Pelan, Tapi Pulang
Malam jatuh perlahan di kota ini. Langitnya seperti halaman kosong yang ditulisi rindu oleh bintang-bintang. Chika duduk di dekat jendela, memeluk lutut, sembari menatap kota yang temaram oleh lampu-lampu dan kenangan. Di tangannya, secangkir teh chamomile yang mulai kehilangan hangatnya. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk dari seseorang yang dulu hanya bisa ia temui lewat doa: Chiko. "Chika... aku baca tulisan kura-kura dan tupaimu." "Tupai itu kamu, kan? Chikaaaa?" Chika menggigit bibir, menahan sesuatu yang hampir meleleh dari ujung matanya. Lalu ia mengetik dengan pelan, seolah tiap huruf adalah detak jantung yang ia pertaruhkan. "Iya... kamu kura-kuranya." Hening sebentar. Lalu sebuah suara terdengar di telepon—Chiko meneleponnya. Suaranya serak tapi hangat, seperti secangkir kopi hitam yang tak pernah bisa benar-benar ia lupakan. "Aku penasaran, kenapa kamu nulis itu, Chika?" Suaranya lirih, tapi cukup tajam untuk menembus din...