Di dunia ini, sering kali hukum tak berjalan seimbang. Tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Aturan terasa begitu keras menekan mereka yang berada di bawah, namun melunak saat menyentuh yang di atas. Sebuah ironi yang menyakitkan, tetapi nyata adanya.
Tak lagi objektif, melainkan dipenuhi subjektivitas. Menyedihkan, dan sering kali membuat hati perih saat menyaksikannya. Namun, begitulah realita—pahit tapi tak bisa dihindari.
Meski luka terasa, tetaplah berjalan. Kuatkan hati. Tetaplah di jalan kebenaran—jalan yang dipenuhi takut akan Tuhan, bukan takut pada sistem yang bengkok. Percayalah, pembelaan akan datang. Bukan karena kita meminta, tapi karena Tuhan melihat dan tahu segalanya.
Mungkin, dalam diam-Nya, Ia sedang menyiapkan dasar yang kuat—bukan berdasarkan paradigma yang miring, tapi kebenaran yang teguh. Agar saat angin kencang datang, kita tetap berdiri; tak tercerai-berai oleh badai yang mengguncang.
Sebab memang, semakin jauh langkah diambil, medan menjadi makin terjal. Angin semakin kencang, dan badai bisa terasa menakutkan. Namun tenanglah. Kita ada dalam genggaman tangan yang penuh kasih, yang tak pernah pergi, yang tak mengenal pamrih, yang mencintai tanpa syarat. Tak peduli siapa kita, dari mana kita berasal, atau sekelam apa masa lalu yang kita bawa.
Masih ada terang. Karena kasih itu sendiri adalah terang.Terang yang tak akan pernah padam. Kasih yang tak akan pernah dingin. Cinta yang tetap menyala, tak tergoyahkan.
Kasih Kristus—itulah yang sejati.
Dan sungguh, itu... cukup.
Cukup untuk menguatkan ketika dunia meremehkan. Cukup untuk menopang ketika semua terasa berat. Cukup untuk menjadi alasan berdiri kembali, meski lutut gemetar dan jiwa lelah.
Karena ketika keadilan manusia tak memihak,
keadilan Tuhan tetap tak pernah tertidur.
Ia mencatat air mata yang jatuh dalam sunyi, menampung jeritan yang tak terdengar telinga dunia.
Mungkin sekarang terasa gelap—begitu pekat, namun malam tak akan selamanya.
Fajar pasti datang.
Dan dengan fajar, harapan kembali menyingsing.
Bukan harapan semu yang dibangun di atas janji kosong, tapi harapan yang teguh—berakar pada kasih-Nya yang tak berubah.
Kasih yang memulihkan,yang menjangkau sampai dasar jiwa, yang membalut luka terdalam dan menghembuskan damai di tengah badai.
Maka jangan menyerah.
Jangan biarkan dunia yang bengkok ini membuat hatimu ikut membengkok.
Tetap lurus. Tetap murni. Tetap percaya.
Karena Dia yang memulai,
akan setia menyelesaikan.
Dan ketika langkahmu terasa limbung, ketika jalan di depan tertutup kabut, ingatlah: kamu tidak sendiri.
Ada Pribadi yang berjalan bersamamu, diam-diam menopang, tanpa suara, namun nyata dalam setiap detak dan hela.
Ia tak menjanjikan jalan yang mulus, tapi Ia berjanji menyertai setiap tapak kaki yang lelah.
Ia tak selalu mengangkat badai, tapi Ia selalu memberi damai di dalamnya.
Tenanglah—jiwa yang letih.
Masih ada tangan yang sanggup menenangkan lautan.
Masih ada suara lembut yang sanggup meredakan gemuruh batin.
Dan suara itu berkata:
“Jangan takut, sebab Aku menyertaimu. Jangan bimbang, sebab Aku ini Allahmu.”
Biarlah dunia terus berlalu dengan hiruk-pikuk dan tipu dayanya, dan hatimu, biarlah tetap teduh dalam dekapan-Nya.
Tetap setia.
Tetap rendah hati.
Tetap berharap.
Karena kemenangan sejati, bukan tentang siapa yang paling kuat, tapi siapa yang tetap bertahan dalam kasih
kasih yang tak mencari keuntungan diri, kasih yang sabar menanti, kasih yang tidak pernah gagal.
Dan kasih itulah yang akan memenangkannya.
Pada akhirnya, hanya kasih itu yang akan tinggal.
Kasih yang tak lekang oleh musim, tak luntur oleh pengkhianatan, tak padam oleh kecewa, dan tak tergantikan oleh gemerlap dunia.
Ia seperti api yang tak membakar tapi menghangatkan, seperti embun pagi yang tak bersuara tapi menyegarkan.
Kasih itu bukan sekadar kata,melainkan nafas yang memberi hidup.
Dan jika kamu pernah merasa tak layak dicintai,lihatlah Salib itu.
Bukti bahwa kasih sejati bukan diberikan karena kamu sempurna,
melainkan karena kamu berharga, bahkan dalam ketidaksempurnaanmu.
Jangan ragu untuk kembali.
Tak ada jalan terlalu jauh bagi kasih untuk menjangkau.
Tak ada luka terlalu dalam bagi kasih untuk sembuhkan.
Tak ada hidup terlalu hancur bagi kasih untuk pulihkan.
Kamu dikasihi.
Bukan karena apa yang kamu capai, tapi karena siapa dirimu di hadapan-Nya.
Jadi, berdirilah lagi.
Dengan kepala tegak, bukan karena sombong,
melainkan karena kamu tahu:
Ada yang memperjuangkanmu ketika kamu sendiri ingin menyerah. Dan itu adalah Tuhan Yesus yang baik
Dan dalam langkahmu ke depan,
biarlah kasih itu yang menjadi pijakan.
Biarlah kasih itu yang menjadi tujuan.
Biarlah kasih itu yang menjadi warisan.
Karena kasih yang sejati—
kasih yang dari Kristus—
tak hanya mengubah hidupmu,
tapi juga hidup mereka yang disentuh olehnya melalui dirimu.
Kasih itu menembus batas logika,
menghapus dosa tanpa syarat,
dan memeluk kita, bahkan saat dunia menjauh.
Ia bukan hanya untuk dikenang dalam nyanyian,
tapi untuk dihidupi—hari demi hari, napas demi napas.
Tak perlu menjadi sempurna untuk dipakai-Nya.
Tak perlu menjadi kuat untuk dipilih-Nya.
Sebab kasih-Nya justru nyata dalam kelemahan kita.
Ia menenun rencana yang indah dari benang-benang luka.
Ia menyulam pengharapan di atas puing-puing kecewa.
Maka, bukalah hatimu seluas-luasnya.
Biarkan kasih itu tinggal, bertumbuh, dan menuntun.
Izinkan Dia mengubah caramu memandang dirimu sendiri.
Dan ketika kasih itu mulai melimpah,
itu bukan hanya untukmu—
tapi untuk dibagikan.
Berbuat baiklah meski dunia tak membalas.
Mengasihilah meski tak dimengerti.
Ampunilah meski tak diminta.
Karena itulah jalan kasih.
Jalan yang sunyi, tapi mulia.
Jalan yang sempit, tapi membawa kehidupan.
Dan di akhir segala pencarian,
kita akan mengerti:
bahwa yang terpenting bukan seberapa jauh kita melangkah,
melainkan seberapa dalam kita mengasihi.
Sebab iman, pengharapan, dan kasih tinggal tetap—
namun yang paling besar di antaranya adalah: kasih.
Dan kasih itu…
tak pernah mendesak untuk dimengerti,
tapi ia selalu hadir untuk mengerti.
Ia tak mencari balasan,
namun memberi bahkan ketika tak dihargai.
Kasih sejati tak bersyarat,
karena ia bersumber dari Pribadi yang tak berubah.
Ia tidak menunggu waktu yang tepat,
tapi menciptakan waktu itu sendiri untuk hadir.
Ketika kamu merasa tak terlihat,
kasih itu tetap memandangmu dengan penuh perhatian.
Ketika kamu merasa tak didengar,
kasih itu tetap mendengarkan doa-doamu yang lirih.
Dan saat kamu merasa rapuh,
kasih itu tidak menjauh,
melainkan merangkul lebih erat,
mengingatkanmu bahwa kamu bukan beban,
kamu bukan kesalahan,
kamu adalah karya yang sedang disempurnakan.
Teruslah melangkah dalam kasih.
Meskipun dunia menawarkan banyak nama,
biarlah namamu dikenal karena kasih.
Bukan karena gelar, harta, atau prestasi,
tapi karena hatimu yang lembut dan tanganmu yang siap mengulurkan pengharapan.
Dan saat hidup ini usai,
bukan apa yang kamu miliki yang akan dikenang,
tapi bagaimana kamu mengasihi.
Sebab kasih adalah jejak yang kekal.
Dan yang mengasihi dengan tulus,
telah mencerminkan Sang Kasih itu sendiri.
Kasih yang sejati…
bukan sekadar perasaan hangat sesaat,
melainkan komitmen yang tetap menyala,
bahkan saat api dunia meredup.
Ia hadir dalam pelukan diam,
dalam tatapan yang memahami tanpa banyak kata,
dalam kesetiaan yang tak butuh sorotan,
dalam pengorbanan kecil yang tak terlihat,
tapi menggema hingga ke surga.
Kasih tak butuh panggung,
karena ia tahu bahwa kemurnian tak butuh tepuk tangan.
Ia tumbuh di tanah kerendahan hati,
disiram oleh pengampunan,
dan berbuah dalam damai yang tak dapat dijelaskan oleh logika.
Maka, jika suatu hari kamu merasa kecil di mata dunia,
ingatlah bahwa kamu besar di mata-Nya.
Bukan karena kamu selalu benar,
tapi karena kasih-Nya selalu cukup.
Dan jika kamu jatuh,
jatuhlah dalam kasih.
Karena di sanalah ada tangan yang selalu siap mengangkat.
Ada suara yang tak menghukum,
melainkan mengundang:
“Kembali. Aku tetap menunggumu.”
Kasih tidak akan pergi.
Ia menanti—di ujung doa,
di tengah isak tangis yang tak bisa dijelaskan,
di sela-sela sunyi malam panjang.
Dan saat dunia berlalu dengan cepat,
kasih tetap tinggal,
berakar dalam yang benar,
berbuah dalam yang kekal.
Karena kasih—yang berasal dari Kristus—
tak mengenal kata usang,
tak pernah kehilangan daya,
dan tak akan gagal.
Dan ketika hidup terasa penuh kehilangan,
saat yang kau genggam terlepas satu per satu,
kasih itulah yang tinggal,
mengisi ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh harapan yang patah.
Kasih itu tak menuntut penjelasan,
ia hadir sebagai jawaban.
Tak mengorek luka,
tapi membalutnya perlahan,
dengan kelembutan yang tak membuatmu malu atas air mata.
Ia mengerti ratap dalam diam,
dan tak pernah terburu-buru menyuruhmu 'kuat'.
Karena kasih tahu,
bahwa proses penyembuhan adalah bagian dari kasih itu sendiri.
Jadi jika suatu hari hatimu gemetar di tengah ketidakpastian,
biarkan kasih itu memelukmu.
Bukan untuk membuat semuanya langsung baik,
tetapi untuk memberimu keberanian bertahan,
sekalipun yang kamu punya hanya napas yang tertatih.
Sebab kasih itu bukan hanya untuk hari bahagia,
tapi juga untuk malam-malam panjang yang tak kamu mengerti.
Dan dalam semua musim,
kasih Kristus tetap sama—
setia, cukup, dan tak tergantikan.
Biarlah kasih itu membentukmu.
Bukan menjadi sosok yang keras oleh luka,
tapi menjadi pribadi yang lembut oleh pengharapan.
Karena kasih sejati bukan hanya yang kamu terima,
tapi juga yang kamu bagikan,
sekalipun dengan tangan yang masih bergetar.
Dan ketika kamu memilih untuk tetap mengasihi,
meski tak selalu dibalas dengan manis,
itulah kekuatan sejati:
kasih yang tidak bergantung pada balasan,
tapi berakar pada iman dan kesetiaan.
Kasih yang seperti itu tak menguasai,
melainkan membebaskan.
Ia tidak memaksa tinggal,
tapi selalu menyediakan ruang untuk kembali.
Ia tidak menyeret,
tapi sabar berjalan di samping,
menanti dalam doa,
dan berharap tanpa pamrih.
Dalam dunia yang sering salah memahami kasih sebagai transaksi,
engkau dipanggil untuk menunjukkan bahwa kasih adalah anugerah.
Bahwa mencintai bukan tentang mengisi kekosongan diri,
melainkan tentang membagikan kelimpahan hati
yang telah disentuh oleh kasih Allah sendiri.
Dan setiap kali kamu merasa kasihmu sia-sia,
ingatlah:
tak ada kasih yang sia-sia jika ditaburkan dengan tulus.
Karena kasih, sekecil apa pun,
adalah benih kekekalan yang sedang tumbuh dalam rahasia waktu.
Jangan takut untuk terus menjadi lembut.
Jangan malu untuk terus menjadi tulus.
Sebab di dunia yang mudah dingin dan sinis,
kehadiranmu bisa jadi satu-satunya kehangatan yang masih menyala.
Teruskan menyalakan terang itu,
meski kecil,
meski samar—
karena kasih yang kecil di tangan Tuhan,
sanggup menerangi ruang terdalam dan jiwa yang paling hancur.
Tetaplah penuh kasih,
meskipun dunia tak selalu adil—
tumpul ke atas, tajam ke bawah,
seakan keadilan hanya milik mereka yang bersuara paling nyaring.
Namun ingatlah:
ketidakadilan dunia bukan akhir dari segalanya,
karena ada Pribadi yang adil dalam segala jalan-Nya,
dan setia dalam segala rancangan-Nya.
Ketika ketajaman itu menghampiri,
bukan untuk menghancurkanmu,
melainkan membentukmu.
Seperti besi yang ditempa api,
jiwamu pun sedang dibentuk dalam nyala yang kudus—
agar kelak menjadi bejana yang tak hanya indah,
tapi juga berguna di tangan Sang Perancang.
Kamu mungkin menangis,
kamu mungkin bertanya,
tapi jangan biarkan kepedihan mencuri kelembutan hatimu.
Jangan biarkan luka membentuk tembok yang membuatmu pahit.
Sebaliknya, biarkan kasih tetap mengalir,
seperti sungai yang tak pernah berhenti,
meski bebatuan mencoba menghalangi.
Kuatkan hatimu.
Bukan karena kamu harus kuat sendiri,
tapi karena ada Pribadi yang memegang tanganmu,
yang menangis bersamamu,
dan yang mengubah air matamu menjadi pelita bagi yang lain.
Engkau adalah karya yang sedang dibentuk.
Dan setiap luka,
setiap tekanan,
setiap pengkhianatan,
adalah bagian dari ukiran kasih yang lebih dalam.
Maka tetaplah penuh kasih.
Tetaplah murni.
Tetaplah teguh.
Karena kasih yang bertahan dalam badai,
adalah kasih yang akan mekar paling harum
di taman pengharapan yang abadi.
Tetaplah bertahan,
meski ketajaman itu terasa begitu perih dan menyakitkan.
Karena dalam setiap luka, ada pembelajaran yang menguatkan,
dalam setiap tekanan, ada pembentukan yang membentuk karakter.
Jangan biarkan rasa sakit itu membungkam hatimu,
biarkan ia menjadi dorongan untuk terus maju,
untuk terus berdiri, bahkan ketika dunia ingin menjatuhkanmu.
Setiap serpihan luka yang menembus jiwamu,
adalah bagian dari perjalanan menuju kedewasaan.
Setiap tangis yang menetes,
adalah air yang menyirami benih kekuatan yang sedang tumbuh dalam dirimu.
Kamu tidak akan hancur,
meskipun ketajaman itu menghampiri,
karena kamu sedang dibentuk menjadi pribadi yang lebih kuat,
seperti logam mulia yang hanya semakin bersinar melalui api.
Tahanlah, meskipun dunia tampak tidak adil,
meskipun kadang tidak ada yang memahami rasa sakitmu.
Tetaplah berjalan dalam kasih yang tak pernah meninggalkanmu,
yang selalu menguatkan setiap langkahmu,
meskipun jalan itu terasa terjal dan penuh kerikil.
Kamu lebih kuat dari yang kamu kira,
dan ketika kamu merasa hampir menyerah,
ingatlah bahwa dalam ketajaman itu,
ada sesuatu yang lebih besar sedang dipersiapkan—
sebuah kedalaman yang akan menjadikanmu lebih indah dan berarti.
Jangan takut pada rasa sakit,
karena itu hanya sementara.
Tetaplah bertahan,
karena di ujung setiap perjalanan penuh derita,
ada kemenangan yang menanti,
ada harapan yang terbit,
dan ada damai yang datang setelah badai.
Biarkan dirimu beristirahat sejenak,
di tengah segala perjuangan dan cobaan.
Rasakan ketenangan dalam setiap tarikan napas,
karena kamu telah cukup kuat untuk melewati semuanya.
Walaupun dunia kadang tak adil,
kasih yang tulus dan murni akan selalu menuntunmu.
Tak ada langkah yang sia-sia,
setiap detik perjalanan ini memiliki makna yang mendalam.
Saat kamu merasa lelah,
ingatlah bahwa dalam kelembutan hati,
ada kekuatan yang tak tampak,
ada kedamaian yang mengisi ruang dalam diri.
Jangan terburu-buru,
biarkan dirimu sembuh dengan perlahan,
dan percayalah bahwa setiap langkah kecil
akan membawamu lebih dekat pada kedamaian yang sejati.
Dengan hati yang lembut dan penuh kasih,
biarkan hidup mengalir dengan indah,
karena pada akhirnya,
kasih—yang tak pernah gagal—akan selalu memimpinmu pulang.
Komentar
Posting Komentar