Tuntutan itu—bagai belenggu tak kasatmata—menjerat leherku perlahan, membuat napasku tercekat dalam ruang hampa.
Aku tidak lagi bisa bernapas dengan bebas; bahkan udara pun terasa mahal harganya.
Tenagaku luruh, seperti daun yang gugur tanpa aba-aba.
Aku kehilangan kekuatan untuk berdiri, apalagi bertahan.
Kumohon, izinkan aku sejenak untuk menarik napas.
Aku tahu, aku belum sempurna.
Ada banyak celah di hidupku, retak yang belum sempat kuperbaiki.
Tapi aku berjanji, aku akan memperbaikinya dengan sepenuh jiwa.
Asal kau beri aku ruang—sedikit saja ruang—untuk hidup sebagai manusia.
Berhentilah menuntut.
Berhentilah menyudutkan.
Karena aku sesak.
Sungguh, sesak hingga nyaris tak bersuara.
Aku hampir tak bernyawa lagi—
bukan karena luka yang terlihat,
tetapi karena luka tak kasatmata yang kau tanamkan dalam diam.
Kumohon, jangan cekik aku lagi dengan harapan yang kau paksakan padaku.
Biarkan aku bernafas...
Biarkan aku diam...
Karena aku lelah.
Dan aku hanya ingin...
istirahat.
---
Komentar
Posting Komentar