It's enough, it's finish :"
Ini adalah kali kedua aku menangis sebelum latihan pelayanan hari Minggu, karena hatiku sedang memikul sesuatu yang perih. Rasanya sesak—seperti ada yang tertinggal, tapi tak bisa kembali. Aku tetap menjalani hari, tetap mengerjakan tugas, tetap tersenyum dan melangkah. Tapi di dalam, ada ruang yang sedang menjerit lirih, minta dikuatkan, minta dipeluk.
Namun kali ini... CUKUP!.
Aku tak ingin lagi berada di antara datang dan pergi, di antara "mungkin iya" dan "mungkin tidak". Jika harus terluka, maka biarlah satu kali saja, tapi tuntas. Tak perlu hadir hanya untuk kembali menghilang. Tak perlu setengah hati jika memang bukan untuk tinggal.
"Aku ingin melampauinya… dari segala sisi."
Itulah kalimat yang keluar saat aku berdoa dengan air mata mengalir dan hati yang retak.
Tapi Tuhan, dengan lembut, menghapus ambisi itu. Ia bertanya dalam hatiku:
“Kalau suatu hari kamu bisa melampauinya, lalu apa? Apakah itu tujuanmu? Apakah itu benar-benar panggilanmu? Apakah kamu hidup hanya untuk dilihat oleh dia? Apakah kebahagiaanmu tergantung pada pengakuannya?”
Aku terdiam. Karena jawabannya ternyata: tidak.
Kemudian sebuah lagu rohani mengalun pelan, dan mengingatkanku—dengan lembut namun tegas—bahwa yang terindah bukanlah validasi dari manusia. Bukan cinta yang tak pasti. Tapi Tuhan. Yang tak pernah pergi. Yang selalu hadir, bahkan ketika dunia mengecewakan.
Kasih-Nya cukup.
Tak perlu membuktikan apa pun agar layak dicintai. Dalam Tuhan, selalu ada tempat. Selalu ada harapan. Selalu ada masa depan.
Yesus harus menjadi pusat segala sesuatunya.
Bukan luka, bukan ambisi, bukan perasaan sendiri.
Hati ini… harus tetap dalam damai, bukan dalam pembuktian.
Kamu akan baik-baik saja yaaaah.
Ini hanya proses.
Aku mohon, bertahanlah. Bukan dengan kekuatan sendiri, tapi dengan kasih karunia Tuhan.
Berjalanlah terus.
Dengan langkah yang tidak terburu-buru membalas atau membuktikan, tapi dengan hati yang percaya: bahwa kasih Tuhan tak pernah gagal menopang. Air mata boleh jatuh, tapi biarlah itu menjadi benih kekuatan, bukan kelemahan.
Tetap hidup.
Tetap berjalan.
Tetap melangkah.
Sekalipun banyak hal belum aku mengerti, aku memilih tetap berserah.
Karena kasih-Nya…
Cukup. Selalu cukup.
Dan di titik itu… aku berhenti bertanya, “Kenapa harus aku?”
Sebaliknya, aku mulai berdoa, “Tuhan, ajariku melihat ini dari sisi-Mu.”
Karena ternyata, bukan hanya tentang siapa yang datang atau pergi.
Bukan tentang siapa yang tinggal atau tidak.
Tapi tentang bagaimana aku tetap bisa mengasihi, meski terluka.
Tetap percaya, meski kecewa.
Tetap berharap, meski hati seperti terburai.
Aku belajar bahwa kedewasaan rohani tidak selalu tampak dalam tawa yang lepas,
tapi dalam tangisan yang dibawa ke kaki Tuhan.
Dalam diam yang menanti.
Dalam kesetiaan menjalani proses, walau hati ingin menyerah.
Hari ini, aku tak ingin lagi menggenggam hal yang memang harus kulepas.
Aku ingin mencintai dengan cara yang sehat:
yang memberi ruang,
yang tidak menuntut balasan,
yang tidak menjadikan manusia sebagai pusat,
karena hanya Tuhan yang layak menempati tempat itu.
Tuhan tahu luka yang tak tampak,
dan Ia pun tahu bagaimana menyembuhkannya.
Tugasku hanya satu: tetap setia.
Bukan karena aku kuat. Tapi karena Dia setia lebih dulu.
Dan kesetiaan-Nya... itu yang memampukanku untuk bertahan.
Maka hari ini aku memilih:
untuk tetap melangkah—dengan hati yang perlahan dipulihkan.
Bukan untuk membuktikan sesuatu pada siapa pun,
tapi untuk memuliakan Dia yang tak pernah berhenti mengasihiku.
Aku tidak tahu hari esok seperti apa,
tapi aku tahu, kasih Tuhan akan tetap sama.
Dan itu cukup.
Sungguh, itu cukup.
Aku tidak ingin lagi tergesa-gesa mengobati luka dengan aktivitas.
"Aku tahu kamu lelah, tapi Aku bersamamu. Aku tidak akan pergi."
Aku tak perlu tahu semua jawaban.
Tak perlu mendengar semua penjelasan.
Karena ada damai yang melebihi logika.
Damai yang muncul bukan dari kepastian manusia,
tapi dari kehadiran-Nya yang setia.
Aku belajar satu hal hari ini:
bahwa menjadi kuat bukan berarti tidak menangis.
Menjadi kuat adalah tetap bersandar,
meski hati goyah.
Tetap berharap,
meski sekeliling berkata, "Tak mungkin."
Tetap mencintai,
meski pernah dikecewakan.
Dan pelan-pelan, aku mengikhlaskan apa yang tak bisa kugenggam.
Bukan karena aku berhenti mencintai,
tapi karena aku mulai mencintai diriku sendiri dalam terang kasih Tuhan.
Karena aku mulai mengerti,
bahwa mencintai dengan benar bukan selalu berarti memiliki.
Terkadang, itu berarti membebaskan.
Melepas tanpa dendam.
Mendoakan dari jauh, tanpa harus kembali dekat.
Tuhan tahu betapa aku ingin semuanya baik-baik saja.
Tapi lebih dari itu, Tuhan tahu apa yang benar-benar aku butuhkan.
Dan hari ini,
aku menyerahkan itu semua—dengan hati yang rapuh,
namun dengan iman yang perlahan bertumbuh.
Karena aku percaya,
jalan ini bukan tentang siapa yang menemaniku,
tapi tentang kepada siapa aku berjalan.
Dan aku tahu, aku sedang menuju pada Pribadi yang tak pernah mengecewakan.
Yesus,
Engkaulah damai yang tak tergoyahkan.
Engkaulah kasih yang tak bersyarat.
Engkaulah rumah bagi hatiku yang lelah.
Dan di dalam-Mu…
Aku pulang.
Aku utuh.
Aku cukup.
Aku tidak ingin hidup untuk terus membuktikan, aku hanya ingin hidup didalam kasih. Aku hanya ingin menjadi pribadi yang utuh, bukan karena tidak pernah patah, tapi karena tahu kemana harus kembali setiap kali hancur.
Dan setiap kali aku merasa sendirian, aku akan mengingat ini :
Aku dicintai oleh Pribadi yang tak pernah mengecewakan.
Aku dijaga oleh tangan yang lebih besar dari semua kekuatiran ku.
Aku dikenal oleh Tuhan bukan dari pencapaian,tapi dari hati yang terus datang kepada Nya.
--
Tuhan,
Terima kasih karena Engkau tidak menuntutku untuk kuat setiap waktu.
Engkau hanya memintaku untuk datang—apa adanya.
Bahkan ketika hatiku hanya bisa mengucap, “Tuhan, tolong pegang aku…”
Malam-malam panjang yang dulu terasa kosong,
kini jadi ruang percakapan antara Engkau dan jiwaku.
Bukan karena semuanya sudah baik-baik saja,
tapi karena aku mulai belajar: damai itu bukan dari keadaan, tapi dari kehadiran-Mu.
Dan perlahan…
aku mulai melihat harapan itu tumbuh—dalam bentuk kecil yang lembut.
Bukan ledakan semangat,
tapi hembusan tenang yang berkata,
“Tidak apa-apa... kamu sedang diproses, bukan ditinggalkan.”
Aku tahu, tak semua orang akan mengerti perjalanan ini.
Ada yang mengira aku terlalu sensitif,
terlalu memikirkan,
terlalu mengharapkan.
Tapi hanya Engkau yang tahu,
betapa panjangnya malam-malamku,
betapa beratnya melepaskan sesuatu yang aku doakan sepenuh hati.
Namun, justru di situ aku belajar:
bahwa iman bukan soal hasil yang terlihat,
tetapi tentang hati yang tetap percaya meski belum paham sepenuhnya.
Tuhan,
Kalau Engkau izinkan aku berjalan sendiri untuk sementara,
biarlah itu bukan karena kutinggalkan siapa-siapa,
tetapi karena aku sedang berjalan menuju Engkau lebih dekat.
Dan kalau suatu hari nanti, aku menoleh ke belakang…
biarlah aku melihat bukan luka,
tetapi jalan penuh kasih karunia yang menuntunku menjadi seperti-Mu.
Aku akan melangkah.
Tidak karena semua rasa telah hilang,
tapi karena aku memilih kasih yang lebih besar.
Kasih-Mu.
Komentar
Posting Komentar