Chika
Waktu berjalan seperti aliran sungai yang tak pernah menoleh ke hulu. Seiring detiknya, Chika mulai benar-benar sembuh—bukan karena lukanya lenyap, tapi karena ia belajar menerima bahwa luka itu adalah bagian dari kisah hidup yang harus ia tutup dengan doa, bukan air mata.
Melepaskan Chiko adalah seperti merelakan satu helai sayapnya untuk terbang sendirian. Berat. Sangat berat. Sebab cinta yang ia beri bukan cinta yang setengah hati. Ia mencintai Chiko dengan utuh, tanpa syarat, tanpa tuntutan. Tapi pada akhirnya, cinta bukan soal memiliki, melainkan merelakan—dan Chika memilih jalan itu.
“Kalau kamu sayang dia, kenapa kamu lepasin, Chi?” tanya Rani suatu sore, di tengah langit jingga yang menggantung sendu di langit.
Chika hanya tersenyum pelan
“Karena cinta sejati bukan tentang memaksa tinggal… tapi tentang membiarkan dia bahagia, meski bukan bersamaku,” jawabnya lirih.
Hari berganti hari. Waktu membawa Chika pada lembar-lembar baru, yang lebih tenang, lebih jernih. Tidak ada lagi beban yang menggumpal di dada. Rasanya… ringan. Damai. Ia tak ingin lagi menoleh ke belakang.
“Udah cukup. Biarlah itu jadi patah hati terakhir dalam hidupku,” ucapnya pada diri sendiri suatu malam, di bawah cahaya lampu kamar yang temaram. “Aku gak mau lagi berjalan di musim yang sama. Musim yang mengiris hati tanpa suara.”
"Aku harus janji sama diriku sendiri," katanya suatu pagi di depan cermin, "Apa yang sudah ditutup, jangan dibuka lagi. Luka yang sudah kering, jangan disentuh lagi."
Kenangan tentang Chiko? Ia biarkan tinggal sebagai potret lama dalam album hidupnya. Bukan untuk dihapus, tapi cukup disimpan. Tak perlu diingat. Tak perlu dikhayati kembali.
Ia belajar berjalan maju—moving forward, bukan sekadar kata-kata. Chika sering menghabiskan waktu bersama teman-teman kelasnya yang tulus dan menyenangkan, juga bersama komunitas gereja yang membawa kehangatan seperti pelukan dari langit.
“Chi, kamu sekarang kelihatan beda. Lebih... damai,” kata Rani , saat mereka duduk bersama.
Chika menoleh dan tersenyum. Ada kilau tenang di matanya.
“Karena aku udah belajar bahwa merelakan itu bukan kalah. Tapi itu cara Tuhan mengajarkan kita berdamai... dengan kenyataan.”
Ia tak lagi menyimpan kepahitan. Tak ada tempat untuk dendam. Ia bahkan masih ingin yang terbaik untuk Chiko. Bukan karena berharap kembali, tapi karena cinta sejati memang tidak pernah menginginkan yang buruk, bahkan setelah perpisahan.
“Aku percaya,” bisik Chika dalam doa malamnya, “Tuhan punya rencana yang jauh lebih indah. Mungkin belum sekarang. Tapi akan datang… di ujung jalan.”
Dan malam itu, Chika tertidur dalam pelukan damai. Hatinya penuh, utuh, tidak karena cinta manusia, tapi karena kasih Tuhan yang melingkupinya. Kasih yang sejati—tulus dan tanpa syarat.
Pagi menyapa dengan lembut. Matahari muncul perlahan di balik kabut tipis, seolah Tuhan sendiri menghamparkan harapan baru di langit. Chika membuka jendela kamarnya, membiarkan angin segar menyapu wajahnya. Hatinya tak lagi terikat pada masa lalu. Kini, ia hidup dalam ruang yang lebih luas—ruang yang diciptakan oleh pengampunan, penerimaan, dan kepercayaan pada rencana Tuhan yang tak pernah gagal.
Setiap hari, Chika berjalan dengan langkah mantap, walau tak selalu cepat. Ia tahu, tak perlu tergesa untuk mengejar masa depan yang Tuhan simpan dengan penuh kejutan. Ia sibuk menyusun naskah hidup yang baru, dengan lembar-lembar yang dipenuhi doa dan karya.
Ia kembali menulis, tapi kali ini bukan untuk meluapkan luka—melainkan untuk merayakan pemulihan. Kata-katanya menjelma menjadi kesaksian, menjadi cahaya bagi yang sedang tertatih di kegelapan. Ia tak ingin hanya sembuh untuk dirinya sendiri. Ia ingin menjadi alat Tuhan bagi banyak hati yang ingin pulih.
“Chi, kamu jadi berkat, tahu gak?” ujar Livia, sahabat pelayanan sekaligus tempat curhat setia.
Chika tersenyum. “Aku cuma cerita tentang bagaimana Tuhan angkat aku dari tempat paling gelap dalam hidupku. Kalau itu bisa menyalakan satu lilin buat orang lain, itu lebih dari cukup buatku.”
Sore-sore ia sering duduk di taman kampus atau perpustakaan, menulis sambil memandangi langit. Ia mencatat setiap ide, setiap penggalan mimpi. Ia masih punya cita-cita yang besar—menyelesaikan kuliahnya dengan baik, menulis buku yang bisa menginspirasi, dan suatu hari kelak, jika Tuhan izinkan, melanjutkan studi di bidang yang membuat jiwanya berbunga: sastra.
Tapi Chika tak lagi mengejar segalanya karena takut tertinggal. Ia melangkah perlahan, percaya bahwa waktunya Tuhan selalu tepat. Ia tahu, masa depannya bukan tentang siapa yang datang atau pergi, tapi tentang bagaimana ia menanggapi panggilan Tuhan setiap hari.
“Kalau nanti aku menikah, itu bonus,” gumamnya pada Livia sambil tertawa pelan. “Tapi yang pasti, aku mau hidupku berguna. Aku mau hatiku tetap penuh, bahkan saat tanganku kosong.”
Langit senja menggantung di atas kepalanya, dan Chika tahu—ia tidak sendirian. Ia dikelilingi sahabat-sahabat yang tulus, dipeluk oleh kasih yang ilahi, dan dipandu oleh tangan yang tak pernah meninggalkannya. Ia tak tahu apa yang menanti di depan, tapi ia percaya: apa pun itu, pasti indah, karena Tuhan yang menulis kisahnya.
Dan malam pun datang. Dengan syukur di dada, Chika berdoa lembut,
"Tuhan, terima kasih. Aku tak butuh semua jawaban sekarang. Aku hanya ingin tetap setia berjalan bersama-Mu. Hari demi hari.”
Ada masa ketika Chika mengira hatinya tak bisa utuh lagi. Kepergian Chiko waktu itu terasa seperti gempa yang merontokkan seluruh bangunan harapannya. Ia pernah berdiri di antara reruntuhan itu, memungut serpihan-serpihan luka yang tak bisa disusun kembali. Tapi waktu berjalan… dan rahmat Tuhan tidak pernah alpa menyapa.
Hari-hari berlalu, dan pelan-pelan, Chika mulai menata ulang hidupnya. Bukan untuk menggantikan apa yang hilang, seperti yang Chiko pernah katakan—karena memang tak ada yang bisa menggantikan. Tapi ada sesuatu yang lebih kuat dari kehilangan: akar yang berakar di dalam Kristus. Akar yang menembus dalam, jauh ke tanah kasih karunia yang tak terguncangkan oleh kehilangan, oleh ingatan, atau bahkan oleh rasa rindu yang belum selesai.
Ia tak menutup luka dengan kepalsuan. Ia membiarkannya sembuh perlahan, sambil terus berjalan.
Kini, hidupnya seperti kepingan puzzle yang perlahan mulai menyatu. Tidak semuanya kembali seperti semula. Tapi bukan itu tujuannya. Ia tidak lagi mencari potongan lama yang hilang—ia sedang menyusun gambar baru. Gambar yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih utuh. Di dalamnya ada luka yang dipulihkan, tangis yang berubah jadi kekuatan, dan kehilangan yang melahirkan kedewasaan.
Dan Chika? Ia berdiri hari ini bukan sebagai seseorang yang sempurna… tapi sebagai seseorang yang dihidupkan kembali oleh kasih. Ia tahu, Tuhan tidak pernah jauh. Bahkan di saat Chika merasa sendiri, tangan-Nya tetap menggenggam erat.
Dalam jurnal malamnya, ia menulis:
“Tuhan, aku tak meminta Engkau kembalikan yang pergi. Aku hanya mohon, ajari aku menyambut yang Kau siapkan. Biarlah hidupku tidak lagi terikat pada ‘apa yang dulu’, tapi tertambat pada siapa Engkau bagiku—Sumber, Penyembuh, dan Pribadi yang tak tergantikan.”
Dalam hati, Chika tahu: ia sedang disembuhkan. Bukan oleh waktu, tapi oleh kasih yang tak pernah meninggalkannya.
Dan begitulah, hari-hari Chika kini bukan lagi dihitung dengan luka, tapi dengan rasa syukur yang tak putus. Ada air mata, tentu. Tapi bukan air mata dari kepedihan yang sama. Kali ini, tangisnya mengalir karena menyadari: ia hidup. Ia masih bisa tertawa, mencinta, dan bermimpi. Bukan karena segalanya baik-baik saja, tapi karena ia telah melihat bahwa kasih Tuhan tetap ada… bahkan di reruntuhan.
Dalam salah satu pertemuan komunitas, Chika berdiri dan bersaksi, suaranya lembut namun tegas:
"Dulu aku kira kebahagiaan hanya akan datang kalau semua kembali seperti dulu. Tapi sekarang aku tahu, kebahagiaan sejati itu bukan hasil dari keadaan, tapi buah dari perjumpaan dengan Tuhan yang tinggal di kedalaman hati. Aku bahagia bukan karena hidup ini mudah… tapi karena kasih-Nya tak pernah meninggalkanku, bahkan ketika aku sendiri nyaris menyerah."
Chika tak lagi berbicara sebagai seseorang yang ‘terluka’, tapi sebagai seseorang yang telah melewati lembah dan kini menyalakan pelita bagi yang lain.
Ia menyadari bahwa hatinya tidak lagi kosong. Ia penuh. Penuh oleh kasih yang tidak ditentukan oleh siapa yang datang atau pergi. Penuh oleh pengharapan yang tidak bergantung pada rencana manusia. Dan di tengah badai yang kadang masih menyapa, Chika bisa tertawa—karena ia tahu siapa yang memegang kendali.
Dalam satu surat yang ia tulis untuk dirinya sendiri, Chika menuliskan:
"Kepada diriku yang dulu, terima kasih sudah bertahan. Kepada diriku hari ini, mari terus berjalan. Tuhan tak pernah menjanjikan jalan yang mudah, tapi Ia berjanji takkan pernah membiarkanmu sendiri. Maka tertawalah, meski langit belum cerah. Karena kasih-Nya, selalu cukup. Selalu cukup."
Chika kini menjalani hari-harinya dengan cara yang berbeda. Setiap pagi, ia bangun dengan penuh syukur, meskipun ia masih mengenang segala yang telah hilang—termasuk Chiko, sosok yang pernah sangat ia sayangi. Kehilangan itu memang meninggalkan jejak di hati, namun kini, ia belajar untuk tidak lagi menggantungkan kebahagiaannya pada kehadiran seseorang. Dalam kesendiriannya, Chika menemukan sesuatu yang jauh lebih besar: kedalaman kasih Kristus yang tidak pernah meninggalkan.
Hari-hari Chika kini dipenuhi dengan doa dan renungan. Setiap langkah yang ia ambil didasari oleh keyakinan bahwa Tuhan adalah pusat hidupnya, sumber dari segala ketenangan, kekuatan, dan harapan. Ia mulai memahami bahwa hidup ini bukan tentang siapa yang ada di samping kita, tetapi tentang siapa yang ada di dalam hati kita—Tuhan yang selalu setia menemani.
Meski kehilangan Chiko meninggalkan ruang kosong yang sulit dijelaskan, Chika tidak merasa rapuh. Ia merasa bahwa Tuhan telah mengisi ruang itu dengan kasih-Nya yang tak terhingga. Kepergian Chiko bukanlah akhir dari segalanya. Justru, itu menjadi titik awal bagi Chika untuk lebih dalam lagi merasakan hadirat Tuhan dalam hidupnya. Setiap malam, ketika ia berbaring di tempat tidurnya, Chika sering kali merenung, "Tuhan, meski aku merindukan dia, aku tahu bahwa Engkau lebih dari cukup."
Chika kini lebih banyak melayani. Namun, ia tidak melakukannya untuk mengisi kekosongan hatinya. Ia melakukannya karena ia ingin berbagi kasih Tuhan yang telah begitu mengubah hidupnya. Ia tahu bahwa setiap orang, seperti dirinya, membutuhkan Tuhan sebagai pusat hidup mereka, untuk menemukan kedamaian dan kekuatan yang tidak bisa diberikan oleh dunia.
Setiap kali adik-adik rohani nya bercerita tentang perjuangan mereka, Chika tidak lagi memberi nasihat berdasarkan logika semata, tapi mengarahkan mereka untuk melihat Tuhan sebagai sumber segala jawaban. Ia sering berkata, "Tuhan mungkin tidak memberi kita semua yang kita inginkan, tapi Dia memberi kita apa yang kita butuhkan. Kadang, kita hanya perlu belajar menerima hidup apa adanya dan mempercayakan semuanya pada-Nya."
Dengan setiap langkah yang ia ambil, Chika semakin merasa utuh. Ia mengerti bahwa kehilangan memang menyakitkan, namun hidupnya tidak akan hancur hanya karena satu kehilangan. Kasih Kristus yang tak tergoyahkan menjadi pelita yang menerangi jalannya. Ia tidak merasa sendiri, karena Tuhan selalu ada untuknya—selalu menunggu di sana, siap memberi kekuatan baru.
Chika menemukan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada kondisi eksternal, melainkan pada kedamaian yang datang dari dalam hati, kedamaian yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan. Dan meskipun ia masih merasakan kehilangan, hatinya tetap penuh dengan rasa syukur, karena ia tahu bahwa kasih Tuhan lebih dari cukup untuk membuatnya merasa utuh.
Ia pun belajar untuk melihat hidup bukan dengan fokus pada apa yang telah hilang, tetapi dengan membuka mata pada apa yang masih ada—berkat yang Tuhan berikan, hubungan yang penuh kasih dengan orang-orang terdekatnya, dan lebih dari itu, kedekatannya dengan Tuhan yang tak pernah meninggalkannya.
Hari-hari Chika kini penuh dengan pemulihan, bukan karena segalanya menjadi sempurna, tetapi karena ia tahu bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu dalam hidupnya, dan hanya di dalam Dia, ia menemukan kedamaian yang sejati.
Chika terus berjalan, meski kadang langkahnya terasa berat. Di tengah segala rutinitas dan pelayanannya, ia belajar untuk terus mengandalkan Tuhan sebagai pusat hidupnya. Setiap kali rasa kesepian mulai menyentuh hatinya, Chika mengingat kembali kata-kata yang sering ia dengar: "Kasih Tuhan tidak pernah berhenti." Ia mulai menemukan ketenangan di dalamnya, suatu keyakinan bahwa Tuhan selalu ada, tak peduli bagaimana dunia menguji dan menggores hatinya.
Di setiap doa yang ia panjatkan, Chika merasa semakin dekat dengan Tuhan. Setiap kali ia mengingat Chiko, hatinya mungkin sedikit teriris, namun ia tahu Tuhan memberinya kekuatan untuk menerima kenyataan. Ia menyadari bahwa meskipun hubungan mereka tidak berjalan seperti yang diharapkan, kasih Tuhan yang begitu besar tetap ada untuknya, memberinya kekuatan dan pemulihan.
Pada suatu pagi yang tenang, ketika angin lembut menerpa wajahnya, Chika merenung sejenak. Ia duduk di depan beranda rumahnya, menatap langit biru yang luas, dan merasakan damai yang luar biasa. Seolah-olah Tuhan sedang berbicara melalui alam, mengingatkan bahwa hidup ini adalah tentang perjalanan bersama-Nya—meskipun kadang-kadang kita merasa sendiri, kita sebenarnya tidak pernah benar-benar sendirian.
Sambil menatap secangkir teh hangat di tangannya, Chika tersenyum kecil. Ia merasa lebih kuat dari sebelumnya, meskipun luka-luka lama masih ada. Namun, kini luka itu bukan lagi sumber kelemahannya. Luka itu adalah tanda bahwa ia telah bertumbuh, bahwa ia telah melewati banyak hal dan masih berdiri tegak di hadapan Tuhan.
Semakin hari, semakin Chika merasakan kehadiran Tuhan di setiap aspek hidupnya. Bukan hanya dalam waktu-waktu tertentu atau saat berdoa, tetapi dalam setiap hal kecil yang ia jalani. Ia belajar bahwa Tuhan ada dalam setiap langkah, dalam setiap percakapan, bahkan dalam setiap senyuman yang ia bagikan. Ia menyadari bahwa hidup yang utuh bukan berarti tanpa rasa sakit atau kehilangan, melainkan hidup yang penuh dengan kasih, pengampunan, dan rasa syukur.
Walaupun kehilangan Chiko masih menjadi kenangan yang sulit dihapus, Chika kini lebih bisa berdamai dengan kenyataan. Ia tahu, kasih Tuhan yang tak pernah berkesudahan adalah sumber kebahagiaannya yang sesungguhnya. Dan meskipun kadang rasa rindu itu datang begitu dalam, ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa Tuhan ada di tengah-tengah segala perasaan itu, memberikan ketenangan yang menenangkan hati.
Seiring waktu, Chika semakin yakin bahwa hidupnya bukan lagi dihitung dengan luka-luka yang telah lalu, tetapi dengan kasih Tuhan yang selalu hadir dalam setiap langkahnya. Tuhan menjadi pusat kehidupannya, dan ia tahu, selama ia menjaga Tuhan tetap menjadi pusat hidupnya, ia akan selalu menemukan kedamaian, apapun yang terjadi.
Seiring berjalannya waktu, Chika semakin menyadari bahwa kedamaian itu bukan hanya sebuah keadaan sementara, melainkan sesuatu yang tumbuh perlahan dalam dirinya. Sebuah rasa syukur yang semakin dalam, yang tak bisa digoyahkan oleh segala peristiwa, baik itu suka maupun duka. Setiap pagi, ketika ia membuka matanya dan menghirup udara segar Bandung, ada ketenangan yang ia rasakan, sebuah kedamaian yang datang dari dalam diri, sebuah damai yang bukan berasal dari dunia ini, melainkan dari Tuhan yang menyertainya.
Malam-malam panjang yang dulu penuh dengan tangis dan ragu kini telah berganti dengan doa yang tenang. Dalam kesunyian itu, Chika belajar untuk menyerahkan segala rasa takut dan kecemasan, membiarkan Tuhan menyelesaikan apa yang ia tidak mampu atasi. Ia menulis di jurnalnya, kata demi kata, tentang perjalanan ini—tentang bagaimana Tuhan mengajarinya untuk mencintai dirinya sendiri dengan utuh, meskipun dunia seringkali memberikan alasan untuk meragukan diri.
“Kadang,” tulisnya di halaman terakhir jurnal itu, “kita terjebak dalam pencarian kebahagiaan yang salah. Kita mencari kebahagiaan di luar diri, dalam seseorang, dalam pencapaian, dalam hal-hal yang akhirnya pergi begitu saja. Tapi Tuhan mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati datang dari dalam, dari hubungan yang kita bangun dengan-Nya, dari menerima diri kita apa adanya, dan percaya bahwa kita cukup, bahkan di tengah-tengah ketidaksempurnaan.”
Chika tahu, ia masih akan menghadapi banyak perjalanan yang tak mudah, banyak malam yang penuh dengan kesedihan, banyak tanya yang belum terjawab. Namun, ia juga tahu bahwa selama ia mengingat bahwa kasih Tuhan tidak pernah berubah, ia akan selalu dapat menemukan kekuatan untuk terus berjalan.
Chika tidak lagi merasa kosong, tidak lagi merasa bahwa hidupnya tergantung pada keadaan atau orang lain. Ia telah menemukan kedamaian yang sejati dalam Tuhan, yang tak pernah berpaling darinya. Dan meskipun dunia ini penuh dengan ketidakpastian, Chika tahu bahwa selama ia berjalan dengan Tuhan, ia akan selalu menemukan tempat perlindungan di tengah badai, sebuah tempat di mana hatinya bisa beristirahat dan merasakan damai yang melampaui segala pengertian.
Hidup Chika kini bukan lagi tentang berlari mengejar sesuatu yang tidak pasti. Itu tentang berjalan dengan langkah penuh keyakinan, dengan Tuhan sebagai pusatnya, dan membiarkan Dia mengarahkan jalan hidupnya. Seperti angin yang berhembus lembut, Tuhan ada di sana, mengisi setiap celah dengan kasih-Nya yang tak berkesudahan.
Dan dalam kedamaian itu, Chika akhirnya tahu—ia tidak pernah benar-benar kehilangan apapun. Karena kasih Tuhan selalu cukup. Selalu cukup.
Chika duduk di meja yang sederhana, di samping secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya kembali melayang ke masa lalu, ke Chiko, ke segala kenangan yang pernah mereka bagi. Namun kali ini, ada perasaan yang berbeda. Ia tidak lagi merasa terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu itu. Kenangan dengan Chiko yang pernah ia tulis dengan penuh harapan dan cinta kini terasa seperti halaman-halaman usang dalam sebuah buku yang sudah selesai dibaca.
Chika menyadari bahwa, meskipun ia sangat menyayangi Chiko, hubungan mereka hanyalah sebuah bab dalam hidupnya yang kini telah usai. Dalam tulisan-tulisan yang pernah ia buat, dalam setiap kata yang pernah ia ucapkan tentang Chiko, ada keindahan, ada perasaan yang mendalam, namun juga ada ruang kosong yang kini ia paham, bahwa ruang itu tak lagi bisa diisi oleh siapapun. Tidak oleh Chiko.
“Chiko,” bisiknya pelan, seperti memanggil bayangan masa lalu yang kini terasa jauh, begitu jauh. “Aku tahu kita pernah begitu dekat, dan aku tahu kita pernah berjanji. Tapi sekarang, aku paham. Kamu hanya sebatas tulisan yang pernah aku buat, sebatas impian yang pernah aku bangun dalam hati. Dan aku tidak akan kembali ke sana.”
Ada semacam kedamaian dalam kata-kata itu. Tidak ada rasa benci atau penyesalan. Hanya sebuah penerimaan yang penuh dengan kedalaman hati. Chika tahu bahwa meskipun ia menyayangi Chiko, ada jarak yang tidak bisa ia tembus, sebuah kenyataan yang tak bisa diubah. Mungkin ini adalah bagian dari proses pemulihan, bagian dari perjalanan untuk menemukan dirinya kembali.
Chika memandang langit yang mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi oranye lembut. Ia merasa seperti langit itu—perlahan berubah, menerima kenyataan bahwa ada waktu untuk melepaskan sesuatu yang sudah tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya. Ia tersenyum kecil, dan dalam senyumnya itu, ada ketenangan. Ketika ia menulis tentang Chiko, ia menulis tentang sebuah kisah yang penuh dengan cinta, tetapi juga penuh dengan perpisahan. Kisah yang harus ia terima, meskipun hatinya tak sepenuhnya siap.
Namun, kini Chika tahu bahwa ia tidak perlu kembali ke masa lalu itu untuk menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan itu sudah ada di dalam dirinya, ada dalam kehadiran Tuhan yang tak pernah meninggalkannya, ada dalam setiap langkah yang ia ambil, dan ada dalam setiap doa yang ia panjatkan. Chiko mungkin pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya, tetapi Chika kini lebih paham bahwa kebahagiaannya tidak bergantung pada seseorang yang pernah ia sayangi.
“Aku tidak akan kembali ke sana,” katanya pada dirinya sendiri, tegas. “Karena aku tahu, ada hidup yang lebih indah yang menantiku. Ada impian yang lebih besar, ada perjalanan yang belum selesai, dan aku ingin berjalan bersama Tuhan.”
Chika menutup jurnalnya dengan perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak ada lagi beban yang menghimpit hatinya. Ia mengerti bahwa, meskipun ia sangat menyayangi Chiko, hidupnya tak lagi terikat padanya. Semua yang ia miliki sekarang adalah hari-hari yang penuh dengan kemungkinan baru, dengan kasih Tuhan yang mengalir tak terbatas.
Dan meskipun kadang-kadang rasa rindu itu datang begitu dalam, Chika tahu ia harus belajar melepaskan. Menerima bahwa cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang memberi tanpa mengharapkan balasan. Dan dengan itu, Chika belajar untuk membuka hati untuk hidup yang lebih utuh, untuk menerima kasih Tuhan yang tak terhingga, yang telah mengisi ruang kosong di dalam hatinya dengan penuh pengharapan baru.
“Terima kasih, Tuhan,” Chika berbisik, matanya tertutup sejenak. “Karena Engkau selalu cukup. Engkau selalu ada, meskipun dunia ini berubah dan orang-orang pergi. Aku tahu, aku tidak pernah benar-benar sendirian.”
Dan dengan kedamaian itu, Chika bangkit, siap menjalani hari baru, dengan langkah yang lebih ringan dan hati yang lebih penuh.
Langkah Chika kini tak lagi terburu-buru seperti dulu—ia tidak sedang mengejar siapa-siapa, dan tidak lagi ingin dikejar oleh masa lalu. Ia hanya ingin berjalan dengan tenang, menyusuri lorong hidup yang kadang sepi, kadang ramai, tetapi selalu bersama Tuhan. Di setiap pagi yang ia jalani, ada kesadaran baru yang bertumbuh: bahwa kedamaian sejati tidak datang dari memiliki seseorang, melainkan dari berdamai dengan kehilangan dan menerima kehadiran Tuhan sebagai jawaban dari segala kekosongan.
Ia masih sesekali membuka tulisan-tulisan lamanya—bukan untuk bernostalgia, melainkan untuk bersyukur. Bahwa dulu ia pernah mencintai dengan tulus. Bahwa hatinya pernah belajar bertumbuh melalui luka. Ia membaca paragraf demi paragraf tentang Chiko, seperti seorang penyair membaca puisi lama: dengan kelembutan, tanpa keinginan untuk mengulang kisah itu kembali.
Pada suatu sore, saat langit mulai ditutup mendung, Chika berjalan dan angin berembus perlahan, seolah membisikkan hal-hal yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Di sana, di tengah sepi yang khidmat, Chika memejamkan mata dan menengadah sedikit, membiarkan udara dingin menyentuh pipinya. Ada rasa syukur yang mendalam.
“Aku tidak menyesal pernah menulis tentangmu, Chiko,” gumamnya, pelan namun pasti. “Tapi aku juga tidak akan menunggu sebuah kelanjutan dari cerita itu. Sebab aku bukan lagi tokoh yang sama, dan kamu pun telah pergi jauh, menjadi bagian dari bab yang selesai.”
Ia mengingat kembali satu momen ketika dulu ia berkata pada dirinya sendiri, "Aku ingin menua bersamamu." Tapi kini, ia tersenyum kecil—bukan dengan getir, tapi dengan kebijaksanaan yang lahir dari proses panjang. Chika tahu, ada cinta yang ditakdirkan untuk menjadi batu loncatan, bukan tujuan akhir. Dan cinta seperti itulah yang pernah ia miliki bersama Chiko.
Malam pun tiba, dan Chika kembali ke rumahnya, dan membuka lembaran jurnal baru. Kali ini, ia tidak menulis tentang siapa-siapa. Ia menulis tentang dirinya sendiri. Tentang damai yang perlahan tumbuh. Tentang mimpi-mimpi baru. Tentang seseorang yang belum ia kenal, tapi kelak mungkin akan datang bukan sebagai pelengkap dari masa lalu, tapi sebagai teman perjalanan baru yang Tuhan pilihkan—bila waktunya tiba.
Dan bila tidak? Chika tidak lagi takut.
Karena sekarang, ia sudah utuh. Bukan karena siapa-siapa, tapi karena ia telah menyerahkan seluruh lukanya kepada Sang Penyembuh, dan menerima hidup sebagai anugerah, bukan penantian yang harus selalu berujung manis.
Di halaman terakhir jurnalnya malam itu, ia menulis:
“Aku tidak lagi mencari siapa yang akan menyelamatkanku dari sepi. Aku sudah bertemu Tuhan, dan itu cukup. Dan ketika cinta itu datang lagi, jika Tuhan menghendaki, aku akan menyambutnya bukan sebagai gadis yang patah, tapi sebagai wanita yang telah selesai dengan lukanya.”
Komentar
Posting Komentar