Langit malam tampak tenang, seperti hatiku malam ini. Ada sesuatu yang ingin kutulis—bukan demi dikenang, tapi untuk direnungkan dan diresapi. Tentang hari ini, yang terasa begitu hangat dan utuh.
Pagi tadi, aku memulai hariku dengan sesi pemuridan bersama adik-adik rohani. Mereka datang dengan kisah yang berbeda-beda, namun memiliki benang merah yang sama: kejujuran yang polos dan hati yang rindu bertumbuh. Bagiku, pemuridan bukan sekadar rutinitas rohani. Ia adalah ruang napas—tempat kita belajar mengulurkan tangan dan membuka hati, berbagi luka tanpa takut dihakimi, dan menumbuhkan iman dalam tanah yang kadang terasa gersang.
Ada tawa yang tulus, ada air mata yang jatuh pelan. Kadang aku tak punya jawaban atas pertanyaan mereka yang dalam. Tapi hari ini aku belajar lagi, bahwa kadang menjadi telinga yang hadir jauh lebih penting daripada menjadi mulut yang menjawab.
Aku memandangi mereka satu per satu, dan hatiku berdoa: teruslah bertumbuh, adik adikku terkasih. Meski menyakitkan. Meski perlahan. Sebab Kristus ada di setiap langkahmu—dan itu cukup.
Lalu, ada kejutan manis lain. Sebuah pertemuan yang mungkin terlihat sederhana, tapi memiliki makna dalam: aku dan teman-teman perempuan yang dulu sempat terpisah, akhirnya duduk dalam lingkaran yang sama. Lingkaran yang dulu pernah retak oleh salah paham, sunyi, dan luka.
Kami pernah menjadi bahan cerita. Pernah disebut RAPUH, dan… SAMPAH. Ya, kata itu pernah dilontarkan kepada kami—kata yang begitu menusuk hingga membuat kami memilih untuk diam. Bukan karena kalah, tapi karena lelah menjelaskan sesuatu yang tidak ingin dipahami.
Jadi kami menjauh. Tapi bukan untuk saling membenci. Kami berlari ke tempat yang paling aman: pelukan Tuhan. Di menara doa, kami menangis bersama, berdoa dalam keheningan, dan menemukan kekuatan untuk tetap mengasihi tanpa pamrih.
Dan hari ini, kami berkumpul lagi. Bukan karena semuanya sudah sempurna. Tapi karena kami memilih untuk saling memeluk dengan hati yang sudah lebih dewasa. Kami saling menyeka luka yang dulu sempat kami tutupi. Kami kembali tertawa, bukan karena semuanya sudah baik-baik saja, tapi karena kasih telah tumbuh melebihi luka.
“Sudah selesai.”
Tak semua orang harus mengerti itu. Dan tak apa. Kami tahu apa yang telah kami lewati. Kami tahu seberapa dalam luka itu, dan seberapa jauh kami menyerahkan semuanya pada Tuhan.
Hari ini bukan perayaan kemenangan besar. Ini adalah perayaan pemulihan. Sebuah perayaan sunyi, yang dipenuhi air mata dan syukur. Perayaan keberanian untuk mencintai kembali, untuk memercayai kembali, untuk melanjutkan hidup dengan hati yang pulih.
Semoga kami tetap seperti ini—saling menguatkan dalam senyap, menjadi bahu yang bisa disandari, dan menjadi wujud kecil dari pelukan Tuhan di tengah dunia yang sering kali terburu-buru menilai.
Komentar
Posting Komentar