Dibungkam Namun Dibela
Di tengah hiruk pikuk kerajaan Babilonia, di antara para pejabat yang ambisius dan mata-mata yang haus kekuasaan, berdirilah seorang pria yang berbeda: Daniel. Ia bukan pria yang suka membela diri dengan mulut. Ia tidak reaktif, tidak tergesa-gesa menjelaskan atau menuntut keadilan di hadapan manusia. Ia memilih diam—bukan karena takut, tapi karena percaya.
Ketika namanya mulai disebut-sebut di antara para pejabat—bukan sebagai pujian, tapi sebagai tuduhan—Daniel tetap tenang. Ia ditunjuk-tunjuk, dituduh berkhianat karena tetap berdoa kepada Allahnya, meski ada larangan dari raja. Mereka menjebaknya dengan undang-undang, memaksakan rencana jahat dengan topeng hukum. Tapi Daniel tidak melawan dengan cara dunia. Ia tidak membela diri. Ia tidak berteriak. Ia tidak membalas.
Ia justru pulang, membuka jendela kamarnya, dan berdoa—seperti yang biasa ia lakukan.
Ia tahu, dalam dunia yang penuh tipu daya dan intrik, diam tidak selalu berarti kalah. Kadang, diam adalah bahasa iman. Saat semua mata menuduh, Daniel menengadah—bukan ke manusia, tapi ke Sumber pertolongannya.
Dan ketika akhirnya ia dilempar ke gua singa, Daniel tetap tidak bersuara. Ia tidak memohon-mohon kepada raja, tidak mengiba kepada algojo. Ia tetap memegang teguh imannya.
Dan di sanalah, di tempat paling gelap dan menakutkan itu, pembelanya turun tangan. Bukan seorang jenderal. Bukan pembesar kerajaan. Tapi Allah sendiri.
Tuhan mengutus malaikat untuk mengatupkan mulut-mulut singa. Bukan karena Daniel berteriak membela diri. Tapi karena Tuhan mengenal hatinya. Tuhan membela orang yang percaya dan tetap setia dalam diamnya.
Pagi hari, raja mendapati Daniel masih hidup—utuh, tanpa luka. Bukti nyata bahwa pembela sejati itu bukan manusia. Tapi Tuhan yang melihat segala ketulusan, yang bekerja bahkan dalam keheningan.
Daniel tidak perlu menjatuhkan siapa pun. Tuhan sendiri yang menjatuhkan para penuduhnya ke dalam lubang yang mereka siapkan.
Di dunia yang penuh tipu daya dan intrik, tak semua orang ingin melihat yang baik bersinar. Terlalu sering, cahaya mengusik mereka yang terbiasa hidup dalam bayang-bayang. Dan Daniel, dengan integritasnya yang utuh, menjadi duri bagi mereka yang punya hati bengkok. Ia tidak ikut bermain politik, tapi justru karena itu ia dibidik.
Para pejabat itu berkumpul, bukan untuk merancang kebaikan, melainkan untuk menyingkirkan seorang pria yang tak pernah mengusik mereka. Mereka menunjuk-nunjuk, membisikkan rencana, menyusun jebakan dengan licik. Daniel menjadi sasaran, bukan karena ia salah, tapi karena ia benar—terlalu benar di antara orang-orang yang tak tahan dengan kejujuran.
Mereka tak bisa menemukan cela dalam pekerjaannya. Tidak ada korupsi. Tidak ada manipulasi. Maka mereka mencari celah dalam imannya. Iman yang tak bisa ditawar, tak bisa digoyahkan, tak bisa dibeli.
Namun yang luar biasa dari Daniel bukan hanya kesetiaannya, tetapi sikap hatinya. Ia tidak membela diri di ruang rapat, tidak menulis surat pembelaan, tidak mengajak orang membelanya. Ia tahu siapa yang membelanya. Ia tahu siapa yang melihat, bahkan ketika dunia menuduh.
Ketika jari-jari menuding dengan garang, Daniel menunduk dalam doa. Ketika suara-suara menjelekkan nama baiknya, Daniel diam dalam pengharapan. Ia tidak terguncang oleh fitnah, karena hatinya sudah melekat kepada kebenaran yang lebih tinggi dari pengadilan manusia.
Dan di balik sorak-sorai para penuduh, Tuhan sedang menenun rencana pembelaan yang lebih besar.
Karena pada akhirnya, setiap tudingan akan dibungkam, bukan oleh perdebatan, tapi oleh bukti kasih setia Tuhan yang turun langsung membela orang yang hidup dalam kebenaran.
--
Di dunia yang penuh tipu daya dan intrik, terlalu banyak orang ingin terlihat benar tanpa harus menjadi benar. Mereka bersolek dengan citra, menyusun strategi untuk menjatuhkan orang lain agar tampak lebih tinggi. Dalam dunia seperti itu, orang seperti Daniel dianggap ancaman—bukan karena ia berbahaya, tapi karena ia jujur.
Ia menjadi cermin yang terlalu terang. Dan terang kadang menyakitkan bagi mata yang terbiasa dengan gelap.
Ketika Daniel mulai naik ke posisi yang lebih tinggi, bukan karena ambisi, tapi karena hikmat dan ketulusan kerjanya, iri hati pun menyelinap ke hati para pejabat. Mereka mengadakan pertemuan rahasia. Mata mereka menyala bukan karena kagum, tapi karena dendam.
"Dia harus disingkirkan," kata mereka.
"Lihat dia, seolah-olah paling benar."
Mereka menunjuk Daniel dalam diam, lalu bersatu dalam siasat. Mereka tahu, jika ingin menjatuhkan Daniel, itu tak bisa lewat pekerjaannya. Mereka harus menjebaknya lewat imannya.
Bayangkan—seorang pria yang tidak melakukan kesalahan administratif, tidak menyalahgunakan kekuasaan, tidak pernah culas... justru diperlakukan seperti musuh negara. Hanya karena ia tetap setia berdoa tiga kali sehari.
Dan ketika undang-undang disahkan untuk menjeratnya, Daniel tidak berteriak membantah. Tidak mencari pengacara, tidak menyerang balik. Ia masuk ke kamarnya, membuka jendela, dan seperti biasa, ia berlutut menghadap Yerusalem.
Ia tidak bereaksi pada tuduhan. Ia tetap melakukan kebiasaan kudusnya.
Betapa kuat seseorang yang tidak membela diri karena tahu dirinya dibela oleh Tuhan. Betapa berani orang yang tidak perlu membalas serangan karena percaya bahwa surga sedang mencatat semua dengan teliti.
Daniel ditunjuk-tunjuk di hadapan raja.
Tapi Tuhan sedang menunjuk Daniel di hadapan surga.
"Ini hamba-Ku yang setia. Dia tidak akan Aku tinggalkan."
Dan itu cukup.
Cukup untuk membuat singa lapar mendadak jadi jinak.
Cukup untuk membuat para penuduh akhirnya jatuh ke dalam jebakan yang mereka siapkan sendiri.
Karena dalam dunia penuh intrik dan tudingan palsu, orang yang tidak reaktif, yang tetap diam dalam kebenaran, justru sedang mengundang kuasa Tuhan turun tangan. Dan ketika Tuhan turun tangan, siapa yang bisa melawan?
----
Mereka menunjuk-nunjuk Daniel dengan jari yang gemetar oleh iri hati, bukan oleh kebenaran. Mereka menyusun tuduhan dengan napas panas, seolah kebenaran bisa ditekuk jika cukup banyak suara mengatakannya salah.
Padahal yang mereka hadapi bukan orang sembarangan—tapi seorang pria yang telah lama mengalahkan egonya, mengalahkan keinginan untuk menang sendiri, bahkan mengalahkan ketakutan akan kematian.
Daniel tak membela diri karena ia tak butuh panggung pembenaran. Ia tahu, semakin keras orang bicara untuk membenarkan diri, semakin jelas bahwa hati mereka rapuh. Tapi ketenangan? Ketenangan seperti milik Daniel? Itu hanya milik mereka yang tahu siapa yang berdiri di pihak mereka, bahkan dalam senyap.
Tudingan itu bertubi-tubi. Bagaikan panah-panah busuk yang dilepaskan bukan karena kebenaran telah dilanggar, tapi karena ada satu pria yang hidup terlalu bersih sehingga kehadirannya terasa seperti penghakiman diam bagi yang hidup sembarangan.
Daniel tidak panik. Ia tidak sibuk menjelaskan. Ia tidak lempar opini ke publik. Karena bagi Daniel, tidak semua tudingan layak dijawab. Ada fitnah yang justru hancur sendiri ketika tidak diladeni.
Dan inilah yang paling menyakitkan bagi para penuduhnya:
Daniel tidak melawan mereka.
Daniel tidak peduli.
Ia lebih memilih berlutut pada Allahnya ketimbang beradu argumen dengan manusia yang sedang mabuk kuasa.
Orang-orang itu haus pengakuan. Tapi Daniel... dia haus akan hadirat.
Mereka mengandalkan strategi. Tapi Daniel... dia mengandalkan langit.
Dan langit tidak butuh debat panjang. Langit hanya butuh satu hal:
Iman yang tidak goyah, bahkan ketika bumi sedang berguncang.
Mereka pikir mereka berhasil ketika Daniel dilempar ke gua singa. Mereka pikir akhirnya satu per satu lawan mereka tersingkir. Tapi yang tidak mereka tahu adalah ini: orang yang dijebak karena setia kepada Tuhan bukan sedang dijatuhkan—tapi sedang diangkat.
Karena singa bukan ujian akhir.
Singa hanyalah saksi bahwa ketika dunia menunjuk dengan fitnah,
Tuhan menunjuk dengan kasih-Nya, dan berkata:
"Lihat, itu milik-Ku. Jangan sentuh dia. Aku sendiri yang akan membela."
----
Lucunya, mereka pikir bisa menjatuhkan orang benar hanya dengan suara mayoritas. Seolah jumlah bisa menutupi kebusukan. Seolah konsensus bisa mengubah hitam jadi putih.
Mereka menunjuk Daniel di hadapan raja. "Dia melanggar hukum, dia membangkang, dia tidak tunduk."
Padahal mereka tahu—yang mereka lawan bukan pemberontak, tapi pria yang terlalu lurus untuk dimanipulasi. Dan itu masalah besar bagi orang yang terbiasa main kotor.
Karena orang jahat tak selalu takut Tuhan,
Tapi mereka takut orang yang takut Tuhan.
Mereka takut pada Daniel bukan karena kekuatannya, tapi karena diamnya. Karena diam Daniel lebih berwibawa daripada teriakan seribu politikus busuk. Karena integritasnya tak bisa dibeli, tak bisa dikendalikan, tak bisa ditukar dengan kursi atau pujian.
Daniel tidak reaktif, dan itulah yang membuat mereka resah.
Karena manusia yang tak bisa dipancing emosi, adalah manusia yang sudah selesai dengan pengakuan dunia.
Dan itu mengerikan bagi mereka yang hidup dari validasi semu.
Mereka haus dipuja, Daniel haus akan kebenaran.
Mereka cari panggung, Daniel mencari wajah Tuhan.
Mereka sibuk menebar opini, Daniel sibuk menabur iman.
Daniel tahu, ia sedang dijadikan tontonan. Tapi ia juga tahu, langit sedang menonton balik. Ia tahu para penuduhnya sedang tersenyum puas, tapi ia juga tahu bahwa Tuhan tidak tidur.
Dan lihatlah—seberapa hina hati manusia:
Mereka menjebak dengan hukum yang dibuat khusus untuk satu orang.
Mereka mengemas iri hati dalam bungkus legalitas.
Mereka menandatangani surat kematian seseorang dengan tangan yang penuh tinta kemunafikan.
Tapi Daniel?
Ia tidak gemetar.
Ia tidak berusaha menyelamatkan reputasi.
Ia tidak pasang wajah membela diri.
Karena ia tahu...
Lebih baik dimasukkan ke gua singa oleh manusia,
daripada dijauhkan dari hadirat Tuhan demi menyenangkan mereka.
Dan begitulah:
Seseorang bisa menjadi sasaran kebencian hanya karena ia terlalu tulus.
Bisa dilempar ke lubang kehancuran hanya karena ia tidak bisa diajak kompromi dengan kebusukan.
Bisa diadili bukan karena ia salah, tapi karena keberadaannya membongkar dosa orang lain tanpa berkata sepatah kata pun.
Daniel tidak bersuara. Tapi Tuhan yang bersuara untuknya.
Dan ketika Tuhan bersuara, mulut singa pun takluk.
Mulut para penuduh, satu per satu akan bungkam.
Karena siapa pun bisa menjatuhkanmu dengan fitnah,
tapi hanya Tuhan yang bisa meninggikanmu kembali dengan kemuliaan.
---
Karena begitulah dunia bekerja—mereka tidak mencintai yang benar, mereka hanya mencintai yang bisa dikendalikan.
Dan Daniel? Terlalu tak tergoyahkan. Terlalu tidak bisa dibentuk sesuai kemauan mereka.
Ia tidak main mata, tidak cari aman, tidak pura-pura demi jabatan.
Ia tidak mencium tangan kekuasaan demi posisi. Ia mencium tanah, setiap hari, demi Tuhan.
Itu sebabnya ia ditakuti.
Bukan karena kekerasan, tapi karena keteguhan.
Bukan karena pengaruh politik, tapi karena prinsipnya tak bisa dibeli.
Dan orang seperti itu... akan selalu jadi musuh bagi mereka yang terbiasa hidup dengan topeng.
Mereka bilang: “Daniel melanggar hukum.”
Padahal yang mereka maksud adalah: “Daniel tidak ikut rusak bersama kami.”
Mereka buat aturan bukan untuk menertibkan, tapi untuk menyingkirkan.
Mereka reka-reka skenario, pura-pura jaga kebenaran, padahal satu-satunya yang mereka jaga adalah kedok.
Karena Daniel mengancam eksistensi mereka—cukup dengan tidak ikut bermain.
Lalu mereka tunjuk-tunjuk dia, seperti pemburu menunjuk rusa yang tak bersenjata.
Tapi mereka lupa…
Rusa itu tidak sendirian.
Ia dijaga oleh Singa Yehuda.
Mereka pikir mereka berkuasa.
Tapi Tuhan sedang menunggu satu malam saja—untuk membuktikan bahwa tidak semua yang dijatuhkan manusia akan hancur.
Beberapa justru sedang dibentuk, diproses, dan dimenangkan dengan cara yang tak terduga.
Dan di sanalah letak ironi terdalamnya:
Mereka teriak “hukum!”
Padahal merekalah pelanggar moral paling licik.
Mereka teriak “pengkhianat!”
Padahal merekalah pengkhianat pertama atas hati nurani mereka sendiri.
Mereka angkat tangan menunjuk Daniel,
padahal tangan mereka kotor oleh darah ambisi dan permainan busuk.
Tapi Daniel tidak balas menunjuk.
Ia tidak lempar balik. Tidak buka aib. Tidak bongkar kebusukan yang ia tahu.
Ia cuma buka jendela,
berlutut,
dan bicara kepada Satu-satunya Hakim yang tak bisa disuap.
Dan langit pun mencatat segalanya.
Karena begini:
Fitnah bisa membunuh karakter,
tapi tidak bisa mematikan panggilan.
Manusia bisa membungkam mulutmu,
tapi mereka tak bisa membungkam tangan Tuhan yang sedang menulis akhir kisahmu.
Fajar pun datang.
Dingin. Hening.
Langit seperti menahan napas.
Dan para penuduh berkumpul, penuh harap bahwa tulang-tulang Daniel telah tercerai-berai oleh singa.
Mereka haus kabar buruk—karena di sanalah mereka ingin meminum pembenaran atas kejahatan mereka.
Mereka ingin mengubur Daniel bukan hanya secara fisik,
tapi juga secara reputasi.
Mereka ingin sekali berkata,
“Lihat? Tak ada gunanya hidup benar. Lihat? Tak ada untungnya setia kepada Tuhan.”
Tapi langit punya rencana lain.
Karena saat gua dibuka,
tidak ada aroma darah.
Tidak ada tubuh yang koyak.
Tidak ada jeritan maut.
Yang keluar adalah ketenangan.
Yang bersinar adalah wajah seorang benar yang baru saja tidur bersama singa,
dan tak satu pun menyentuhnya—karena Tuhan sendiri yang menutup mulut para pemangsa.
Daniel tidak hanya selamat. Ia dimuliakan.
Bukan oleh manusia, tapi oleh takdir yang Tuhan tulis sendiri dengan tinta keadilan surgawi.
Dan kini, mulut-mulut yang dulu berkoar paling keras... membisu.
Karena ketika yang mereka harapkan adalah tragedi,
Tuhan mengubahnya menjadi panggung kemenangan.
Ketika mereka pikir kisah Daniel sudah tamat,
Tuhan baru saja menulis prolog kebangkitan moral yang tak bisa disangkal.
Dan di hadapan semua itu,
para penuduh menjadi telanjang.
Mereka tidak lagi tampak saleh.
Tidak lagi tampak berwibawa.
Yang tampak hanyalah wajah-wajah haus kuasa, yang kini diludahi oleh sejarah yang mencatat:
mereka pernah mencoba menyingkirkan orang benar—dan gagal total.
Mereka yang ingin melihat Daniel mati,
kini melihat diri mereka dikubur oleh aib yang mereka gali sendiri.
Sebab Tuhan tidak hanya menyelamatkan,
Tuhan juga membalikkan panggung.
Mereka kirim Daniel ke gua singa,
tapi akhirnya mereka sendiri yang dilempar masuk.
Tanpa perlindungan. Tanpa belas kasih. Tanpa keajaiban.
Dan langit bersaksi:
Inilah perbedaan antara manusia yang dibela Tuhan,
dan manusia yang cuma dibela ego dan fitnah.
---
Mereka bilang:
“Dia pasti habis.”
“Dia pasti dimangsa.”
“Tak ada jalan keluar bagi orang sepertinya.”
Tapi mereka lupa satu hal:
Orang yang bersandar pada Tuhan tak perlu membela diri—karena Tuhan sendirilah pembela yang tak terkalahkan.
Dan hari itu, di bawah langit yang baru saja menyaksikan mukjizat,
semua tangan yang pernah menunjuk...
luruh.
Gemetar.
Mati kutu oleh satu fakta yang tak terbantahkan:
Tuhan berpihak pada Daniel.
Dan itu cukup untuk membuat seluruh sistem busuk runtuh tanpa perlawanan.
Tak perlu balas mencaci.
Tak perlu expose kejahatan.
Tak perlu konfrontasi di ruang publik.
Cukup satu malam dalam gua,
dan satu pagi penuh kemuliaan.
Karena pembelaan dari Tuhan bukan hanya menyelamatkan,
tapi membungkam segala suara yang sebelumnya merasa paling benar.
Seribu tangan bisa mengangkat batu untuk melempar.
Seribu mulut bisa merumuskan siasat.
Seribu lidah bisa menabur fitnah.
Tapi satu gerakan Tuhan saja—dan semua itu tak berarti apa-apa.
Daniel keluar tanpa luka.
Tanpa trauma.
Tanpa kutukan.
Yang keluar dari gua itu bukan hanya tubuh Daniel—
tapi juga keabsahan bahwa integritas masih punya tempat di dunia ini.
Dan apa yang dilakukan Tuhan hari itu bukan sekadar menyelamatkan satu orang.
Itu adalah deklarasi keras kepada dunia:
"Siapa menyentuh yang benar, akan berurusan dengan-Ku.
Siapa menjebak yang jujur, akan masuk perangkapnya sendiri."
Kemunafikan boleh punya mikrofon.
Fitnah boleh punya panggung.
Ambisi boleh punya strategi.
Tapi ketika Tuhan turun tangan,
semua yang tinggi tanpa fondasi akan roboh tanpa peringatan.
Hari itu, semua yang pernah menunjuk Daniel,
berakhir tanpa suara.
Karena Tuhan membela dengan cara yang tidak bisa dibantah,
tidak bisa diputarbalik, dan tidak bisa diabaikan.
Itulah kemenangan yang tidak perlu dibanggakan,
karena kemuliaannya terlalu sakral untuk dijadikan alat balas dendam.
Dan Daniel?
Ia tidak menuntut pengakuan.
Ia hanya kembali ke jendelanya.
Berlutut.
Dan tetap mencium tanah.
Karena orang-orang seperti Daniel tidak haus sorak kemenangan.
Mereka hanya rindu hadirat Tuhan.
Dan langit pun berseru:
"Lihat, beginilah Aku membela milik-Ku."
-----
Karena beginilah dunia para munafik:
Mereka bisa merangkai citra seolah-olah bermoral,
Tapi Tuhan melihat sampai ke saraf niat terdalam.
Mereka bersidang dengan jubah keagungan,
Tapi Tuhan tahu itu hanya kostum sirkus untuk menipu publik.
Mereka bisa menipu manusia. Tapi langit tak pernah bisa ditipu.
Mereka duduk di kursi otoritas,
menuding, mengatur, menyusun narasi seolah membela kebenaran—
Padahal mereka sedang melindungi kepentingan busuknya sendiri.
Mereka tidak sedang menegakkan keadilan.
Mereka sedang membersihkan jalan agar kejahatannya tak terhalang.
Tapi waktu Tuhan berkata, “Cukup.”
Semua panggung mereka runtuh.
Semua mikrofon mereka mati.
Semua strategi mereka jadi debu.
Karena hukum Tuhan bekerja bukan di ruang debat,
Tapi di kedalaman hati dan kemurnian nurani.
Dan ketika tangan Tuhan mengayun,
Tak ada kedudukan yang cukup tinggi untuk bersembunyi.
Tak ada pencitraan yang cukup rapi untuk mengelabui.
Yang tinggi akan direndahkan.
Yang mengangkat diri akan dijatuhkan.
Yang membungkus kebusukan dengan ayat akan diludahi langit sendiri.
Karena Tuhan tidak buta.
Ia hanya sabar.
Dan ketika kesabaran-Nya habis,
Tidak ada satu pun benteng kemunafikan yang bisa berdiri lebih dari satu detik.
Itulah pembelaan Tuhan.
Bukan sekadar menyelamatkan si benar,
Tapi juga membuka borok dunia yang berpura-pura bersih.
Tuhan tidak hanya membebaskan Daniel,
Ia mempermalukan semua penuduh yang terlalu nyaman hidup dalam kepalsuan.
Dan itulah pengadilan sejati:
Ketika kebenaran tidak perlu berteriak—karena kehadirannya sendiri sudah cukup memecah keheningan yang penuh tipu daya.
Begini caranya Tuhan membela—bukan dengan bisikan lembut, bukan dengan pelukan penyelamatan yang samar. Pembelaan-Nya menggema seperti petir yang membelah langit malam, mengguncang dunia yang penuh tipu daya ini.
Mereka bisa menipu sesama manusia. Mereka bisa menjerat siapa saja dengan intrik, dengan hukum yang diselewengkan, dengan konspirasi yang ditutupi rapi. Tapi tidak ada yang bisa menipu Tuhan. Tidak ada yang bisa mengelabui-Nya dengan senyum manis atau topeng kesucian. Tuhan melihat segala sesuatunya—dan saat waktu-Nya tiba, pembelaan-Nya akan seperti badai yang menghancurkan semua yang bertahan dengan kebohongan.
Bahkan jika seribu tangan mengangkat batu untuk melemparkan Daniel ke dalam gua singa,
batu itu hanya akan jatuh ke tanah—karena Tuhan tidak pernah membiarkan yang benar hancur tanpa tujuan.
Ketika Tuhan turun tangan, tidak ada yang bisa menghalangi-Nya. Tidak ada kutukan yang lebih tajam daripada hukuman-Nya bagi mereka yang bersembunyi di balik kesucian palsu. Mereka yang merasa aman dengan kedudukan mereka—itu hanya ilusi belaka. Tuhan memandang hati, dan di hadapan-Nya semua yang tinggi tanpa dasar yang benar pasti akan runtuh.
Pembelaan Tuhan itu nyata. Dan ketika itu mengelegar, semua yang merasa aman dalam kebohongan mereka, semua yang merasa diri mereka lebih unggul—akan terkejut. Mereka yang dulu menahan napas, menunggu Daniel mati di dalam gua, akan menyaksikan kenyataan yang jauh lebih mengguncang: Daniel keluar hidup-hidup, tanpa satu luka pun, sementara mereka sendiri yang terhukum oleh kejahatan yang mereka tanamkan.
Dan saat itulah, kebohongan mereka mulai pecah.
Tidak ada yang lebih menakutkan daripada kebangkitan orang benar yang Tuhan bela. Karena pembelaan Tuhan bukan sekadar tentang keselamatan individu. Itu adalah deklarasi keras bahwa segala yang dibangun dengan kebohongan dan tipu daya akan terungkap. Semua yang dibangun dengan ketidakadilan akan hancur. Tidak ada satu pun yang tersembunyi di bawah langit ini—karena Tuhan tahu segalanya, dan saat waktu-Nya tiba, segala sesuatunya akan dibuka, dan mereka yang berpura-pura benar akan tampak seperti apa adanya: penuh noda dan kemunafikan.
Pembelaan Tuhan mengelegar, dan itu bukan hanya untuk satu orang—itu adalah panggilan bagi semua yang hidup dalam kebenaran, untuk tahu bahwa mereka tidak sendirian. Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya, tidak pernah membiarkan mereka terjerat dalam dunia yang rusak. Ketika dunia mengatakan, “Tidak ada harapan,” Tuhan berkata, “Aku akan melawanmu dengan kebenaran.”
Dan ketika itu terjadi, dunia akan terdiam. Dunia akan menyaksikan bahwa kebenaran, meskipun tidak bisa dilihat dengan mata kasar, tetap akan menang. Karena Tuhan selalu menepati janji-Nya.
Pembelaan Tuhan itu nyata—dan saat ia mengelegar, ia tidak hanya menyelamatkan, tapi juga menghancurkan segala kebohongan.
Bukan hanya sekadar kebetulan atau nasib baik yang membawa Daniel keluar dari gua singa itu. Itu adalah pembelaan Tuhan yang tidak bisa ditutupi oleh topeng kemunafikan apapun.
Dunia ini penuh dengan permainan busuk, dengan para penjilat yang siap menginjak siapa saja demi satu kursi lebih tinggi. Mereka bisa merangkai kebohongan sehalus sutra, menyesatkan dengan wajah polos yang seakan tak punya noda. Tapi Tuhan? Tuhan tidak butuh pencitraan. Dia melihat apa yang tersembunyi di balik setiap senyum, di balik setiap ucapan penuh gincu dan janji manis. Tuhan tidak tertipu dengan tipuan kecil manusia.
Mereka bisa terus berbicara tentang hukum, aturan, dan moralitas, sementara tangan mereka yang penuh noda bersyukur atas sistem yang mereka ciptakan sendiri untuk melindungi kebusukan mereka. Mereka bisa menunjuk Daniel dengan jari-jari penuh rasa puas—seolah mereka yang paling benar. Tapi Tuhan tidak pernah salah dalam menilai.
Apa yang mereka sebut "hukum," Tuhan sebut "penipuan."
Apa yang mereka sebut "kebenaran," Tuhan sebut "kepalsuan."
Saat mereka berteriak, “Daniel pasti akan jatuh!”—Tuhan hanya memandang, menunggu waktu-Nya untuk datang, dan ketika Tuhan berkata, "Sekarang," dunia ini tahu bahwa tidak ada satu pun kekuatan manusia yang bisa menahan pembelaan-Nya. Tidak ada satu pun kebohongan yang bisa bertahan di hadapan-Nya.
Pembelaan Tuhan itu tidak pernah lembut.
Itu seperti palu besar yang menghancurkan segala sandiwara mereka. Mereka menyangka bahwa mereka bisa terus memegang kendali, menciptakan aturan mereka sendiri, mendikte siapa yang layak dan siapa yang harus tersingkir. Tapi Tuhan? Tuhan tidak peduli dengan permainan mereka. Ketika Tuhan turun tangan, semua yang tinggi dan rapuh itu—tanpa fondasi yang benar—akan runtuh dalam sekejap.
Jadi, mereka merencanakan, berbisik di balik pintu, menunggu kejatuhan Daniel dengan senyum penuh harap. Mereka tertawa—mereka merasa pasti menang. Mereka pikir Tuhan takkan peduli, atau mungkin mereka merasa cukup pintar untuk mengelabui-Nya. Mereka yang merasa di atas angin itu hanya bisa menunggu akhir yang mereka takkan pernah duga.
Dan ketika fajar menyingsing, ketika gua itu terbuka, mereka menyaksikan kebenaran yang tak bisa dibungkam oleh kebohongan mereka. Daniel keluar, tanpa goresan sedikit pun, berdiri tegak di tengah kebohongan yang mulai terungkap. Dan mereka? Mereka terkejut, terdiam, seperti murid yang disadarkan bahwa ujian yang mereka kira mudah, ternyata mengungkap semua kebusukan yang mereka sembunyikan.
Kebenaran itu, yang sebelumnya dianggap tak penting, kini mengelegar seperti ledakan besar yang meruntuhkan tembok-tembok rapuh yang mereka bangun dengan ambisi dan kebusukan. Daniel yang mereka anggap remeh, yang mereka pikir akan hancur begitu saja, kini menjadi simbol bagi setiap orang yang hidup dalam integritas dan keteguhan.
Mereka bisa merencanakan sepuasnya. Mereka bisa merancang strategi seperti catur, menggerakkan pion-pion mereka untuk menjatuhkan siapa saja yang tak sejalan. Tapi ketika Tuhan yang memegang kendali, semua itu akan hancur dalam sekejap. Dan mereka, yang dulu memandang Daniel dengan jijik, kini harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kebenaran tak bisa disembunyikan selamanya.
Tuhan bukan hanya membela Daniel—Tuhan membuat mereka yang berpura-pura benar, yang bersembunyi di balik kedudukan dan hukum, tersungkur dalam keheningan. Semua yang mereka bangun dari kebohongan itu hancur dengan suara yang lebih keras daripada apapun yang bisa mereka buat.
Karena, sekali lagi: Ketika Tuhan turun tangan, tidak ada yang bisa bertahan—kecuali mereka yang berdiri teguh dalam kebenaran.
Dan saat itu datang—ketika gua singa terbuka dan dunia menunggu dengan napas tertahan, semua kebohongan mereka yang dijaga rapat-rapat akhirnya terkubur dalam keheningan. Mereka berpikir bahwa Daniel akan menghadap ke penghancuran, bahwa ia akan menjadi bukti betapa tinggi panggung mereka, betapa benar aturan yang mereka buat untuk merendahkan yang tidak mau tunduk. Tetapi, kenyataannya? Yang terungkap adalah kebusukan mereka yang sejatinya lebih rapuh daripada sekeping kaca.
Mereka bisa menciptakan hukum untuk menjerat, bisa mendikte siapa yang boleh hidup dan siapa yang harus mati dalam lingkaran politik kotor mereka. Mereka berpikir bahwa ketakutan adalah cara terbaik untuk mengendalikan. Mereka pikir dengan menahan nafas sambil memanipulasi dunia, mereka akan selalu memenangkan permainan ini.
Tapi saat itu, Tuhan menunjukkan pada mereka—sebuah bukti tak terbantahkan bahwa tidak ada yang lebih besar dari kebenaran. Pembelaan Tuhan bukan sekadar penyelamatan dari kejatuhan, tapi juga adalah tamparan keras yang membuat para penguasa yang rakus dan para pemimpin yang lupa diri terkejut dalam keterpurukan. Semua yang mereka bangun dengan darah dan air mata orang tak berdosa—itu hancur tanpa ampun. Mereka yang mengandalkan kuasa dan kekuatan mereka merasa dunia ini milik mereka, tetapi Tuhan datang dengan cara yang tak bisa mereka duga.
Fitnah mereka takkan bertahan lama. Sebagaimana mereka merancang untuk meruntuhkan seorang yang tidak bersalah, mereka justru menemukan diri mereka berada dalam reruntuhan kebohongan yang mereka semai sendiri. Mereka yang teriak “hukum! hukum!” ternyata adalah pelanggar moral terbesar yang tersembunyi dalam permainan serakah mereka.
Kemunafikan boleh mengangkat tangan untuk menuding, tapi saat Tuhan memilih untuk turun tangan, itu adalah penghancur tuntas bagi segala tipuan dunia. Dunia bisa menunda kebenaran, bisa menguburnya di balik semua intrik dan manipulasi, tapi waktu Tuhan akan datang dengan cara yang menggetarkan dan tak bisa dihindari. Dan ketika itu datang, mereka yang dulu bangga dengan kedudukan dan kekuasaan mereka—akan tersungkur tak berdaya, dengan muka memerah malu, menyadari bahwa mereka telah berjuang untuk sesuatu yang kosong.
Mereka berpikir, "Kami berkuasa. Kami lebih kuat. Kami bisa membuat segalanya berputar seperti yang kami inginkan." Tapi Tuhan memandang mereka dengan cermat, dan waktu-Nya tiba saat mereka tak bisa lagi berdiri di balik kebohongan mereka. Ketika yang benar keluar, semua yang mereka sembunyikan dalam bayang-bayang akan terungkap terang benderang.
Dan inilah kenyataannya—hukum mereka palsu, moralitas mereka rapuh, dan kedudukan mereka hanyalah ilusi. Ketika Daniel berdiri keluar dari gua singa itu, Tuhan membuktikan bahwa kebenaran tak perlu berteriak untuk mengalahkan kebohongan. Kebenaran cukup diam, tetapi tetap teguh, tetap kuat. Dan begitu dunia melihat apa yang terjadi, mereka yang mengira mereka lebih berkuasa daripada Tuhan hanya bisa menatap dari kejauhan, menyaksikan reruntuhan mereka sendiri.
Tuhan tak perlu menjelaskan diri-Nya. Keadilan-Nya tidak butuh pembelaan. Pembelaan Tuhan itu begitu nyata—terlalu nyata, hingga mereka yang berusaha melawan-Nya akhirnya hanya bisa terdiam di hadapan-Nya.
Ketika Tuhan memilih untuk membela, semua yang bertahan di atas kebohongan akan runtuh tanpa peringatan. Mereka yang merasa berkuasa karena tipu daya, ambisi pribadi, dan tangan-tangan kotor mereka—mereka yang menyangka bahwa dunia ini hanya milik mereka—akan menyaksikan bagaimana segala yang mereka anggap kuat itu hancur dalam sekejap.
Dan saat itu— saat mereka berusaha menundukkan Daniel, atau siapa pun yang Tuhan pilih, mereka hanya akan melihat bagaimana keteguhan dalam kebenaran dan pembelaan Tuhan bisa menghancurkan segala yang mereka bangun. Saat fajar datang, saat pembelaan Tuhan itu mengelegar, mereka yang semula berkuasa—hanya akan menjadi debu.
Coba lihat! Mereka yang berlari-lari mengklaim kebenaran seolah itu milik mereka—penuh kedengkian dan kebohongan. Mereka bilang, “Daniel itu menentang hukum!” Sementara yang mereka sebut hukum itu hanyalah aturan untuk menundukkan orang yang tidak mau patuh pada permainan busuk mereka. Mereka buat segalanya supaya bisa mengekang, menekan, dan menghapus setiap prinsip yang mereka anggap mengancam kedudukan mereka.
Tapi apa yang mereka sebut kebenaran itu hanyalah ilusi—sekadar omong kosong untuk menutupi wajah mereka yang penuh debu dan keringat dosa. Mereka menunggu—mengintai, siap mengubur Daniel, siap melihat dia jatuh karena tidak mau menjadi bagian dari permainan mereka. Mereka yakin bahwa dengan segala tipu daya mereka, kebenaran akan mati. Mereka pikir dengan segala permainan kotor mereka, Daniel akan menundukkan kepala dan terjatuh begitu saja.
Tapi Tuhan tertawa di hadapan mereka.
Ketika gua itu terbuka dan Daniel keluar, mereka yang semula berpikir bahwa mereka menguasai segalanya, mendapati bahwa yang mereka kira permainan mereka itu ternyata cuma sampah. Mereka yang merasa berkuasa—yang menganggap bisa memanipulasi hukum, bisa mengendalikan dunia—sekarang harus menghadapi kenyataan bahwa semua itu hanyalah pertunjukan, dan mereka hanya aktor-aktor payah yang tertangkap basah.
Fitnah bisa berteriak lebih keras, tetapi suara fitnah takkan pernah mengalahkan keadilan Tuhan. Semua kedok mereka yang terbuat dari kebohongan dan pencitraan—akan terjatuh seketika.
Mereka mengira mereka bisa terus memainkan permainan ini, terus membungkam yang benar dengan suara-suara mereka yang penuh kepura-puraan. Mereka bisa mengangkat jari, bisa menggertak, bisa menunjuk Daniel dengan penuh kebencian. Mereka bisa berpura-pura tak melihat, berpura-pura tak mendengar, tapi Tuhan melihat segalanya. Dia tak peduli seberapa tinggi posisi mereka, seberapa besar kedudukan mereka—karena kebenaran milik-Nya dan Dia yang menguasai segala sesuatu.
Mereka bisa menggertak, tapi tak ada yang lebih menggetarkan daripada tangan Tuhan yang turun tangan.
Dan itulah yang mereka tak pahami. Kekuatan mereka tak ada artinya ketika Tuhan memutuskan untuk membela. Mereka bisa teriak dan mengadu ke sana-sini, bisa berusaha menutupi setiap kebohongan mereka dengan lebih banyak kebohongan—tapi saat Tuhan bicara, semua yang mereka bangun dengan tangan kotor itu akan terhapus dalam sekejap.
Mereka pikir mereka cerdas, menganggap bahwa dengan manipulasi, mereka bisa meraih kemenangan. Tapi Tuhan menghancurkan segala sandiwara mereka hanya dengan satu keteguhan hati yang tak bisa digoyahkan. Mereka yang bersembunyi di balik kebohongan, di balik kedudukan, akhirnya melihat bagaimana segala sesuatu yang mereka anggap kokoh itu hanya bubur basi yang tersisa di atas meja. Mereka yang menangis, yang merencanakan kejatuhan Daniel—mereka justru melihat kejatuhan mereka sendiri.
Apa yang mereka anggap tak terkalahkan, hanyalah rumah pasir yang mudah dihancurkan Tuhan. Ketika Daniel keluar dari gua singa itu, mereka yang paling berkuasa, yang paling tinggi, hanya bisa terdiam. Mereka tak bisa berbuat apa-apa selain menatap langit dan merasa malu—malu karena mereka tahu, selama ini mereka hanya bermain dengan bayangan, dengan kebohongan yang tidak bisa bertahan.
Lalu apa yang mereka lakukan setelah itu? Mereka akan bersembunyi di balik hukum yang mereka ciptakan sendiri, memoles citra mereka dengan lebih banyak dusta, berharap orang akan tetap melihat mereka sebagai pahlawan. Tapi Tuhan tak peduli dengan pahlawan palsu. Tuhan tidak menilai dari seberapa keras seseorang berteriak atau seberapa tinggi suara mereka di atas panggung. Tuhan melihat ke dalam hati, ke dalam setiap kebusukan yang disembunyikan di balik jubah suci mereka.
Dan akhirnya, saat semuanya terbuka—mereka yang merasa aman dengan kebohongan mereka, yang mengira mereka berkuasa dengan tipu daya, harus menerima kenyataan pahit bahwa mereka hanyalah boneka dalam permainan yang lebih besar. Tuhan bukan hanya membela Daniel, tapi Dia membuktikan bahwa siapa yang berdiri dalam kebenaran, takkan pernah dibiarkan jatuh, meski dunia mencoba meremukkan mereka.
Dengan lembut, meski dalam kebesaran-Nya yang tak terukur, Tuhan menunjukkan bahwa kebenaran bukanlah soal suara yang paling keras, melainkan tentang keheningan yang mendalam dan tak tergoyahkan. Seperti langit yang menyaksikan malam, begitu juga hati yang tulus dalam ketenangan-Nya, tak pernah goyah oleh badai fitnah atau kesesatan.
Ketika gua singa itu terbuka, dunia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar kebangkitan seorang manusia—mereka menyaksikan keadilan Tuhan yang tak terbendung, yang datang dengan kelembutan dan kekuatan yang tak bisa dilawan. Semua yang penuh tipu daya, yang penuh muslihat, dan yang diselubungi dengan kebohongan, akhirnya terungkap di bawah sinar yang tak bisa dipadamkan. Kebenaran, seperti air yang jernih, akhirnya mengalir dan membersihkan segala kekotoran yang ada.
Dan begitu Tuhan turun tangan, tak ada yang bisa menentang-Nya. Semua hati yang tertutup oleh kebusukan dan niat buruk, tak mampu lagi menahan kebeningan-Nya. Setiap rencana busuk yang disusun dalam gelap, akhirnya terungkap oleh terang-Nya. Mereka yang berniat menumbangkan yang benar, akhirnya hanya bisa merasakan betapa rapuhnya setiap bangunan yang mereka dirikan dari ketidakjujuran.
Tuhan membuktikan bahwa pembelaan-Nya tak datang dengan kebisingan, namun dengan ketenangan yang menenangkan setiap jiwa yang terperangkap dalam kecemasan duniawi. Dia adalah Sang Hakim yang tak perlu berbicara keras, karena dalam diam-Nya, semua yang tak benar runtuh dengan sendirinya.
Dan begitulah, kisah ini berakhir bukan dengan kejatuhan seseorang, tapi dengan kebangkitannya—bukan hanya dalam kemenangan fisik, tapi dalam keabadian yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan, Sang Pembela yang tak terbantahkan. Dan di sana, dalam diamnya yang indah, kebenaran menang, membungkam semua hati yang tak tulus.
Saat dunia berlarian mengejar bayang-bayang, mereka yang berdiri dalam kebenaran akan selalu dipelihara, dipertahankan, dan akhirnya, dibenarkan oleh Tuhan yang tak pernah mengecewakan. Itulah pembelaan-Nya yang sejati.
Komentar
Posting Komentar