Hari Minggu hingga Senin kemarin… ah, betapa aku ingin membekukan waktu. Hari-hari itu terasa seperti serpihan surga yang jatuh diam-diam ke bumi—hangat, penuh tawa, dan membuncah dalam sukacita yang seolah tak ingin segera usai.
Seperti biasa, Hari Minggu kami awali dengan ibadah. Setelahnya, panitia Paskah dibubarkan dengan tawa yang mengambang di antara percakapan. Tak ada agenda khusus, namun justru di sanalah kebersamaan tumbuh liar seperti bunga liar di padang yang luas. Ada yang mengerjakan laporan pelayanan, ada yang berbagi kisah hidup yang selama ini terpendam, dan ada pula yang hanya duduk, menikmati keberadaan satu sama lain—dan semuanya terasa utuh.
Bagiku, gereja adalah lebih dari sekadar tempat ibadah. Ia adalah rumah kedua, tempat di mana aku dibentuk, diproses, dikasihi, dan dipelihara. Teman-teman gereja bukan hanya rekan pelayanan, tapi juga saudara, kakak, adik, bahkan menjadi bagian keluarga yang tak dipisahkan oleh darah.
Tentu ada kalanya proses itu menyakitkan. Ada teguran, ada gesekan, ada luka-luka kecil yang terkadang menganga. Tapi bukankah luka itu sendiri yang menjadi pintu bagi pertumbuhan? Bukankah yang lebih menyakitkan adalah ketika kita dibiarkan salah tanpa ada yang peduli?
Ketika ditegur, itu tandanya kita masih disayangi. Itu tanda bahwa ada seseorang yang berharap kita bertumbuh menjadi versi terbaik dari diri kita.
Lalu tibalah momen yang ditunggu pun tiba. Saat-saat yang selama ini membungkam konflik, mulai melepaskan simpulnya. Satu demi satu, benang kusut mulai dijelaskan. Tangis tak bisa ditahan, tapi justru dari sanalah kelegaan bermula. Dan seperti Tuhan yang lebih dahulu mengampuni kita, kami pun belajar untuk saling mengampuni.
Setelahnya, kami pergi makan bersama—acara kecil untuk perpisahan seorang teman yang hendak melanjutkan studi ke luar kota. Teman yang begitu baik, rendah hati, dan penurut.
Malam itu, kami menyampaikan kata-kata perpisahan yang menyentuh. Rasanya ingin menahan waktu.
"Guys, bisa nggak sih momen ini dibekukan? Bahagianya jangan cepat-cepat berlalu dong, bisa nggak dibuat awet… tak terputus, tanpa akhir, infinity?" ucapku lirih.
Karena aku benar-benar bahagia.
Bahagia karena bisa bersama. Meskipun terkadang ada konflik dan proses yang menyakitkan, aku percaya—itu semua adalah proses pembentukan. Bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk mengokohkan, untuk menjadikan kita pribadi yang bersinar dalam kasih Kristus.
Satu per satu, kami pun pulang ke rumah masing-masing.
Tapi esok harinya, karena hari libur, kami kembali berkumpul. Di basecamp yang kami cintai: gereja.
Dan di situlah, puncak segala perasaan meledak. Semua yang selama ini disimpan, ditahan, dipendam… tumpah. Tangisan tak terelakkan. Tapi segala emosi yang tercurah ada pada tempatnya. Terbuka, jujur, namun terkontrol. Dengan tuntunan Roh Kudus, semuanya berjalan indah. Ternyata, oh ternyata… hanya salah paham.
Tak ada saling menyudutkan. Yang ada hanya hati-hati yang bersedia merendah untuk saling mendengarkan, untuk saling memaafkan. Dan ketika seseorang menghampiriku sambil berkata,
“Kak, aku mau minta maaf…”
Aku hanya bisa tersenyum.
“Loh, kita nggak ada masalah, Dek,” ucapku.
“Tapi aku sempat ikut ngomporin…”
“Nggak apa-apa, ya. Jangan diulangi lagi.”
Dan di situlah semua ditutup. Selesai. Case closed.
Tangisan menjadi hujan pemulihan. Pelukan menjadi penghapus luka. Dan kasih karunia Tuhan menutup semuanya dengan damai.
Ternyata, ini semua hanyalah proses. Proses menuju karya besar yang sedang Tuhan siapkan. Tuhan sedang mengikis karakter-karakter lama yang harus diremukkan untuk dibentuk menjadi pribadi yang baru. Pahit memang. Tapi buahnya manis. Sangat manis.
Mari tetap seperti ini, teman-teman. Tetap satu hati, saling mengasihi, saling mengampuni. Kita memang tidak sempurna. Kita bisa saling melukai. Tapi kasih Kristus selalu menemukan cara untuk memulihkan dan menyatukan kita kembali.
Mari terus bertumbuh bersama. Pandanglah Bapa di surga. Jangan biarkan kekecewaan mengalihkan pandangan kita. Biarlah Dia yang menjadi pusat segalanya. Hanya Dia yang sempurna. Dan hanya Dia yang sanggup menyempurnakan kita, dari hari ke hari.
Menjadikan kita bejana yang utuh—yang dulunya retak, penuh luka dan kecewa—menjadi indah, penuh kasih, dan berkenan di hati-Nya.
Aku sayang kalian semua.
Dan disinilah aku menyadari satu hal besar :
Bahwa yang membuat sebuah komunitas menjadi rumah...
Bukan karena fasilitas nya. Bukan karena kegiatan nya. Tapi karena kasih. Kasih yang tidak menuntut sempurna, tapi mengizinkan kita untuk bertumbuh perlahan-lahan , bersama-sama.
Kasih yang memberi ruang bagi air mata , namun tak lupa menghidangkan harapan. Kasih yang memeluk bahkan ketika kata-kata sudah habis.
Komentar
Posting Komentar