Chiko & Chika 🌸

Senja menggantung seperti lukisan separuh jadi di langit kota itu. Udara lembut membawa aroma tanah basah, seolah turut menyimak percakapan dua hati yang sedang berteduh dalam luka dan harap.

Chiko menatap Chika dalam diam yang lama, seperti mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di balik matanya yang sembab. “Chika, apa kamu baik-baik saja?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.

Dan Chika, dengan kekuatan yang rapuh namun jujur, menjawab tanpa perisai.

“Tidak, aku tidak baik-baik saja. Kadang aku bingung dengan semua sikapmu, Chiko. Aku sering menangis hingga mataku sembab. Aku terus menjalani hariku, tapi air mata itu tak pernah benar-benar kering. Ada masanya aku kuat tanpa bayangmu, tapi ada pula saat aku merindukanmu hingga sesak. Dan aku tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi rindu ini…”

Diam menyelinap di antara mereka, namun bukan diam yang kosong—melainkan diam yang penuh makna, seperti jeda di antara dua bait puisi yang mengguncang.

“Chika…” Chiko menunduk. “Kita belum punya fondasi untuk bersama. Aku takut jika kita memaksakan diri, kita hanya akan saling melukai—bukan karena tidak cinta, tapi karena belum cukup dewasa untuk merawat cinta itu. Aku… aku ingin minta satu hal padamu.”

“Apa?”

“Fokuslah pada hidupmu dulu, dan ampunilah… segala yang belum bisa kupastikan. Buat yang terbaik dari apa pun yang kau jalani. Bukan hanya agar bisa bersamaku nanti… tapi demi kebahagiaanmu sendiri. Aku ingin melihatmu berdiri mantap, menang, di hidup yang telah kau menangkan. Aku ingin kita bertemu lagi, nanti… dalam versi terbaik kita. Terdengar egois, ya?”

“Enggak,” jawab Chika pelan. “Tapi kalau dalam prosesnya aku rindu kamu, gimana?”

“Sampaikan pada Tuhan,” jawab Chiko dengan suara yang nyaris patah. “Setialah dalam prosesmu. Aku ingin kau sampai di puncak hidupmu. Aku ingin kau bahagia, sungguh-sungguh bahagia…”

Chika menggenggam jemarinya sendiri, berusaha meredam gejolak yang menggulung di dadanya. “Tapi aku gak mau kehilangan kamu. Berjanjilah… kamu akan ada di ujung jalan itu. Meskipun sempat menghilang, bahkan dalam mimpi pun kamu sering pergi ke tempat yang tak kusukai… berubah menjadi sosok yang asing…”

Chiko menarik napas panjang, menahan air mata. “Maafkan aku, Chika… karena menghadirkan ketidakpastian, bahkan dalam tidurmu. Tapi, keluarlah dari rawa itu. Kamu bisa, bahkan tanpa aku. Kembalilah ke bentukmu yang semula, bukan dengan galau yang dulu, tapi dengan pertumbuhan yang baru. Jangan ulangi fase lama yang menyakitkan itu, ya? Bertumbuhlah…”

Lalu ia menatap Chika, dalam dan sungguh. “Aku tak tahu bagaimana jalan ini berakhir. Tapi yang kutahu, kita harus berani diolah dulu dalam kesunyian. Menjadi kuat bukan karena tak pernah terluka, tapi karena tetap berdiri meski berdarah.”

Dan Chika mengangguk. Dengan air mata jatuh tanpa suara, ia berkata, “Iya, aku akan lakukan semuanya. Tunggu aku, ya… di ujung jalan ini. Kalau aku lama sampai, jangan pergi meninggalkanku. Aku hanya ingin bersamamu… selamanya. Aku sayang kamu, Chiko. Dan kalau kamu minta aku melewati proses ini, aku akan melakukannya. Tapi jangan bilang aku harus membunuh rinduku, dan jangan suruh aku cari pengganti. Aku gak bisa… dan aku gak mau.”

Ia menggenggam hatinya sendiri, seolah menitipkan sesuatu yang rapuh tapi mulia.

“Ini bukan akhir, kan? Ini hanya jeda… pemurnian. Dan mungkin, setelah semuanya selesai, kita bisa bersama—dalam kebahagiaan dan hidup yang telah kita menangkan. Untuk saat ini… biarlah perasaanku disimpan dulu dalam tangan Tuhan, agar dimurnikan.”

Chiko menatapnya dengan mata berkaca. “Iya… saatnya membangun fondasi hidup dulu. Jadi, jangan sedih lagi ya. Jangan menangis setiap malam lagi, Chika.”

Dan mereka berdiri di tengah langit yang mulai memudar, dua jiwa yang tak lagi saling genggam tangan, tapi saling doakan. Cinta mereka bukan tentang memiliki saat ini, tapi tentang menunggu dengan setia, dan bertumbuh dengan harapan. Sebab cinta sejati tahu: waktu Tuhan adalah waktu terbaik. Dan yang disucikan dalam proses akan kembali dengan kemuliaan yang tak bisa dibeli oleh dunia.

Dengan senja yang telah berganti malam, angin mulai menggigilkan dedaunan. Cahaya lampu jalan menyentuh wajah Chika dan Chiko, menciptakan siluet dua insan yang tengah belajar melepaskan tanpa benar-benar berpisah. Suasana terasa seperti babak akhir dari sebuah drama, namun juga seperti pembuka dari sesuatu yang lebih dalam, lebih matang, lebih mengakar.

Chika menyentuh dadanya pelan, seolah ingin memastikan bahwa hatinya masih berdetak, meski kini sedang retak dan dibiarkan belajar menyembuh sendiri. 

“Chiko,” ucapnya lirih, “jika nanti aku berhasil sampai di titik itu… titik ketika aku bisa tersenyum tanpa lagi menyimpan luka yang sama… bolehkah aku memanggil namamu dengan cara yang baru? Dengan ketenangan, bukan lagi dengan isak?”

Chiko tersenyum kecil, getir dan lembut. “Panggillah namaku dengan tenang, Chika. Sebab aku pun sedang belajar menyebut namamu dalam doa, bukan dalam kecemasan.” Ia menggeser pandangannya ke langit yang menghitam sempurna.

“Kita bukan berpisah, kita sedang belajar berjalan berdampingan dalam diam. Kita sedang membangun rumah yang kuat di dalam hati kita masing-masing. Jika nanti rumah itu kokoh, mungkin kita bisa bertemu di jalan pulang.”

Chika menarik napas dalam. “Dan jika dalam perjalananku aku jatuh… jika aku kehilangan arah, bisakah kamu jadi bintangku dari kejauhan? Menuntunku diam-diam?”

Chiko memejamkan mata, lalu mengangguk. “Aku akan menjadi bintang yang kamu butuhkan. Tak terlihat dekat, tapi tak pernah berhenti bersinar. Aku tidak akan menarikmu dari jalanmu, tapi aku akan menjadi cahaya kecil yang mengingatkanmu bahwa kamu tidak sendiri. Bahwa kamu dicintai.”

Hening kembali mengalun. Tapi kali ini bukan hening yang menyakitkan. Ini adalah diam yang penuh pengertian. Seperti dua musim yang bertemu di perbatasan waktu. Tidak saling menyalahkan, hanya saling menerima bahwa setiap hal ada waktunya.

Akhirnya, Chika melangkah pelan. Dengan langkah yang belum sepenuhnya kuat, tapi telah dipenuhi keberanian. Chiko tidak menahannya. Ia hanya berdiri, melihat kepergian Chika dengan mata yang berkabut. Di hatinya, ada sepotong doa yang mengalir diam-diam.

“Tuhan, jagalah dia dalam prosesnya. Kumohon, bimbing dia agar sampai di tujuan hidupnya dengan utuh, bukan remuk. Dan jika kehendak-Mu, biarkan aku menjadi tempat pulangnya kelak…”

Chika pun melangkah lebih jauh. Setiap jejaknya menimbulkan gema dalam jiwanya. Tapi kini bukan gema kesedihan, melainkan gema panggilan akan masa depan.

Ia tahu—ini bukan perpisahan. Ini adalah jeda untuk pemurnian. Karena cinta yang sungguh mencintai tidak akan saling menahan, melainkan saling mendoakan. Dan di ujung jalan, jika Tuhan berkehendak, mereka akan bertemu kembali. Bukan sebagai dua orang yang terluka, tapi sebagai dua pribadi yang telah selesai dengan lukanya.

Dan malam pun memeluk mereka dalam sunyi. Tidak sebagai akhir dari kisah, tetapi sebagai saksi: bahwa cinta, jika benar-benar dari Tuhan, tahu bagaimana caranya pulang.

Malam itu, kota ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Namun di tengah kesunyian itu, hati Chika justru mulai terasa lebih jernih. Langkah-langkahnya menapaki trotoar basah, menembus udara yang mengandung embun dini hari. Setiap langkah adalah keputusan, setiap hembusan napas adalah penerimaan.

Di dalam dadanya, masih ada tangis yang menggantung. Tapi tangis itu kini bukan hanya karena kehilangan, melainkan karena rasa syukur—bahwa ia telah diizinkan mencintai seseorang sejujur itu, sehancur itu, sekaligus sekuat itu.

Di sudut jalan, Chika berhenti. Ia menatap langit malam yang bertabur bintang, lalu menutup matanya perlahan.

“Tuhan… jika cinta ini memang dari-Mu, jangan biarkan ia layu hanya karena musim yang sementara. Rawatlah dalam diam-Mu, dalam rencana-Mu yang tak pernah gagal. Dan jika aku harus berjalan sendiri dulu, ajarilah aku untuk bahagia tanpa harus melupakan. Ajarilah aku untuk mencintai dengan tenang, bukan dengan cemas.”

Ia membuka matanya lagi, dan senyum tipis muncul di wajahnya yang masih basah oleh sisa tangis. Ada sesuatu yang berubah. Bukan karena rasa itu hilang, tetapi karena ia mulai memahami: bahwa cinta sejati tidak selalu berarti bersama, tapi selalu berarti tumbuh.

Sementara itu, di sudut kota yang lain, Chiko berdiri di depan jendela kamar kecilnya. Ia tak bisa tidur. Matanya menatap kosong ke arah bulan yang terbit utuh. Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tapi tak ada lagi kata-kata. Hanya doa yang diam-diam ia gumamkan, seperti janji yang tidak ditulis, tapi disimpan erat dalam hati yang percaya.

Ia tahu, melepaskan Chika malam itu bukan karena tidak cinta, tapi karena terlalu cinta untuk merusaknya. Ia ingin Chika menjadi wanita yang tidak hanya kuat karena luka, tapi kuat karena tahu bahwa hidupnya bernilai bahkan tanpa validasi siapa pun.

“Tunggu aku juga, Chika… dalam doamu, dalam harapanmu, dalam hari-hari yang akan kamu menangkan. Jika takdir itu adil, kita akan dipertemukan kembali dalam waktu yang indah, bukan karena kita saling mencari, tapi karena Tuhan yang menuntun.”

Dan malam pun berlalu perlahan, seperti nyanyian sunyi yang meresap hingga ke dasar jiwa.

Esok pagi akan datang. Dan di balik matahari yang akan terbit, ada dua jiwa yang sedang disiapkan: untuk masa depan yang belum mereka mengerti, tapi sedang mereka percayai. Dengan cinta. Dengan luka. Dengan iman yang tidak sempurna, tapi tulus.

Sebab kisah Chika dan Chiko belum berakhir. Ia hanya sedang diproses dalam ruang yang paling sakral: waktu dan kehendak Tuhan.

Malam itu, meski lampu kota masih menyala dan deru kendaraan sesekali lewat di kejauhan, hati Chiko terasa senyap. Ia masih berdiri di jendela, menyandarkan dahinya pada kaca yang dingin. Udara malam menusuk, tapi rasa di dadanya jauh lebih dalam daripada dingin apa pun.

Dalam diam, pikirannya melayang pada sosok yang selalu ia doakan diam-diam: Chika.

"Dia pasti sudah tidur. Atau mungkin belum. Mungkin sedang menulis seperti biasa, dengan lampu temaram dan secangkir teh hangat di samping jurnalnya. Mungkin ia masih memikirkan aku. Tapi aku tidak berharap itu terus-menerus terjadi. Aku hanya ingin dia tenang."

Chiko menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap langit malam yang masih dihiasi bintang. Tapi kini, ia tidak lagi bertanya pada Tuhan kenapa jalannya harus seperti ini. Ia hanya ingin satu hal: agar Chika bahagia, betul-betul bahagia.

"Tuhan… izinkan dia menemukan siapa pun yang bisa menuntunnya lebih baik dari aku. Jika bukan aku, biarlah seseorang yang lebih layak menggenggam tangannya. Seseorang yang tahu cara menyayangi jiwanya yang lembut itu. Seseorang yang tak akan membiarkan dia merasa sendirian di tengah keramaian, seperti yang pernah aku lakukan tanpa sadar."

Ia terdiam sebentar. Ada denyut perih di dadanya, tapi tak ada penyesalan. Hanya kesadaran.

"Kalau dia masih menungguku dalam doanya… jangan biarkan aku datang kalau aku belum siap jadi rumah. Tapi jika Engkau izinkan aku kembali padanya suatu hari nanti, izinkan aku kembali sebagai pria yang mencintainya dengan matang, bukan dengan takut. Dengan yakin, bukan dengan ragu."

Chiko menatap ponselnya. Ada foto Chika di layar, yang dulu diam-diam ia simpan. Bukan untuk dikenang, tapi untuk menjadi pengingat: bahwa ia pernah dicintai oleh seseorang yang begitu tulus. Dan ia tahu… cinta itu tidak layak disia-siakan, bahkan jika harus dilepaskan.

"Semoga Chika lulus S2-nya nanti dengan bangga. Semoga ia tetap menulis, tetap menginspirasi, tetap menjadi cahaya yang tenang bagi orang-orang di sekitarnya. Dan kalau aku tak ada di sana saat namanya dipanggil sebagai lulusan terbaik… semoga ia tahu, aku tetap bertepuk tangan dari kejauhan."

Chiko menutup mata. Kali ini, bukan karena lelah, tapi karena ia sedang menyerahkan sesuatu yang sangat ia cintai ke tangan Tuhan.

Malam pun mulai memudar. Fajar hampir datang. Dan di antara bayang-bayang cahaya yang perlahan menyapu langit, doa Chiko melayang bersama harapannya:

semoga Chika bahagia—dengan atau tanpa dirinya.

Malam itu, ada hening yang tak biasa mengisi kamar Chika. Lampu temaram menyala lembut, seperti biasa. Secangkir teh melati yang hangat mengepul di meja, dan jurnal kulit cokelat tua terbuka di hadapannya. Tapi malam ini, tak ada kata yang mampu ia tuliskan.

Ia hanya duduk diam, memandangi kertas kosong yang terasa seperti bayangan hatinya—penuh ruang yang belum tergambar, penuh rindu yang belum tersampaikan.

"Chiko…", gumamnya lirih, hampir seperti bisikan kepada angin yang berembus dari sela jendela.

Ia memejamkan mata sejenak. Dalam gelap yang lembut itu, ia bisa mendengar suara hatinya sendiri. Bukan suara yang menuntut untuk dicintai kembali, tapi suara yang penuh penerimaan.

"Aku tidak ingin memaksa waktu. Tidak ingin menggenggammu dengan cara yang melawan takdir. Jika memang saat ini aku harus berjalan sendiri, aku mau. Bukan karena aku tidak mencintaimu, tapi karena aku percaya, cinta yang dewasa tahu kapan harus menunggu dan kapan harus merelakan."

Ia menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi rongga dadanya yang selama ini sesak oleh harap yang pelan-pelan ia lipat jadi doa.

"Biarlah aku diremukkan dan dibentuk terlebih dahulu… agar menjadi bejana yang utuh. Agar aku tidak meminta kamu untuk mengisi kekosongan dalam diriku. Tapi agar, jika suatu hari nanti Tuhan menulis namamu di takdirku… aku bisa menyambutmu bukan sebagai gadis rapuh yang berharap, tapi sebagai perempuan yang utuh—yang siap berdiri bersamamu, bukan hanya bersandar padamu."

Ada air mata yang jatuh. Bukan karena luka, tapi karena rindu yang kini sudah berdamai.

"Aku tidak ingin kamu datang hanya karena kasihan, atau karena rasa bersalah. Aku ingin kamu datang karena kamu sungguh yakin. Karena kamu tahu, hatimu ingin menetap. Dan jika itu bukan aku tempatmu berlabuh, aku akan tetap bersyukur pernah menjadi dermaga yang meneduhkanmu meski sebentar."

Chika tersenyum kecil. Ia menatap langit malam dari balik jendela. Di kejauhan, kota masih terjaga. Tapi dalam hatinya, ada damai yang perlahan menyala.

"Jika kamu membaca ini suatu hari nanti, Chiko… ketahuilah, aku bahagia. Aku tetap menulis. Aku tetap berjalan. Dan aku tetap mendoakanmu. Bukan sebagai kenangan, tapi sebagai seseorang yang pernah dan mungkin akan selalu aku cintai… dalam keheningan yang tenang."

Dan seperti malam-malam sebelumnya, Chika kembali menutup jurnalnya, memeluk dirinya sendiri dengan lembut.

Karena bagi Chika, mencintai Chiko tidak pernah berarti harus memilikinya. Tapi menjadi cukup kuat untuk tetap mendoakan, tanpa harus memaksakan akhir cerita.

Jika nanti mereka dipertemukan lagi, itu adalah anugerah.

Tapi jika tidak pun, Chika tahu… cintanya tetap akan baik-baik saja.

Sebab cinta sejati bukan tentang harus bersama, tapi tentang membebaskan dalam iman.

Chika masih berdiri di jendela, membiarkan bayangan malam menyentuh wajahnya. Ada sisa embun di matanya, tapi kali ini bukan karena luka—melainkan karena harapan yang tumbuh pelan-pelan, seperti tunas kecil di ladang yang pernah gersang.

"Tuhan… jika Engkau masih menyimpan namanya dalam halaman takdirku, tuntunlah kami berdua untuk menjadi dewasa dalam kasih. Bukan kasih yang tergesa, tapi yang kuat dan sabar. Ajarkan kami mencintai bukan karena rasa memiliki, tapi karena ingin saling menumbuhkan."

Ia tahu, hatinya belum sepenuhnya pulih. Tapi ia juga tahu, tidak ada yang sia-sia dalam proses penyembuhan. Setiap air mata, setiap malam sepi, setiap tulisan yang ia torehkan dalam jurnal—semua adalah bagian dari dirinya yang sedang belajar menjadi utuh.

"Aku tidak ingin terburu-buru menemukan yang baru hanya karena takut sendiri. Aku ingin menunggu dengan hati yang penuh, bukan hati yang haus. Dan jika Chiko memang jalanku, aku percaya Engkau akan memelihara waktu yang tepat untuk kami."

Matanya menatap langit yang mulai dihiasi warna lembut fajar. Cahaya tipis itu mengingatkannya pada harapan: kadang datang perlahan, tapi pasti menyapu gelap.

"Aku tidak tahu kapan... atau bagaimana... atau dalam bentuk apa kami akan bertemu lagi. Tapi aku percaya, Tuhan tak pernah lupa pada janji-Nya. Jika cinta ini memang suci, maka ia akan tahu jalan pulang."

Dan dalam diam, Chika pun menuliskan satu kalimat di halaman terakhir jurnalnya malam itu:

"Aku menunggumu... bukan di tempat yang sama, tapi di versi terbaik dari diriku. Di sana, aku percaya kita akan bertemu—dalam kasih yang tidak menuntut, hanya menerima."

Lalu ia tersenyum, menutup jurnalnya dengan tenang.

Fajar pun menyapa langit dengan lembut. Dan di dalam hati Chika, tumbuh satu keyakinan yang tidak bisa digoyahkan oleh jarak atau waktu: bahwa cinta yang dijaga dalam doa, tak akan pernah sia-sia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin