Hari Ini, Aku Ingin Membekukannya
Pagi ini, tubuhku tidak begitu fit. Udara dingin menyelimuti kota bersama hujan yang turun perlahan, seakan ikut berdoa dalam diam. Tapi, langkahku tetap mengarah ke gereja. Aku datang untuk ibadah, bukan karena sedang kuat, tapi justru karena sedang ingin dikuatkan.
Pagi itu, aku dan adik-adik rohaniku duduk bersama. Kami membuka buku PA dan membuka hati. Kami saling bercerita—tentang apa yang sedang dialami, apa yang sedang digumulkan. Saling mendengarkan, saling menyelami. Kami belajar tentang arti persekutuan: bahwa hidup ini bukan untuk dijalani sendiri, bahwa kita dipanggil untuk saling menajamkan, seperti besi menajamkan besi.
"Gereja ini bukan sekadar tempat ibadah yaah adik adik, tapi ini adalah rumah kitaa. Tempat kita bertumbuh, tempat kita dibentuk. Dan pertumbuhan itu, kadang kala terasa menyakitkan. Ada kalanya konflik muncul , ada pembentukan, ada air mata. Tapi jangan takut yaaaah. Bila hal itu terjadi pandanglah setiap gesekan itu sebagai alat Tuhan untuk memurnikan kita. Belajarlah mengampuni. Belajarlah menerima. Kita sedang dibentuk untuk jadi serupa Kristus."
"Tuhan ingin kita bertumbuh bersama. Saling menajamkan, saling menopang. Kadang proses itu tidak enak. Tapi ketika Tuhan mengizinkan proses terjadi, itu tandanya Ia sedang menunjukkan kasih-Nya. Dari proses itulah, kedewasaan dilahirkan, dan hati dan hidup kita semakin dimurnikan."
PA kami tutup dengan doa. Hati ini penuh. Rasanya seperti disiram dari langit, bukan oleh hujan, tapi oleh damai dan sukacita.
Setelah ibadah, kami pergi makan bersama. Ada Nani, Maxwell, David, Bang Bolas, Kathy, Bang Daud, Yoel, Michael, dan lainnya. Tapi aku duduk semeja dengan Kathy dan Nani. Kami mengobrol. Membuka isi hati. Dari obrolan sederhana, aku tersadar: ada beberapa PR kehidupan yang perlu aku benahi—tentang karakterku.
Dan aku suka cara mereka menyampaikannya—langsung, di hadapanku, tanpa menyindir di belakang. Aku menghargai teguran seperti itu. Justru aku bahagia. Karena kalau tidak diberi tahu, bagaimana bisa aku tahu harus memperbaiki dari mana?
Namanya juga pertemanan, bukan? Seharusnya saling bantu untuk bertumbuh. Dan pertumbuhan kadang tidak nyaman. Tapi selalu berguna.
Kami saling bercerita, mencicipi makanan satu sama lain, membahas hal-hal penting… hingga berbelok ke hal-hal random yang membuat kami tertawa sampai perut kram.
Setelah makan, kami kembali ke gereja. Kami istirahat sebentar. Aku dan Nani main dengan Chloe, sementara Kathy duduk di sudut dengan laptopnya. Aku menghampirinya. Kami membuka galeri foto di laptopnya, dan dari sana mengalir obrolan panjang—tentang banyak hal. Kami tertawa, kami berbagi cerita yang hangat dan penuh warna.
Tanpa rencana, kami lalu main badminton.
Aku tak terlalu paham aturan main yang benar, tapi tetap ikut saja. Sekadar gerakkan raket, tangkap bola, tertawa bila gagal. Sesederhana itu. Tapi bahagianya luar biasa.
Aku pernah satu tim dengan Maxwell. Adik ini baiknya bukan main.
"Dekk, kakak sebenernya ga terlalu paham ya. Kalau salah, maafin ya…"
"Gapapa kak, aku juga ga terlalu bisa. Sama-sama belajar."
Dan benar. Dia sabar sekali. Terus mengingatkan,
"Kakak pindah kak…"
"Kakak yang bawa bola, sekarang gantian ya kak…"
Ya Tuhan, adik ini sabar banget yahh ternyata. Maaf ya dek, kakak lamban banget belajarnya. Hehehehe. Tapi kakak senang bisa se-tim sama kamu.
Hari ini bahagia sekali. Aku ingin membekukannya. Kalau bisa, ingin kusimpan momen ini dalam toples kecil dan kubuka saat hatiku sedang sepi.
"Senang banget hari ini kan, kak?" ucap Nani.
"Iyaahhh... rasanya nggak mau cepat-cepat berlaluuu…"
Waktu bersama kalian seperti charger hati. Bahagia. Hangat. Walau kadang diwarnai tangis pembentukan karakter, tetap saja, aku bersyukur bisa melewatinya bersama kalian. Aku sayang kalian. Semuanya. Dari yang serius sampai yang random. Dari yang bercerita pelan, sampai yang tertawa lepas.
Mari tetap sehati seperti ini. Tetap satu tubuh, satu kasih. Kalau ada konflik, biarlah itu jadi alat pemurnian—bukan menghancurkan yaaahhh.
Kadang aku bingung sendiri, Tuhan baik banget ya… Bisa bawa aku ke lingkungan ini. Dikelilingi orang-orang tulus, yang mau dibentuk dan membentuk, bersama-sama. Hidup ini memang banyak plot twist, tapi selalu ada pelipur lara yang Tuhan titipkan.
Termasuk dalam proses di TNG—tempat yang penuh dinamika tapi juga penuh pengharapan. Di sinilah aku sedang dibentuk, diproses, dimurnikan, dilayakkan untuk menyerupai Kristus. Dan di sepanjang jalan itu, Tuhan selalu setia memberikan kekuatan baru dan sukacita yang tak tergantikan.
Aku juga bersyukur untuk teman-teman kuliahku. Terutama Meli. Dia ituu terlalu baik. Terlalu perhatian dan pekaaa.
"Kak Dew, tadi kakak kenapa kayak terdiam di depan komputer?"
"Mel Kakak sebenarnyaketinggalan ,kakak nggak paham step selanjutnya . Tadi hujan-hujanan ke sini, tapi aku malah bengong di kelas. Sebenarnya mau nangis sih..."
"Besok kakak duduk di samping aku ya. Aku ajarin. Bawa flashdisk juga ya, biar aku bantuin file-nya supaya kakak nggak ketinggalan."
Dalam hati, aku nyesss. Tersentuh. Perhatian Meli itu tulus banget.
Semester ini terasa berat. Tapi kalau ada seseorang yang mau menemani proses berat itu, maka semuanya jadi lebih ringan. Dan bahkan tetap bisa dijalani dengan tawa.
Seperti minggu lalu. Setelah kelas, kami pergi makan. Cerita-cerita. Menunggu teman dijemput. Lalu secara random:
"Yok beli es krim yokkkk!"
Tapi prosesnya lama. Kami sibuk cari promo di berbagai aplikasi.
"Inilah kaum mendang-mending, sibuk cari diskon sana-sini," ucap meliiii, tertawa.
Setelah kampus tutup, baru kami putuskan. Akhirnya nungguin es krim nya diantar di mal saja. Dan ngobrol lagi. Nggak ada habisnya.
"Eh, kalau tahu gitu kita langsung ke mal aja dari tadi. Ngapain sibuk diskusiin aplikasi," kata Meli, polos.
Saat es krim datang, aku diam.
"Kak Dew, kok kakak nggak semangat makan?"
"Nggak tahu, ini rasanya kayak biskuit dikasih air. Cair banget. Bukan kayak es krim ..."
Cynthia juga protes.
"Iya Dew, punyaku juga aneh rasanya..."
Akhirnya semua coba es krim masing-masing.
"Makanya aku pesannya yang aman. Yang pernah aku coba. Nggak mau ambil risiko," kata teman lain sambil ketawa.
Walau rasanya fail, tapi momen itu tetap hangat. Karena yang penting bukan es krimnya, tapi sama siapa kita makan es krim nya hehehehe.
Kita tidak perlu satu dunia menyukai kita. Beberapa orang yang benar-benar tulus saja, sudah cukup. Mereka yang mau mengajarkan saat kita tak paham, mengingatkan saat kita lupa, dan menegur saat ada yang perlu dibenahi.
Kita tumbuh bersama.
Oh iya, hari ini aku juga belajar satu hal lagi. Tentang patah hati yang dulu sempat membuatku merasa dunia runtuh. Ternyata... meski dia tak lagi ada, hidupku tetap berjalan. Aku tetap bisa tertawa, tetap bisa hidup, tetap bisa bahagia.
Tidak ada yang benar-benar hancur. Kenapa yahh kemarin rasanya sakit banget, seperti dunia udah mau runtuh rasanya hahaha
Day by day, semuanya berlalu. Tak ada pengganti dalam proses pemulihan nya. Aku memilih menjalaninya sendiri. Menangis berbulan-bulan. Suara habis, mata sembab. Tapi Tuhan tak pernah pergi. Dia hadir—di setiap pelukan doa, di setiap senyap malam, di setiap sahabat yang dititipkan untuk membahagiakanku.
Hari ini aku ingin mengingat semuanya.
Hari di mana hujan turun, tapi hatiku mengering.
Hari di mana aku lelah, tapi tertawa.
Hari di mana aku sedang dalam proses, tapi penuh rasa syukur.
Hari di mana aku benar-benar merasa… hidup.
Aku tahu, tidak semua hari akan seindah ini. Akan ada hari di mana aku merasa kehilangan arah, hari-hari di mana dunia terasa sunyi meski ramai. Tapi hari ini... hari ini aku ingin simpan sebagai penanda bahwa Tuhan pernah mengisi hatiku begitu penuh, lewat hal-hal sederhana—pelukan dari teman, tawa yang meledak tanpa rencana, dan kata-kata jujur yang menyentil tapi menyembuhkan.
Aku belajar bahwa Tuhan tidak selalu datang dalam hal-hal spektakuler. Kadang Ia datang dalam bentuk obrolan kecil di meja makan, dalam suara tawa yang menggema di ruang kosong, atau dalam bisikan lembut yang mengatakan, “Aku tidak pernah meninggalkanmu.”
Dan mungkin—mungkin saja—kita bisa jadi perpanjangan tangan Tuhan bagi orang lain. Mungkin saat kita memeluk yang sedang patah, menegur yang sedang melenceng, mendengarkan yang sedang sepi... saat itu kita sedang memperlihatkan wajah-Nya kepada dunia. Bukan karena kita sempurna, tapi karena kita mau hadir, mau tulus, dan mau belajar mencintai seperti Dia mencintai.
Hari ini aku menyadari, bahwa pertumbuhan rohani bukanlah hanya perjalanan yang sunyi. Ia kadangkala penuh suara: suara tawa, suara tangis, suara nasihat, suara perenungan. Tapi semua itu menjadi melodi indah dalam satu simfoni kehidupan yang Tuhan sedang gubah.
Aku ingin terus bertumbuh.
Bukan agar dilihat hebat, tapi agar bisa menjadi terang kecil di tengah dunia yang sering gelap. Aku ingin jadi seseorang yang bisa memeluk tanpa syarat, mendengar tanpa menghakimi meski dalam di proses , dan memberi ruang bagi siapa pun untuk menjadi dirinya yang sedang diproses—bukan yang sudah jadi.
Dan kalau boleh meminta, Tuhan… izinkan aku mencintai hidup ini, seutuhnya. Dengan segala retaknya, segala pahit-manisnya. Ajari aku melihat keindahan bukan hanya dalam keberhasilan, tapi juga dalam kegagalan, dalam air mata, dan dalam pelajaran yang menyakitkan.
Terima kasih, Tuhan, untuk hari ini. Untuk semua yang Kau izinkan terjadi. Untuk hujan, untuk tawa, untuk hati yang disentuh dan dikuatkan.
Hari ini, aku ingin membekukannya.
Bukan untuk berlama-lama di masa lalu. Tapi agar saat nanti aku lelah, aku bisa membuka kembali ingatan ini—dan menemukan kembali harapan.
Karena aku tahu, aku sedang dijemput oleh kasih yang tak pernah lelah. Oleh tangan yang tak pernah melepaskanku. Oleh rencana yang jauh lebih indah dari semua mimpiku.
Dan sampai hari itu datang—hari di mana semua akan sempurna di hadapan-Nya—aku ingin terus melangkah.
Dengan luka yang disembuhkan perlahan.
Dengan cinta yang dikuatkan dari hari ke hari.
Dengan semangat baru, yang datang dari satu hari yang ingin aku bekukan... hari di mana aku tahu, aku hidup. Sungguh-sungguh hidup.
Hari ini hari dimana aku tahu, aku dicintai—bukan karena pencapaianku, bukan karena keteguhanku, tapi karena keberadaanku sendiri cukup.
Dan mungkin, itu makna terdalam dari rahmat: bahwa aku tidak harus selalu kuat untuk layak dikasihi. Aku hanya perlu hadir, bernapas, dan membuka hati. Di situlah Tuhan diam-diam menanamkan harapan, di sela-sela keheningan, di celah rapuh yang kupikir tak akan pernah pulih.
Aku ingin menjadi pribadi yang terus belajar berjalan, meski kadang tertatih. Bukan untuk sampai paling cepat, tapi agar aku bisa menapaki setiap langkah dengan kesadaran penuh. Karena di tiap langkah itu, ada cerita. Ada cinta. Ada Tuhan.
Jika suatu hari aku lupa cara bersyukur, semoga tulisan ini menegurku lembut, seperti angin yang menyapu rambut di sore hari. Mengingatkanku bahwa hidup tak harus selalu megah agar bermakna. Terkadang, makna lahir dari hal-hal kecil yang nyaris tak terlihat—dari genggaman tangan saat hati remuk, dari senyum yang datang di tengah hari yang suram, dari keberanian untuk menangis, dan tetap memilih melangkah.
Dan bila nanti malam-malam kembali sunyi, jika ragu datang menyelinap, jika pertanyaan kembali memekat... semoga aku ingat bahwa pernah ada hari seperti ini. Hari di mana aku tak hanya dikuatkan, tapi juga diingatkan: bahwa aku sedang dibentuk, bukan ditinggalkan.
Tuhan... jika boleh, biarkan aku menjadi sajak-Mu yang hidup—Yang mungkin tak selalu fasih berkata, tapi setia menjadi. Yang mungkin tak selalu dimengerti, tapi penuh dengan jejak kasih-Mu.
Karena sesungguhnya, inilah yang paling aku rindukan:
Bukan hidup yang mudah, tapi hidup yang bermakna.
Bukan hati yang bebas luka, tapi hati yang tahu kepada siapa ia kembali.
Bukan cerita yang tanpa tangis, tapi cerita yang penuh kehadiran-Mu.
Dan jika hari ini adalah salah satu lembar yang Kau tulis dengan penuh kelembutan, maka izinkan aku menyimpannya—sebagai tanda bahwa aku pernah ada di titik ini:
Titik di mana aku berhenti mencari bukti, dan mulai percaya.
Bahwa kasih-Mu nyata. Bahwa hidup ini indah, meski tak selalu mudah.
Dan bahwa aku, dalam segala kekuranganku, sedang didekap erat oleh-Mu dengan cara yang sering kali tak kupahami saat itu, tapi begitu jelas saat aku menoleh kembali.
Ada malam-malam ketika aku berpikir: mungkinkah aku salah jalan? Mungkinkah semua ini sia-sia? Tapi justru di tengah kebimbangan itulah Engkau hadir, bukan sebagai suara yang menggelegar, tapi sebagai damai yang merayap diam-diam… menenangkan, memeluk, dan berkata, “Aku di sini. Selalu di sini.”
Dan aku pun mengerti, bahwa kadang jawaban dari doa bukanlah perubahan keadaan, melainkan perubahan hati.
Hati yang tadinya penuh cemas menjadi hati yang berserah.
Hati yang tadinya menuntut menjadi hati yang belajar percaya.
Hati yang tadinya ingin segera selesai… menjadi hati yang mau setia menemani proses, berapa pun lama waktunya.
Aku mulai mengerti bahwa hidup bukan tentang tiba di puncak secepatnya, tapi tentang bagaimana aku tetap hidup saat di lembah.
Tentang bagaimana aku tetap berani mencintai, meski dulu pernah disakiti.
Tentang bagaimana aku tetap memilih memaafkan, meski lukanya belum sepenuhnya sembuh.
Tentang bagaimana aku tetap membuka hati, meski aku tahu bisa saja hati ini patah lagi.
Karena di situlah kekuatan sejati bersembunyi:
Dalam keberanian untuk tetap lembut di dunia yang mengajarkan untuk jadi keras.
Dalam kesediaan untuk berharap, meski sering kecewa.
Dalam kerelaan untuk tetap percaya, meski belum melihat hasil apa-apa.
Dan aku tahu, satu-satunya alasan mengapa aku masih bisa melangkah hari ini… adalah karena kasih-Mu menopangku.
Kasih yang tidak menuntut kesempurnaan.
Kasih yang tidak pernah menjauh, meski aku sering menjauh.
Kasih yang tidak pernah menyerah, bahkan ketika aku merasa ingin menyerah.
Tuhan…
Kalau aku lupa lagi—tolong ingatkan.
Lewat hujan yang turun diam-diam.
Lewat pelukan seorang sahabat.
Lewat halaman buku yang kubaca tanpa sengaja.
Lewat kata-kata yang muncul di hati, yang terasa seperti bukan dari dunia ini.
Ingatkan aku, bahwa aku tidak sendiri.
Ingatkan aku, bahwa aku sedang berjalan pulang.
Dan di ujung jalan nanti, bukan kesempurnaan yang Kau cari…
Melainkan hati yang tetap setia bertumbuh, mencintai, dan berharap,
Sekalipun dengan langkah yang pelan dan napas yang terengah.
Hari ini, aku ingin kembali berkata:
Aku siap berjalan lagi, Tuhan.
Dengan tangan-Mu menggenggamku erat.
Dan jika suatu saat aku goyah lagi, terjebak dalam kabut keraguan dan luka yang belum sembuh sepenuhnya,
tolong peluk aku sekali lagi, Tuhan—dengan cara-Mu yang paling lembut.
Aku tahu, tidak semua hal harus segera dimengerti. Tidak semua tanya harus cepat dijawab.
Ada kalanya yang paling kubutuhkan bukanlah jawaban,tapi keberanian untuk tetap percaya meski tanpa penjelasan.
Aku ingin menjadi orang yang tak kehilangan kelembutan,walau dunia menuntut ketegasan tanpa ampun.
Aku ingin menjadi orang yang masih bisa menangis dalam doa,bukan karena lemah,tetapi karena tahu ke mana harus kembali saat hati mulai letih.
Tuhan,ajari aku untuk tidak mengukur hidup dari seberapa cepat aku sampai,tapi dari seberapa dalam aku menghidupi setiap langkah.
Ajari aku untuk tidak hanya berdoa agar jalan ini mudah,tetapi agar hatiku kuat menghadapi yang sulit.
Karena kadang yang paling indah bukanlah jawaban instan,melainkan perjalanan penuh luka yang Engkau ubah menjadi pelukan.
Kadang yang paling suci bukanlah hari kemenangan,tetapi malam-malam sepi ketika aku memilih tetap bersandar pada-Mu.
Dan aku ingin tetap seperti ini,terbuka di hadapan-Mu,jujur, lelah, rapuh—tapi tidak menyerah.
Sebab Engkau adalah alasan mengapa aku masih bertahan.Engkau adalah tempat pulang yang tak pernah tutup pintu,meski aku berkali-kali datang dengan hati compang-camping.
Tuhan…
Kalau nanti aku lupa bahwa aku dicintai,ingatkan aku lewat pagi yang baru,lewat angin yang menyentuh wajahku,lewat kesunyian yang justru membawa damai.
Karena aku percaya,Engkau tidak akan pernah berhenti menuliskan kisah indah bahkandari bab-bab hidupku yang paling gelap.
Dan untuk itu, aku bersyukur.
Aku akan melangkah lagi esok hari—bukan dengan kekuatanku sendiri,tapi dengan kesadaran bahwa aku tak pernah sendirian.
Langkah demi langkah,pelan,namun penuh harap,menuju hari di mana semuanya menjadi utuh di hadapan-Mu.
Dan bila suatu hari aku berdiri di persimpangan lagi,tak tahu harus memilih yang mana,ajari aku mendengar suara-Mu lebih dalam daripada suara takutku.
Bukan suara yang mengguntur dari langit,tapi suara yang tinggal di relung hati—yang menenangkan, mengarahkan, dan menguatkan.
Tuhan, jangan biarkan aku menjauh dari-Mu hanya karena hidup tak seperti yang kupinta.
Jangan biarkan aku menutup hati hanya karena cinta pernah melukai.
Biarkan aku tetap percaya,bahwa segala yang Kau izinkan—entah tawa atau air mata—sedang menyiapkan sesuatu yang lebih besar dari yang bisa kupahami sekarang.
Aku tak ingin menjadi kuat dengan cara dunia,yang menekan perasaan dan berpura-pura baik-baik saja.
Aku ingin menjadi kuat dengan cara-Mu:dengan keberanian untuk jujur,dengan kelembutan yang bertahan dalam badai,dan dengan hati yang tetap percaya walau dunia berkata sebaliknya.
Jika aku harus berjalan di jalan sunyi,jadilah cahaya kecil yang terus menuntunku.
Jika aku harus merelakan hal-hal yang pernah sangat kuinginkan,biarlah itu menjadi altar pengorbanan—tempat aku belajar percaya bahwa rencana-Mu tak pernah gagal.
Dan kalau boleh jujur, Tuhan…aku tak ingin hidup yang sempurna.
Aku hanya ingin hidup yang nyata.
Hidup yang boleh terluka, tapi tahu ke mana harus pulang.
Hidup yang sederhana, tapi dipenuhi kasih.
Hidup yang mungkin tak selalu dimengerti orang lain,tapi selalu Engkau pahami.
Hari ini, aku serahkan lagi semua yang tak kumengerti ke tangan-Mu.
Yang belum terjadi, yang sedang berjalan, dan yang sudah lewat.
Karena aku percaya,
Engkau sanggup menenun semuanya jadi indah—di waktu-Mu, dengan cara-Mu, dan demi kebaikanku.
Dan hingga saat itu datang…aku akan tetap melangkah,dengan doa sebagai pelita,dan cinta-Mu sebagai rumah yang tak pernah padam.
Aku akan tetap belajar, meski terkadang terasa lambat.
Tetap mencintai, meski hati pernah koyak.
Tetap memberi, meski aku pun sedang berkekurangan.
Karena di setiap luka yang Kau izinkan,ada pelajaran tentang kasih yang tak pernah meninggalkan.
Tuhan, ajari aku untuk setia dalam hal-hal kecil.
Dalam kebaikan yang tak terlihat,dalam pelayanan yang tak disorot,dalam pengampunan yang terus-menerus kuusahakan.
Ajari aku mencintai proses, bukan hanya hasil.
Ajari aku menemukan Engkau, bahkan dalam detail terkecil hidupku.
Bila nanti aku kembali merasa sendiri,ingatkan aku bahwa ada ribuan malaikat yang Kau tugaskan untuk menjagaku—bahkan saat aku tertidur dengan air mata di pipi.
Ingatkan aku bahwa aku tidak pernah benar-benar sendiri,karena kasih-Mu lebih setia daripada siapa pun yang pernah kujumpai.
Tuhan… jika suatu hari aku gagal lagi,tolong jangan biarkan aku larut dalam rasa malu.
Peluk aku dengan pengampunan-Mu,dan ingatkan: bahwa Engkau mencintaiku bukan karena aku sempurna,tapi karena Engkau memang adalah kasih itu sendiri.
Dan di saat aku lelah, biarlah pelukan-Mu menjadi tempat aku beristirahat.
Di saat aku bingung, biarlah firman-Mu menjadi kompas yang mengarahkan.
Di saat aku takut, biarlah janji-Mu menjadi jangkar yang meneguhkan.
Aku tidak tahu seperti apa jalan di depan.
Aku tidak tahu berapa banyak air mata yang masih harus kutumpahkan,atau berapa banyak doa yang belum akan dijawab.
Tapi aku tahu satu hal:
Selama Engkau tetap bersamaku,
semuanya akan baik-baik saja—pada akhirnya.
Karena yang terpenting bukanlah seberapa jauh aku telah melangkah,melainkan seberapa dekat aku dengan-Mu di setiap langkahku.
Bukan seberapa besar pencapaianku,tapi seberapa dalam aku mempercayai-Mu di tengah ketidakpastian.
Tuhan, ajari aku untuk tetap bersyukur,bahkan saat yang kupunya hanyalah sisa tenaga dan air mata.
Ajari aku memaknai kekosongan bukan sebagai kekalahan,tapi sebagai ruang yang Kau siapkan untuk sesuatu yang baru.
Jadikan hatiku ladang yang subur untuk iman yang tumbuh diam-diam,tak selalu terlihat, tapi mengakar kuat ke dasar harap.
Dan jika angin datang mengguncangku,izinkan aku tetap berdiri—bukan karena aku kuat,tapi karena aku berpaut erat pada-Mu.
Tuhan… biarlah hidupku menjadi surat cinta, yang ditulis oleh tangan-Mu sendiri.
Biar luka-luka ini menjadi tinta,dan kasih-Mu menjadi cerita utamanya.
Biar tiap detik yang kujalani,memantulkan cahaya dari wajah-Mu yang penuh kasih.
Aku tahu, terkadang aku akan mengeluh lagi.
Terkadang aku akan bertanya kenapa,dan mungkin kembali ragu.
Tapi biarlah aku tak lupa untuk kembali,untuk tetap pulang ke pelukan-Mu—sekali lagi, dan lagi.
Karena kasih-Mu tidak bersyarat,dan rahmat-Mu tidak pernah habis.
Dan selama aku hidup,aku ingin menjadikan setiap napas sebagai bentuk penyembahan,setiap tangis sebagai pengakuan kasih,dan setiap langkah sebagai bentuk kepercayaan bahwa Engkau tahu apa yang sedang Kaulakukan.
Dan untuk hari esok yang belum terlihat,aku serahkan seluruhnya ke dalam genggaman-Mu yang tak tergoyahkan.
Bukan karena aku tahu apa yang akan terjadi,tapi karena aku tahu, Engkau ada di sana.
Dan di tengah segala ketidakpastian itu, aku memilih untuk percaya—percaya bahwa setiap helaan nafasku adalah bagian dari rencana-Mu yang indah. Bahwa setiap luka yang menggores hatiku, walau dalam, adalah pelajaran yang mengajarkanku arti kasih yang lebih dalam lagi.
Aku ingin terus berjalan, bukan karena aku yakin akan tiba di tujuan yang sempurna, tapi karena aku yakin pada tangan-Mu yang memegangku erat. Aku ingin hidup yang penuh makna, meski sederhana dan penuh tantangan, karena aku tahu Engkau ada di setiap detik yang kujalani.
Tuhan, biarkan aku tetap menjadi anak-Mu yang meskipun lemah tapi tidak putus asa, yang rapuh tapi tidak menyerah. Ajari aku untuk merayakan setiap langkah kecil, dan untuk menghargai setiap detik yang Kau berikan sebagai anugerah.
Dan ketika malam tiba, saat sepi mulai merayap masuk, ingatkan aku bahwa dalam gelap sekalipun, cahaya-Mu tidak pernah padam. Biarlah doa ini menjadi lilin kecil yang menerangi jalanku, menuntunku kembali ke pelukan-Mu yang penuh damai.
Karena pada akhirnya, yang kuinginkan hanyalah satu hal:
Hati yang setia, tangan yang terbuka, dan jiwa yang selalu pulang kepada-Mu.
Dan dengan itu, aku siap menjalani hari esok—dengan segala ketidakpastian, tetapi penuh harap dan kasih.
Tuhan, aku menyerahkan segalanya pada-Mu. Aku percaya, Engkau selalu menyertai langkahku.
Komentar
Posting Komentar