Pelita di Tengah Deadline

Di Balik Keterbatasan, Ada Kasih yang Tak Pernah Kehabisan

Hari ini aku bersyukur.
Bukan karena hidupku telah tanpa celah,
melainkan karena di sela-sela kelemahanku,
ada tangan-tangan lembut yang tak pernah letih merangkul.
Mereka datang bukan membawa janji-janji kosong,
tetapi hadir… seperti matahari pagi yang diam-diam menghangatkan retak-retak jiwaku.

Teman-teman gerejaku…
Ah, mereka lebih dari sekadar teman.
Mereka adalah keluarga yang ditiupkan Tuhan ke dalam hidupku.
Dan gereja…
bukan sekadar bangku ibadah atau rutinitas hari Minggu,
melainkan rumah—yang meski sunyi, tak pernah kehilangan peluk.
Tempat luka dilihat, bukan disembunyikan.
Tempat air mata mengalir, bukan dihakimi.
Tempat aku dibentuk, dengan kasih yang kadang berwujud air mata,
namun tak pernah kehilangan tujuan.

Di sana,
Tuhan tak hanya menjadi Nama yang disembah,
tetapi menjadi napas dalam setiap cerita,
menjadi pelipur di setiap kepedihan.

Dan aku bersyukur…
bahwa di antara jalan sempit yang kutapaki,
aku tak berjalan sendiri.

Lalu ada kelas,
yang tak hanya jadi tempat menanam angka dan huruf,
melainkan ladang jiwa yang dipenuhi matahari kasih.
Tempat di mana manusia tak bersaing untuk menjatuhkan,
tapi bersaing untuk saling mengangkat.
Tempat di mana setiap kegagalan tidak ditertawakan,
melainkan dijemput—dengan sabar, dengan pelukan, dengan harapan.

Ada masa dalam hidup,
di mana kita berjalan tanpa benar-benar tahu ke mana,
hanya mengikuti desir angin dan denyut pelan yang samar dari dalam dada.
Masa di mana tawa dan tangis bercampur seperti langit yang tak bisa memilih antara hujan atau mentari.
Dan di antara keraguan itu,
diam-diam tumbuh harap—
kecil, rapuh, tapi terus bernafas.

Aku pernah berdiri di titik yang nyaris tak bernama,
tempat di mana impian masih malu-malu mengeja dirinya sendiri,
dan dunia terlalu bising untuk mendengar bisikan jiwa.

Aku tidak pernah tahu,
bahwa perjalanan yang tampaknya biasa,
akan menjadi halaman paling berharga dalam hidupku.
Bahwa sebuah ruang kelas—yang dindingnya penuh coretan strategi dan rumus ekonomi—
bisa menjadi taman yang menumbuhkan cinta dan kasih tanpa syarat.
Bahwa langkah-langkah kecil,
yang sering disertai lelah dan putus asa,
diam-diam mengarahkanku pada sebuah pemahaman agung:
Tuhan tak pernah diam, Ia hanya berbicara dengan cara yang lembut.

Di sini, di antara tumpukan tugas dan presentasi kelompok,
aku menemukan bukan hanya ilmu,
tapi juga jiwa-jiwa yang mau diam bersama dalam badai.
Sahabat-sahabat yang tak banyak bicara,
tapi hadir seperti lilin—
tak bersinar terang,
tapi cukup untuk menemani kegelapan.

Dan perjalanan ini…
bukan tentang siapa yang paling bersinar,
melainkan tentang siapa yang tetap menyala,
meski kadang tak ada yang melihat.

Jika kau sedang membaca ini,
aku harap kau tahu:
setiap langkahmu juga berarti.
Setiap air mata yang kau sembunyikan di balik senyum,
setiap malam yang kau lalui dengan dada sesak,
semua itu tak pernah sia-sia.

Karena kita sedang tumbuh,
dengan ritme yang tak harus cepat,
tapi cukup untuk menyentuh makna.

---

Ii, Vennysha, Cynthia, Meli, Rama, Jeslin ,Kezia,Nadine…
nama-nama yang kini bukan hanya kukenal,
tapi kupeluk dalam syukur yang panjang.

Dan saat dunia luar memperdengarkan cerita tentang racun,
tentang topeng-topeng yang saling membunuh demi pujian semu,
aku memeluk hatiku yang dilimpahi damai:
karena ladang tempatku tumbuh adalah ladang kasih.
Ladang yang disiram Tuhan sendiri,
dengan hujan perhatian dan matahari pengertian.

Suatu hari, ketika tubuhku letih menatap layar dan pikiranku dihantam rumus-rumus yang tak juga jinak,
Meli datang, serupa embun pagi yang jatuh pada rumput kelelahan.
“Kak dew, ayo kerjain tugasmu. Pakai laptopku, ya. Nanti Rama bantuin…”

Dan aku nyaris menangis.
Bukan karena sulit,
tapi karena ternyata ada yang rela menurunkan dunia kecilnya hanya untuk menyemangatiku berdiri kembali.
Ada yang tetap tinggal, ketika aku nyaris menyerah.

Rama…
bukan sekadar pengajar Excel.
Ia adalah penjaga irama hatiku,
mengajarkan bahwa mengerti itu bukan dipaksa,
tapi dipeluk perlahan.
Langkah demi langkah.
Dengan sabar yang menjalar seperti musik lembut di telinga malam.

Dan aku tahu—
kasih tak selalu berbentuk pelukan.
Kadang ia hadir lewat tawa di sela tugas kelompok,
lewat sapaan di tengah lelah,
lewat wajah-wajah yang bersinar ketika kita mulai paham:
kita tidak sendiri.

Terima kasih, Tuhan…
Untuk cinta-Mu yang menjelma lewat mereka.
Untuk gereja yang menjadi rumah,
dan kelas yang menjadi taman.
Untuk pelajaran hidup yang datang tidak hanya dari dosen,
tetapi dari sahabat-sahabat yang mengajariku cara mencinta tanpa pamrih.

Biarkan kami berjalan sampai akhir.
Melewati setiap tikungan, setiap peluh, setiap gugur,
dengan tangan yang tetap saling menggenggam.
Tanpa ada yang ditinggalkan.
Tanpa ada yang tertinggal.

Dan ketika hari itu tiba—
hari di mana toga dikenakan seperti mahkota kesetiaan,
biarkan kami berdiri di sana…
bukan sebagai individu yang unggul,
tapi sebagai keluarga yang saling menopang.
Saling mengangkat.
Saling menjaga.

Kami ingin sampai di sana—bersama.
Wisuda dengan senyum yang lahir dari perjuangan panjang,
dengan hati yang saling tahu bahwa kasih itu nyata,
dan tak satu pun akan tertinggal di belakang.

Karena cinta sejati tak pernah berjalan sendiri. 

-----

Dan Jika Boleh Aku Jujur…

Dulu, aku pernah merasa kecil—terbenam dalam dunia yang terus berlari,
di mana setiap detik mengukir jejak yang cemerlang,
sementara aku, seperti benih yang terabaikan,
belum tumbuh, belum merajut akar.
Namun, lewat mereka—teman-temanku yang menjadi cahaya,
Tuhan seakan berbisik lembut dalam angin yang mengalun,
"Kamu tidak tertinggal. Kamu hanya tumbuh dengan irama-Ku,
irama yang tak terburu-buru, yang menantikan setiap detik untuk matang."

Aku belajar, tumbuh bukan berarti berlari.
Kadang, tumbuh adalah tentang merambat dengan sabar,
menyerap cahaya yang datang dari kasih yang sederhana,
berjuang dalam hening, di bawah tanah yang dalam,
agar suatu hari, saat aku mekar,
akarku tak mudah goyah oleh segala badai yang mungkin datang.

Tiap tawa yang memecah kesunyian kelas,
tiap keluh kesah yang dibagikan dengan suara lirih,
tiap tatapan mata yang berkata tanpa kata, “kamu tak sendiri…”—
semua itu, adalah serpihan mozaik kasih yang Tuhan rajut dengan penuh cinta.
Aku tahu, Tuhan tahu aku membutuhkan mereka,
dan Ia memberiku mereka, bukan dengan gemuruh,
tapi dengan bisikan yang penuh kelembutan dan makna.

Hari-hari kami tidak selalu sempurna.
Ada lelah, ada kecewa,
ada air mata yang jatuh dalam sunyi,
namun semuanya tak pernah cukup untuk menghentikan langkahku.
Karena dalam setiap luka yang aku sembunyikan,
dalam setiap kegagalan yang aku telan dengan pelan,
tersembunyi satu hal yang lebih kuat dari semuanya:
kasih.

Kasih yang tak pernah meminta kembali.
Kasih yang mengingatkan aku untuk percaya,
bahwa dunia ini, meskipun terkadang terasa dingin,
masih menyisakan hati-hati yang memancarkan cahaya,
dan aku, aku diberkati dengan cukup banyak dari mereka.

Aku takkan pernah melupakan.
Dalam perjalanan belajar yang penuh sesak ini,
ada kalanya aku merasa dipeluk lewat gerakan yang tak terlihat:
Cemilan cemilan yang saling sharing,
laptop yang dipinjamkan tanpa bertanya,
rumus yang dijelaskan sampai aku benar-benar paham,
bahkan ketika mataku sudah hampir tertutup oleh kelelahan.

Dan hari itu, hari yang telah lama kutunggu,
hari di mana kami akan berdiri bersama di podium,
dengan toga, dengan senyum yang mengalir dari hati,
dan mungkin air mata yang membasahi pipi,
hari di mana kami menatap masa depan dengan kepala tegak,
karena kami tahu—
kami sampai ke garis akhir bukan karena keberhasilan diri sendiri,
tapi karena kami saling menguatkan di saat kami hampir jatuh.

Jika suatu saat nanti, hidup membawa kami ke luar tembok kampus ini,
aku ingin membawa satu hal yang takkan pernah pudar dalam hatiku:
bahwa kasih itu bisa tumbuh di bangku kelas,
bahwa Tuhan itu hadir dalam setiap wajah sahabat yang penuh pengertian,
dan bahwa kehidupan, meskipun penuh ujian yang kadang tak terduga,
akan selalu terasa lebih ringan
jika dijalani bersama orang-orang yang memahami
bahwa cinta adalah bahasa yang tak pernah lekang oleh waktu,
bahasa yang abadi, tak tergantikan.

Terima kasih, Tuhan…
Engkau sungguh tahu isi hatiku,
dan jawaban-Mu bukan datang dalam ledakan keajaiban yang spektakuler,
tetapi dalam bentuk mereka—
teman-teman yang Kau kirimkan,
sebagai jawab paling indah yang pernah kuterima dalam hidup ini.

--

Ada sesuatu yang tak bisa didefinisikan dengan kata—sesuatu yang tumbuh di antara detik-detik sibuk, di antara tawa yang sederhana dan peluh yang tak tampak.

Sesuatu itu bernama: pertemanan

Yang tidak ditulis di atas kertas kontrak, tapi di atas lembar-lembar perasaan yang terus terbuka, dengan tinta yang bernama: kepedulian. Dan aku tak tahu pasti kapan rasa itu mulai tumbuh,mungkin saat pertama kali aku duduk gugup di kelas, menyadari bahwa dunia ini terlalu besar untuk dilalui sendiri.

Atau mungkin saat air mata hampir jatuh karena angka-angka yang membingungkan, lalu sebuah suara datang dan berkata,

"Tenang, kita belajar bareng ya…"

Di momen itu, dunia yang terasa berat menjadi sedikit lebih ringan.

Ternyata kehadiran teman teman yang tulus dan tidak menghakimi—bisa menjadi penawar luka yang bahkan tak pernah sempat diucap.

Aku belajar bahwa rumah bisa hadir dalam bentuk senyuman.

Bahwa pelukan bisa tersembunyi di dalam kalimat seperti:

"Pakai laptopku aja, gapapa kok… nanti aku bantuin."

Bahwa cinta bisa lahir dari keinginan untuk saling mengangkat, bukan saling menonjolkan diri.

Dan di kelas ini…aku menemukan cinta itu tumbuh diam-diam, melewati lembar tugas dan presentasi kelompok, melewati candaan receh dan kelelahan menjelang deadline.

Aku bersyukur, karena di sini, aku tidak harus berpura-pura kuat.

Karena selalu ada tangan yang siap menggenggam, selalu ada hati yang mau mendengar.

Dan bukankah itu yang paling manusiawi?

Merasakan, dipahami, dan tidak dibiarkan jatuh sendirian.

Kadang saat aku berdoa di malam hari, aku tak hanya mengucapkan permintaan, tapi menyebut satu per satu nama mereka— dengan harapan yang penuh:

"Tuhan, jagai mereka juga. Jangan biarkan mereka merasa sendiri, seperti mereka tidak pernah membiarkanku merasa sendiri."

Di dunia yang sering menuntut kita untuk jadi ‘paling hebat’, mereka memilih jadi ‘yang paling peduli’.

Dan bagiku, itu jauh lebih indah.

Kelak, ketika langkah kami menjauh karena waktu, aku tahu, tak semua harus tinggal dekat untuk tetap saling terikat.

Karena yang sudah melebur dalam doa,

tak akan pernah benar-benar pergi.

-----

Dan pada akhirnya…kita tidak akan ingat semua detail rumus,atau berapa lembar laporan yang kita tulis dengan mata perih dan kopi yang dingin.

Tapi kita akan mengingat—bagaimana rasanya digenggam saat nyaris jatuh, bagaimana tawa bisa muncul bahkan di tengah lelah yang nyaris tak tertampung.Kita akan mengingat suara-suara kecil yang membangun,bukan yang menggertak; sentuhan lembut yang menguatkan,bukan yang menusuk diam-diam.

Sebab di kelas ini, kita tak hanya membentuk pemahaman,kita membentuk persaudaraan—yang dijahit dari sabar,dijahit dari tawa yang tulus,dijahit dari air mata yang tak malu-malu untuk jatuh di hadapan sahabat.

Dan bila kelak kita menengok ke belakang,di lorong waktu yang telah kita lintasi,kita akan berkata pelan,namun penuh makna: "Aku sampai sejauh ini… karena ada kalian."

Maka mari, wahai teman-teman seperjalanan,kita kayuh perahu ini hingga dermaga terakhir. Dengan dada lapang dan langkah tak gentar,kita hadapi ujian, kita selesaikan tanggung jawab, kita peluk setiap detik perjuangandengan kasih yang tak mau membiarkan siapa pun tertinggal.

Sampai suatu hari, langit menjadi saksi: kita berdiri sejajar, berjubah toga, berwajah cerah, dengan hati yang penuh haru.

Dan di saat nama-nama kita dipanggil satu per satu, tak ada yang absen, tak ada yang hilang dari barisan. Semuanya lengkap. Semua hadir.

Full team.

Karena kita tak hanya belajar bersama, kita berjanji dalam diam: bahwa tak satu pun dari kita akan tertinggaldi garis akhir perjuangan ini.

Dan di sanalah,kita bukan sekadar lulusan.

Kita adalah keluarga yang menang, karena tetap menggenggam…meski dunia ingin memisahkan.

Sampai jumpa di titik akhir itu.

Dengan toga di kepala,

dan kasih di dada.

Kita menang—bersama.

-----

Dan Jika Nanti Musim Telah Berganti…

Dan jika nanti musim telah berganti,
dan aula besar itu dipenuhi jejak-jejak haru,
biarlah langkah kita—
yang dulu terseok, kini tegak berdiri—
menjadi kisah yang diam-diam Tuhan anyam
dari benang-benang kesetiaan dan kejujuran hati.

Tak perlu ada riuh.
Cukup getar pelan dalam dada
yang berkata lirih namun pasti:
"Aku sampai di sini… tak pernah sendiri."

Karena kemenangan bukanlah milik mereka yang melaju paling cepat,
tapi milik jiwa-jiwa yang tak melepaskan genggaman,
yang tetap tinggal—meski lelah,
yang menunggu—meski lambat,
yang memilih setia—meski dunia sering terburu-buru.

Akan tiba hari itu—
di mana mata kita basah, bukan karena luka,
melainkan karena syukur yang tak lagi bisa disimpan.
Hari di mana toga dikenakan bukan sekadar lambang akhir,
melainkan mahkota sunyi dari malam-malam yang penuh doa,
pagi-pagi yang tak mengenal lelah,
dan kasih yang tumbuh dalam diam.

Kami tak memilih menjadi panggung yang saling menjatuhkan,
kami memilih menjadi taman,
tempat di mana satu keberhasilan bukan ancaman,
melainkan semangat yang ditularkan.
Tempat di mana tak satu pun dibiarkan layu sendirian.

Kami bukan kumpulan bintang yang saling berlomba bersinar,
kami adalah gugusan langit
yang saling memberi ruang untuk bersinar bersama.

Dan ketika tangan kita bertaut di bawah langit wisuda itu,
kita tahu:
inilah buah dari kasih yang tak mengenal pamrih,
buah dari persahabatan yang tak meminta lebih,
buah dari pengorbanan yang tak selalu terlihat,
tapi nyata… dan menetap.

Sampai jumpa di puncak itu,
dengan senyum yang tak dibuat-buat,
dengan langkah yang lembut namun penuh makna,
dengan pelukan yang bukan basa-basi,
tapi ucapan paling jujur dari jiwa ke jiwa:

Kita lulus—bukan sendirian,
tapi bersama. Penuh. Utuh. Tanpa ada yang tertinggal.

Karena kasih,
tak pernah membiarkan siapa pun berjalan di ujung yang sunyi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin