Jeritan Sunyi di Balik Kata-kata

Setiap tulisan yang kutorehkan bukan sekadar rangkaian aksara…

melainkan jeritan sunyi dari hati yang sedang diremukkan oleh proses kehidupan.

Aku menulis bukan karena segalanya baik-baik saja,

tapi karena aku sedang dibentuk—dipatahkan untuk disusun ulang menjadi lebih utuh.


Di balik setiap paragraf yang mungkin tampak tenang,

tersimpan malam-malam panjang yang kulewati dalam diam,

dengan air mata yang jatuh tanpa suara,

dan doa-doa yang kusampaikan dalam bahasa langit.


Jika ada yang terasa kurang berkenan dari tulisan-tulisanku,

izinkan aku memohon maaf yang dalam.

Bukan maksudku melukai, apalagi mengusik,

hanya saja… itu adalah jeritan rasa yang tak sanggup lagi kupendam.

Kadang, ia menjelma rindu yang tak tersampaikan,

kadang, ia berubah menjadi pantulan dari luka yang terlalu lama mengendap.


Aku sadar, tak semua isi hati layak disaksikan dunia,

namun jika itu satu-satunya jalan agar aku tak karam,

maka biarlah kata-kata menjadi perahuku di tengah badai.


Ada masa ketika hati tak mampu bersukacita melihat hidup orang lain,

dan kita buru-buru menyangka, mungkin merekalah yang salah.

Padahal… seringkali, yang bermasalah bukan mereka—melainkan ruang kosong di hati kita sendiri.

Ada sesuatu yang diam-diam merebut damai di dalam dada,

dan alih-alih mengoreksi diri,

kita justru sibuk mencari pembenaran,

sibuk menunjuk tanpa benar-benar menengok ke cermin jiwa.


Aku sedang belajar…

bahwa mengakui kekosongan bukan kelemahan,

dan menangis bukan tanda kalah.

Aku sedang belajar menerima,

bahwa luka tak selalu harus disembuhkan dengan tergesa-gesa,

karena kadang Tuhan sedang mengukir makna dalam proses perih itu sendiri.


Jika tulisanku menyentuhmu,

itu semata karena kita—mungkin—pernah berjalan di lorong luka yang serupa.

Dan jika tidak,

biarlah ia tetap menjadi pengingat:

bahwa di dunia yang sibuk menyembunyikan tangis,

aku memilih menuliskannya…

dengan jujur, dengan rapuh,

dan dengan harapan… bahwa aku sedang menuju pulih.


-----

Aku tahu, tak ada yang instan dalam proses penyembuhan.

Tak ada jalan pintas menuju kelegaan jiwa.

Yang ada hanyalah satu langkah kecil, diikuti langkah kecil lainnya,

di tengah detak waktu yang terkadang terasa menghimpit dada.


Aku masih belajar membiarkan air mata jatuh tanpa merasa bersalah,

belajar memeluk diriku sendiri saat dunia terasa terlalu bising.

Dan pada malam-malam tertentu, ketika sunyi kembali merambat ke dinding hati,

aku menyalakan seberkas cahaya kecil dari dalam kata-kata.

Bukan untuk mengusir gelap sepenuhnya,

tapi agar aku tahu: aku belum menyerah.


Sebab ada harapan yang tak selalu bersuara lantang,

tapi ia tetap hidup dalam ketabahan yang tak terlihat.

Ada kekuatan yang tak perlu diumumkan,

karena ia tinggal diam di balik pilihan untuk tetap berdiri meski lutut gemetar.


Aku tahu… tidak semua orang akan mengerti jalan yang kupilih.

Tidak semua akan memahami tulisan yang kutuangkan.

Tapi aku menulis bukan untuk dimengerti,

melainkan untuk bertahan.


Jika kau membaca ini dan merasa hatimu ikut tergetar,

mungkin karena jiwamu juga sedang mencari tempat untuk bersandar.

Tenang saja… kita tidak sendirian.

Di dunia yang sering kali memaksa kita kuat tanpa celah,

ada ruang seperti ini—

di mana kita boleh mengaku lelah,

boleh rapuh,

dan tetap dianggap berharga.


Aku akan terus menulis,

bukan karena lukaku belum sembuh,

tapi karena aku ingin menjadi saksi—

bahwa luka pun bisa melahirkan keindahan.

Dan suatu hari,

jika aku benar-benar pulih,

aku akan tetap menulis—

bukan lagi sebagai jeritan sunyi,

melainkan sebagai pelukan bagi siapa pun yang sedang mencari cahaya..

--

Dan jika kelak aku menua di antara halaman-halaman sunyi,
aku ingin dikenang bukan karena tangisku,
melainkan karena caraku mencintai dunia,
meski dunia tak selalu tahu cara mencintaiku kembali.

Aku ingin setiap kata yang kutanam menjelma taman,
di mana orang-orang yang terluka bisa beristirahat tanpa takut dihakimi.
Aku ingin tiap kalimat menjadi jembatan,
yang menghubungkan jiwa-jiwa rapuh menuju harapan,
walau hanya setipis cahaya rembulan yang menyusup di sela tirai malam.

Aku akan tetap menulis,
di tengah musim gugur yang menggugurkan kenangan,
di tengah musim hujan yang menggenangi luka-luka lama.
Sebab kata-kata telah menjadi perahu,
yang menuntunku menyeberangi badai tanpa harus mengerti arah angin.

Dan ketika dunia kembali riuh dengan ambisi dan topeng-topeng yang menyesakkan,
aku akan duduk diam di sudut sunyi,
menggenggam pena seperti menggenggam tangan Tuhan,
dan membiarkan hati kecilku berbicara,
tentang cinta yang tidak pernah pergi,
tentang luka yang tidak pernah sia-sia.

Suatu hari,
saat tak ada lagi air mata untuk ditumpahkan,
dan tubuh ini telah lelah menempuh perjalanan,
aku akan membuka jendela terakhirku kepada langit,
dan berkata lirih,
"Aku sudah menulis seluruh perjalananku,
dan aku tak pernah benar-benar sendiri.”

Sebab setiap huruf yang kutorehkan adalah saksi,
bahwa aku pernah bertahan,
pernah patah,
pernah mencintai dengan segenap jiwa,
dan pernah memilih untuk tidak menyerah—
meski tak ada yang berjanji bahwa langit akan selalu cerah.

Dan kau, yang membaca ini di suatu senja yang jauh,
ketahuilah:
aku menulis untukmu juga.
Agar ketika kau kehilangan arah,
kau tahu—
ada suara yang diam-diam menyapamu lewat puisi.
Ada hati yang tak pernah lelah menyemogakanmu,
meski hanya lewat bisikan di antara baris-baris sunyi.

Sebab menulis bukan hanya tentang menyembuhkan diri sendiri,
tapi tentang mewariskan harapan—dalam bentuk yang paling abadi. 

--

Dan jika suatu saat engkau berjalan menyusuri lorong waktu yang sunyi, dan dunia terasa terlalu asing untuk kau peluk, ingatlah bahwa pernah ada seseorang yang menjahit serpihan hatinya menjadi bait-bait doa—agar kau tidak merasa hampa di tengah lengang.

Aku ingin setiap tulisanku menjadi pelita kecil, yang tak padam ditiup malam. Yang menggigil bersama dinginmu, namun tetap menyala dengan kasih yang tidak menuntut balas. Aku ingin menjadi suara di kejauhan, yang tak memaksa didengar, tapi selalu ada bila engkau mau mendekat.

Sebab aku percaya, bahkan luka yang terdalam pun bisa bergetar indah bila disentuh kelembutan. Dan kadang, harapan tidak selalu datang dalam bentuk teriakan nyaring, melainkan bisik lirih yang menggenggam jemarimu di saat dunia terasa terlalu berat untuk kau pikul sendiri.

Aku ingin kau tahu, menulis telah menyelamatkanku. Ia adalah pelabuhan bagi jiwaku yang sering karam, adalah langit bagi doaku yang tak tahu arah, adalah rumah bagi cintaku yang tak kunjung reda. Maka izinkan aku terus menulis, bukan karena aku ingin diingat, tapi karena aku ingin menemani—dalam bentuk yang tak lekang oleh waktu.

Jika kelak raga ini tak lagi mampu menggenggam pena, dan dunia telah menuliskan akhir bagiku, biarlah jejakku tetap hidup di antara halaman yang mencintai kata-kata. Biarlah ia menjadi pelukan diam bagi mereka yang lelah, menjadi bisikan lembut bagi mereka yang mencari, menjadi harapan yang abadi bagi mereka yang hampir menyerah.

Dan engkau, yang mungkin tengah memeluk kesedihanmu sendiri malam ini, jangan pernah merasa benar-benar sendiri. Karena selama masih ada yang menulis dengan cinta, dunia akan selalu punya ruang untukmu—meski hanya dalam sebaris kalimat yang kau temukan tanpa sengaja.

Aku menulis, agar cinta tidak pernah kehilangan bentuk. Agar luka tidak kehilangan makna. Agar manusia tetap bisa saling menjangkau—meski hanya lewat kata. 

---

Dan bila kelak waktu berhenti di halaman yang hening,

dan angin tak lagi membawa berita dari ujung senja,

aku ingin tulisanku tetap hidup—

bagai doa yang tak pernah kehilangan langitnya,

bagai embun yang jatuh diam-diam

namun menyuburkan benih keberanian

dalam hati siapa pun yang membacanya.


Sebab kata-kata adalah sisa-sisa cahaya

yang sempat kugenggam di tengah gelap,

yang kutata jadi lentera kecil

untuk menuntun langkah mereka

yang tengah tersesat dalam labirin batin.


Aku ingin menjadi musim semi

bagi siapa pun yang hatinya membeku—

bukan dengan seribu bunga yang mekar megah,

tetapi cukup dengan satu kuntum kecil

yang tumbuh di sela retakan tanah hati

dan berbisik lembut,

“Masih ada kehidupan, meski kau pernah runtuh.”


Dan jika dunia tak sempat mengingat namaku,

aku rela.

Asalkan ia mengingat ada satu baris

yang pernah membuat seseorang bertahan semalam lebih lama,

ada satu bait

yang pernah membuat sepasang mata berhenti berlinang,

dan ada satu puisi

yang menjadi jembatan antara hati yang nyaris hancur

dan harapan yang nyaris padam.


Aku menulis seperti laut menulis pada pasir:

berulang-ulang, meski tahu akan hilang,

karena yang abadi bukanlah bentuknya,

melainkan niat mencintai dalam diam.


Dan jika malam terasa terlalu sunyi,

lihatlah ke langit—

di sana ada bintang-bintang

yang mungkin telah mati jutaan tahun lalu,

namun cahayanya tetap menjangkau bumi.

Begitulah harapanku tentang tulisan ini:

meski suatu hari aku tiada,

semoga cahayanya tetap sampai padamu.


Aku menulis,

karena aku ingin menciptakan rumah

dari huruf-huruf sederhana—

rumah yang tidak menanyai darimu datang dari luka mana,

rumah yang tak meminta penjelasan dari air matamu,

rumah yang hanya membuka pintu,

dan berkata,

“Masuklah. Di sini kau tak perlu kuat dulu.”


Dan kau,

yang barangkali sedang berjalan dalam badai yang tak bernama,

yang mungkin sedang menghapus air mata dengan tangan yang sama

yang kau pakai untuk berdoa,

dengarlah:

aku di sini,

di balik setiap aksara yang mengendap dalam sunyi,

menuliskan pelukan untukmu—

dalam bentuk yang tak bisa kau lihat,

tapi mungkin bisa kau rasakan.

Karena pada akhirnya, menulis adalah caraku menyampaikan cinta yang tak sempat kuucap,

memaafkan luka yang tak bisa kujelaskan,

dan menjangkaumu—tanpa harus tahu siapa namamu.

Sebab dalam tiap kalimat yang kutorehkan, aku sedang berkata:

"Kau tidak sendirian. Kau berharga. Dan dunia masih punya tempat untukmu."




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin