Tak Bernama Tapi Ada
Kadang kita mengira bahwa kita hanya layak dicintai saat kita menang, saat kita berhasil, saat nama kita dipuji dan langkah kita tegak berdiri. Kita lupa—atau mungkin memilih lupa—bahwa cinta yang sejati tidak hanya datang pada saat-saat kemenangan. Cinta juga hadir dalam luka, dalam kegagalan, dalam kejatuhan yang tak tertahankan.
Cinta yang tulus bukan sekadar apresiasi terhadap keberhasilan, melainkan penerimaan akan keseluruhan diri, termasuk sisi-sisi yang rapuh, gelap, dan belum selesai. Cinta tidak menyerang dari balik kegagalan, ia tidak pergi saat melihat air mata. Ia tetap tinggal, tetap hadir, dan tetap melihat. Bahkan ketika kita sendiri tak sanggup menatap diri kita di cermin.
Jika cinta hanya tinggal ketika keadaan membaik, mungkin itu bukan cinta, tapi kekaguman sesaat. Sebab cinta yang sejati adalah kekuatan untuk bertahan, bahkan di tengah reruntuhan. Cinta percaya bahwa segala sesuatu akan membaik, perlahan tapi pasti. Bahwa gagal itu bukan kutukan, dan jatuh itu bukan akhir.
Kadang kita lupa, seperti saat kecil dulu ketika kita bermain dan tertawa, meskipun kalah. Yang penting bukan siapa yang menang atau kalah, tapi kebersamaan, tawa, dan pelukan hangat setelah permainan usai. Kita bahagia bukan karena kita menang, tapi karena kita tetap bermain bersama.
Namun saat dewasa, kita berubah. Kita mulai mengukur nilai diri dari hasil, bukan dari keberanian untuk mencoba. Kita lupa bahwa bahkan dalam kondisi terburuk, kita tetap bisa saling menguatkan—bukan saling menyalahkan.
Aku bersyukur berada di tengah komunitas yang membentukku—dalam konflik, dalam tawa, dalam pembentukan, atau bahkan saat main uno dan badminton. Bahagianya bukan karena menang, tapi karena tetap bermain bersama. Karena kalah bukan bahan olokan, tapi ruang untuk belajar.
Kita semua manusia. Kita bisa kalah, bisa gagal. Tapi selama kita masih mau belajar dan membuka hati, maka kekalahan bukanlah vonis—melainkan pintu pelajaran baru. Kita bisa belajar mencintai bukan hanya versi sempurna dari seseorang, tapi seluruh versinya—termasuk versi yang penuh air mata dan keraguan.
Tuhan pun mencintai kita bukan hanya di puncak keberhasilan. Bahkan di lembah terdalam hidup kita, saat kita merasa sendiri dan hancur, kasih-Nya tetap ada. Ia membentuk kita, memperbarui kita, perlahan… setahap demi setahap.
Dunia mungkin hanya menginginkan versi terbaik kita. Tapi kita bisa lebih dari itu. Kita bisa menerima yang gelap, yang rusak, yang kacau. Karena bagian-bagian itu juga butuh tempat untuk diterima dan dipeluk, agar bisa sembuh.
Hidup ini adalah sekolah yang tak pernah selesai. Kita belajar terus—belajar mencintai, belajar memaafkan, dan belajar berdamai dengan diri sendiri. Mencintai secara utuh artinya mencintai seluruh diri—termasuk bagian yang tidak kita tunjukkan ke dunia.
Untuk kamu… aku tidak tahu seperti apa musim hidupmu saat ini. Tapi satu hal yang ingin aku katakan: kamu layak dicintai, bahkan dalam kegagalanmu. Kamu pantas disayangin, diterima, bahkan ketika kamu merasa paling lemah dan tak berharga.
Mungkin kamu takut—takut kalau aku tahu sisi gelapmu, aku akan pergi. Tapi jika itu yang kamu takutkan, izinkan aku meyakinkanmu: aku tidak akan pergi. Karena aku mengerti, kita semua punya sisi gelap, dan itu bukan alasan untuk menjauh. Justru itu alasan untuk tetap bertahan.
Tapi kamu terus mendorongku. Berkali-kali bilang tidak ingin menyakitiku. Tapi bisakah sekali saja kamu percaya, bahwa cinta yang sejati tidak melukai saat tahu sisi tergelapmu? Justru ia memberi ruang untuk memperbaiki, bukan untuk menghakimi.
Sekali saja, jangan dorong aku pergi...
Tapi ya sudah. Kalau memang sekarang belum waktunya, aku hanya berharap suatu hari nanti kamu percaya… bahwa cinta bisa hadir bahkan dalam kekacauan dan kehancuran. Bahwa kamu layak dicintai—bukan karena sempurna, tapi justru karena kamu manusia.
Aku masih menyayangimu. Kadang aku menangis diam-diam saat mengingat semuanya. Pernah aku terbangun tengah malam hanya karena mendengar lagu yang mengingatkanku padamu.
Aku juga menulis karena aku rindu. Karena aku tak mampu berkata langsung. Setiap tulisan ini adalah rindu yang tak bisa disuarakan. Aku terus menyusun hidup ini keping demi keping, berharap suatu hari akan terbentuk lukisan yang indah dan utuh.
Setiap hari adalah perjuangan. Ada tangis di malam yang sepi. Tapi tetap aku jalani. Tetap aku hidupkan harapan.
Dan kamu… kamu jangan menyerah yaaah. Luka masa lalumu—yang mungkin tentang dia yang pernah kamu tulis—bukan alasan untuk berjalan sendirian. Karena di tengah keruwetan hidup ini, ada ruang yang bisa menerima dan tidak akan menyerang. Kamu hanya perlu percaya.
Kadang musim buruk itu seperti benih yang ditanam. Diam, sepi, tak terlihat. Tapi di dasar tanah, akar-akar mulai tumbuh. Bertahan. Mencari hidup.
Dan suatu hari… akan muncul tunas. Harapan. Tapi itu tidak instan, bukan seperti toge semalam bisa tumbuh. Kita sedang menanam pohon—yang kuat, yang berbuah. Dan itu butuh waktu. Tapi hasilnya akan sepadan.
Jadi, tetap kuat, ya. Aku pun sedang berjuang. Aku tak sedang mencari pengganti. Tidak seperti yang pernah kamu katakan. Aku hanya sedang pulih. Menyembuhkan hidupku. Mungkin kelak, saat semuanya telah selesai, saat aku atau kamu telah tiba di titik terbaik di hidup... kita akan tahu jawabannya.
Apakah kamu orangnya atau bukan—aku tak tahu.
Tapi aku percaya: kamu akan sampai di versi terbaik dari dirimu. Jika kamu percaya, bukan padaku, tapi pada dirimu sendiri. Bahwa kamu layak dikasihi. Sepenuhnya.
Jangan dorong semua orang pergi hanya karena kamu takut pada bayanganmu sendiri.
Dan yang paling penting: jangan pernah menyerah.
Karena kamu pantas bahagia. Dengan atau tanpaku, kamu layak sampai di sana. Dan aku akan selalu mendoakanmu untuk itu.
Mungkin suatu hari kita akan bertemu lagi. Bukan sebagai dua orang yang saling memikul luka, tapi sebagai dua jiwa yang telah selesai berdamai dengan masa lalu. Mungkin di suatu sudut kota yang tidak kita duga, dalam suasana yang hening namun meneduhkan, kita akan bertukar senyum yang bukan lagi menahan tangis, tapi sebagai salam damai dari dua hati yang pernah saling mencintai dalam diam dan doa.
Aku tidak ingin tergesa mengharapkan pertemuan itu. Karena jika memang ada waktu yang tepat, waktu itu akan datang. Seperti matahari yang tahu kapan harus terbit, seperti musim yang tahu kapan harus berganti. Kita pun akan tahu… kapan harus menatap, dan kapan harus melangkah.
Yang penting sekarang: hidupmu harus tetap berjalan. Luka boleh tinggal, tapi jangan biarkan ia menghentikan langkah. Biarkan ia menjadi pengingat, bukan penjara. Biarkan ia membentuk kelembutan, bukan kepahitan.
Aku tahu ini tidak mudah. Ada malam-malam ketika dunia seperti runtuh, dan tak ada satu pun yang bisa kita genggam kecuali diri kita sendiri yang nyaris pecah. Tapi ingatlah: setiap kali kamu berhasil melewati malam itu, kamu bukan hanya bertahan—kamu sedang tumbuh. Perlahan. Dalam diam. Tapi pasti.
Jangan takut pada sepi. Kadang sepi adalah ruang suci tempat kita bertemu Tuhan dengan utuh. Tempat kita belajar bahwa kasih yang terbesar justru tak selalu bersuara lantang. Ia bisa hadir dalam kesunyian, dalam diam yang hangat, dalam pelukan yang hanya bisa kita rasakan lewat doa.
Dan jika suatu hari kamu rindu, dan tidak ada siapa-siapa untuk kamu ajak bicara, ingatlah bahwa selalu ada langit yang sama kita pandang. Kirimkan saja bisikan hatimu ke udara, mungkin saja angin akan membawanya padaku.
Aku akan baik-baik saja. Dan aku percaya, kamu juga.
Meski jalannya tidak sama, meski akhirnya bukan seperti yang kita doakan dulu, aku tahu semua ini tidak sia-sia. Setiap perasaan yang pernah hidup, setiap air mata yang jatuh, setiap tawa yang sempat tercipta—semuanya nyata. Dan itu cukup. Itu layak dikenang.
Cinta, pada akhirnya, bukan soal siapa yang memiliki siapa. Tapi tentang siapa yang tetap mendoakan, bahkan ketika tidak lagi bisa memeluk.
Mungkin ini bukan akhir, hanya halaman yang harus kita selesaikan sendiri-sendiri dulu. Karena ada cerita yang butuh waktu untuk ditulis ulang—bukan karena salah, tapi karena kita butuh menjadi versi yang lebih utuh sebelum bisa membacanya bersama.
Aku tidak pergi, hanya melangkah sedikit menjauh agar bisa melihat diriku sendiri lebih jelas. Agar saat kelak kita saling menatap lagi, aku tidak datang dengan luka yang masih menetes, tapi dengan hati yang sudah siap membuka lembaran baru—jika memang kamu masih bagian dari kisah itu.
Dan kamu pun, pergilah sejauh yang kamu perlu. Ke tempat-tempat yang bisa menyembuhkan, ke ruang-ruang yang bisa mengajarkan. Peluklah hidupmu sepenuhnya, tanpa perlu menunggu siapa pun untuk membuatmu utuh.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Tapi aku tidak lagi takut. Karena jika kita memang ditakdirkan untuk berjalan berdampingan, semesta tahu cara mempertemukan kita di waktu yang paling tepat. Bukan dalam desakan atau ketergesa-gesaan, tapi dalam kesiapan dan ketulusan yang telah matang.
Sampai saat itu datang, aku akan tetap menjaga tempat kecil dalam doaku—tempat yang sunyi tapi hangat, tempat di mana namamu masih kusebut dengan pelan, penuh kasih. Bukan karena tak bisa melupakan, tapi karena aku memilih untuk tidak membenci. Karena cinta yang benar, tidak pernah memaksa, hanya mendoakan… dan menunggu dalam keyakinan.
Kamu tidak hilang. Kamu hanya sedang tumbuh, seperti aku juga. Dan siapa tahu, di antara pertumbuhan yang penuh jeda ini, akar-akar kita akan saling menemukan jalan menuju cahaya yang sama.
Mungkin ini bukan perpisahan. Mungkin ini hanya jeda.
Sampai nanti, ketika semesta berbisik, "Sekarang saatnya."
Dan kita pun saling menoleh, bukan sebagai orang yang asing, tapi sebagai dua jiwa yang telah memilih: untuk kembali, bukan karena harus… tapi karena ingin.
Hari-hari berlalu seperti lembaran jurnal yang kutulis tanpa tergesa. Ada pagi-pagi yang tenang, ada senja yang diam-diam mengusap hatiku dengan lembut. Dan di antaranya, ada kamu—masih tinggal dalam satu ruang kecil yang tak pernah kututup rapat.
Aku belajar hidup tanpa mengharuskan segalanya hadir dalam genggaman. Belajar bahwa mencintai seseorang tak harus selalu dekat. Kadang, cinta justru tumbuh paling murni dalam keheningan yang penuh restu.
Tak ada yang berubah terlalu drastis, hanya cara kita mencintai yang kini lebih dewasa. Tanpa keluhan, tanpa tangisan yang dipaksakan untuk dimengerti. Hanya ada jeda… tempat kita menata ulang makna: tentang siapa diri kita, tentang apa arti pulang, tentang bagaimana seharusnya saling merawat hati.
Dan aku bersyukur, karena tidak semua harus sempurna untuk menjadi indah. Kita tidak harus tergesa untuk kembali agar tahu rasanya dekat. Kita cukup mengizinkan waktu bekerja, menyembuhkan luka-luka kecil yang pernah kita abaikan. Hingga nanti, jika kita bertemu lagi, kita bisa berkata, “Aku baik, kamu juga ya?” dan itu bukan basa-basi—tapi kabar dari hati yang benar-benar telah pulih.
Kamu tetap di situ, tak kemana-mana dalam semestaku. Hanya sedang duduk di bangku yang berbeda, menunggu giliran untuk berjalan lagi, entah bersamaku atau tidak. Tapi untuk sekarang, aku ingin kita tenang. Tidak saling tarik menarik, tidak saling paksa. Cukup hadir dalam doa, cukup tumbuh dalam waktu masing-masing.
Dan jika nanti kamu merasa rindu, izinkan aku tinggal dalam ingatan yang baik. Sebab aku pun sedang berusaha menjadi seseorang yang layak untuk dikenang, bahkan jika akhirnya tidak dipeluk kembali.
Tidak ada yang perlu disesali dari apa yang kita punya. Sebab bukan banyaknya pertemuan yang membuat segalanya bermakna, tapi keikhlasan kita memberi ruang saat dibutuhkan, dan keberanian kita untuk tetap mencintai, bahkan dalam diam.
Untuk sekarang, mari kita jadi teman bagi diri kita sendiri terlebih dahulu.
Mari sembuh.
Mari tumbuh.
Dan jika Tuhan masih menyisipkan kita dalam halaman yang sama, kita akan tahu. Bukan karena kita mengejar-ngejar waktu, tapi karena kita telah cukup dewasa untuk memilih… dan tinggal.
Komentar
Posting Komentar