[Potongan Narasi Fiksi ]

Senja sudah turun pelan-pelan saat ruangan seminar mulai lengang. Kursi-kursi kembali kosong, hanya menyisakan jejak langkah dan secuil kenangan dari kata-kata yang tadi memenuhi udara. Chika melipat tangannya di dada, menarik napas lega. Tapi saat ia hendak beranjak, matanya tertumbuk pada selembar kertas kecil di atas kursi tempat ia duduk tadi.

Tangannya terulur pelan. Saat membaca tulisan di sana, ada sesuatu yang menghangat di dada. Ia mengenali goresan tangan itu secepat ia mengenali debar yang muncul bersamanya.

Kertas kecil itu tak bertanda nama. Tapi ia tahu… itu dari dia.

Chika...

Hari ini aku duduk di baris ketiga. Diam-diam, seperti biasanya. Tapi tak ada yang biasa dari perasaan yang datang saat kamu bicara.

Dulu kupikir kamu hanya tenang. Tapi hari ini aku tahu, di balik ketenanganmu ada badai—dan kamu mengarunginya dengan kepala tegak, dengan kata-kata yang masih hangat dan jujur.

Aku membaca tulisan itu. Berkali-kali. Dan aku diam lama. Karena aku sadar—mungkin aku pernah menjadi bagian dari yang membuat hatimu retak. Tapi kamu menuliskannya dengan lembut, menyisakan ruang untuk kasih, bahkan pada luka.

Kamu bukan cuma kuat, Chika. Kamu dalam. Indah. Tidak semua orang bisa menulis luka seperti puisi, dan menjalaninya seperti doa.

Maaf. Untuk semua hal yang tak sempat kupahami. Untuk diamku yang terlalu lama. Untuk langkah-langkahku yang pernah menjauh.

Dan… aku bangga padamu. Lebih dari yang bisa kuucapkan langsung.

Jaga dirimu, ya. Tetap jadi cahaya seperti hari ini.

Aku tahu kamu akan terus berjalan jauh. Tapi kalau suatu hari kamu menoleh ke belakang...

Aku harap kamu tahu—ada seseorang yang diam-diam selalu mendoakanmu dari kejauhan.

Chika mengusap ujung matanya. Tapi senyum perlahan mengembang di wajahnya. Ada damai yang merambat ke seluruh tubuhnya—seperti pelukan yang tak pernah sampai, tapi terasa nyata.

Ia tidak tahu apakah ini akhir… atau mungkin sebuah awal yang lain. Tapi yang pasti, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa dilihat… dan dicintai, meski hanya lewat kata-kata yang ditinggalkan diam-diam di kursi kosong.

-----

Malam setelah seminar, udara Bandung menyimpan sisa gerimis yang belum lama reda. Lampu-lampu kota membias lembut di trotoar basah, memantul seperti kenangan yang belum sempat mengering. Di sisi taman kecil samping gedung kampus, Chika berdiri diam dengan kertas kecil itu masih tergenggam di tangannya. Jantungnya belum sepenuhnya tenang.


Lalu, terdengar langkah pelan mendekat. Suara yang tidak asing. Langkah yang pernah ia hafal diam-diam.

---

[ “Pertemuan Itu”]


“Chika.”


Suara itu pelan. Nyaris tak terdengar di tengah deru halus angin malam. Tapi hatinya tahu. Dan tubuhnya tahu.


Ia berbalik.

Chiko berdiri di sana. Masih seperti dulu—mata tajam tapi ragu, jaket gelap kesayangannya, dan cara berdiri yang seakan menahan dunia di bahunya.

“Jadi kamu baca tulisanku,” Chika membuka suara, senyumnya tipis, tak ada tuduhan, hanya ketenangan yang baru ditemukannya setelah sekian musim.

Chiko mengangguk. “Aku… harus jujur. Butuh waktu lama buatku cukup berani membacanya. Tapi aku baca. Dan setelah itu, aku nunggu momen seperti ini.”


“Buat apa?” tanya Chika. Suaranya lembut. Tapi tatapannya tidak lari.

Chiko menunduk sesaat, lalu mengangkat wajahnya. “Buat minta maaf. Bukan karena kamu memintanya. Tapi karena aku sadar aku pernah jadi bagian dari luka kamu. Dan kamu… kamu tetap menulis aku dengan kebaikan.”

Chika diam sejenak. Lalu berkata, “Aku pernah nunggu kamu bilang ini. Tapi waktu itu, harapanku cuma jadi senjata makan tuan.”

Chiko menggigit bibirnya. “Aku tahu.”

“Dan sekarang?” tanya Chika lagi. “Setelah semua ini?”

“Aku gak datang malam ini buat minta kita kembali,” Chiko menggeleng pelan. “Aku datang karena aku sadar… aku gak pernah benar-benar mengerti kamu. Dan aku ingin, setidaknya sekali… dengar kamu bicara tanpa aku memotong. Tanpa aku salah paham. Tanpa aku sembunyi.”

Mata Chika memerah, tapi ia tersenyum kecil. “Kamu gak harus bilang semuanya malam ini. Tapi aku hargai keberanianmu datang.”

“Aku cuma mau kamu tahu,” bisik Chiko, “aku masih simpan setiap tulisan kamu. Dan kalau kamu izinkan… aku ingin jadi orang yang diam-diam terus mendukungmu. Entah sebagai apa. Tapi dari hati.”

Hening mengalir di antara mereka. Tapi itu bukan hening yang menggigit. Itu hening yang menenangkan. Yang seakan memberi ruang bagi hati untuk bicara.

Chika melangkah pelan, berdiri lebih dekat. “Kalau kamu masih mau belajar memahami… aku gak akan menutup pintu. Tapi kali ini, kita mulai dari jujur. Tanpa topeng. Tanpa takut.”

Chiko mengangguk. Matanya hangat, sedikit basah.

Dan malam itu, tanpa perlu pelukan atau janji, keduanya tahu: ini bukan tentang kembali ke masa lalu. Tapi tentang berdiri bersama, di antara luka dan cinta yang akhirnya menemukan kata-kata.

----

[ - “Luka yang Mencintai dalam Diam”]


Chika menatap wajah yang dulu hanya bisa ia lukiskan dalam tulisan, kini nyata di hadapannya. Ia menarik napas panjang, seolah ingin menyelami detik ini sampai ke dasar jiwa.

“Aku pernah menyebutmu dalam doaku,” katanya lirih. “Bukan sekali. Tapi berkali-kali. Namamu adalah bait yang tak pernah selesai.”

Chiko menelan ludah, seperti menahan sesuatu yang menggenang di dadanya.

“Aku tahu,” ujarnya pelan. “Setiap kata yang kau tulis... seperti gema yang mengetuk ruang dalam diriku. Aku membacanya, Chika. Dan rasanya seperti kamu bicara dari mimpi yang pernah kita kubur bersama.”

Chika tersenyum kecil, getir namun hangat. “Aku sempat berharap kamu datang, memelukku, dan bilang: ‘Aku juga mencintaimu.’ Tapi sekarang aku tahu... cinta bukan soal siapa yang lebih dulu datang, tapi siapa yang tetap tinggal di dalam doa, bahkan saat semua pintu tertutup.”

Chiko mendekat satu langkah. “Dan aku tinggal di sana, Chika. Di doa-doamu. Meski tak selalu layak. Meski penuh luka yang kubuat sendiri. Tapi di dalam diamku, aku mencintaimu.”

Chika menunduk sesaat, bahunya gemetar. “Kenapa baru sekarang, Chiko? Kenapa saat hatiku mulai belajar untuk ikhlas?”

“Karena aku harus belajar jatuh cinta padamu... dengan cara yang benar,” jawab Chiko, nyaris seperti doa. “Bukan dengan tergesa. Bukan dengan egoku. Tapi dengan hati yang utuh, meski telat.”

Chika memejamkan mata. Air mata jatuh, satu butir, seperti embun pertama di pagi hari.

“Kamu tahu,” bisiknya, “di setiap tulisan yang kau baca... aku menulis karena aku tak bisa memelukmu. Tapi malam ini, jika boleh... aku ingin memelukmu. Bukan karena rindu, tapi karena aku akhirnya menerima semua luka itu sebagai bagian dari cinta.”

Chiko mendekat, sangat pelan. Tak ada yang terburu. Tak ada yang harus ditebus.

“Peluk itu bukan untuk menyatukan yang telah retak,” katanya, “tapi untuk merayakan bahwa kita pernah mencintai, meski tak sempurna. Dan itu... sudah cukup indah.”

Chika menatap matanya. Dan di situ, ia temukan rumah. Bukan tempat untuk kembali, tapi tempat untuk merasa tidak sendiri.

Lalu, dalam diam yang penuh makna, ia bersandar di bahu Chiko. Tak ada kata lagi yang perlu diucapkan. Karena malam itu, dua jiwa yang lama mencintai dalam sunyi... akhirnya bicara dalam pelukan yang tak menuntut apa-apa.

Hanya cinta. Yang dulu tertanam dalam luka. Kini tumbuh pelan-pelan dalam pengertian yang baru.

---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin