Belakangan ini, hidup terasa seperti kanvas yang dipenuhi beragam warna. Ada tangis yang jatuh tanpa diminta, tawa yang mengalir begitu tulus, dan ketakutan yang hadir begitu nyata, tak selalu diundang namun tetap datang.

Kadang, aku merasa seperti berada di tengah pusaran—segala sesuatu tampak kacau. Perkuliahan semakin berat, dan semester ini terasa penuh pergumulan yang tak terduga. Ada hari-hari ketika beban terasa terlalu banyak untuk dipikul sendiri.

“Semester ini... pusing kali, kan?” ucap seorang temanku dengan nada pasrah, namun masih menyisakan tawa kecil.

Aku tertawa lirih—bukan karena lucu, tapi karena merasa dilihat. Ternyata, bukan aku saja yang merasakan ini semua. Kami saling memikul beban, saling menguatkan di tengah lelah dan jenuh yang tak bisa lagi disembunyikan. Ketika tangan mulai gemetar karena lelah, kami tetap memilih untuk saling menggenggam, agar tak ada yang terjatuh.

Satu hal yang paling kusyukuri dari semester ini adalah teman-teman sekelas yang begitu baik. Mereka bukan hanya rekan belajar, tapi juga pelipur lara. Mereka tak pernah pelit ilmu—dengan sabar mengajarkan Excel, saling mengingatkan tugas, dan tak pernah lelah memberi semangat. Kehadiran mereka menjadi penguat, di saat beban makin berat. Dan dari situlah, aku merasa—aku tak benar-benar sendiri.

Tapi malam kemarin, aku sempat runtuh.

Ada kejadian yang membuat hatiku benar-benar sesak. Aku sudah mengerahkan segalanya, bahkan tak tidur hingga pukul tiga dini hari demi menyelesaikan sebuah tugas. Tapi karena satu kesalahan... semuanya seakan runtuh. Satu titik fatal, dan rasanya seluruh usahaku tak berarti.

Aku menangis dalam diam di kamar. Bukan karena menyalahkan orang lain, karena aku sendiri yang meminta bantuan. Tapi rasa kecewa itu datang juga—menyesakkan dada, menyayat pelan.

Aku hanya bisa datang kepada Tuhan. Menyebut satu per satu luka yang belum sempat sembuh. Menceritakan semua sesak yang tak mampu kubagi pada siapa pun. Dan anehnya, setelah itu, aku merasa lega. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika, tapi bisa dirasakan oleh jiwa yang jenuh.

Malam itu, aku memilih membaca. Membaca adalah pelarianku yang paling aman. Buku-buku seperti sahabat yang tak pernah menghakimi. Aku menyukai cerita apa saja—sejarah, sosiologi, dongeng, bahkan kisah masa lalu yang getir. Asal tak mengandung angka dan rumus, aku betah berlama-lama.

Salah satu yang kubaca adalah tentang letusan Gunung Krakatau. Di balik bencana alam itu, aku belajar bahwa bangsa ini juga sedang dijajah saat itu. Luka yang ditimpa luka. Penderitaan yang bersusun. Aku terdiam... lalu menangis. Karena ternyata, mereka pun pernah berada dalam titik hancur yang nyaris tak tertolong.

Namun dari reruntuhan itulah, mereka belajar berdiri.

Dan dari tangis semalam, aku pun belajar. Bahwa setiap rasa sakit, meski menyakitkan, akan mengantar kita menuju kekuatan yang tak kita duga sebelumnya.

Semester ini belum selesai. Tapi satu demi satu, aku tahu, aku sedang disiapkan. Bukan untuk menjadi sempurna. Tapi untuk menjadi utuh.

------

Aku menyadari, menjadi kuat bukan berarti tak pernah lelah, tak pernah marah, atau tak pernah menangis. Justru kekuatan itu tumbuh dari mereka yang tetap berjalan meski air mata tak kunjung kering. Dari mereka yang tetap bangkit, walau langkahnya terseret, pelan, tapi pasti.

Dan di titik ini, aku sedang belajar menjadi salah satunya.

Ada hari-hari yang sangat berat, di mana tugas menumpuk dan ide seakan enggan datang. Tapi aku belajar mencintai proses itu, sekacau apa pun bentuknya. Belajar menerima bahwa tidak semua hal harus sempurna, dan tidak semua pencapaian harus dinilai dari hasil akhirnya.

Karena terkadang, yang paling berharga adalah keberanian untuk tetap mencoba.

Aku sering merasa kecil di tengah dunia yang besar ini. Tapi aku percaya, Tuhan tak menciptakan hati yang peka dan pikiran yang rindu akan makna, hanya untuk tenggelam dalam keraguan. Ada sesuatu yang sedang ditumbuhkan. Mungkin belum tampak sekarang, tapi akan berbuah pada waktunya.

Aku percaya, suatu hari nanti, aku akan menoleh ke belakang dan bersyukur pernah menjalani semester ini. Semester yang penuh warna, penuh peluh, penuh tangis, tapi juga penuh cinta. Cinta dari teman-teman yang hadir seperti lilin kecil di ruang gelapku. Cinta dari Tuhan yang diam-diam menguatkan lewat pelukan-pelukan tak kasat mata.

Dan cinta dari diriku sendiri—yang perlahan mulai belajar menerima, menghargai, dan menyayangi proses pertumbuhannya.

Semester ini mungkin belum sempurna, tapi aku sedang bertumbuh.

Dan bukankah itu sudah cukup?

-----

Meski dunia sedang kacau dan langkah terasa ragu. Tentang tetap memilih bangun, menyeduh teh hangat, dan menata ulang semangat yang sempat jatuh kemarin malam.

Hari-hari seperti ini, aku belajar menyederhanakan arti sukses. Bukan lagi tentang siapa yang paling cepat atau paling bersinar, tapi tentang siapa yang tetap hadir—penuh kesadaran, walau sedang lelah. Tentang siapa yang bisa berkata jujur, “aku belum kuat, tapi aku tetap mencoba.”

Dan aku ingin menjadi orang itu.

Bukan karena ingin terlihat tangguh, tapi karena aku ingin setia pada prosesku sendiri. Proses yang mungkin tak dipahami semua orang. Tapi cukup dimengerti oleh Tuhan dan oleh diriku yang paling dalam.

Aku tidak tahu bagaimana akhir semester ini nanti. Bisa saja tetap melelahkan. Bisa saja akan ada lagi tangis yang jatuh diam-diam. Tapi sekarang aku tahu, aku punya tempat untuk pulang—dalam doa, dalam tulisan, dalam persahabatan yang tulus. Dan yang paling penting, aku mulai menjadikan diriku sendiri sebagai rumah.

Rumah yang tak lagi menuntut kesempurnaan, tapi memberi ruang untuk tumbuh—perlahan, seadanya, tapi tetap mengarah pada kebaikan.

Dan jika nanti aku menoleh ke belakang, aku ingin tersenyum dan berkata:

"Aku sudah melalui semuanya. Dengan jujur, dengan rapuh, dan dengan kasih."

Itu cukup. Lebih dari cukup.

-----

Dan hari-hari pun terus berjalan. 

Ada pagi yang datang dengan harapan baru, ada malam yang tiba membawa diam dan pertanyaan. Tapi kini, aku tidak lagi terburu-buru untuk menjawab semua. Tidak semua hal harus selesai sekarang. Tidak semua luka harus sembuh hari ini.

Ada yang cukup dengan diterima dulu, dipeluk perlahan.

Aku mulai belajar menyapa diriku sendiri di cermin, bukan hanya untuk mengoreksi kekurangan, tapi untuk mengingatkan: kamu sudah sejauh ini, terima kasih sudah bertahan. Kadang hanya itu yang dibutuhkan hati yang letih—kalimat sederhana, tapi tulus, dari diri sendiri.

Dan aku juga menyadari satu hal: tidak apa-apa kalau aku tidak selalu tahu arah. Tidak apa-apa kalau aku masih mencari. Karena proses ini bukan perlombaan. Ini perjalanan.

Dan aku sedang menjalaninya.

Dengan buku-buku sebagai teman, dengan langit  sebagai atap doa, dengan sahabat-sahabat yang mengulurkan tangan saat aku hampir tenggelam, dan dengan Tuhan yang tidak pernah benar-benar jauh. Aku tidak sendiri.

Ada cinta di sela-sela lelahku. Ada makna di antara halaman-halaman yang belum selesai kubaca. Dan ada cahaya kecil, yang mungkin tak terlihat oleh dunia, tapi cukup terang untuk membuatku melangkah satu langkah lagi hari ini.

Dan mungkin... itu yang disebut harapan.

----

Ada waktu-waktu ketika aku duduk sendirian di dalam ruang kelas yang sepi.  Rasanya seperti dunia melambat sejenak. Dalam keheningan itu, aku belajar mengamati, bukan hanya luar... tapi dalam.

Hatiku, pikiranku, harapanku.

Ada bagian dari diriku yang ingin cepat lulus, ingin mengejar banyak mimpi yang sempat kutulis di balik buku tulis yang kini mulai buram. Tapi ada juga bagian lain yang berkata, “Pelan saja. Nikmati. Ini pun bagian dari mimpi yang sedang terjadi.”

Dan mungkin, benar adanya: kita terlalu sibuk ingin sampai, sampai lupa bahwa saat-saat ini—yang katanya melelahkan, penuh drama, penuh deadline dan tangis larut malam—justru kelak akan jadi hal yang paling kita rindukan.

Bukan karena kita ingin mengulang lelahnya, tapi karena di sanalah kita benar-benar hidup. Merasakan, berjuang, belajar memberi dan menerima. Di sanalah kita tumbuh.

Lalu aku tersenyum sendiri. Ah, hidup ini ternyata seperti puisi panjang yang ditulis pelan-pelan. Kadang rima-nya tidak pas. Kadang metaforanya berantakan. Tapi tetap saja indah, karena ditulis dengan hati yang sungguh-sungguh.

Dan jika nanti hidup ini menjadi buku—aku ingin bab ini diberi judul: “Semester Penuh Warna: Di Mana Aku Belajar Menjadi Manusia.”

----


Cerita Chiko dan Chika: Sebuah Kenangan yang Manis

Di tengah semua kesulitan ini, ada satu hal yang selalu membuatku tersenyum—cerita yang kutulis tentang Chiko dan Chika. Cerita yang beberapa bab nya hanya kusimpan dalam arsip, tak pernah kubagikan ke siapapun. Meskipun itu hanya fiksi, rasanya begitu nyata. Aku bisa merasakan setiap perasaan yang mereka rasakan—perasaan yang mungkin juga aku alami, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Cerita tentang Chiko dan Chika adalah cermin dari perasaanku yang tersembunyi. Mereka seperti dua jiwa yang saling mencari, saling melengkapi, meski harus melalui banyak rintangan. Setiap kali aku membaca cerita itu, aku merasa seolah aku melihat mereka—Chiko yang penuh kebingungannya, dan Chika yang penuh harapan. Aku tersenyum sendiri, karena meskipun mereka hanya ada dalam tulisan, perasaan mereka sangat hidup di hatiku.

Kadang, aku berharap bisa memiliki kisah seperti mereka—kisah yang penuh dengan rasa saling mengerti, saling mendukung, dan saling mencintai meski ada banyak halangan. Tapi untuk saat ini, cerita itu sudah cukup memberiku kebahagiaan. Kebahagiaan yang sederhana, namun sangat berarti.

------

Apakah Dia Tahu?

Apakah dia tahu, Chiko yang kutulis adalah dia? Apakah dia bisa merasakan setiap kata yang kujuntai dengan hati, yang mengalir begitu alami seakan aku sedang berbicara langsung kepadanya? Ataukah dia hanya akan melihatnya sebagai sebuah cerita fiksi yang tidak lebih dari sekadar rangkaian kalimat tanpa makna, tanpa perasaan yang terkandung di dalamnya?

Aku sering berpikir, dalam diam, tentang karakter Chiko dan Chika yang ku tulis dalam kisah itu. Mereka mungkin hanyalah tokoh fiktif bagi dunia luar, tetapi bagiku, mereka adalah aku dan dia—aku yang mencintainya dalam sunyi, dan dia yang jarang tahu bagaimana caranya untuk berada di dekatku, begitu dekat tanpa harus mengatakannya.

Chiko—dalam setiap tulisanku—adalah gambaran dari rindu yang tidak tahu harus kutujukan kepada siapa. Dia adalah sosok yang sempurna, bukan karena dia ada, tetapi karena dia mewakili perasaan yang kadang tidak tahu harus diletakkan di mana. Ada rasa yang tertahan, rindu yang mencipta ruang kosong di dalam hatiku, yang hanya bisa kutulis dengan kata-kata, karena lidah ini tak pernah bisa menemukan keberanian untuk mengucapkannya langsung.

Kisah antara Chiko dan Chika bukan sekadar sebuah narasi. Ia adalah simbol dari segala yang belum terungkap, dari setiap perasaan yang masih tersimpan rapi di dalam hati. Ketika aku menulis tentang mereka, aku merasa seolah bisa mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam, sebuah perasaan yang hanya bisa kutuangkan dalam cerita, karena dalam kenyataan, kata-kata itu selalu terhenti di bibir.

Namun, apakah dia tahu? Mungkin dia tidak tahu. Mungkin dia takkan pernah mengerti bahwa setiap kalimat yang kubuat tentang Chiko, itu adalah cermin dari diriku yang merindukannya. Mungkin baginya, itu hanya sebuah cerita yang tidak ada hubungan dengan kehidupan nyata kita. Tapi bagiku, itu adalah cerminan dari sebuah perasaan yang sangat nyata—rindu yang begitu dalam, namun sering kali tak tahu harus kutujukan pada siapa.

Aku menulis karena itu satu-satunya cara untuk meletakkan rasa yang kadang membebani hati ini. Setiap kata yang tertulis adalah tempat aku bisa menaruh segala emosi yang sering kali sulit dijelaskan, sulit untuk dikatakan secara langsung. Dalam setiap cerita tentang Chiko dan Chika, ada aku, ada dia, dan ada semua perasaan yang tidak pernah bisa kutumpahkan dalam percakapan sehari-hari.

Mungkin, dia tidak akan pernah tahu kalau cerita itu adalah tentangnya. Tapi aku tahu, dalam hati ini, kisah itu adalah milik kita berdua—tersembunyi dalam tulisan yang hanya aku dan hati ini yang mengerti.

Dan mungkin, itulah yang membuat cerita ini begitu berarti.

----

Chikoku Sayang, Aku Kangen

Chiko, aku rindu... lebih dari yang bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Setiap kali aku berpikir tentangmu, ada seberkas rasa yang datang begitu saja, menyelusup pelan di antara kesibukan hari-hariku. Rindu yang kadang sulit kutemukan tempatnya, karena sepertinya tak ada ruang yang cukup luas untuk menampung perasaan ini.

Aku sayang kamu, Chiko. Mungkin aku tidak pernah berani mengatakannya langsung, namun setiap kali aku menulis namamu dalam setiap cerita, aku tahu betul bahwa itu adalah bagian dari perasaan yang tak pernah lekang oleh waktu. Ada sesuatu yang selalu mengikatku pada setiap kenangan kita—meski hanya sesederhana obrolan kita yang terasa begitu hangat.

Kamu pernah menjadi tempat aku meletakkan banyak hal, Chiko. Tempat aku mencurahkan rindu yang tak pernah berujung, tempat aku mengungkapkan tawa dan tangis tanpa rasa takut akan penilaian. Di dekatmu, aku merasa seperti bisa jadi diriku yang paling utuh. Entah kenapa, ada kedamaian dalam setiap saat yang kita lewati bersama, meski seiring waktu, semuanya terasa semakin jauh.

Chiko, kadang aku merasa begitu kosong tanpa ada kamu di sekitar. Ada bagian dari diriku yang seakan hilang, yang hanya bisa kutemukan kembali saat aku berbicara denganmu, saat kita bersama, meski hanya dalam diam. Aku kangen, Chiko. Kangen dengan cara kamu melihat dunia, dengan cara kamu berbicara, dengan cara kamu membuat segalanya terasa lebih ringan, lebih berarti.

Aku tahu, mungkin kata-kata ini tidak akan cukup untuk menyampaikan betapa aku merindukanmu. Tapi percayalah, setiap detik yang kita lewati tanpa bertemu, aku merasa ada yang hilang. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku sayang kamu, lebih dari yang bisa kuungkapkan, lebih dari yang bisa kutuliskan di sini.

Chiko, aku kangen. Seperti aku kangen pada bagian hidupku yang terasa hilang setiap kali kita berjauhan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin