Jumat malam kemarin, sebelum kaki ini melangkah ke gereja untuk latihan ibadah Minggu, ada badai yang lebih dulu menghempas dada. Aku menangis... sesegukan, seolah tak ada lagi ruang yang cukup dalam tubuh ini untuk menampung rasa sakit itu.

“Sakit… kalimat itu menyayat. Bukan cuma menyentuh hati, tapi menembus sampai ke tulang-tulang. Seluruh tubuh seperti ikut memikul perihnya...”

Di tengah kepedihan yang mendesak-desak itu, aku coba menghibur diriku. Kugulirkan lagu rohani di playlist: "When I Say That I Love You".

Lagu itu seperti selimut hangat bagi luka yang menganga. Seperti pelukan dari langit untuk hati yang nyaris patah.

Aku juga menyanyikan lagu dengan suara yang bergetar: "Betapa baiknya Engkau, Tuhan... kami naikkan ucapan syukur..."

Tapi syukurku waktu itu terasa berdarah. Air mata jatuh satu-satu, membawa serta luka yang belum sempat kusebutkan namanya. Padahal lagunya happy, tapi nyanyi nya bercampur air mata

Lalu aku putar lagi satu lagu penyemangat yang sejak dulu jadi favoritku: “Diamonds” dari Hawk Nelson.

Plis… ini lagu favorit banget! Mood booster sejuta persen!

Dan setelah gelombang kekuatan kecil itu datang, aku pun melangkah juga—ke gereja.

Dengan hati yang remuk dan jiwa yang goyah, tapi hidup tetap berjalan. Bahkan ketika rasanya tak punya kekuatan untuk sekadar berdiri, apalagi bertahan.

Tapi... di proses itu, aku justru dikuatkan. Ada penyembuhan diam-diam yang sedang Tuhan kerjakan, lewat setiap langkah kecil untuk tetap hidup, hari demi hari.

Lalu, tadi saat acara di gereja, ada momen refleksi. Lampu ruangan diredupkan, dan saat itu…

Semua luka dalam diriku seperti ikut bicara.

Berteriak.

Mendesak keluar.

Aku sadar, aku sedang tak baik-baik saja. Di balik tubuh ini, ada hati yang hancur. Ada jiwa yang sedang remuk.

Di kegelapan singkat itu, aku merasa bebas…

Bebas menangis kepada Tuhan.

Bebas jujur.

Bebas lepas.

Dan setelah acara selesai, aku bertemu dengan Cici.

Aku ceritakan semuanya... panjang lebar, seteliti mungkin. Semua.

Sampai akhirnya keluar kalimat itu:

"Aku sayang dia, ciii… aku sayang diaaaa..."

Dan tangis itu tak lagi bisa ditahan.

Tapi kali ini, Cici tak hanya menjadi pelipur lara. Dia tampil tegas, dengan mata yang penuh kasih tapi suara yang bulat.

"Kakak harus melepaskan dia..."

Aku menggeleng, pelan tapi penuh luka.

"Enggak bisa, Cii… aku sayang dia..."

Cici memandangku dalam-dalam.

"Sebelumnya maaf ya, kak, kalau ini menyakitkan. Tapi anggap saja yang bicara ini… dia. Orang yang kakak sayang itu. Dan ini adalah kata-kata yang sebenarnya mungkin ada dalam hatinya…”

Lalu Cici menyampaikan semua itu, satu per satu...

Kalimat-kalimat yang seperti anak panah, tapi justru membebaskan.

Aku hanya bisa berucap lirih:

"Sakit..."

Dan aku menangis.

"Kakak jangan nangis ya… nanti orang-orang kira aku yang bikin kakak nangis."

Dan ia memelukku. Hangat. Erat.

Pelukan yang tak banyak berkata-kata, tapi justru menyembuhkan.

"Tidak apa, Kak. Kakak harus melepaskannya. Karena ada seseorang terbaik yang sedang Tuhan persiapkan untuk Kakak. Mungkin… dia sedang berdiri di balik punggung Tuhan Yesus sekarang, menunggu waktu yang tepat untuk bertemu Kakak."

Aku bertanya, nyaris seperti bisikan: "Tapi bukan dia ya ci?"

Cici menggeleng lembut.

"Bukan, kak. Yang terbaik tidak akan sanggup meninggalkan air mata di hidup kita. Menurut Kakak, seperti apa sih pria terbaik itu?"

Aku menatap ke depan, seperti melihat siluet harapan di kejauhan.

"Dia harus cinta Tuhan, baik, tegas tapi tidak saklek, lembut, sayang sama aku… seseorang yang bisa jadi sahabat jiwa. Yang dengannya aku bisa cerita tanpa batas, dan bisa jadi partner hidup untuk menjadi berkat sampai ke bangsa-bangsa."

Cici mengangguk mantap.

"Dan seseorang seperti itu yang sedang Tuhan bentuk. Tapi Kakak harus menutup kisah lama ini… supaya kisah yang baru punya ruang di hidup Kakak."

Aku terdiam. Tangis mulai mereda.

"Memang… seseorang seperti itu ada, cii?"

"Ada, Kak. Dia ada. Tuhan tahu siapa dia. Tapi mungkin dia belum bisa datang sekarang, karena waktunya belum tiba."

Lalu Cici menatapku penuh harapan.

"Sekarang… kita fokus ke masa depan kita dulu ya, kak. Terus melayani Tuhan di masa muda ini. Jalani apa pun yang Tuhan percayakan sekarang. Percaya… Tuhan akan jawab semuanya tepat pada waktunya."

Ah, Cici…

Terima kasih.

Sudah memberi telinga, memberi hati, memberi tempat untuk tangisku.

Dan—yang paling aku syukuri—memberi harapan di tengah sesak yang tak terkatakan.

Waktu telah menunjukkan pukul 22.00 WIB.

Masih banyak yang ingin aku ceritakan… tapi waktu membatasi, dan langit malam sudah turun perlahan.

Mungkin besok kita sambung lagi cerita-cerita itu.

Tapi malam ini, satu hal yang pasti:

Hatiku… plong.

"Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya."

Pribahasa itu benar adanya.

Kita saling menguatkan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin