagi menggenggam terlalu erat masa lalu. Mungkin karena kamu juga tak lagi menjauh dengan ketakutan."

"Chiko, terima kasih sudah datang. Bukan cuma ke seminar itu, tapi ke ruang tenang yang mulai aku bangun di dalam diriku. Mungkin ini bukan awal yang romantis. Tapi rasanya... nyata. Dan aku menyukai kenyataan ini. Pelan-pelan, aku belajar menyambutmu, bukan sebagai seseorang yang dulu menyakiti, tapi sebagai seseorang yang hari ini... memilih duduk di sampingku dengan tenang."

Ia menutup catatan itu dengan senyum kecil. Tidak tahu apakah tulisan itu akan dikirimkan atau hanya akan disimpan. Tapi malam ini, Chika merasa damai.

Dan jauh di tempat lain, Chiko memandangi langit yang sama. Ada pesan tak terucap yang diam-diam saling dipahami.

---- 

[Pertemuan Tanpa Janji — Di Perpustakaan Kota Bandung]

Chika tidak menyangka akan bertemu Chiko lagi secepat ini.

Ia datang ke perpustakaan hanya untuk mencari referensi buku sastra dan sekadar menyendiri di antara rak-rak tua yang tenang. Mengenakan sweater pastel dan celana bahan yang longgar, rambutnya terurai dengan ikat sederhana. Hari itu, ia ingin jadi versi dirinya yang paling sederhana dan jujur. Tak ada seminar, tak ada panggung, hanya lembar-lembar buku yang ingin dia selami.

Tapi takdir punya cara lembut mengantar seseorang datang, bahkan ketika kita tak menunggunya.

"Chika?" suara itu menyapa dari sela-sela rak.

Ia menoleh.

Dan di sana, berdiri sosok yang kini sudah tidak lagi asing. Tapi juga belum terlalu dekat untuk didefinisikan.

Chiko.

"Lagi cari apa?" tanyanya pelan.

"Lagi cari sunyi," jawab Chika, separuh bercanda, separuh benar.

Chiko tertawa kecil. "Aku juga. Tapi ternyata malah nemu kamu."

Mereka duduk di meja baca sudut perpustakaan yang sepi, ditemani cahaya kuning temaram dari lampu meja.

Chiko: "Aku belum bisa lupa caramu ngomong di seminar itu. Tentang menerima diri sendiri… kamu kelihatan sangat damai. Tapi aku tahu itu bukan karena kamu nggak pernah terluka."

Chika: (tersenyum tipis) "Damai itu bukan berarti luka hilang, Chik. Kadang cuma berarti... aku udah berhenti menggaruknya."

Chiko: "Kalau aku... masih suka nyari-cari bekas luka. Mungkin karena aku takut melangkah lagi, takut ngulangin."

Chika: (menatapnya dalam, suara lembut) "Kadang, kita nggak butuh sembuh total buat mulai melangkah. Kadang, yang kita butuh cuma seseorang yang mau berjalan bareng kita. Dengan luka yang belum selesai pun... kita tetap bisa saling jaga."

Hening. Tapi hening yang tak membuat canggung.

Ada jeda di antara mereka, seperti titik koma yang belum selesai, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa cerita ini... belum usai.

---

[Bab: Membangun Ulang dengan Pelan-Pelan]

Sore telah berubah menjadi senja yang tenang. Di sudut perpustakaan tua, cahaya matahari tak lagi menyala terang, melainkan merembes lembut seperti suara doa yang dipanjatkan diam-diam. Di antara bayang rak buku yang sunyi, Chiko dan Chika duduk—masing-masing membawa kenangan yang pernah retak, dan hati yang kini ingin berhenti berlari.

Chiko: (menatap Chika perlahan, dengan sorot mata yang tak ingin melukai)

"Aku tahu... aku bukan lelaki yang pandai menjelaskan isi hati. Kadang, aku diam bukan karena tak peduli. Tapi karena aku takut... kata-kataku salah arah. Aku takut menyentuh luka yang belum sembuh. Takut jadi badai yang mengacaukan langitmu yang sedang belajar cerah."

Chika: (menunduk sesaat, lalu menatap keluar jendela, ke langit yang perlahan ungu)

"Dulu aku ingin kamu bisa membaca aku seperti puisi yang tak perlu dijelaskan. Aku menaruh harapanku di tanda baca, berharap kamu bisa membaca jeda dan titik-titik yang kugunakan untuk menyamarkan tangis. Tapi aku lupa, kamu juga punya halaman yang tak pernah sempat kamu buka."

Chiko: (suara Chiko seperti embun yang jatuh di atas tanah kering—hampir tak terdengar, tapi terasa)

"Aku nggak ingin kita mengulang masa lalu, Chika. Aku cuma pengen... pelan-pelan belajar berjalan di sisimu lagi. Bukan sebagai kekasih masa silam, tapi sebagai seseorang yang mau mendengar ceritamu yang baru. Yang mau membacamu tanpa mengira-ngira lagi."

Chika: (tersenyum samar, suaranya seperti kelopak bunga yang baru belajar mekar setelah musim dingin terlalu lama tinggal)

"Mungkin... aku juga ingin mengenal kamu yang sekarang. Kamu yang sudah berani datang, meski tahu aku pernah jadi cermin yang retak karena kehadiranmu. Tapi sekarang... aku bukan cermin yang marah. Aku sedang belajar menerima pantulan apapun yang datang, termasuk kamu."

Chiko: (mata Chiko menghangat, seolah ada lagu lama yang pelan-pelan terputar dalam dirinya)

"Aku pengen kita mulai dari obrolan sederhana. Tentang kopi, tentang buku yang kamu suka, tentang hujan yang kamu rindukan. Aku nggak minta kamu kasih ruang besar. Tapi kalau kamu bersedia, izinkan aku duduk di beranda hatimu, diam-diam, dan menunggu kamu menyapaku lagi."

Chika: (mata Chika berkabut sebentar, tapi senyumnya jernih seperti sungai kecil di kaki gunung—murni dan penuh harap)

"Kamu tahu... aku pernah menutup pintu rapat-rapat. Tapi ternyata pintu itu cuma terbuat dari tirai tipis yang bergoyang setiap kamu lewat dalam pikiranku. Mungkin... memang tidak perlu dibuka lebar-lebar. Cukup kau ketuk dengan sabar. Mungkin nanti, aku akan mengundangmu masuk."

Chiko: (mengangguk, lalu tertawa kecil. Tawa yang tidak lagi menutupi luka, tapi memeluknya dengan hangat)

"Kita mulai dari sini, ya? Dari halaman kosong yang tidak memaksa untuk diisi. Dari titik koma yang memberi kita jeda untuk bernapas. Aku nggak ingin kamu tergesa. Aku juga masih belajar merawat yang dulu pernah kutinggalkan."

Chika: (menatapnya, matanya menyimpan banyak kata yang belum ditulis, tapi senyumnya cukup untuk menggantikan semuanya)

"Pelan-pelan aja, Chik. Aku nggak janji bisa langsung terbiasa. Tapi... aku di sini. Dan aku mendengarmu."

Dan senja itu… seperti langit yang perlahan menyimpan mataharinya ke balik cakrawala, mereka pun menyimpan harapan tanpa menyatakannya dengan gegap. Tak ada pelukan. Tak ada pengakuan. Tapi kehadiran mereka—dua jiwa yang pernah lelah—bertemu dalam diam yang damai.

Bukan tentang kembali. Tapi tentang memberi kesempatan pada musim yang baru.

----

Chiko menatap Chika lama. Bukan tatapan menusuk, tapi seperti sedang menghafal wajah yang dirindukan terlalu lama. Lalu ia bicara, perlahan.

Chiko:

"Chika…

Aku nggak nyangka kamu bakal jadi sejauh ini.

Bukan cuma sejauh tempat—tapi sejauh kualitasmu.

Cara kamu berdiri tadi, cara kamu bicara di depan orang-orang…

Itu kamu. Tapi versi kamu yang paling utuh."

Ia menarik napas. Matanya sedikit berair, tapi tetap tenang.

Chiko:

"Aku baca semua yang kamu tulis.

Aku nggak pernah kasih reaksi.

Bukan karena aku nggak peduli—tapi karena aku takut reaksiku malah bikin kamu mundur lagi.

Aku tahu, kamu berjuang keras buat sembuh.

Dari luka yang sebagian aku ciptakan.

Dan jujur, itu bikin aku diem terlalu lama."

Chika hampir berkata sesuatu, tapi Chiko lebih dulu melanjutkan.

Chiko:

"Aku bukan lagi orang yang kamu butuhkan untuk menenangkan badai.

Kamu udah bisa tenangin dirimu sendiri.

Tapi ada satu hal yang ingin banget aku bilang malam ini…"

Ia melangkah lebih dekat, suaranya lebih pelan, seperti bisikan yang jujur.

Chiko:

"Aku tetap sayang kamu.

Bukan untuk menahanmu, bukan untuk membawa kamu ke masa lalu.

Tapi karena kamu pernah jadi bagian dari aku yang paling jujur.

Dan kalau suatu hari, semesta mengizinkan aku buat ada di samping kamu lagi—

bukan sebagai luka, tapi sebagai pendamping yang belajar…

aku akan anggap itu hadiah paling besar."

Ia berhenti. Menatap Chika, seakan ingin memastikan semuanya tersampaikan.

Chiko:

"Kalau tidak… aku tetap akan mendoakanmu.

Karena bahagiaku… selalu melibatkan kamu. 

---

---


Chika terdiam cukup lama. Matanya lembut, tapi berkaca-kaca. Ia tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan bicara lebih dulu. Lalu… pelan-pelan ia mulai.

Chika:

“Chiko…

Kalau kamu tahu berapa kali aku minta ke Tuhan supaya kamu percaya satu hal saja…

Bahwa aku… enggak pernah berhenti mencintaimu."

Ia tersenyum kecil, getir tapi hangat.

Chika:

"Aku tahu kamu selalu ragu.

Selalu mikir kamu cuma jadi luka buat aku.

Tapi pernah enggak… kamu lihat dari sisi ini:

Aku bertumbuh bukan karena meninggalkanmu. Tapi karena aku terus mencintaimu dalam diam.

Dan mencintai kamu—itu yang ngajarin aku banyak hal. Tentang sabar. Tentang ikhlas. Tentang tetap mendoakan seseorang yang enggak tahu mau datang atau pergi.”

Chiko terlihat seperti menahan napas. Tapi Chika tetap bicara, tenang dan penuh keteguhan.

Chika:

“Aku enggak butuh kamu jadi sempurna.

Aku cuma butuh kamu percaya… bahwa aku tetap ingin kamu ada.

Bukan untuk menyelamatkanku. Tapi cukup untuk berjalan bersamaku.

Aku enggak minta pelukan. Enggak minta janji.

Aku cuma minta keberadaan.

Yang sederhana. Tapi jujur. Dan bertahan.”

Ia menarik napas, lalu menatap mata Chiko, dalam dan penuh kasih.

Chika:

"Aku masih mencintaimu, Chiko.

Bukan karena kamu dulu pernah baik…

Tapi karena sampai sekarang, di balik semua diam dan ragu yang kamu bawa,

kamu tetap jadi rumah yang paling aku doakan."

Ia lalu tersenyum kecil, mengusap air matanya sendiri.

Chika:

“Kalau kamu nggak yakin bisa percaya hari ini,

aku sabar.

Aku bisa tunggu kamu percaya.

Karena mencintai kamu—selalu membuatku kuat.”

---

Chiko menunduk. Ia tak langsung bicara. Ada suara napas berat yang tertahan.

Tangannya mengepal di pangkuan. Matanya merah, tapi ia berusaha keras untuk tidak menangis.

Chiko:

“Kenapa kamu masih bisa sesabar itu sama aku…

Padahal aku udah berkali-kali mundur, berkali-kali ragu…

Aku pikir, kalau aku hilang, kamu bakal lebih bahagia.

Ternyata… aku yang makin hampa.”

Ia mendongak pelan. Menatap wajah Chika yang masih teduh, meski lelah.

Chiko:

“Aku takut, Chik…

Takut ngecewain kamu lagi. Takut enggak cukup jadi tempat pulang.

Aku… ngerasa kecil. Rusak. Enggak layak buat cinta yang kamu kasih terus-terusan."

Ia terdiam sebentar. Lalu tiba-tiba ia berkata pelan, nyaris seperti anak kecil yang bingung.

Chiko:

"Kenapa kamu masih mau aku ada…?"

Chika tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya tersenyum kecil, menunduk, lalu menatap Chiko dalam-dalam. Seolah berkata: “Karena kamu berarti, bahkan saat kamu merasa tidak pantas.”

Chiko mulai gemetar. Akhirnya, ia membiarkan air matanya jatuh. Ia menutup wajah dengan tangan, lalu pelan-pelan bersuara di balik tangis yang tertahan.

Chiko:

“Aku… capek terus pura-pura kuat, Chik…

Aku capek terus bilang aku baik-baik aja, padahal aku hampa.

Dan… selama ini, yang selalu ada di pikiranku… cuma kamu.”

Ia menunduk lebih dalam, lalu pelan-pelan menoleh ke Chika.

Chiko:

“Kalau kamu masih mau…

boleh enggak aku belajar percaya?

Sama kamu. Sama cinta ini.

Pelan-pelan… tapi sungguh.”

----

---

Chika tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Chiko, yang kini terlihat begitu rapuh—berbeda dari sosoknya yang selama ini dingin dan tertutup.

Dalam diamnya, Chika menggeser tubuhnya pelan, lalu membuka tangannya lebar…

Sebuah undangan yang tak membutuhkan kata.

Sebuah pelukan yang sudah lama ingin ia berikan.

Chiko tertegun.

Ia menatap pelukan itu.

Lalu, seperti anak kecil yang akhirnya pulang setelah terlalu lama hilang arah…

Ia merunduk, melangkah pelan, dan membiarkan dirinya jatuh dalam pelukan Chika.

Pelukannya erat. Ragu-ragu di awal… lalu perlahan menjadi dalam. Menyelam.

Dada Chika terasa hangat. Tubuh Chiko gemetar sedikit, menahan isak yang pecah perlahan di bahunya.

Chika memeluk lebih erat. Lembut, tapi penuh keyakinan.

Chika:

“Enggak apa-apa kalau kamu masih belajar percaya…

Aku di sini. Aku tetap di sini.”

Chiko tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk kecil dalam pelukannya.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama…

Chiko merasa… ia pulang.

Bukan ke tempat.

Tapi ke jiwa yang menerima dirinya tanpa syarat.

--

Setelah beberapa lama dalam pelukan yang tak ingin mereka akhiri, Chika mengendurkan pelukannya perlahan. Tapi tangannya masih menggenggam lengan Chiko, seakan berkata: “Jangan pergi. Bukan kali ini.”

Chiko mengangkat wajahnya. Matanya masih merah, tapi ada cahaya di sana. Bukan luka. Tapi pengharapan yang tumbuh, meski pelan.

Chiko:

“Kenapa kamu masih di sini, Chi?”

Suaranya serak. Seperti seseorang yang baru belajar percaya bahwa cinta tidak selalu pergi.

Chika tersenyum. Lembut. Seperti embun di pagi hari.

Chika:

“Karena kamu… adalah tempat yang selalu aku doakan.

Dan kamu tahu sendiri, Chik…

Aku nggak pernah main-main soal doa.”

Chiko menunduk. Tangannya menggenggam tangan Chika lebih erat, seperti akhirnya mengakui bahwa ia tak bisa terus menyangkal hal yang selama ini ingin ia percaya.

Chiko:

“Aku takut. Takut ngelukain kamu lagi… Takut aku belum layak…

Takut kamu nyesel milih bertahan di samping orang sepertiku.”

Chika menyentuh pipi Chiko. Dengan dua jari, lembut dan yakin.

Chika:

“Kalau aku nyesel, aku nggak akan nunggu sejauh ini.

Nggak akan tetap berdoa, sekalipun kamu nggak balik.

Dan Chiko…

Cinta yang aku punya, itu bukan cinta yang menuntut kamu buat sempurna.

Aku cuma minta satu hal…”

Ia menatap dalam.

“Bertumbuhlah… bersamaku. Jangan lari lagi.”

Chiko menarik napas panjang. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama…

ia merasa boleh berharap.

Chiko:

“Aku... mau belajar. Pelan-pelan. Tapi kali ini, aku mau ngelangkah…

bukan buat ninggalin, tapi buat tinggal.”

Chika mengangguk pelan.

Lalu, tanpa kata, mereka kembali berpelukan.

Kali ini… tak ada lagi rasa ragu.

---


----

Ini adalah tulisan Chiko—bukan untuk dunia, bukan untuk pembaca—melainkan untuk dirinya sendiri. Untuk perasaannya yang masih diam, dan untuk Chika… yang selalu tinggal diam-diam di antara jeda hidupnya.

---

[Tulisan Tak Diterbitkan - Chiko]

“Perempuan di Sudut Senja”

Ada sesuatu tentang dia… yang tak bisa kutulis dengan struktur biasa. Ia bukan sekadar tokoh dalam cerita, tapi jeda di antara kalimat-kalimatku yang terlalu penuh.

Namanya Chika Wijaya. Tapi aku selalu mengenalnya sebagai perempuan yang pandai mendengarkan bahkan ketika tak ada satu pun yang bicara. Ia seperti perpustakaan dalam senja: tenang, menyimpan banyak hal, tapi tak pernah memaksa siapa pun untuk membaca semua isinya.

Aku pernah membuatnya menunggu. Pernah membuatnya bingung. Dan barangkali… pernah membuatnya menangis tanpa aku tahu air matanya jatuh di halaman mana.

Tapi hari itu—di seminar kampus, ketika ia berbicara tentang menerima diri sendiri dengan utuh—aku melihat sesuatu yang tak pernah kutemukan di buku mana pun: keberanian yang dibalut kelembutan. Ia berdiri seperti bunga yang tumbuh di antara puing-puing, tak marah pada angin yang pernah membuatnya hampir patah. Ia bahkan tersenyum… kepada dunia yang dulu terlalu keras padanya.

Dan saat ia berbicara… aku merasa seperti sedang membaca kembali naskah hidupku yang penuh coretan—lalu menyadari, bahwa sebagian besar dari bagian yang berantakan itu… adalah karena aku tak pernah benar-benar belajar mendengar.

Chika bukan tentang masa lalu. Ia adalah tentang apa yang bisa terjadi… jika dua orang memilih untuk tidak saling meninggalkan, meski dunia menyarankan mereka untuk lupa.

Aku tidak tahu apakah aku akan punya cukup keberanian untuk membiarkan tulisan ini dibaca olehnya. Tapi aku tahu, ada sesuatu dalam diriku yang ingin terus mengenangnya—bukan sebagai kenangan, tapi sebagai seseorang yang… suatu hari, mungkin ingin kuajak berjalan pelan-pelan, lagi.

Tidak untuk mengulang. Tapi untuk menyulam—dari serpih yang pernah pecah, menjadi kain baru yang tak tergesa.

Untuk Chika, perempuan di sudut senja…

Yang membuatku ingin menulis dengan jujur, meski hanya sekali ini saja.

---

[Halaman yang Tak Pernah Dimaksudkan untuk Dibaca]

Temaram sore di perpustakaan. Hujan baru saja reda. Udara mengambang pelan-pelan di antara rak-rak buku dan aroma kayu tua.

Chika tak sengaja kembali ke ruang baca yang sama—tempat ia dan Chiko duduk beberapa minggu lalu. Ada secarik kertas tertinggal di sudut meja, terlipat rapi seperti seseorang meletakkannya dengan penuh ragu. Entah kenapa, tangannya terulur, membuka pelan, seperti digerakkan oleh sesuatu yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu.

Mata Chika menyusuri tulisan tangan itu. Awalnya perlahan. Lalu jantungnya mulai mengikuti irama huruf-huruf yang seolah sudah hafal cara mengetuk kenangan.

Namanya Chika Wijaya. Tapi aku selalu mengenalnya sebagai perempuan yang pandai mendengarkan bahkan ketika tak ada satu pun yang bicara...

Ia berhenti sejenak. Helaan napasnya terdengar di antara sunyi.

Kalimat demi kalimat… seperti anak-anak panah yang lembut, tapi tepat. Bukan untuk menyakiti, melainkan untuk membuka. Seperti hujan yang tak bermaksud membasahi, tapi membasuh.

Dan ketika matanya sampai pada kalimat terakhir—“untuk Chika, perempuan di sudut senja…”—ia menutup surat itu perlahan, merapikannya kembali, seakan tak ingin menyentuh sesuatu yang begitu rapuh namun begitu benar.

Ia tidak menangis. Tapi ada kilau yang berkaca di ujung matanya—bukan sedih, bukan bahagia. Melainkan campuran getir dan hangat yang hanya bisa dipahami oleh hati yang pernah terluka dan kini… pelan-pelan disembuhkan.

Chika duduk diam di sana. Lalu, seperti menjawab bisu yang berputar di benaknya, ia mengeluarkan buku catatannya sendiri. Menulis perlahan, dengan tinta yang hampir tak terlihat.

---

[Tulisan Balasan - Chika (dalam buku hariannya)]

Kamu nggak tahu aku baca tulisan itu, kan? Tapi nggak apa. Aku cuma mau bilang…

Mungkin aku dulu marah karena aku berharap kamu tahu segalanya tanpa aku bilang. Tapi ternyata, bahkan bahasa yang paling sunyi pun butuh diterjemahkan dengan kesediaan hati.

Tulisanmu… bukan sekadar catatan. Tapi semacam cermin, yang memantulkan kembali wajahku yang pernah hilang di antara kabut. Wajah yang ingin dicintai… tanpa perlu disalahpahami.

Aku nggak janji apa-apa. Tapi… kalau kamu tulus ingin mengenalku yang hari ini, izinkan aku juga mengenal kamu—dari kata-kata yang tak kau ucapkan, tapi kau tulis dengan seluruh keberanianmu.

Terima kasih… untuk tidak pergi sepenuhnya.

Dan untuk akhirnya… melihatku.

----

 [Senja yang Tidak Menuntut Jawaban]

Tempat duduk mereka masih sama. Perpustakaan itu tetap sunyi, hanya suara halaman yang dibalik dan langkah kecil mahasiswa yang berlalu. Di luar, langit seperti lukisan pastel yang dilunturkan air hujan.

Chika duduk lebih dulu hari itu. Dengan jaket tipis warna salem yang menggantung di bahunya, dan rambutnya diikat separuh ke belakang. Wajahnya teduh, seperti baru saja menata ulang satu dunia di dalam dirinya.

Chiko datang tanpa suara. Seperti biasa. Tapi ada sesuatu di matanya yang lain—bukan gelisah, bukan ragu, melainkan diam yang tahu lebih banyak dari yang dikatakannya.

Ia duduk di samping Chika, tanpa bicara.

Beberapa detik, lalu menit… hanya ada keheningan yang tidak canggung. Seperti dua musim yang berdampingan tanpa saling menyela.

Chiko: (datar, tapi ada sesuatu di balik suaranya)

"Aku nggak nyari tulisan itu… tapi aku rasa kamu nemu, ya?"

Chika tersenyum kecil. Tidak membantah. Tidak juga mengiyakan. Hanya memainkan ujung pulpen di tangannya.

Chika: (pelan, matanya menatap ke luar jendela)

"Kamu nulis pakai rasa yang dalam banget. Aku bisa ngerasainnya."

Chiko mengangguk. Ada ketenangan di sana, yang tak ia sembunyikan lagi.

Chiko:

"Aku nulis itu... bukan buat dibaca siapa-siapa. Tapi ternyata, kamu sampai juga ke sana. Mungkin karena... hatimu tahu jalan pulangnya."

Chika menoleh pelan. Matanya jernih. Tak lagi menyembunyikan luka, tapi juga belum membuka pintu selebar-lebarnya.

Chika:

"Kadang aku pikir… kita ini dua orang yang saling memanggil tanpa suara. Tapi entah kenapa, semesta terus nyari cara supaya kita nggak benar-benar kehilangan arah."

Chiko: (tersenyum tipis)

"Mungkin semesta pun sayang sama kita. Tapi dia juga tahu, kita perlu waktu buat belajar saling menggenggam, bukan sekadar saling merindukan."

Diam lagi. Tapi kali ini bukan sunyi—melainkan keintiman yang tak tergesa.

Chika membuka bukunya, menyodorkannya sedikit ke arah Chiko. Di salah satu halaman, ada catatan kecil yang ia tulis di bawah tulisan Chiko yang ia salin ulang:

 "Untukmu yang tak sepenuhnya hilang,

aku di sini… bukan untuk bertanya ke mana kau pergi,

tapi untuk duduk—dan membiarkan langkahmu perlahan kembali."

Chiko membaca perlahan. Tangannya gemetar sedikit. Tapi ia tidak menutupi. Tidak menunduk. Ia menatap Chika.

Chiko: (hampir berbisik)

"Kalau kamu bersedia… aku ingin terus nulis. Tentang kamu, tentang kita. Tapi bukan sebagai kenangan. Sebagai sesuatu yang pelan-pelan tumbuh. Mungkin bukan cinta yang dulu. Tapi sesuatu yang bisa kita rawat bersama—tanpa terburu-buru."

Chika tidak menjawab dengan kata. Tapi sorot matanya menjelma anggukan lembut. Senyumnya seperti lampu kecil di malam panjang: tidak silau, tapi cukup untuk menerangi jalan pulang.

Dan mereka duduk begitu saja. Tidak sebagai sepasang. Tapi sebagai dua manusia yang memilih tidak pergi, tidak saling menyakiti. Dua jiwa yang duduk di antara buku, senja, dan kesempatan kedua… yang tumbuh perlahan.

--

[Obrolan yang Tidak Lagi Memburu Jawaban]

Perpustakaan sudah mulai lengang. Cahaya sore menjelma temaram keemasan yang menyentuh lantai kayu tua. Di antara tumpukan buku dan waktu yang melambat, Chika dan Chiko duduk dengan dua gelas kopi yang sudah dingin separuhnya.

Chiko: (menatap gelasnya, lalu lirih bertanya)

"Sekarang kamu lagi suka buku apa?"

Chika: (tersenyum pelan, matanya memandangi rak buku di depan mereka)

"Aku lagi baca ulang The Little Prince. Lucu ya, kita bisa tumbuh... tapi tetap butuh buku-buku kecil yang ngingetin kita caranya merasa."

Chiko: (mengangguk, wajahnya melunak)

"Buku yang bikin hati kayak nyala lilin kecil, ya? Nggak besar, tapi cukup buat hangat."

Chika: (melirik dengan senyum kecil)

"Kamu sendiri? Masih suka baca artikel-artikel jurnal yang bikin aku pusing itu?"

Chiko: (tertawa ringan)

"Masih... tapi sekarang aku juga mulai suka dengerin podcast. Yang bahas tentang… relasi, luka batin, dan cara sembuhnya. Aku nggak nyangka, ternyata ngerawat diri itu bisa sesederhana dengerin suara orang lain yang jujur."

Chika: (terdiam sejenak, lalu berbisik)

"Kadang yang kita butuh bukan solusi, ya. Tapi suara yang nggak menghakimi."

Chiko: (menatapnya, lama)

"Dan kehadiran yang nggak buru-buru nyuruh sembuh."

Sunyi mengisi celah antar kalimat. Tapi bukan hampa. Sunyi yang manis. Sunyi yang terasa seperti pelukan jarak jauh.

Chika:

"Kalau lagu, kamu lagi dengerin apa akhir-akhir ini?"

Chiko: (tersenyum samar)

"Ada satu lagu lama yang entah kenapa tiba-tiba muncul di playlist-ku. In Love With You—Regine Velasquez sama Jacky Cheung."

Chika terdiam. Matanya melembut.

Chika: (pelan, seperti membatin)

"Lagu itu… pernah nemenin malam-malam aku juga."

Chiko: (menoleh padanya, perlahan)

"Mungkin kita nggak sepenuhnya kehilangan frekuensi, ya."

Chika: (tersenyum, suaranya hampir tak terdengar)

"Mungkin kita cuma kehabisan sinyal untuk sementara."

Dan mereka tertawa. Bukan tawa yang riuh. Tapi tawa yang lembut—seperti daun jatuh di permukaan air. Tenang, tapi terasa.

Chiko: (dengan suara yang lebih ringan)

"Kalau film, kamu lagi suka genre apa sekarang?"

Chika:

"Drama slice of life. Yang ceritanya nggak heboh, tapi menyentuh. Kadang cuma tentang orang yang pulang ke rumah masa kecilnya, atau ngebenerin hubungan sama orang tuanya. Tapi… justru dari yang sederhana itu, aku belajar banyak tentang memaafkan."

Chiko: (mengangguk dalam, seperti memahami sesuatu yang tak diucapkan)

"Kayak kita ya? Lagi belajar ngebenerin pelan-pelan. Bukan karena salah satu lebih baik, tapi karena kita berdua milih buat nggak ninggalin begitu aja."

Chika menatap Chiko. Senyumnya tak lagi ditahan. Di balik matanya, ada rasa hangat yang mulai mekar, perlahan… seperti bunga liar yang tumbuh di tanah yang pernah retak.

Chika:

"Pelan-pelan, ya. Tapi tetap jalan."

Chiko: (mengangguk, suaranya rendah tapi penuh kepercayaan)

"Aku nggak mau buru-buru. Aku cuma mau jalan bareng. Sekalipun belum tahu arahnya."

Dan hari itu pun menua bersama langit yang kian redup. Tapi hati mereka justru menghangat. Mungkin memang tak semua kebersamaan butuh nama. Kadang, cukup tahu bahwa ada seseorang yang tak lagi pergi… dan memilih tetap tinggal, satu percakapan kecil dalam sekali waktu

---

Kali ini, malam turun perlahan seperti selimut tipis yang menenangkan. Bintang-bintang belum sepenuhnya tiba, tapi lampu-lampu taman kampus mulai menyala. Di bangku kayu yang sedikit berderit saat diduduki, mereka duduk berdampingan. Tidak terlalu dekat. Tapi cukup untuk merasa bahwa mereka tak lagi sendiri dalam perjalanannya.


---

[Bab: Berbagi Langit dan Mimpi]

Udara dingin menyusup pelan ke sela-sela jemari. Tapi suasana di antara mereka hangat. Hangat dengan kejujuran yang tak dibuat-buat.

Chika: (menatap langit dengan tangan meraih rambutnya yang tertiup angin)

"Kadang aku suka mikir... gimana ya rasanya tinggal di kota kecil yang tenang. Bangun pagi, nulis dari teras rumah, bikin kopi sendiri. Nanti siangnya ke kampus—ngajar atau sekadar baca puisi bareng mahasiswa. Malamnya... dengerin suara jangkrik sambil nulis surat ke diri sendiri."

Chiko: (tersenyum, memiringkan kepala ke arahnya)

"Kamu selalu punya cara paling puitis buat hidup, ya."

Chika: (menoleh singkat, tersipu, lalu kembali menatap langit)

"Aku cuma... pengen hidupku nggak cuma sibuk, tapi juga berarti. Nggak harus ramai, tapi hangat."

Chiko: (menunduk sebentar, lalu berujar pelan)

"Kalau aku… aku pengen bangun rumah belajar. Bukan sekolah besar, cuma tempat kecil tempat anak-anak bisa datang, belajar apa pun yang mereka suka. Matematika, bikin robot, gambar, atau sekadar ngobrol tentang hidup."

Chika: (menatapnya, penuh rasa)

"Kamu tuh selalu punya sisi tenang yang bikin aku ngerasa... aman. Dulu aku kira kamu cuma cuek. Tapi sekarang aku ngerti, kamu lagi belajar menjaga. Dengan caramu."

Chiko: (terdiam sebentar, lalu suaranya lirih)

"Aku nggak sempurna, Chik. Tapi aku belajar... bahwa nggak semua mimpi harus dikejar sendiri. Kadang, justru lebih kuat kalau dibagi. Kalau dibangun bareng-bareng."

Chika: (matanya berkaca, tapi tersenyum tipis)

"Kamu tahu? Aku nggak tahu nanti aku akan tinggal di mana, atau jadi apa persisnya. Tapi aku tahu... aku pengen tetap jadi orang yang bisa menulis tentang cahaya. Bahkan dari tempat paling gelap sekalipun."

Chiko: (menatapnya dalam, lembut seperti desir angin lewat pucuk daun)

"Dan aku... pengen jadi orang yang jaga lentera itu. Biar kamu bisa terus nulis, meski malam datang lebih lama dari biasanya."

Mereka terdiam. Tapi bukan canggung. Diam yang hening tapi padat. Seperti dua langit yang berbeda, perlahan saling bersentuhan di garis senja.

Chika: (menutup matanya sejenak, lalu berbisik)

"Kamu yakin kita bisa jalan bareng, tanpa perlu buru-buru sampai?"

Chiko: (menoleh padanya, matanya lembut seperti fajar pertama)

"Aku nggak cari tujuan. Aku cari teman jalan. Dan... kalau kamu bersedia, aku pengen kamu jadi itu."

Chika tak langsung menjawab. Tapi ia menyandarkan kepalanya perlahan ke sandaran bangku. Tersenyum. Senyum kecil yang lebih nyaring dari kata “ya.” Dan dalam diam itu, ada kesepakatan tak bersuara: bahwa mereka tak lagi harus jatuh cinta secara terburu-buru. Karena cinta yang pelan—kadang justru lebih setia tinggal.

----

 Karena malam itu bukan akhir, tapi awal yang perlahan. Malam itu bukan untuk mengucapkan "sampai jumpa," melainkan untuk diam-diam memilih tinggal—meski tanpa kata.

[Malam yang Tidak Meninggalkan]

Masih di bangku taman kampus. Angin mulai membawa aroma tanah dan dedaunan lembab. Tapi langit tetap tenang. Seperti hati mereka yang tak lagi takut pada jeda.

Chika: (mengusap lengan yang terkena angin malam, suaranya lirih tapi jelas)

"Aku suka malam seperti ini. Rasanya... dunia nggak buru-buru. Semuanya pelan, dan aku bisa denger isi kepalaku sendiri."

Chiko: (melepas jaketnya tanpa banyak bicara, menyampirkannya ke pundak Chika)

"Kalau dunia buru-buru, aku pengen jadi satu-satunya hal yang pelan di hidupmu."

Chika: (menoleh perlahan, matanya bening tapi tajam seperti cermin air)

"Itu kalimat paling berani yang pernah kamu ucapin, Chik."

Chiko: (tersenyum kecil, mengangkat bahu seolah berkata: ya, tapi aku sungguh-sungguh)

"Aku nggak mau kamu bingung lagi. Nggak mau kamu ngerasa sendiri lagi dalam ruang-ruang yang kamu ciptain buat sembunyi."

Chika: (menggigit bibir bawahnya, seperti menahan sesuatu yang terlalu manis untuk dilepas begitu saja)

"Aku juga nggak pengen kamu cuma hadir malam ini. Lalu hilang besok pagi. Aku nggak kuat lagi ngumpulin serpihan dari ketidakhadiran yang datang tanpa pamit."

Chiko: (menunduk sebentar, lalu menatap lurus padanya)

"Aku di sini bukan buat jadi pengunjung. Aku mau jadi yang menetap. Bukan dengan janji besar. Tapi dengan hal-hal kecil: nanya kamu udah makan atau belum, baca tulisanmu diam-diam, atau dengerin kamu ngomel soal kopi yang kepahitan."

Chika: (tertawa kecil, lalu menatap langit)

"Kalau kamu beneran niat... kita mulai dari sini ya. Dari malam ini yang nggak perlu penutup. Dari diam yang cukup untuk bicara."

Chiko: (mengangguk, seperti sedang bersumpah pada langit, bukan pada manusia)

"Nggak akan ada kata ‘selamat tinggal’ malam ini. Cuma... ‘sampai nanti.’ Karena aku nggak akan pergi."

Dan di antara suara dedaunan yang bersentuhan dan lampu taman yang redup, mereka tinggal. Tidak berpindah. Tidak meninggalkan. Hanya dua jiwa yang memilih duduk lebih lama dalam keheningan yang mengerti mereka lebih baik dari keramaian mana pun.

Tak ada perpisahan. Hanya kehadiran yang pelan-pelan belajar menjadi rumah.

----

[Pagi yang Menyimpan Kedatangan]

Pagi di pelataran kampus. Matahari masih malu-malu menelusup dari celah dedaunan. Angin lembut menyapa dengan wangi embun. Chika duduk di bangku yang kemarin, mengenakan kemeja linen warna salem dan celana putih gading, tangannya memegang buku yang sebenarnya tak terlalu ia baca.

Suara langkah pelan. Lalu suara yang tak asing lagi, tapi kini terasa lebih hangat dari matahari pagi.

Chiko:

"Kalau kamu baca halaman yang sama lebih dari lima menit, artinya kamu lagi mikirin sesuatu yang bukan ada di buku itu."

Chika: (tersenyum tanpa menoleh, matanya masih di halaman yang sama)

"Dan kamu menyimpulkan itu dari mana, Peneliti Sinyal-Sinyal Diam?"

Chiko: (duduk di sampingnya, sedikit menyandarkan punggung ke bangku, santai seperti pagi itu memang diciptakan untuk mereka)

"Dari pengalaman masa lalu yang… nggak pengen aku ulangi. Dulu aku nggak cukup peka. Sekarang aku belajar untuk diam di dekatmu, bahkan kalau kamu nggak bicara."

Chika: (menutup bukunya perlahan, matanya mengarah ke rerumputan yang mulai basah oleh embun yang menguap)

"Dulu aku selalu berharap kamu muncul. Tapi sekarang, aku bersyukur kamu memilih hadir. Itu jauh lebih penting."

Chiko: (mengangguk pelan, mengambil termos kecil dari tasnya, menuangkan kopi ke tutupnya yang berfungsi sebagai gelas kecil)

"Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi... pagi ini, aku cuma pengen duduk di samping kamu. Bawa kopi. Dan dengerin kamu cerita apa aja. Atau nggak cerita sama sekali pun... nggak apa-apa."

Chika: (mengambil gelas kecil itu dengan senyum, menghirup aroma kopinya pelan-pelan seperti menghormati momen)

"Kamu tahu… pagi kayak gini bikin aku percaya bahwa mungkin... kita nggak harus buru-buru saling sembuh. Tapi bisa saling tumbuh. Dari sini. Dari secangkir kopi yang datang tanpa diminta."

Chiko: (tersenyum lebar, menatap langit yang mulai biru)

"Kalau begitu, boleh nggak aku jadi alasan kamu suka pagi hari lagi?"

Chika: (menoleh padanya, tatapan bening tapi dalam)

"Boleh… asal kamu tahu, jadi alasan artinya kamu juga harus tetap ada, meski pagi-pagi berikutnya nggak selalu cerah."

Chiko:

"Aku nggak janji langitnya cerah terus, tapi aku bisa janji… aku akan tetap duduk di sini. Bawa kopi. Dan jadi telinga yang nggak pernah bosan dengerin kamu."

---

Pagi itu, mereka tidak bicara soal masa lalu. Tidak merancang masa depan. Mereka hanya duduk. Diam. Tapi seluruh semesta seperti mengangguk pelan—mendukung dua jiwa yang memilih merawat, bukan memaksakan. Menyirami, bukan memetik terlalu cepat...

---- 

[Dua tahun kemudian – Chika lulus S2 Sastra UNPAD, magna cumlaude]

Langit Bandung cerah pagi itu. Aula megah kampus dipenuhi para wisudawan, keluarga, dan dosen. Saat nama “Chika Wijaya, S.S., M.Hum.” disebut, tepuk tangan membahana. Ia bangkit, melangkah dengan anggun ke podium. Senyum di wajahnya menyiratkan lebih dari kebanggaan—ada syukur yang begitu dalam.

Di antara kerumunan, Chiko berdiri. Ia tidak membawa bunga. Tapi di tangannya, ada sebuah buku kecil berjudul: "Catatan untuk Chika." Sebuah kumpulan puisi yang ia kumpulkan diam-diam—kutipan dari tulisan-tulisan Chika, dan catatan kecil darinya di setiap halaman.

Setelah upacara, mereka bertemu di luar gedung. Suasana ramai, tapi dunia mereka hanya berisi dua orang.

Chiko menyerahkan buku itu tanpa banyak kata. “Ini... cuma catatan kecil. Tapi aku ingin kamu tahu, aku membaca semuanya. Selalu.”

Chika membalik halaman pertama. Ada kalimat yang membuatnya berhenti sejenak:

"Bersamamu, aku tak takut menua. Karena yang menua hanyalah waktu, bukan rasa."

Matanya berkaca. "Chiko… kamu tahu? Aku pernah berdoa agar kamu datang ke hari ini. Bukan sebagai kekasih. Tapi sebagai seseorang yang tahu betapa kerasnya aku bertumbuh."

Chiko tersenyum. “Dan aku pernah berdoa supaya kamu lulus dengan bangga, dan tetap menulis meski dunia sibuk bicara soal hal lain.”

Mereka berjalan pelan di koridor kampus, lalu keluar menuju taman kecil di belakang perpustakaan. Tempat pertama kali mereka duduk bersama, dulu.

Chika duduk di bangku yang sama, lalu menatap Chiko. “Jadi, kita ini apa sekarang?”

Chiko menatap jauh ke depan, sejenak berpikir, lalu berkata:

“Kita adalah dua jiwa yang memutuskan untuk tumbuh berdampingan. Kita saling menampung, bukan saling menuntut. Saling memeluk mimpi masing-masing, bukan membatasi. Kita… bukan hanya 'kita'. Kita adalah rumah bagi satu sama lain.”

Chika mengangguk pelan. “Kalau nanti aku menulis novel tentang kita, kamu keberatan?”

Chiko tersenyum. “Kalau kamu menulisnya, aku janji akan jadi pembaca pertama. Dan kalau boleh… aku ingin jadi karakter yang tidak sempurna, tapi jujur mencintai dalam diam.”

---

[Beberapa bulan kemudian – halaman terakhir naskah buku Chika]

Mereka tidak memulai dengan cinta, dan mungkin tidak akan pernah diberi nama dalam kamus hubungan biasa. Tapi mereka ada. Bertumbuh. Berdoa satu sama lain. Menguatkan dalam senyap. Dan itu sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup.

Karena kadang, dua orang tidak harus saling menggenggam untuk saling menjaga. Mereka cukup berjalan berdampingan—dengan percaya, bahwa mereka adalah dua pohon yang akarnya telah saling mengenal jauh sebelum mereka sadar sedang tumbuh di taman yang sama.

---


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin