Catatan Chiko

Sekeping Bab : Rawa Tempat Kita Melebur

Latar: Senja di taman kota tua, lalu perlahan bertransisi ke dunia mimpi yang tak bernama.

---

Aku tak ingat bagaimana kami tiba di taman itu.

Entah sore ke berapa sejak terakhir aku melihat matanya, atau sejak aku memaafkan dunia karena tak mempertemukan kami lebih awal.

Yang aku tahu, ia ada di situ.

Duduk di ujung ayunan yang menggantung rendah, mengenakan gaun lembut berwarna jingga—warna yang hanya dipilih perempuan yang siap jatuh cinta tanpa rencana.


"Ayo," katanya ringan, dan ayunan mulai bergerak pelan.


Aku duduk di sampingnya. Tak banyak kata. Hanya denting rantai ayunan yang beradu dan suara dedaunan yang menyeret waktu.

Saat itu dunia rasanya tak penting lagi.

Aku tak tahu harus bilang apa. Tapi hatiku sudah terlalu penuh untuk diam.


Jadi aku berdiri.

Dengan gerak perlahan, kulepas satu per satu lapisan yang menutup tubuhku—bukan untuk mengundang,

melainkan untuk menunjukkan siapa aku sebenarnya:

diri yang rapuh, penuh luka, dan ingin dipahami tanpa syarat.

Aku mendekat. Kupeluk dia.

Bukan pelukan biasa, tapi pelukan seerat rinduku yang pernah dipendam terlalu lama.

Ia membalasnya. Erat. Hangat. Dan kami saling menenggelamkan napas kami ke dalam dada satu sama lain. Tak ada ruang di antara kami.

Ciuman pun jatuh, bukan seperti api, tapi seperti hujan pertama yang menyentuh bumi setelah musim panjang yang keras.

Dan di ciuman itu, aku tahu: dia milikku. Dan aku miliknya.

Namun di balik ketenangan itu, aku merasa… ada yang tak beres.

Sesuatu datang. Perlahan tapi pasti.

Ancaman yang tak punya wujud, tapi menggigilkan kulitku.

Aku berhenti. Ia menatapku, bingung.

"Ada apa?" tanyanya.

Aku tak menjawab. Tak sempat menjawab.

Kutarik tangannya.

Kami berlari. Tapi bukan seperti manusia.

Kami berubah.

Kulit kami merekah jadi sisik. Kaki kami lenyap. Tubuh kami jadi satu alur melata.

Kami jadi ular. Bukan karena kami menjadi jahat,

tapi karena dunia tak mampu menampung cinta kami dalam bentuk manusia lagi.

Kami masuk ke rawa.

Rawa yang sunyi dan pekat.

Kami meluncur dalam lumpur, saling melingkar, saling melindungi.

Tak ada yang bisa menemukan kami di sana.

Karena di rawa itu, cinta kami tak lagi butuh nama, tak butuh ruang, tak butuh pengakuan.

Ia hanya butuh satu hal:

keabadian.

----

Di dalam rawa, waktu tidak berjalan seperti biasanya.

Ia tak bergerak maju, tak juga mundur. Ia hanya… diam.

Seperti napas yang tertahan, seperti nyanyian yang menggantung di udara tanpa nada berikutnya.

Kami masih dalam wujud ular, tetapi perlahan batas antara tubuhku dan tubuhnya mengabur.

Tidak ada lagi “aku” dan “dia”—yang ada hanya kita,

satu tubuh panjang yang melingkar dalam irama purba,

menyatu dalam getaran yang bahkan Tuhan pun tak tergesa mengartikan.

Di rawa itu, dunia atas tak lagi memiliki andil, tidak ada penghakiman.

Hanya ada keheningan yang menyerap segala luka,

dan kehangatan yang tumbuh seperti jamur cahaya di balik tanah basah.

Kadang, kepalaku terangkat—memandang permukaan air yang memantulkan cahaya bulan yang seperti mata ibuku.

Tenang, penuh doa.

Kadang, tubuh kami bergerak bersamaan. Meliuk perlahan. Menari dalam bayangan akar-akar tua.

Seolah sedang merayakan ritual kuno,

pertemuan dua jiwa yang sudah mengenal satu sama lain.

Ia berbicara padaku, bukan dengan kata, tapi dengan rasa.

“Aku tidak takut,” katanya dalam diam.

“Kalau di sinilah kita bisa tetap bersama, aku akan tinggal.”

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku percaya pada cinta yang tak memerlukan bentuk.

Tak memerlukan rencana.

Tak memerlukan masa depan.

Cinta yang cukup hanya dengan keberadaan.

Cinta yang melebur, seperti tubuh kami, menjadi satu aliran rahasia yang tak bisa dijelaskan pada siapa pun.

Malam itu, di dalam rawa, kami tidur—atau mungkin bermimpi lebih dalam.

Dan dalam mimpi itu, kami bukan lagi ular, bukan juga manusia.

Kami menjadi kabut.

Melayang ringan di atas air.

Mengepul dari hangatnya cinta yang tak sempat dijelaskan, tapi berhasil dirasakan.

Di sanalah kami berada.

Tanpa wajah. Tanpa nama.

Tapi akhirnya, untuk pertama kalinya…

utuh.


---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin