Aku tersadar—bahwa aku bukanlah musim yang kau rindukan pulangnya, bukan pula nama yang bersemayam di hatimu. Maafkan aku, yang terlalu berani menuliskan kisah fiksi sesuai alur yang kuharapkan, seolah semesta bersedia mengalah pada keinginanku.

Aku menulis akhir yang kuimpikan, walau kenyataan berkata lain. Nyatanya, realita itu melukai—mengiris dalam senyap. Dua purnama telah berlalu, dan aku masih menjadi hujan yang jatuh dalam tangis.
Mungkin itu pertanda bahwa aku masih mencintaimu. Tapi bukankah cinta—seperti musim dan angin—tak pernah bisa dipaksakan? Ia memilih bersemayam di hati yang ia kehendaki.

Tak mengapa. Aku mengerti.
Aku berdoa agar engkau kelak dapat bersatu dengan dia—perempuan yang telah lama kau cintai, sejak dahulu kala, sejak benih masa sekolah diam-diam menumbuhkan harapmu padanya. Entah mengapa, aku seakan telah tahu sejak awal. Seperti ilham yang lirih, tapi pasti.

Dari setiap kalimat dalam tulisanmu, aku membaca makna yang tersembunyi di antara spasi dan jeda. Aku tahu siapa yang menjadi poros di hatimu, dan aku berharap, dalam satu-satunya hidup yang kita punya ini, semoga kalian berdua dapat bersatu. Aku berdoa hatinya kelak luluh, terbuka oleh ketulusanmu yang telah kau rawat bertahun-tahun di ruang batinmu.

Aku tak akan patah, bila itu terjadi. Aku justru akan bersyukur jika kebahagiaanmu terwujud, meski itu bukan denganku.
Dalam proses penerimaan ini, aku harus belajar berdamai. Harus berenang dalam samudera air mata yang luas dan dalam. Tapi tak perlu cemas—aku tak tenggelam. Aku hanya mengapung... dan ditemukan Tuhan di sana. Cas...

Aku tidak membencimu.

Jika memang ini adalah akhir yang paling layak bagi segalanya, maka biarlah begini adanya.
Aku tenang. Aku masih baik-baik saja.
Hatiku pun akan baik-baik saja.
Aku hanya perlu menepis kabut rasa, melangkah dengan logika, dan menyusun kembali serpihan hidupku—lembar demi lembar.

Berharap kelak menjadi mozaik—sebuah puzzle yang utuh dan indah.

Terima kasih telah menjadi teman penguat, walau hanya sebentar.
Terima kasih telah sudi mendengar, meski diam-diam dan dari kejauhan.

Tetaplah kuat, dalam perjalanan kehidupan ini.


Satu hal yang ingin kuceritakan—bahwa tepat hari Minggu, 22 September 2024—di hari ulang tahunku, aku mengharapkan sebaris ucapan darimu. Sebait saja. Maka aku memberanikan diri menanyakannya, namun jawabanmu menusuk sunyi:

"Aku ga pernah tau ultahmu me..."

Seketika, aku menghapus harap dan menjadikan hari ulang tahunku sebagai lelucon semata. Sebuah tanggal yang harus kuhapus dari makna.

"Enggak kok, aku bercanda aja. Aku enggak ulang tahun hari ini..."
Dengan emotikon tawa yang ku selipkan, aku tersenyum. Tapi sungguh, saat itu aku menangis dalam diam.
Namun kau tak salah, sungguh tidak.
Tak ada satu pun yang perlu dipersalahkan.
Semua ini hanyalah bagian dari pembentukan jiwa, pengolahan makna.

Aku telah belajar dari semuanya.
Dan kini aku telah berdamai.

Tak ada lagi luka yang bersemayam, tak ada dendam yang tertinggal. Hanya ada ruang yang ingin tenang, dan semangat yang ingin hidup kembali.

Terima kasih, untuk segalanya.
Tetaplah hidup.
Tetaplah bertahan, bahkan ketika dunia menolak untuk ramah. Tetaplah berjuang, sekalipun tubuhmu gemetar, dan jiwamu letih.

Kau pasti bisa sampai, sungguh, aku percaya.

Tuhan Yesus mengasihimu. Selalu. Selamanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin