Lagu Itu Membangunkanku… dan Luka Lama Terbuka Kembali

Malam tadi, aku sudah tertidur. Tapi entah mengapa, aku terbangun tiba-tiba. Bukan karena mimpi buruk… tapi karena lagu yang tiba-tiba mengalun, lembut, lirih—memutar "Serana".

Ada getar yang tak bisa kujelaskan. Sebuah desir yang menggugah dari dalam jiwaku saat bait-bait lagu itu mulai menyapa telinga. Aku membeku. Tak sanggup mendengarkannya lebih lama lagi.

"Beritahu aku cara melupakanmu seperti kau ajarkan ku dewasa…

Beritahu aku cara merelakan seperti kau ajarkan ku bahagia…"

Dan aku menangis.

Bait itu merobek kembali luka yang lama sudah kupendam, yang telah kututup rapat-rapat dengan doa dan ketegaran yang kubangun sendirian. Aku tidak ingin membukanya lagi. Bukan karena rasa itu telah sirna… tapi karena aku sudah berdamai dengan luka itu. Dengan kepergian yang tak pernah dijelaskan. Katamu: “semua ini demi kebaikanmu,” tapi hingga kini, aku tak pernah benar-benar mengerti maksudnya.

Dan aku terlalu takut untuk bertanya.

Maka aku mengandalkan logikaku sendiri. Menganalisis sikapmu yang datang dan pergi sesuka hati.

Padahal aku punya hati…

Aku pernah begitu remuk, ketika dirimu memilih pergi meninggalkanku. Aku menangis hingga suaraku hilang. Tidak ada yang menggantikanmu, dan aku menangis sendirian. Merintih dalam doa, karena rasanya sungguh… SAKIT. Perih. Menyiksa.

Karena aku mencintaimu dengan begitu dalam.

Kata seseorang, cinta membuat kita menjadi bodoh.

Mungkin itu aku.

Aku pun tak tahu… terkadang, aku bahkan tak sanggup lagi menjalani hariku. Tapi hidup harus tetap berjalan. Masa depan harus tetap dijemput, meski dengan hati yang gentar dan jiwa yang bingung. Aku harus melangkah, seolah tak pernah mengenal rasa takut.

Padahal aku takut…

Tapi aku berlari ke tempat yang paling aman: Tuhan.

Berlindung dalam pelukan-Nya adalah cara paling ampuh untuk melawan semua ketakutan itu.

Saat hatiku patah kemarin, aku kembali berlari kepada-Nya—membawa seluruh kepingan hatiku yang hancur dan kutaruh di tangan-Nya.

"Aku sayang dia, Tuhan…

Aku sayang dia…

Aku sayang diaa, Tuhan…!"

Kalimat itu berulang-ulang keluar dari bibirku, dalam isak dan air mata yang tak berkesudahan, hingga mataku bengkak, suaraku habis…

Hatiku hancur, jiwaku remuk redam.

Dan lagu Serana seperti mengungkapkan isi hatiku yang terdalam.

Sebenarnya… kenapa kamu pergi?

Padahal tidak ada konflik besar di antara kita. Hanya salah paham kecil. Tapi kau pergi begitu cepat. Membuat keputusan sebelum sempat kita berbicara.

Kadang aku ingin bertanya padamu: “Sebenarnya… kita ini apa?”

Tapi yang kudapati hanyalah kepergianmu yang tiba-tiba. Tanpa aba-aba. Tanpa penjelasan.

"Cukup. Ini sudah terlalu jauh…"

Jauh?

Padahal aku ingin tahu sejauh apa sebenarnya kita telah berjalan?

"Ini semua untuk kebaikanmu…"

Kalimat itu seperti teka-teki. Seperti potongan puzzle yang tak punya ujung. Tak kumengerti maknanya…

Dan karena itulah, aku menuliskan semua ini.

Menuliskan setiap luka, setiap rindu yang tak mampu kuucapkan. Meski dengan air mata yang selalu menemani setiap kata.

Kenapa ketulusanku tidak pernah cukup bagimu?

Pernah suatu hari, aku sedang tertawa bahagia bermain Uno dengan teman-temanku. Lalu satu pesan darimu masuk, dan aku tiba-tiba menangis.

Pernah juga aku pulang dari acara open house Idulfitri di rumah gubernur dan walikota, begitu bahagia… namun malamnya aku menangis. Tersedu. Tertahan.

Aku hanya bertanya: “Mengapa… aku tidak pernah cukup bagimu?”

Hingga akhirnya… aku belajar merelakanmu.

Kamu, seseorang yang sangat kusayang dalam hidupku.

Setiap kali aku mendoakanmu agar bahagia dengan dia—perempuan yang benar-benar kamu cintai—aku seperti menusukkan belati ke hatiku sendiri. Tapi aku tahu siapa dia. Aku pernah membaca tulisanmu. Aku tahu siapa yang kamu maksud. Dan aku tahu… itu bukan aku.


Kalau aku orangnya, kamu takkan mudah melepaskan aku. Tapi nyatanya, kamu lepaskan aku… untuk dia.

Dia yang sangat kamu cintai sepenuh hatimu.

Kadang aku menangis saat membaca tulisan-tulisanmu.

Saat kamu menuliskan bahwa kamu merasa seperti budak perasaan, aku berharap… andai saja kamu mau berhenti sejenak dan melihat sekeliling…

Kamu akan menemukan aku—di ruang itu.

Aku yang menatapmu dengan kasih, menganggapmu sangat berharga.

Tapi kamu tak pernah melihatku.

Bahkan mengusirku secara halus dari hidupmu…

Mungkin ketulusanku tak pernah punya tempat dalam hidupmu. Mungkin karena aku tidak secantik atau sepintar dia. Padahal bukankah semua hal bisa dipelajari, diperbaiki seiring waktu?

Bukankah yang terpenting adalah ketulusan? Tapi seperti katamu: perasaan tidak bisa dipaksakan.

Dan kini… aku tidak lagi berdoa agar kamu menjadi jodohku. Aku  hanya berdoa agar Tuhan memberkatimu,

Agar kamu benar-benar bisa bersatu dengan dia yang kamu cintai.

Agar hatimu tenang dan hidupmu bahagia…

Sekalipun bukan denganku.

Karena jika kamu bahagia…

Maka itu pun sudah cukup bagiku.

Dan kini, setelah semua air mata kering di pelupuk mata, aku memilih diam. Bukan karena hatiku telah benar-benar pulih, tapi karena aku sadar… ada hal-hal yang memang tak harus dipaksakan untuk dimengerti. Termasuk kamu.

Kamu adalah bab dalam hidupku yang tak bisa kuhapus, tapi juga tak bisa kulanjutkan. Seperti lagu yang terhenti di tengah tanpa pernah ada refrain. Menggantung. Tak selesai. Tapi tetap membekas dalam ingatan.

Aku tidak membencimu. Bahkan tidak marah. Yang tersisa hanyalah hening yang tenang, dan rindu yang tak lagi menuntut. Aku tidak berharap kamu kembali. Aku hanya ingin kamu tahu, aku pernah mencintaimu—dengan cara paling diam-diam dan tulus yang bisa dilakukan oleh hati manusia yang penuh luka tapi tak ingin menyakiti balik.

Jika suatu hari nanti, takdir membawamu membaca tulisan ini, dan kamu mengenalinya sebagai kisah kita… ketahuilah bahwa aku menulis ini bukan untuk menyudutkanmu, apalagi menuntut balasan. Aku hanya ingin menyembuhkan diriku sendiri. Lewat kata. Lewat kenangan yang kukurung dalam bait-bait sunyi.

Dan jika kamu telah benar-benar bahagia, jangan menoleh ke belakang. Aku tidak akan ada di sana.

Aku sedang belajar berjalan maju. Dengan langkah yang masih tertatih. Tapi pasti.

Hari-hari tak lagi sekelabu dulu. Aku mulai bisa menertawakan hal-hal kecil. Menikmati hujan di jendela kamar. Menyesap kopi sembari membaca buku. Menyusun mimpi-mimpi yang sempat terjatuh—dan memungutnya satu-satu untuk kutata ulang. Tanpa kamu.

Aku menyadari, hidup tak selalu harus memiliki untuk bisa merasakan. Bahwa mencintai tidak selalu harus memiliki akhir bahagia bersama. Dan mungkin, kisah kita… adalah salah satu bentuk cinta yang harus selesai agar aku bisa belajar: tentang ikhlas, tentang melepas, dan tentang mencintai diriku sendiri.

Terima kasih karena pernah menjadi bagian penting dalam perjalananku. Aku tidak akan menghapusmu dari ingatan, Tapi aku juga tak akan menunggumu dalam keabadian.

Aku memilih pulang ke dalam diriku sendiri. Menyembuhkan. Mendoakan. Melanjutkan hidup.

Dan kelak, jika aku bertemu cinta yang baru… Bukan untuk menggantikanmu, Tapi untuk mengisi ruang yang tak pernah benar-benar bisa kamu isi.

Karena kali ini, aku ingin dicintai… tanpa harus merasa takut ditinggalkan lagi.

Aku tidak ingin lagi menjadi seseorang yang terus-menerus bertanya, “Apa kurangku?”

Aku ingin menjadi perempuan yang cukup untuk dirinya sendiri—yang tahu bahwa cinta tak pernah diukur dari seberapa besar ia berjuang, tapi seberapa sehat ia mencintai dirinya sebelum mencintai orang lain.

Dan aku sedang belajar itu…

Pelan-pelan.

Dengan air mata yang mulai berubah jadi senyum tipis.

Dengan doa-doa yang kini tak lagi memohon agar kamu kembali, melainkan memohon agar aku bisa tetap setia pada proses yang Tuhan izinkan.

Aku tak lagi menulis untukmu.

Aku menulis untukku.

Untuk hatiku yang dulu hampir hilang karena terlalu mencintaimu.

Untuk jiwaku yang kini sedang tumbuh kembali—lebih lembut, lebih kuat, lebih penuh kasih.

Dan mungkin, di luar sana… ada seseorang yang sedang berjalan pelan menuju kehidupanku.

Bukan untuk menggantikanmu. Tapi untuk menyembuhkan dengan caranya sendiri.

Bukan dengan janji-janji manis, tapi dengan kehadiran yang tenang dan setia.

Bukan dengan kata-kata besar, tapi dengan tindakan kecil yang konsisten.

Yang tidak membuatku mempertanyakan diriku setiap hari.

Karena cinta sejati…

Tidak membuat kita merasa kecil.

Tidak membuat kita bersaing dengan bayangan siapa pun.

Tidak membuat kita bertanya-tanya apakah kita layak dicintai.

Cinta sejati… mengangkat.

Memeluk dengan penuh penerimaan.

Membiarkan kita tumbuh bersama, bukan tumbang karena saling melukai.

Dan aku percaya, cinta seperti itu akan kutemukan.

Atau mungkin… akan menemukan aku.

Di waktu yang paling tak kuduga,di tempat yang paling tak kusangka.

Tapi untuk saat ini…aku ingin tetap berjalan dengan tenang, menggenggam harapan, menata kembali mimpiku, dan membiarkan Tuhan memulihkan segala sesuatu dengan cara-Nya yang paling indah.

Jika suatu hari kamu lewat di jalan yang sama denganku,dan kamu melihatku tertawa—bukan karena sudah melupakanmu,tapi karena aku akhirnya berhasil memaafkan semuanya…maka, tersenyumlah juga.

Karena cinta yang tulus…tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk, menjadi doa yang sunyi…dan pulang ke langit, tempat cinta mula-mula berasal.

Aku tidak ingin lagi menggenggam yang memang seharusnya kulepaskan.

Sebab yang digenggam terlalu erat, justru akan menyakiti—bukan hanya yang digenggam, tapi juga tangan yang menggenggamnya.

Kini aku belajar bahwa melepaskan bukan selalu berarti menyerah.

Kadang, itu adalah bentuk terdalam dari kasih.

Ketika kamu memilih untuk tidak lagi memaksa seseorang bertahan, agar keduanya bisa kembali bernapas.

Aku tahu, hatiku pernah memberi terlalu banyak.

Tapi tak apa.

Karena dari situ aku belajar, bahwa cinta yang paling indah bukan yang membuatmu kehilangan dirimu sendiri…melainkan yang menuntunmu kembali pulang—kepada siapa kamu sebenarnya.

Dan malam-malam ini, ketika dunia sudah sunyi,aku sering duduk sendiri di balik meja kecilku,menatap kertas kosong, lalu menulis apa saja yang ingin ditulis…bukan karena sedang menunggu balasan,tapi karena aku ingin mengenali diriku lebih dalam lagi.

Ternyata, perpisahan pun bisa menjadi guru.

Ia mengajariku tentang sabar yang tidak keras,tentang ikhlas yang tidak pahit,tentang rindu yang tidak memaksa untuk dibalas.

Dan aku percaya…apa yang telah kulepaskan dengan tulus,tidak akan pernah benar-benar hilang dari semesta.

Ia akan kembali dalam bentuk yang lain—dalam bentuk yang telah disembuhkan, diperbaiki, dan dimurnikan.

Sampai hari itu tiba, aku akan terus menumbuhkan cintaku…bukan untuk siapa pun, tapi untuk hidup yang telah kupilih jalani dengan utuh dan penuh syukur.

Kini aku tahu, tidak semua kehilangan harus diratapi selamanya. Beberapa justru membawaku pada temu yang lebih bermakna—temu dengan diriku sendiri.

Dan itu… tak ternilai harganya.

Aku tak lagi ingin dicintai karena versi sempurnaku.

Aku ingin dicintai bahkan ketika aku sedang rapuh, sedang diam, sedang tidak mengerti apa-apa.

Karena cinta yang sejati tidak menuntutku untuk selalu kuat,tapi bersedia berjalan bersamaku dalam setiap luka, dalam setiap pulih yang lambat.

Hari demi hari, aku membangun kembali rumah di dalam diriku.

Rumah yang dulu pernah runtuh karena berharap seseorang akan tinggal.

Kini, aku yang tinggal di sana.

Dengan damai. Dengan sederhana. Dengan penuh kasih.

Aku menyirami jiwaku sendiri.

Dengan membaca firman, dengan menulis, dengan diam, dengan mendengar.

Karena aku ingin tumbuh, bukan untuk menjadi yang paling indah,tapi menjadi yang paling utuh.

Dan jika nanti aku kembali mencintai,aku ingin melakukannya dengan sadar—bukan karena takut sepi, tapi karena aku telah kenyang oleh kasih yang tak lagi memaksa.

Cinta yang kurindukan kini bukan lagi yang membakar,tapi yang menghangatkan.

Yang tidak membingungkan, tapi menenangkan.

Yang hadir bukan untuk mengisi kekosongan,melainkan berbagi kelimpahan.

Aku mulai melihat bahwa setiap langkah yang kuambil, meskipun perlahan, adalah langkah menuju kedamaian yang sejati.

Aku tidak lagi terburu-buru, karena aku tahu bahwa waktu akan mengajariku untuk melepaskan segala yang berat,dan membiarkanku menerima segala yang datang dengan tangan terbuka.

Cinta yang sejati tidak datang dalam bentuk yang memaksaku untuk terus mengalahkan diri sendiri,melainkan dalam bentuk yang mengajarkan aku untuk menerima kelemahan dengan lembut.

Aku belajar bahwa menerima diriku yang rapuh adalah bagian dari proses menjadi lebih kuat.

Aku tak lagi merasa malu dengan ketidaksempurnaanku, karena aku tahu, di sanalah Tuhan bekerja—dalam kesederhanaan, dalam ketulusan hati yang tak tergerus waktu.

Hari-hari ini, aku mulai belajar menikmati setiap detik yang ada.

Aku tidak lagi mencari kebahagiaan dari luar,karena aku tahu, kebahagiaan yang sejati datang dari dalam.

Aku berusaha untuk memberi ruang bagi diriku, untuk merasa, untuk beristirahat, untuk tumbuh.

Aku belajar untuk tidak menyalahkan diriku atas apa yang telah terjadi,melainkan menerima semuanya dengan hati yang lapang, dengan kasih yang penuh.

Aku tak lagi mengharapkan sesuatu yang besar atau spektakuler.

Cinta bukanlah tentang momen-momen yang menggebu,melainkan tentang hadirnya dalam keseharian yang sederhana,tentang memberikan perhatian tanpa syarat, tentang berbagi kebahagiaan meski dalam hal-hal kecil.

Aku berdoa agar aku bisa terus berjalan dengan damai,meski perjalanan itu tidak selalu mudah.

Aku percaya, Tuhan yang memulihkan segalanya,dan kasih-Nya tidak pernah berhenti memberikan kekuatan dan harapan.

Jika suatu hari, cinta itu datang lagi,biarlah itu menjadi cinta yang penuh dengan pengertian,yang tidak datang untuk menghancurkan, tapi untuk membangun bersama.

Cinta yang menghargai setiap luka yang telah sembuh,dan menerima setiap bagian diriku yang telah dipulihkan oleh waktu dan kasih Tuhan.

Untuk sekarang, aku memilih untuk mencintai diriku sendiri.

Aku memilih untuk hidup dalam kedamaian,untuk menyirami jiwa ini dengan kasih, dengan pengampunan,dan dengan penerimaan yang tulus—terhadap diriku dan masa laluku.

Karena aku tahu, cinta yang sejati dimulai dari dalam,dan aku sudah cukup untuk diriku sendiri,dengan segala yang telah kuberikan dan terima dari perjalanan ini.

Tuhan tahu waktu yang terbaik, dan aku tidak ingin memaksa waktu-Nya.

Aku mulai belajar bahwa segala sesuatu memiliki waktunya sendiri. Tidak ada yang lebih tepat daripada waktu yang telah Tuhan tentukan. Setiap langkah yang kulalui, meskipun terkadang terasa berat, adalah bagian dari rencana-Nya yang sempurna. Dalam setiap detik, aku menyadari bahwa hidup ini bukan untuk dipaksakan, melainkan untuk dijalani dengan penuh keyakinan.

Aku tidak lagi terburu-buru mengejar apa yang belum datang. Karena aku tahu, Tuhan selalu memberikan yang terbaik pada waktunya. Aku berhenti menginginkan segalanya dengan cepat, sebab kini aku mengerti bahwa setiap proses adalah pelajaran berharga yang membentukku menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih utuh. Aku tidak lagi berusaha memaksakan diri untuk menerima sesuatu yang belum siap datang. Tuhan telah mengajarkanku untuk menunggu dengan sabar, untuk membiarkan kedamaian mengalir, bukan karena aku memaksanya, tetapi karena aku percaya pada waktu-Nya yang penuh kasih.

Dalam penantian ini, aku merasakan kedewasaan yang tumbuh. Aku belajar untuk lebih memahami diriku sendiri, untuk mengenali apa yang benar-benar aku butuhkan, bukan hanya apa yang aku inginkan. Setiap hari yang berlalu menguatkanku, dan aku semakin yakin bahwa Tuhan sedang mempersiapkan segala sesuatu yang terbaik untukku, pada waktu yang tepat.

Jika cinta itu datang lagi, aku ingin menyambutnya dengan penuh pengertian. Dengan hati yang tidak terburu-buru, tanpa dipenuhi keinginan yang memaksa. Aku ingin menyambutnya dengan kesiapan yang lahir dari kedamaian dalam diri, dengan penuh rasa syukur. Karena cinta yang sejati tidak datang untuk memaksakan, tetapi untuk hadir dalam kesederhanaan, untuk saling melengkapi, bukan mengisi kekosongan.

Namun, untuk saat ini, aku memilih untuk menikmati proses hidupku. Aku memilih untuk terus bertumbuh dalam kedamaian, dalam kasih yang tulus, dan dalam pengampunan yang tidak hanya diberikan kepada orang lain, tetapi juga kepada diriku sendiri. Aku belajar untuk lebih memelihara hati ini, untuk menyiraminya dengan kebaikan dan ketulusan.

Aku percaya bahwa Tuhan akan memberi cinta yang tepat pada waktu yang tepat—cinta yang akan melengkapi, bukan mengisi kekosongan; yang akan membawa kedamaian, bukan kegelisahan. Dan dalam perjalanan ini, aku belajar untuk mencintai Tuhan terlebih dahulu, bersembunyi dalam kasih-Nya. Karena hanya dengan mencintai-Nya terlebih dahulu, aku bisa mencintai orang lain dengan cara yang lebih indah. Kasih Tuhan adalah tempat teraman untuk menaruh sesuatu yang rapuh seperti hati dan jiwa, yang butuh untuk disembuhkan, untuk dipulihkan. 

Dengan semangat yang mengalir dalam setiap hela napasku, aku melangkah maju, menyadari bahwa setiap detik yang berlalu adalah karunia yang tak ternilai. Dunia ini mungkin penuh dengan teka-teki, penuh dengan jalan berliku yang kadang membingungkan, namun aku kini tahu bahwa setiap belokan itu bukanlah suatu kebetulan. Semua memiliki makna yang dalam, yang akan aku pahami seiring berjalannya waktu.

Aku semakin percaya bahwa kehidupan bukanlah tentang mencapai kesempurnaan, tetapi tentang menjalani setiap proses dengan penuh kesabaran, dengan penuh rasa syukur. Setiap luka, setiap air mata, dan setiap tawa yang telah aku alami—semuanya membentuk diriku menjadi pribadi yang lebih bijaksana, lebih teguh, dan lebih siap untuk menyambut segala yang akan datang. Aku tidak lagi mengejar kebahagiaan di luar diriku, karena aku sadar, kebahagiaan sejati ada dalam kedamaian batin yang hanya dapat ditemukan melalui perjalanan menuju pemahaman diri yang lebih dalam.

Kehidupan adalah sebuah kisah yang terus ditulis. Tinta yang digunakan adalah pengalaman, kata-kata adalah doa, dan setiap halaman adalah perjalanan menuju pemenuhan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di halaman-halaman berikutnya, namun aku yakin bahwa setiap cerita yang terukir akan membawa aku pada suatu titik pencerahan—pada suatu waktu di mana aku akan melihat kembali semua yang telah terjadi dan tersenyum, karena aku tahu itu adalah bagian dari rencana-Nya yang lebih besar.

Aku tahu, ada banyak hal yang belum aku pahami sepenuhnya, tetapi dengan setiap langkah yang kuambil, aku semakin dekat dengan kebijaksanaan yang Tuhan ingin ajarkan padaku. Ada kekuatan dalam menyerahkan segala hal kepada-Nya—dalam melepaskan kendali, dan membiarkan-Nya memimpin langkahku dengan kasih-Nya yang tak terbatas.

Cinta yang sejati akan datang, jika Tuhan menghendaki. Aku tak perlu lagi mencari-cari atau memaksakan, karena aku percaya bahwa cinta itu akan hadir dengan cara-Nya yang penuh misteri, penuh keajaiban, dan penuh keindahan. Dan aku siap menyambutnya, dengan hati yang telah lebih luas, dengan jiwa yang lebih tenang, dan dengan rasa syukur yang tak pernah habis.

Dan ketika cinta itu datang, aku akan tahu, bahwa itu bukanlah tentang kebetulan. Itu adalah buah dari perjalanan panjang yang telah aku jalani dengan penuh pengharapan, dengan penuh kasih, dan dengan kepercayaan yang mendalam bahwa Tuhan selalu tahu waktu yang terbaik. Aku akan menerima cinta itu dengan hati yang lapang, dengan pengertian yang matang, dan dengan semangat yang tak pernah padam untuk terus tumbuh bersama.

Aku tidak tahu bagaimana hidupku akan berkembang, tetapi aku tahu satu hal—aku akan terus berjalan, terus bertumbuh, terus mencintai, dan terus mempercayai bahwa setiap hari adalah kesempatan baru untuk menjadi versi terbaik dari diriku. Dan dalam setiap langkah, aku akan merasakan kehadiran Tuhan yang tak pernah meninggalkan, yang selalu membimbing, yang selalu memberi kekuatan.

Karena hidup ini indah, meskipun tidak sempurna. Karena cinta yang sejati, tidak datang dengan terburu-buru, tapi dengan kesabaran. Dan aku siap, untuk menerima segala yang Tuhan siapkan, dengan hati yang penuh pengharapan dan semangat yang tidak akan pernah pudar.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin