Aku masih menyayangimu. Masih—meski hidup memintaku untuk terus berjalan.
Kadang aku harus menulikan hati sendiri, agar tak larut dan tenggelam terlalu dalam. Tapi saat malam tiba dan dunia menjadi sunyi, tak ada lagi topeng yang bisa kupakai. Hati tak bisa berbohong… aku masih sering menangis saat bayanganmu datang menyapa diam-diam.
Aku masih sulit percaya, kita bisa sejauh ini.
Bukan karena badai besar atau luka yang tak termaafkan. Tapi justru karena diam, karena jeda yang tak terjelaskan, yang perlahan menjelma menjadi jarak tak terjembatani. Kita berubah menjadi asing, tanpa pertengkaran, tanpa perpisahan yang layak disebut perpisahan.
Namun ya, mungkin kamu benar—semuanya sudah cukup.
Aku lelah menebak isi kepalamu. Lelah menebak isi hatimu yang tak pernah benar-benar kutahu.
Dan meskipun air mataku masih jatuh sesekali, aku belajar berjalan ke depan. Bukan untuk melupakan, tapi agar tak karam di sana… di tempat kita pernah hampir menjadi.
Beberapa malam, aku terbangun oleh lagu lembut seperti serana yang entah kenapa terasa seperti panggilan dari semesta. Seolah takdir mengetuk jiwaku pelan-pelan, meminta izin untuk pamit.
Lalu aku menangis. Tangis yang tak biasa. Tangis dari tempat terdalam. Karena ternyata, aku sesayang itu padamu. Dan yang paling menyakitkan: semuanya berakhir bahkan sebelum sempat benar-benar dimulai.
Tapi aku sudah terlalu lelah. Lelah menafsirkan teka-teki yang tak pernah selesai.
Lelah menyeka air mata yang tak pernah kau lihat.
Selama berbulan-bulan, aku menangis dalam diam. Karena kamu pergi—begitu saja. Tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Dan aku hanya bisa menerka-nerka kesalahanku, seperti menari dalam kabut.
Jika kamu terluka, bukankah aku pun juga terluka?
Bukankah seharusnya kita saling membalut luka, saling mengoleskan obat merah, bukan saling meninggalkan?
Tapi kamu memilih pergi.
Dan aku setengah mati menyembuhkan diri tanpa hadirmu. Hancur. Remuk. Sunyi. Tangisku habis bersama malam-malam yang dingin, dan mataku sembab menyimpan duka yang tak pernah tersampaikan. Tapi kini... sudah cukup.
Aku ingat betul kalimatmu: “Sudah cukup, ini sudah terlalu jauh.”
Aku tak pernah mengerti, jauh yang kamu maksud itu apa? Tapi hari ini, aku yang ingin berkata:
Sudah cukup. Ini sudah terlalu jauh untuk terus disesaki sedih karena kehilanganmu.
Aku ingin belajar untuk menekan rasa. Bukan karena aku membencimu. Tapi karena aku ingin hidupku tenang.
Tak ada orang lain dalam proses ini. Hanya aku dan Tuhan. Dan itu cukup.
Masih banyak yang harus aku benahi dalam hidup. Banyak yang ingin aku perjuangkan, jalani, dan selesaikan. Aku ingin menapaki semuanya dengan hati yang penuh sukacita. Tanpa bayangmu yang menghantui langkahku lagi.
Aku ingin berhenti hidup dalam bayanganmu.
Sudah cukup…
Sudah cukuppp.
Biarlah semuanya menjadi kenangan yang aku biarkan tertidur tenang. Luka yang tak lagi kugaruk.
Sudah selesai. Kisah yang, sejatinya, memang harus selesai sebelum sempat benar-benar dimulai.
Sakit? Tentu. Perih? Sangat. Tapi aku telah belajar.
Belajar merelakan.
Belajar memulihkan.
Dan kini, aku belajar melupakan rasa sakit itu.
Namun dari relung yang paling tulus, aku tetap mendoakanmu.
Semoga kamu bahagia di jalan yang kamu pilih.
Semoga kamu menjadi peneliti hebat yang takut akan Tuhan, menjadi terang di mana pun kamu berpijak.
Dan semoga hatinya—ya, hati perempuan yang sejak lama kamu cintai—terbuka bagimu.
Semoga kamu menemukan bahagia yang utuh, tidak setengah-tengah, tidak ragu-ragu.
Dan mungkin suatu hari nanti, saat aku sedang mencari bahan literasi, aku akan menemukan namamu di lembar-lembar bacaan ilmiah yang kubuka.
Saat itu, aku tahu… kamu telah sampai di tujuanmu. Dan saat itu juga, aku akan ikut bahagia.
Dan setelah itu, aku akan menutup buku perlahan, lalu menatap langit dari jendela perpustakaan. Di sela riuh kota yang terus bergerak, aku akan tersenyum tipis. Bukan karena rindu, bukan karena luka, tapi karena aku tahu—ada bagian dariku yang pernah mencintaimu dengan segenap jiwa… dan kini telah selesai.
Aku tak ingin menghapus apa pun dari ingatan, karena kamu pernah jadi bagian dari doaku yang paling khusyuk. Tapi aku juga tak ingin menyimpan beban dari sesuatu yang tak bisa kuperjuangkan sendirian.
Sejak saat itu, aku belajar bahwa cinta tak selalu tentang memiliki, kadang ia hanya tentang merelakan, melepaskan dengan tenang… seperti senja yang tahu kapan harus pulang ke malam.
Hatiku tak lagi gaduh. Tangisku telah reda. Kini aku sedang menata taman di dalam diriku sendiri. Menanam harapan baru, menyiram mimpi-mimpi yang sempat layu, dan menyambut matahari pagi yang tak lagi membawa bayang-bayangmu.
Aku berjalan pelan, tapi pasti. Bersama Tuhan yang menggenggam tanganku dalam tiap langkah, aku ingin menjadi versi terbaik dari diriku sendiri. Tanpa dendam. Tanpa penyesalan. Tanpa perlu ada yang disalahkan.
Biarlah kisah ini menjadi semacam puisi yang tak selesai—tetapi tetap indah dibaca, meski hanya sampai di tengah halaman. Biarlah kamu tetap menjadi tokoh dalam bab pertama, namun tak perlu hadir di epilog.
Dan jika suatu hari, takdir membawa kita pada satu titik temu yang baru—bukan sebagai sepasang yang kehilangan arah, tapi sebagai dua jiwa yang telah sembuh—maka aku akan menyapamu dengan tenang.
Bukan dengan air mata. Bukan dengan tanya yang tak terjawab. Tapi dengan damai… seperti mata yang memandang laut dan tak lagi takut pada gelombang.
Karena saat itu tiba, aku tahu satu hal:
Aku sudah pulang.
Pulang ke dalam diriku sendiri.
Kini, aku melangkah di jalan sunyi yang perlahan menjadi akrab. Ada semacam ketenangan yang tak pernah kutemui saat dulu terus menunggumu—sebuah keheningan yang bukan lagi luka, melainkan ruang untuk bertumbuh.
Setiap pagi, aku belajar menyapa diriku sendiri di cermin: "Terima kasih sudah bertahan." Lalu aku memeluk diriku dalam doa yang panjang, bukan untuk meminta cinta dari luar, tapi untuk memulihkan cinta yang sempat patah di dalam.
Kadang angin masih membawakan aroma kenangan. Kadang malam masih menggoda dengan pertanyaan yang belum sempat kujawab. Tapi kali ini, aku tak lagi melawan. Aku duduk bersama kenangan, menyeduh secangkir maaf, dan membiarkannya berlalu seperti tamu yang tak perlu tinggal terlalu lama.
Aku sadar… aku tak seharusnya meminta penjelasan dari hati yang tak memilihku. Sebab diam pun bisa menjadi jawaban. Dan kehilangan, kadang adalah cara Tuhan melindungi kita dari sesuatu yang tak layak kita perjuangkan terus-menerus.
Kini, aku memilih tenang. Bukan karena sudah tidak cinta, tapi karena telah cukup mencintai. Bukan karena tak ingin memperjuangkanmu, tapi karena sadar: perjuangan yang sehat adalah yang dilakukan dua arah, bukan satu langkah penuh luka.
Aku ingin mengenangmu dengan damai. Dengan senyum. Dengan seutas doa yang tulus, bukan dengan sesak yang menekan dada. Aku ingin mencintaimu… hanya lewat langit, seperti saat aku menyebut namamu dalam doa yang tak lagi berharap jawaban.
Dan bila suatu hari nanti, aku mencintai lagi, aku tak ingin terburu-buru. Biarlah hatiku matang oleh waktu, jernih oleh luka yang telah kubersihkan, dan siap menyambut seseorang yang tak perlu kutanya, “Apakah kamu akan tinggal?”
Seseorang yang hadir tak sekadar datang, tapi menetap.
Yang tak hanya membaca puisiku, tapi juga memahami diamku.
Yang tak hanya menyentuh tanganku, tapi menggenggam jiwaku.
Dan saat itu tiba, aku akan membuka hatiku… bukan karena kosong, tapi karena penuh—oleh kasih yang kupupuk bersama Tuhan, oleh keteguhan yang kubangun dari reruntuhan, oleh cinta yang tidak lagi mengiba, tapi memilih.
Hingga tiba waktunya, aku akan terus berjalan. Bukan untuk melupakanmu. Tapi untuk membuktikan… bahwa aku mampu kembali menjadi utuh, meski pernah patah.
Dan di rumah yang kini kutinggali—rumah dalam jiwaku sendiri—aku belajar banyak hal yang dulu tak pernah kupahami saat masih sibuk mencintaimu.
Aku belajar bahwa mencintai diri sendiri bukanlah bentuk egoisme, melainkan pondasi agar kelak aku bisa mencintai dengan lebih sehat, lebih bijak, dan lebih dalam. Aku belajar bahwa kesepian tak selalu menyakitkan, kadang ia datang sebagai guru yang memperkenalkan kita pada sisi-sisi diri yang selama ini tersembunyi dalam kebisingan.
Ada ruang-ruang yang dulu kupenuhi dengan harapan tentangmu… kini kuhias dengan lukisan mimpi, kutanami benih keyakinan, dan kusiram dengan puisi-puisi syukur. Aku menciptakan kehidupan yang sederhana, tapi damai. Sunyi, tapi penuh makna. Sepi, tapi tidak pernah kosong.
Ada malam-malam saat aku masih menangis—tapi kini, tangis itu bukan karena kehilangan, melainkan karena rasa haru: ternyata aku bisa bertahan sejauh ini. Ternyata aku bisa bangkit tanpa harus menggenggam siapa pun.
Tuhan pun tak pernah benar-benar jauh. Di tiap langkahku yang tertatih, Ia hadir. Dalam diamku yang panjang, Ia bicara. Dalam tangisku yang lirih, Ia memelukku dengan damai yang tak bisa dijelaskan oleh bahasa mana pun.
Kini aku tahu, cinta tak harus selalu bersanding. Kadang cinta hanya butuh dikenang dengan lembut. Disyukuri, bukan disesali. Dimaafkan, bukan diikat. Dan yang paling penting: dilepaskan, agar kita bisa terbang.
Aku tak ingin membenci masa lalu. Karena dari sanalah aku belajar mengenal kedalaman jiwa, keheningan yang menyembuhkan, dan kekuatan yang lahir dari patah yang diterima dengan lapang.
Dan bila suatu hari aku jatuh cinta lagi, aku akan menyambutnya bukan dengan luka yang belum sembuh, tapi dengan jiwa yang telah siap merayakan perjumpaan. Aku tak ingin seseorang menambal hatiku, aku ingin seseorang mencintai hatiku yang telah utuh.
Seseorang yang tak datang sebagai pelarian, tapi sebagai jawaban.
Seseorang yang tak membuatku merasa perlu berubah, tapi menumbuhkanku menjadi lebih utuh.
Seseorang yang bukan sekadar singgah, tapi menetap dan berdoa bersama.
Dan jika sampai saat itu belum juga tiba, tak apa.
Aku sudah cukup bahagia dengan diriku. Dengan hidupku. Dengan perjalanan yang telah kulalui dan akan terus kulanjutkan.
Karena aku tahu, aku sedang tidak menunggu siapa-siapa.
Aku hanya sedang menjaga satu hal:
Diri yang sudah pulang… jangan sampai hilang lagi.
Kadang aku masih bertemu dengan bayanganmu—bukan dalam kenyataan, tapi dalam kenangan yang muncul tanpa diundang. Tapi kali ini aku tak mengusirnya. Aku biarkan ia duduk sebentar di beranda hatiku, sekadar menyapa, lalu pergi. Tanpa luka, tanpa getir.
Sebab aku telah berdamai.
Denganmu.
Dengan masa lalu.
Dengan diriku sendiri.
Aku tak lagi ingin memperbaiki kisah yang telah selesai. Aku lebih memilih merangkai lembaran baru, meski harus mulai dari satu kalimat yang masih gugup. Tapi kini aku menulisnya dengan tangan sendiri—bukan lagi dengan tangan yang berharap kau kembali.
Hidup mengajariku bahwa tak semua orang yang kita cintai akan menetap. Tapi setiap orang yang pernah singgah, pasti meninggalkan jejak. Dan dari jejak itulah aku membentuk langkah baru. Lebih mantap, lebih sadar, lebih dewasa.
Aku mulai menikmati hal-hal kecil yang dulu tak kupedulikan: aroma kopi pagi, bunyi hujan di jendela, tawa teman-teman, dan waktu tenang membaca buku kesukaan. Hal-hal sederhana yang dulu tertutupi oleh gegap gempita cinta yang tak pasti.
Kini aku tak lagi mengejar cinta yang megah, aku lebih percaya pada cinta yang hangat dan diam. Cinta yang hadir bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk berjalan bersama. Cinta yang tahu bahwa jiwa ini bukan medan perang, tapi taman yang harus dirawat.
Dan untuk diriku sendiri…
Terima kasih karena tak menyerah. Terima kasih karena tetap memilih hidup, bahkan saat semuanya terasa kabur. Terima kasih karena percaya bahwa setelah badai, akan ada musim berbunga.
Aku tak tahu siapa yang akan berjalan bersamaku nanti. Tapi yang kutahu, aku akan menyambutnya bukan sebagai sosok yang menunggu untuk dicintai—melainkan sebagai seseorang yang telah belajar mencintai dirinya sendiri dengan sepenuh hati.
Karena sesungguhnya, perjalanan pulang paling panjang adalah kembali ke diri sendiri.
Dan kini, aku telah sampai.
Kini, aku berjalan pelan. Tidak terburu-buru, tidak juga melambat. Aku belajar mengatur langkahku sendiri, tanpa menyesuaikan ritme siapa pun, dan tanpa takut tertinggal.
Di titik ini, aku sadar… kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dicari jauh-jauh. Ia tumbuh di dalam. Di antara kesadaran-kesadaran kecil yang menenangkan: bahwa aku tak harus selalu kuat, tak harus selalu benar, dan tak harus selalu bersama seseorang agar merasa utuh.
Kadang aku berbicara pada diriku sendiri—bukan karena kesepian, tapi karena aku ingin lebih akrab dengan suara hati yang dulu sering kutenggelamkan demi menyenangkan orang lain.
Aku menuliskan puisi-puisi kecil tentang harapan dan luka yang telah pulih. Bukan untuk dikenang terlalu lama, tapi untuk diingat bahwa aku pernah melewati malam-malam yang panjang… dan pagi tetap datang, dengan cahaya yang hangat dan pelan-pelan menyentuh hatiku.
Dan bila suatu hari nanti aku bertemu seseorang yang melihatku, benar-benar melihatku—bukan hanya wajahku, tapi jiwaku yang telah berjuang dan bertumbuh—aku akan menyambutnya bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai teman seperjalanan.
Teman dalam diam dan tawa. Dalam senyap dan doa. Dalam kesederhanaan yang tulus.
Aku tak lagi menanti cinta seperti dongeng. Aku menanti cinta yang nyata: yang tahu cara duduk bersama dalam sunyi, yang bersedia tumbuh pelan-pelan, yang mampu merayakan keseharian tanpa kehilangan kekaguman.
Dan jika itu belum datang, tak apa.
Karena aku tahu, pulang yang sebenarnya bukan tentang menemukan seseorang…
Tapi tentang menemukan kembali diriku yang lama hilang dalam pencarian yang salah arah.
Kini, aku menjaga rumah kecil dalam jiwaku.
Rumah yang tenang.
Yang penuh cahaya.
Yang pintunya terbuka untuk yang datang dengan niat baik,dan tertutup lembut bagi yang hanya ingin singgah lalu pergi lagi.
Aku mulai menata kembali mimpiku—bukan untuk membuktikan apa pun kepada siapa pun, tapi sebagai bentuk cinta kepada diriku sendiri. Aku ingin menjadi seseorang yang ketika menua nanti, bisa tersenyum kepada diri sendiri dan berkata, “Terima kasih karena telah berani hidup setulus ini.”
Kini pagi-pagiku bukan lagi tentang siapa yang mengirim pesan lebih dulu, tapi tentang bagaimana aku menyapa dunia dengan hati yang lapang. Aku membuat secangkir teh hangat, membuka jendela, dan membiarkan cahaya masuk. Kadang aku berbicara pada Tuhan tanpa suara. Kadang aku hanya diam, tapi merasakan-Nya begitu dekat.
Aku tak lagi menyesali hal-hal yang tak bisa kuubah. Sebab aku tahu, tidak semua hal harus diubah. Ada yang cukup diterima. Diterima dengan tulus, sampai akhirnya rasa perihnya berubah menjadi pelukan yang menenangkan.
Ada hari-hari ketika aku masih merasa hampa. Tapi aku tak lagi panik. Aku duduk bersama rasa itu. Mendengarkannya. Menyapanya. Sebab aku tahu, kekosongan bukan musuh. Ia hanya ruang yang sedang menanti diisi dengan hal-hal baru yang lebih indah, lebih sehat, lebih bermakna.
Dan pelan-pelan, dunia pun terasa bersahabat kembali. Aku mulai menulis lagi. Bukan sekadar menulis kisah cinta yang manis atau getir, tapi menulis tentang jiwa. Tentang luka dan pemulihan. Tentang kehilangan dan keutuhan. Tentang kekuatan yang lahir dari keikhlasan.
Aku ingin setiap tulisanku menjadi pelukan bagi jiwa yang lelah. Tempat berteduh bagi hati yang nyaris patah. Dan mungkin—hanya mungkin—suatu hari, seseorang yang pernah merasakan apa yang kurasa akan membaca tulisanku dan merasa, “Aku tidak sendiri.”
Aku ingin tulisanku menjadi saksi bisu perjalanan seseorang yang dulu merasa sendiri, tapi kemudian menemukan kekuatan dalam kesunyian. Aku ingin setiap kata yang kutorehkan menjadi jembatan kecil yang menghubungkan hati-hati yang pernah retak, agar mereka tahu bahwa meski terpisah oleh jarak dan waktu, kita tetap bisa saling menguatkan.
Dan bila suatu saat nanti, aku bertemu dengan sosok yang juga membawa bekas luka dalam, aku akan menyambutnya dengan tangan terbuka dan hati penuh pengertian. Bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai teman yang siap berjalan bersama, melewati liku dan rintangan hidup tanpa pamrih.
Aku belajar bahwa cinta yang sejati bukan tentang memiliki, melainkan tentang membebaskan. Membebaskan diri sendiri dan orang lain untuk tumbuh, berubah, dan menemukan jalan masing-masing dengan damai.
Setiap pagi aku membuka lembaran baru, bukan untuk menghapus cerita lama, tapi untuk menambah warna pada kanvas kehidupanku yang terus berkembang. Aku menulis tentang harapan yang tak pernah pudar, tentang keberanian yang tumbuh dari kerendahan hati, dan tentang kebahagiaan yang lahir dari menerima diri sepenuhnya.
Aku tahu, jalan ini belum berakhir. Masih banyak hal yang harus kutemui dan pelajari. Tapi aku tidak takut lagi. Karena aku telah menemukan rumah di dalam diriku sendiri—tempat di mana aku bisa beristirahat, bermimpi, dan mencintai tanpa syarat.
Dan mungkin, itulah arti pulang yang sesungguhnya.
Komentar
Posting Komentar