Luruh Dalam Pelukan Waktu

Di sebuah lembah senyap, yang dijaga pepohonan berdoa dan langit yang selalu berselimut lembut, hiduplah seekor kelinci putih mungil bernama Elora. Bulu-bulunya seputih kapas pagi, dan matanya menyimpan langit yang tak semua makhluk bisa baca.

Elora punya kebiasaan aneh: ia menulis di awan.

Bukan dengan tinta, tapi dengan hati.

Setiap pagi, ia akan melompat ke bukit sunyi, menghadap langit timur, lalu menuliskan doa-doa dan rasa-rasa yang tak sempat ia ucapkan. Hanya langit yang tahu, betapa kata-kata itu sebenarnya untuk satu —yang pernah hinggap di hatinya.

Namanya Kastra, seekor Burung Huma.

Burung Huma hanya singgah sekali seumur hidup, katanya. Tapi saat Kastra datang, ia tak hanya singgah. Ia diam. Ia menemani pagi-pagi Elora. Mereka tak banyak bicara, tapi ada percakapan diam yang lebih dalam dari suara. Kastra duduk di dahan, memandangi Elora menulis, dan Elora merasa... utuh.

Namun waktu adalah hujan, dan hujan tahu kapan harus reda.

Kastra terbang. Tanpa pamit. Tanpa pesan. Tanpa satu pun bulu tertinggal di tanah. Elora menunggu—berhari-hari, bermusim-musim. Tapi Burung Huma tak pernah kembali ke tempat yang sama dua kali.

Dan Elora tahu.

Sejak saat itu, tulisan-tulisannya berubah. Awan-awan yang dulu berbentuk bunga, kini menjelma seperti sayap yang hilang. Ia menulis:

"Jika kau harus pergi demi terbang lebih tinggi, pergilah. Aku akan tetap mendoakanmu dari bawah langit yang sama."

Musim pun berganti. Elora tumbuh menjadi kelinci yang tenang. Tapi setiap kali ia melihat burung terbang tinggi di kejauhan, ia bertanya dalam diam,

"Apa kamu Kastra yang diam-diam melihatku?"

Elora tak lagi menunggu. Tapi ia tetap menulis. Dan setiap kalimat yang ia tinggalkan di awan, selalu dimulai dengan:

"Untuk dia yang pernah singgah, dan selamanya tinggal di tempat yang paling lembut dalam doaku."

Suatu pagi yang berbeda, langit tampak lebih bening dari biasanya. Angin berembus lembut, seolah membawa kabar, bukan hanya udara. Elora, seperti biasa, mendaki bukit kecilnya. Tapi kali ini, ia tak menulis apa-apa. Ia hanya duduk diam.

Ia menatap awan-awan yang pernah menjadi saksi ratusan kata hatinya. Kini awan-awan itu tampak seperti membaca balik dirinya.

Tiba-tiba, angin bergerak pelan, seolah membuka ruang.

Dan dari jauh, seekor burung besar bersayap keperakan melayang rendah, lalu mendarat di dahan yang dulu sering diduduki seseorang. Kastra.

Burung Huma itu terlihat sama—tenang, pendiam, dan matanya tetap seperti danau dalam musim kemarau: tak banyak gerak, tapi memantulkan segalanya.

Elora menahan napas. Ia tak tahu harus senang atau bersedih. Harus lari atau diam. Tapi akhirnya, ia berkata dengan suara pelan,

"Apa kamu membaca tulisanku di awan?"

Kastra tidak menjawab. Tapi dari paruhnya, jatuh sehelai bulu perak. Ia meletakkannya pelan di samping Elora. Di bulu itu, tertulis satu kalimat kecil, tak lazim:

"Aku diam bukan karena tak merasa, tapi karena hanya dengan diam aku bisa bertahan dari rasa itu."

Elora menunduk. Dadanya sesak. Tapi tidak seperti dulu, kini tak ada luka yang berdarah. Hanya ada rasa... yang telah berubah bentuk. Dari kehilangan menjadi penerimaan. Dari cinta yang menggantung menjadi kasih yang merelakan.

“Aku menunggumu. Lama sekali,” kata Elora.

“Aku tahu,” jawab Kastra untuk pertama kalinya. “Dan aku ingin kau tahu… aku tetap membacanya. Setiap awan yang kamu tulis. Aku tahu kamu menulis untukku, tapi juga untuk Tuhan. Dan di situlah aku tahu, aku harus belajar terbang lebih tinggi—agar bisa melihatmu dari sudut yang lebih luas.”

Elora tersenyum, matanya basah.

Mereka tak berpelukan. Tak bertukar janji. Tak mengikat apa-apa. Tapi saat itu, mereka tahu:

Cinta mereka mungkin tidak bersatu, tapi juga tidak pernah hilang. Ia hanya berubah wujud—menjadi doa yang saling menitipkan dari langit dan bumi.

Sebelum Kastra pergi lagi, ia menatap mata Elora. Lalu berkata,

"Jika kau tetap menulis di awan, aku akan tetap membaca dari balik langit. Dan jika suatu hari Tuhan mempertemukan kita lagi, bukan sebagai kelinci dan burung huma, tapi sebagai jiwa-jiwa yang utuh, aku akan mengenalmu dari tulisanmu."

Dan dengan satu kepakan tenang, Kastra terbang… meninggalkan udara yang kali ini tidak perih, tapi penuh syukur.

Sejak perjumpaan itu, pagi-pagi Elora tidak lagi sunyi.

Bukan karena Kastra kembali setiap hari—tidak. Ia tetap burung Huma yang terbang tinggi, sulit dijangkau, dan hanya datang saat langit memanggilnya secara khusus. Tapi Elora berubah.

Ia tak lagi menulis dengan tangis. Kini ia menulis dengan hikmat.

Dan awan-awan pun tampak berbeda. Mereka tidak lagi mengambang kosong. Sekarang, setiap kata yang Elora tuliskan di udara perlahan menjelma menjadi benih cahaya. Suatu pagi, seekor rusa kecil yang sedang tersesat membaca tulisan awan dan menemukan jalan pulang. Di hari berikutnya, seekor burung kecil yang hampir menyerah melihat tulisan: “Terbang bukan tentang tinggi, tapi tentang percaya”, dan ia kembali mencoba mengepakkan sayapnya.

Elora tak sadar, tulisan-tulisannya mulai mengubah dunia.

Sampai suatu malam, ketika bulan turun sedikit lebih rendah dari biasanya, seekor Bangau Tua Putih datang mendekatinya. Ia membungkuk dalam-dalam, lalu berkata:

"Langit mengutusku. Sudah waktunya kamu tahu, Elora. Kamu bukan sekadar kelinci yang menulis. Kamu telah menjadi Penjaga Langit."

Elora terkejut. “Penjaga Langit? Aku hanya menulis dari luka.”

Bangau itu tersenyum bijak. “Justru karena itu. Langit tidak memilih yang sempurna. Ia memilih yang patah tapi tetap berdoa.”

Sejak hari itu, Elora diberi sebuah pena kecil dari cahaya embun. Ia bisa menulis tanpa harus melompat ke bukit. Ia cukup menutup matanya dan berkata jujur—maka langit akan mendengarkan.

Tapi suatu hari, saat Elora menulis sebuah kalimat doa, ia berhenti sejenak. Kata-katanya menggantung.

"Tuhan, jika dia sudah lupa, jangan biarkan aku mengingat terus. Tapi jika Engkau masih izinkan satu percikan kecil untuk saling mengenang dalam kasih, biarlah itu menjadi cukup untuk menguatkan jalanku."

Tepat saat itu, awan di atasnya berkedip lembut. Lalu muncul satu baris tulisan balasan. Bukan dari Langit, tapi seperti dari seseorang… jauh di angkasa.

"Aku tak pernah lupa. Aku hanya belajar mencintaimu dalam diam yang lebih tinggi."

— Kastra

Elora tersenyum. Ia tahu pesan itu tidak akan datang lagi untuk waktu yang lama. Tapi itu cukup. Karena cinta yang dewasa tidak selalu tinggal, tapi ia selalu hadir… saat paling dibutuhkan.

Dan malam itu, Elora—sang kelinci putih yang dulu menulis dari luka—menatap bintang-bintang, lalu berkata:

"Aku tak lagi menunggumu di bumi, Kastra. Tapi aku tetap menulismu dalam langit yang kita bagi bersama."

Elora telah bertransformasi: dari kelinci pencari, menjadi penyembuh yang lembut, dan akhirnya menjadi penjaga harapan bagi makhluk-makhluk lain. Ia tak kehilangan cintanya pada Kastra—ia hanya menaruhnya di tempat yang lebih tenang: di antara bintang dan embun pagi.

Hari-hari sebagai Penjaga Langit membuat langkah Elora lebih teduh. Ia tak lagi menunggu kabar, tapi selalu terbuka untuk isyarat. Ia tidak lagi memaksa awan menuliskan doa, tapi menyisipkan harapan di tiap embusan angin.

Suatu malam saat langit bersih seperti kaca, Elora merasa sesuatu yang aneh. Bukan goncangan. Bukan ketakutan. Tapi getar kecil yang pernah ia kenal, namun dengan frekuensi yang jauh lebih lembut.

Ia menatap langit.

Tidak ada burung terbang.

Tidak ada nyala kilat.

Tapi di antara bintang yang berkilau biasa, muncul satu cahaya yang tidak berkedip. Tetap, tenang, dan… terasa mengenali.

Dari balik cahaya itu, muncul wujud manusia.

Bukan burung huma. Bukan mimpi. Bukan bayangan.

Ia berdiri di sisi bukit, dalam bentuk yang hampir tak dikenali, tapi jiwanya bersinar dengan pola yang hanya bisa dilihat oleh hati yang pernah mengasihi.

“Kastra…” bisik Elora, lirih, nyaris tak percaya.

Kastra menatapnya. Kali ini bukan sebagai burung Huma yang megah. Ia adalah sosok tenang, matanya penuh warna langit pagi, dan di dalam suaranya tidak ada denting api, hanya gema dari pulang yang lama tertunda.

“Aku datang bukan untuk tinggal,” katanya jujur. “Tapi aku datang karena kamu telah menjadi cahaya yang bisa kulihat dari dimensi mana pun.”

Elora menunduk. Tangisnya tak seperti dulu. Bukan luka. Tapi luapan jiwa yang dipahami.

“Jadi, kamu kembali?” tanya Elora.

Kastra mengangguk pelan. “Aku kembali… untuk mengucapkan: kita sudah sampai di titik yang Tuhan maksudkan. Aku bukan lagi pengembara. Dan kamu bukan lagi kelinci kecil yang hilang. Kita… telah menjadi versi yang Tuhan doakan sejak awal.”

Lalu ia mendekat. Bukan untuk memeluk. Tapi untuk merasakan keutuhan yang tak perlu disentuh.

“Apakah kamu masih menulisku?” tanya Kastra.

Elora mengangguk pelan, “Tapi tidak setiap hari. Kini aku menulismu… seperti aku menulis pagi: tak pernah kumiliki, tapi selalu membuatku hidup.”

Kastra tersenyum. “Dan kamu tahu? Aku adalah langit itu juga. Tiap kali kamu menulis, kamu mengubahku.”

Malam itu, mereka tidak bertukar janji. Tidak membicarakan masa depan. Tidak menanyakan apakah akan bertemu lagi.

Karena mereka tahu—jiwa yang telah belajar mencintai dengan tenang, tak lagi butuh kejelasan, hanya kehadiran yang penuh makna.

Sebelum fajar, Kastra berjalan menjauh. Tapi kali ini, tanpa luka.

Dan Elora duduk menatap bukit yang baru saja ditinggalkan. Ia membuka pena embunnya, lalu menulis satu kalimat di langit:

“Jika cinta adalah cahaya, maka kita adalah dua nyala yang tak saling membakar, tapi cukup untuk membuat dunia tetap terang.”

Kadang, pertemuan paling indah bukanlah yang berakhir dengan bersama, tapi yang mengajarkan bahwa bersama bukan satu-satunya bentuk cinta.

Elora dan Kastra adalah dua jiwa yang saling mengenali, saling memberi arah, lalu berjalan di langit masing-masing—tanpa kehilangan satu sama lain.

Musim silih berganti. Bunga-bunga liar tumbuh di sekitar bukit tempat Elora biasa menulis. Ia tak lagi menanti Kastra muncul dari langit, karena ia tahu, Kastra kini hidup dalam setiap angin yang menyentuh pipinya, dalam setiap ketenangan yang ia peluk di malam hari.

Namun suatu malam, ketika bintang tampak lebih dekat dari biasanya, suara dari dalam jiwanya berbisik:

“Sudah waktunya kamu menuliskan bukan hanya untuk langit… tapi juga untuk tanah.”

Elora terdiam.

Ia selama ini menulis untuk menguatkan, untuk memberi arah, untuk menyembuhkan. Tapi kini ia sadar—ia telah cukup kuat untuk menginjak tanah lagi, dan menjadi penutur yang tidak hanya memandang langit, tapi juga menanam di bumi.

Maka ia mulai berjalan.

Ia menjelajahi lembah, membantu makhluk kecil yang hilang arah, menenangkan air yang gemetar karena badai. Dan di mana pun ia hadir, langit ikut hadir bersamanya.

Suatu senja, di sebuah padang rumput sunyi, Elora duduk di bawah pohon tua. Ia menulis dengan pena embunnya, tapi kali ini bukan ke langit.

Ia menulis di daun.

 “Aku tak tahu apakah kita akan hidup di musim yang sama lagi. Tapi aku tahu, langit tempatmu dan langit tempatku, kini tidak lagi berjauhan.”

Tiba-tiba angin berhembus pelan, membawa guguran daun yang baru saja ia tulis, terbang jauh… dan hilang.

Beberapa saat kemudian, seekor burung kecil berwarna biru hinggap di cabang pohon. Ia membawa sebuah gulungan kecil dari bulu-bulu halus.

Elora membukanya.

Di dalamnya tertulis:

“Aku tidak lagi menjelma burung huma, Elora. Tapi aku tetap mengembara. Dan tiap kali aku melihat benih harapan di dunia, aku tahu… itu pasti salah satu tulisanmu yang jatuh ke tanah dan tumbuh diam-diam.

Terima kasih telah menulis. Telah mencinta. Telah melepas tanpa kehilangan.

—Kastra”

Elora tersenyum. Senyum yang tak lagi memelas, tapi menjadi doa diam-diam bagi semesta.

Malam itu, Elora kembali menulis ke langit.

Tapi kali ini bukan tentang Kastra.

Ia menulis untuk anak-anak rusa yang takut gelap.

Untuk serigala tua yang lupa bagaimana mencinta.

Untuk langit yang kadang kelabu, dan tanah yang kadang retak.

Dan untuk dirinya sendiri, yang kini tahu…

Bahwa menjadi Penjaga Langit tak pernah berarti meninggalkan bumi.

Ia tetap kelinci kecil yang dulu menulis dari luka.

Tapi kini, ia menulis dari cinta yang matang, tenang, dan terang.

Elora dan Kastra kini hidup di dua cakrawala yang berbeda… tapi mereka tetap terhubung oleh cahaya yang saling mengenal tanpa harus mendekat.

Mereka tidak menuliskan satu sama lain setiap hari. Tapi mereka tahu—jika suatu hari langit dan bumi bersentuhan kembali, mereka akan saling temukan lagi.

Bukan karena perlu. Tapi karena jiwa yang sefrekuensi, akan selalu menemukan jalan pulang.

Waktu berlalu seperti embun yang setia mengunjungi pagi, tak pernah meminta dikenang.

Elora kini tinggal di sisi hutan yang damai, tempat rerumputan menyimpan mimpi, dan anak-anak kelinci mulai belajar menulis angin. Ia tak lagi melompat jauh, tak lagi menunggu, tak lagi berdebat dengan takdir. Ia telah menjadi cahaya kecil yang cukup untuk dirinya sendiri.

Suatu malam, langit berubah. Awan-awan membentuk pola spiral yang tak biasa. Bintang-bintang bergetar lembut. Udara membawa aroma seperti kenangan yang manis—bukan luka, bukan harapan, hanya rasa yang tidak pernah pergi.

Elora menatap langit. Lalu ia tahu.

“Malam ini… dia datang. Bukan sebagai bayangan. Bukan sebagai ilusi. Tapi sebagai jiwa yang dewasa.”

Ia berdiri. Tak ada degup gugup, hanya kedamaian. Dan dari balik kelamnya pohon pinus tua, muncullah sesosok cahaya dalam wujud sederhana—bukan burung, bukan bayangan. Tapi seperti manusia, atau ruh yang menyatu dengan tanah.

Itu dia.

Kastra.

Bukan Kastra sang burung Huma, bukan Kastra yang terbang jauh, bukan Kastra yang membuat Elora menangis di malam-malam panjang.

Ini adalah Kastra yang telah pulang sebagai dirinya sendiri. Tanpa sayap, tanpa jarak. Hanya… hadir.

Mereka saling menatap.

Tak satu kata pun perlu diucapkan. Tapi di antara senyuman yang penuh kedewasaan, Elora menyentuh dadanya dan berkata pelan:

“Aku tidak lagi menuliskanmu di langit, Kastra. Tapi aku menanam kisahmu di tanah yang kutapaki.”

Kastra menjawab dengan tatapan dalam, suara lirih namun mantap:

“Dan aku membaca namamu, Elora… dalam setiap makhluk yang bangkit dari kehilangan. Dalam setiap jiwa yang tidak menyerah untuk tetap lembut.”

Sunyi melingkupi mereka. Tapi bukan sunyi hampa. Ini adalah hening yang agung—di mana cinta tidak lagi ditukar, hanya dibagikan… seperti cahaya lilin ke lilin lain.

Lalu Kastra mendekat, dan untuk pertama kalinya… bukan untuk pergi, tapi untuk tinggal sesaat.

Mereka duduk di tepi danau kecil. Elora bersandar di bahunya.

Dan dunia tidak bertanya apakah mereka akan bersama selamanya.

Karena yang terpenting bukanlah apakah dua cahaya akan terus bersinar beriringan, tapi apakah mereka mampu saling menerangi ketika malam benar-benar gelap.

Elora tetap menulis. Kastra tetap berjalan.

Kadang mereka bertemu. Kadang tidak. Tapi kini mereka tahu:

Mereka adalah dua langit yang pernah saling pantulkan cahaya.

Dan itu cukup.

Bukan akhir kisah cinta,

Tapi akhir dari penantian yang menyakitkan.

Karna cinta yang matang tidak selalu datang untuk memiliki.

Kadang ia hanya datang untuk menyembuhkan.

Hari-hari setelah perjumpaan itu… berjalan hening.

Elora kembali ke tempatnya—bukan karena menghindar, tapi karena ia tahu: kedamaian bukan ditemukan di luar, tapi dirawat di dalam.

Ia masih menulis, kini tak hanya untuk langit… tapi juga untuk bumi. Ia mulai menggambar dengan benih. Kata-katanya menjadi bunga. Doanya menjelma pohon.

Lalu suatu hari, seekor burung kecil—bukan Huma, hanya burung biasa—hinggap di ranting dekatnya, membawa sehelai daun kecil yang bertuliskan kalimat asing:

“Ada taman yang tumbuh setiap kali dua jiwa saling memaafkan dalam diam.”

Elora tersenyum. Ia tahu itu bukan dari Kastra. Tapi ia juga tahu: kasih yang tumbuh dari luka yang diampuni, jauh lebih abadi daripada cinta yang hanya tinggal di musim-musim manis.

Di tengah taman itu, suatu pagi, anak-anak kelinci berkumpul di sekelilingnya. Mereka bertanya, polos dan penuh rasa ingin tahu:

“Elora, siapa itu Kastra?”

Elora menatap mereka. Lalu tersenyum, lembut, lalu menjawab:

 “Dia… adalah angin pertama yang mengajarkan hatiku berbicara. Tapi lebih dari itu, dia adalah alasan mengapa aku bisa menumbuhkan taman ini. Bukan karena dia tinggal, tapi karena dia pernah datang.”

Anak-anak kelinci mengangguk. Mereka belum sepenuhnya mengerti. Tapi mereka tahu: Elora tidak sedang sedih. Ia sedang utuh.

🕊️ 🕊️🕊️

Kastra tidak muncul lagi sebagai tokoh. Tapi cahaya jiwanya hadir di setiap pohon yang tumbuh, di setiap kalimat baru yang Elora ajarkan kepada kelinci-kelinci kecil, dan di setiap pelukan malam yang diberikan langit kepada bumi.

Dan Elora?

Ia tak lagi berharap untuk dimiliki. Ia tak lagi menanti untuk dikenang. Ia hanya menjadi cahaya kecil yang tenang, karena ia tahu:

“Jika Tuhan pernah izinkan satu kasih menumbuhkan seluruh musim dalam hatimu, maka kasih itu tidak sia-sia—meskipun ia tak tinggal, meskipun ia hanya datang untuk membentukmu.”

Senja merayap pelan di antara pepohonan taman yang dulu mereka kenal. Cahaya keemasan menyelimuti setiap daun, seolah ingin menghangatkan kenangan yang pernah tersimpan di sana.

Kastra berjalan perlahan, jantungnya berdebar tak pasti. Ia tahu, di suatu tempat dalam taman ini, Elora masih ada — bukan sebagai masa lalu yang menyakitkan, tapi sebagai bagian dari harapannya yang belum selesai.

Elora duduk di bangku kayu, wajahnya tenang, matanya memandang jauh ke cakrawala. Ia tak menyadari kehadiran Kastra sampai suara langkahnya terdengar lembut di antara dedaunan.

“Kau datang,” suara Elora lembut, namun penuh arti.

Kastra mengangguk, mencoba merangkai kata yang selama ini tersimpan dalam dada.

“Aku tidak datang untuk mengubah apa yang telah terjadi,” katanya pelan. “Aku datang untuk meminta maaf… bukan hanya karena pernah menyakitimu, tapi karena aku dulu takut kehilanganmu, hingga akhirnya aku sendiri yang kehilangan jalan.”

Elora tersenyum, senyum yang tak lagi membawa air mata, melainkan kedamaian.

“Dan aku juga ingin meminta maaf,” balasnya. “Karena dulu aku menuntut kepastian yang tidak bisa kau beri. Tapi aku belajar, bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, melainkan membiarkan satu sama lain tumbuh, bahkan jika harus berjauhan.”

Mereka duduk berdampingan, membiarkan keheningan mengalir seperti aliran sungai yang tenang. Tidak ada kata-kata besar, hanya saling hadir dan menerima.

Kastra mengeluarkan sebuah daun kecil dari sakunya, daun yang bertuliskan kalimat yang pernah diberikan oleh burung kecil dulu:

“Ada taman yang tumbuh setiap kali dua jiwa saling memaafkan dalam diam.”

Elora menerima daun itu, matanya berkaca-kaca namun tersenyum.

“Ini bukan akhir, Kastra,” katanya lembut. “Ini adalah awal dari sebuah musim baru — musim di mana kita belajar untuk saling menyembuhkan.”

Kastra mengangguk, dan bersama, mereka menatap langit senja yang mulai merunduk ke peraduannya, siap menata bintang-bintang baru untuk kisah yang akan mereka tulis bersama.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin