Pelita di Tengah Deadline
Di Balik Keterbatasan, Ada Kasih yang Tak Pernah Kehabisan
Karena cinta sejati tak pernah berjalan sendiri.
-----
Dan Jika Boleh Aku Jujur…
Dulu, aku pernah merasa kecil—terbenam dalam dunia yang terus berlari,
di mana setiap detik mengukir jejak yang cemerlang,
sementara aku, seperti benih yang terabaikan,
belum tumbuh, belum merajut akar.
Namun, lewat mereka—teman-temanku yang menjadi cahaya,
Tuhan seakan berbisik lembut dalam angin yang mengalun,
"Kamu tidak tertinggal. Kamu hanya tumbuh dengan irama-Ku,
irama yang tak terburu-buru, yang menantikan setiap detik untuk matang."
Aku belajar, tumbuh bukan berarti berlari.
Kadang, tumbuh adalah tentang merambat dengan sabar,
menyerap cahaya yang datang dari kasih yang sederhana,
berjuang dalam hening, di bawah tanah yang dalam,
agar suatu hari, saat aku mekar,
akarku tak mudah goyah oleh segala badai yang mungkin datang.
Tiap tawa yang memecah kesunyian kelas,
tiap keluh kesah yang dibagikan dengan suara lirih,
tiap tatapan mata yang berkata tanpa kata, “kamu tak sendiri…”—
semua itu, adalah serpihan mozaik kasih yang Tuhan rajut dengan penuh cinta.
Aku tahu, Tuhan tahu aku membutuhkan mereka,
dan Ia memberiku mereka, bukan dengan gemuruh,
tapi dengan bisikan yang penuh kelembutan dan makna.
Hari-hari kami tidak selalu sempurna.
Ada lelah, ada kecewa,
ada air mata yang jatuh dalam sunyi,
namun semuanya tak pernah cukup untuk menghentikan langkahku.
Karena dalam setiap luka yang aku sembunyikan,
dalam setiap kegagalan yang aku telan dengan pelan,
tersembunyi satu hal yang lebih kuat dari semuanya:
kasih.
Kasih yang tak pernah meminta kembali.
Kasih yang mengingatkan aku untuk percaya,
bahwa dunia ini, meskipun terkadang terasa dingin,
masih menyisakan hati-hati yang memancarkan cahaya,
dan aku, aku diberkati dengan cukup banyak dari mereka.
Aku takkan pernah melupakan.
Dalam perjalanan belajar yang penuh sesak ini,
ada kalanya aku merasa dipeluk lewat gerakan yang tak terlihat:
Cemilan cemilan yang saling sharing,
laptop yang dipinjamkan tanpa bertanya,
rumus yang dijelaskan sampai aku benar-benar paham,
bahkan ketika mataku sudah hampir tertutup oleh kelelahan.
Dan hari itu, hari yang telah lama kutunggu,
hari di mana kami akan berdiri bersama di podium,
dengan toga, dengan senyum yang mengalir dari hati,
dan mungkin air mata yang membasahi pipi,
hari di mana kami menatap masa depan dengan kepala tegak,
karena kami tahu—
kami sampai ke garis akhir bukan karena keberhasilan diri sendiri,
tapi karena kami saling menguatkan di saat kami hampir jatuh.
Jika suatu saat nanti, hidup membawa kami ke luar tembok kampus ini,
aku ingin membawa satu hal yang takkan pernah pudar dalam hatiku:
bahwa kasih itu bisa tumbuh di bangku kelas,
bahwa Tuhan itu hadir dalam setiap wajah sahabat yang penuh pengertian,
dan bahwa kehidupan, meskipun penuh ujian yang kadang tak terduga,
akan selalu terasa lebih ringan
jika dijalani bersama orang-orang yang memahami
bahwa cinta adalah bahasa yang tak pernah lekang oleh waktu,
bahasa yang abadi, tak tergantikan.
Terima kasih, Tuhan…
Engkau sungguh tahu isi hatiku,
dan jawaban-Mu bukan datang dalam ledakan keajaiban yang spektakuler,
tetapi dalam bentuk mereka—
teman-teman yang Kau kirimkan,
sebagai jawab paling indah yang pernah kuterima dalam hidup ini.
--
Ada sesuatu yang tak bisa didefinisikan dengan kata—sesuatu yang tumbuh di antara detik-detik sibuk, di antara tawa yang sederhana dan peluh yang tak tampak.
Sesuatu itu bernama: pertemanan
Yang tidak ditulis di atas kertas kontrak, tapi di atas lembar-lembar perasaan yang terus terbuka, dengan tinta yang bernama: kepedulian. Dan aku tak tahu pasti kapan rasa itu mulai tumbuh,mungkin saat pertama kali aku duduk gugup di kelas, menyadari bahwa dunia ini terlalu besar untuk dilalui sendiri.
Atau mungkin saat air mata hampir jatuh karena angka-angka yang membingungkan, lalu sebuah suara datang dan berkata,
"Tenang, kita belajar bareng ya…"
Di momen itu, dunia yang terasa berat menjadi sedikit lebih ringan.
Ternyata kehadiran teman teman yang tulus dan tidak menghakimi—bisa menjadi penawar luka yang bahkan tak pernah sempat diucap.
Aku belajar bahwa rumah bisa hadir dalam bentuk senyuman.
Bahwa pelukan bisa tersembunyi di dalam kalimat seperti:
"Pakai laptopku aja, gapapa kok… nanti aku bantuin."
Bahwa cinta bisa lahir dari keinginan untuk saling mengangkat, bukan saling menonjolkan diri.
Dan di kelas ini…aku menemukan cinta itu tumbuh diam-diam, melewati lembar tugas dan presentasi kelompok, melewati candaan receh dan kelelahan menjelang deadline.
Aku bersyukur, karena di sini, aku tidak harus berpura-pura kuat.
Karena selalu ada tangan yang siap menggenggam, selalu ada hati yang mau mendengar.
Dan bukankah itu yang paling manusiawi?
Merasakan, dipahami, dan tidak dibiarkan jatuh sendirian.
Kadang saat aku berdoa di malam hari, aku tak hanya mengucapkan permintaan, tapi menyebut satu per satu nama mereka— dengan harapan yang penuh:
"Tuhan, jagai mereka juga. Jangan biarkan mereka merasa sendiri, seperti mereka tidak pernah membiarkanku merasa sendiri."
Di dunia yang sering menuntut kita untuk jadi ‘paling hebat’, mereka memilih jadi ‘yang paling peduli’.
Dan bagiku, itu jauh lebih indah.
Kelak, ketika langkah kami menjauh karena waktu, aku tahu, tak semua harus tinggal dekat untuk tetap saling terikat.
Karena yang sudah melebur dalam doa,
tak akan pernah benar-benar pergi.
-----
Dan pada akhirnya…kita tidak akan ingat semua detail rumus,atau berapa lembar laporan yang kita tulis dengan mata perih dan kopi yang dingin.
Tapi kita akan mengingat—bagaimana rasanya digenggam saat nyaris jatuh, bagaimana tawa bisa muncul bahkan di tengah lelah yang nyaris tak tertampung.Kita akan mengingat suara-suara kecil yang membangun,bukan yang menggertak; sentuhan lembut yang menguatkan,bukan yang menusuk diam-diam.
Sebab di kelas ini, kita tak hanya membentuk pemahaman,kita membentuk persaudaraan—yang dijahit dari sabar,dijahit dari tawa yang tulus,dijahit dari air mata yang tak malu-malu untuk jatuh di hadapan sahabat.
Dan bila kelak kita menengok ke belakang,di lorong waktu yang telah kita lintasi,kita akan berkata pelan,namun penuh makna: "Aku sampai sejauh ini… karena ada kalian."
Maka mari, wahai teman-teman seperjalanan,kita kayuh perahu ini hingga dermaga terakhir. Dengan dada lapang dan langkah tak gentar,kita hadapi ujian, kita selesaikan tanggung jawab, kita peluk setiap detik perjuangandengan kasih yang tak mau membiarkan siapa pun tertinggal.
Sampai suatu hari, langit menjadi saksi: kita berdiri sejajar, berjubah toga, berwajah cerah, dengan hati yang penuh haru.
Dan di saat nama-nama kita dipanggil satu per satu, tak ada yang absen, tak ada yang hilang dari barisan. Semuanya lengkap. Semua hadir.
Full team.
Karena kita tak hanya belajar bersama, kita berjanji dalam diam: bahwa tak satu pun dari kita akan tertinggaldi garis akhir perjuangan ini.
Dan di sanalah,kita bukan sekadar lulusan.
Kita adalah keluarga yang menang, karena tetap menggenggam…meski dunia ingin memisahkan.
Sampai jumpa di titik akhir itu.
Dengan toga di kepala,
dan kasih di dada.
Kita menang—bersama.
-----
Dan Jika Nanti Musim Telah Berganti…
Dan jika nanti musim telah berganti,
dan aula besar itu dipenuhi jejak-jejak haru,
biarlah langkah kita—
yang dulu terseok, kini tegak berdiri—
menjadi kisah yang diam-diam Tuhan anyam
dari benang-benang kesetiaan dan kejujuran hati.
Tak perlu ada riuh.
Cukup getar pelan dalam dada
yang berkata lirih namun pasti:
"Aku sampai di sini… tak pernah sendiri."
Karena kemenangan bukanlah milik mereka yang melaju paling cepat,
tapi milik jiwa-jiwa yang tak melepaskan genggaman,
yang tetap tinggal—meski lelah,
yang menunggu—meski lambat,
yang memilih setia—meski dunia sering terburu-buru.
Akan tiba hari itu—
di mana mata kita basah, bukan karena luka,
melainkan karena syukur yang tak lagi bisa disimpan.
Hari di mana toga dikenakan bukan sekadar lambang akhir,
melainkan mahkota sunyi dari malam-malam yang penuh doa,
pagi-pagi yang tak mengenal lelah,
dan kasih yang tumbuh dalam diam.
Kami tak memilih menjadi panggung yang saling menjatuhkan,
kami memilih menjadi taman,
tempat di mana satu keberhasilan bukan ancaman,
melainkan semangat yang ditularkan.
Tempat di mana tak satu pun dibiarkan layu sendirian.
Kami bukan kumpulan bintang yang saling berlomba bersinar,
kami adalah gugusan langit
yang saling memberi ruang untuk bersinar bersama.
Dan ketika tangan kita bertaut di bawah langit wisuda itu,
kita tahu:
inilah buah dari kasih yang tak mengenal pamrih,
buah dari persahabatan yang tak meminta lebih,
buah dari pengorbanan yang tak selalu terlihat,
tapi nyata… dan menetap.
Sampai jumpa di puncak itu,
dengan senyum yang tak dibuat-buat,
dengan langkah yang lembut namun penuh makna,
dengan pelukan yang bukan basa-basi,
tapi ucapan paling jujur dari jiwa ke jiwa:
Kita lulus—bukan sendirian,
tapi bersama. Penuh. Utuh. Tanpa ada yang tertinggal.
Karena kasih,
tak pernah membiarkan siapa pun berjalan di ujung yang sunyi.
Komentar
Posting Komentar