Akhir-akhir ini, benakku seperti langit yang mendungnya tak kunjung reda. Banyak pergumulan menggulung dalam diam, pikiran berdesakan seperti ombak yang tak pernah lelah menghantam pantai. Ada hal-hal yang tak mampu kujelaskan satu per satu—terlalu dalam, terlalu kusut, terlalu rapuh untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Segalanya terasa sesak. Hati ini seperti ruang sempit yang kekurangan udara. Aku ingin bernafas… tapi tak bisa. Sakit yang kupendam menggumpal, seolah waktu tak memberi jeda untuk sekadar menghela napas. Rasanya aku hanya ingin bercerita—meluapkan segala beban yang memberatkan pikiranku—tanpa perlu dijawab, tanpa harus dicarikan solusi. Cukup… cukup didengarkan.

Aku ingin bicara. Cici pun begitu. Kami berdua, tanpa sengaja, berjalan di jalan yang serupa: jalan penuh beban dan rasa ingin dimengerti. Rasa-rasanya, kami sama-sama kelelahan… sama-sama mendamba pelukan yang tak menghakimi.

“Cii, ke menara doa yuk… Aku gak kuat. Pengen nangis, lepasin semua,” lirihku dengan suara bergetar.

Karena di menara doa, kami bisa bebas menangis, bebas berseru, bebas mengadu. Di sana, tak ada topeng, tak ada harus kuat, tak ada pura-pura. Hanya ada kami dan Tuhan… Sang Pemilik hidup.

Dengan hati yang tercabik dan mata yang basah, kami mengangkat wajah kepada-Nya. Kami curahkan segalanya—rasa sesak, beban yang nyaris tak tertahan, luka yang tak sempat sembuh—semuanya kami serahkan pada pelukan Tuhan. Tak ada yang lain. Hanya Dia yang mau dan mampu mendengarkan ketika tak seorang pun menyediakan telinganya untuk kami.

Kami menangis dalam dekapan kasih yang tak terlihat namun nyata. Kami berseru dengan suara yang serak, namun yakin bahwa di balik sunyi, ada telinga yang mendengar, dan ada hati yang peduli.

Tuhan tetap ada… bukan karena hidup kami telah rapi dan baik-baik saja. Bukan karena kami sudah cukup kuat atau cukup layak. Tetapi justru dalam hancur, dalam remuk, dalam kelemahan yang paling dalam—Dia tetap setia, tetap dekat, tetap memeluk.

Terima kasih, ya Cici… terima kasih juga Lina… sudah mau menemani langkah yang tertatih menuju menara doa. Terima kasih karena bersedia menangis bersama. Kadang, kita hanya butuh teman seperjalanan yang bersedia menangis, bukan menghakimi.

Aku sungguh tak kuat. Tak tahu lagi harus bicara kepada siapa. Semua ini terlalu berat untuk kupikul sendiri.

“Kupandang wajah-Mu dan berseru… Pertolonganku datang dari-Mu. Peganglah tanganku, jangan lepaskan… Kaulah harapan dalam hidupku…”

Sebuah nyanyian yang mengalir di tengah doa kami, seperti embun yang jatuh di padang kering. Lembut, namun menguatkan. Lagu itu menjadi pelita kecil yang menuntun kami melewati gelap, menjadi nyanyian pengharapan di tengah badai.

Bertahan… bukan karena kami mampu. Tapi semata-mata karena kasih karunia Tuhan.

Tetap kuat, ya…

Terima kasih untuk setiap air mata yang ditumpahkan bersama dalam doa sore tadi. Terima kasih untuk kelegaan yang lahir dari perjumpaan dengan Tuhan.

“Kakak udah lega?” tanya Cici, lembut.

“Banget… makasih ya…” jawabku sambil mengusap sisa air mata yang masih hangat.

Dan semuanya ditutup dengan damai yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan—damai yang tak bisa dijelaskan oleh logika, tapi sungguh terasa oleh hati.

Kesetiaan Tuhan tak pernah padam. Kasih-Nya tak pernah habis. Anugerah-Nya mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Dan pelukan-Nya… selalu ada, menanti siapa pun yang datang dengan hati yang letih.

Terima kasih, Tuhan, untuk satu jam dalam hadirat-Mu yang begitu indah. Terima kasih karena Engkau mendengar, bahkan tangisan kami yang paling lirih. Kami tak tahu harus lari ke mana lagi… selain kepada-Mu, satu-satunya tempat perlindungan kami.

Terima kasih, Tuhan. Untuk hari ini. Untuk pelukan-Mu. Untuk kelegaan dari-Mu.

---- 

Dan setelah satu jam berlalu, kami keluar dari menara doa dengan langkah pelan, seolah baru saja meninggalkan tempat suci yang menyimpan sisa-sisa air mata kami. Langit sore menua dengan warna jingga yang lembut, seperti ikut mengamini doa-doa yang tadi terucap di antara isak.

Angin sore membelai pipi kami, dan entah mengapa, meski mata sembab, hati terasa sedikit lebih ringan. Bukan karena masalah telah sirna, tetapi karena kami telah menyerahkannya ke tangan yang tak pernah gagal memeluk—Tangan Tuhan.

Langkah kami menyusuri koridor sunyi, tak banyak bicara, tapi kami tahu: hati kami saling memahami. Ada bahasa yang tak perlu diucap, namun terasa—bahasa luka, bahasa iman, dan bahasa kelegaan setelah mengaduh pada Pribadi yang paling mengerti.

Malam pun datang perlahan. Kota mulai berselimut cahaya lampu, tapi ada cahaya lain yang lebih teduh menyala dari dalam dada—cahaya harapan yang sederhana, namun tak padam. Harapan bahwa esok, meski tak pasti, kami tak sendiri. Bahwa sekalipun hidup membawa badai, kami telah menemukan jangkar yang tak tergoyahkan.

Dan di kamar yang sepi, saat semua orang tertidur dan dunia terdiam, aku kembali memejam. Tapi malam ini berbeda. Tangisku tak lagi serapuh tadi. Karena aku tahu, ada doa yang telah naik ke langit. Ada air mata yang ditampung di mangkuk surgawi. Dan ada Tuhan… yang tak pernah tidur.

Ia memandang dengan penuh kasih, mendengar tanpa jenuh, dan mengasihi tanpa syarat.


Mungkin hari esok belum membaik. Mungkin badai belum berlalu. Namun hati ini telah menemukan tempat berlabuh.

Dalam sunyi, dalam doa, dalam tangisan yang lirih tapi jujur, kami menemukan-Nya: Pribadi yang setia menunggu kami kembali.

Tak perlu kata sempurna, tak perlu doa berirama indah. Cukup hati yang tulus, dan Tuhan datang merangkul.

Begitulah malam ini berpulang: dengan peluk doa dan sisa air mata yang telah menjadi benih damai.

Dan esok pagi, saat fajar menyentuh bumi, biarlah hatiku yang telah lelah ini berbisik:

“Terima kasih, Tuhan… aku masih bertahan, karena Engkau tak pernah melepaskan.”

"Peluk aku Tuhan ..... hingga aku sanggup menjalani esok.........."


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin