Senandika di Tengah Musim Pembentukan

Hari ini aku belajar: merelakan bukan berarti kehilangan, tapi melepaskan genggaman agar tangan ini bisa meraih yang lebih layak ditatap dalam damai. Ada bisikan halus di dalam jiwa yang berkata, “fokuslah dulu pada ladang yang kini Tuhan percayakan.”

Sebab proses belajar itu tak pernah berjalan di jalan yang ditaburi kelopak mawar. Ia lebih sering hadir sebagai jalan setapak berkerikil tajam, yang menorehkan luka dan air mata, namun menuntun langkah menuju bukit pengertian.

Untuk sekarang, biarlah hati tidak tercampur oleh gejolak yang belum saatnya. Seperti matahari yang tak bisa dipaksa terbit di tengah malam, demikian pula cinta—ia akan datang pada waktu yang telah dipilih oleh Sang Penentu Waktu.

Jika saat ini belum dinyatakan, mungkin karena bejana jiwaku masih dalam proses dibentuk. Jika dipaksakan, hanya akan tumpah—berantakan oleh ketidaksiapan. Tuhan sedang memahat—supaya kelak ketika dua jiwa bertemu, keduanya hadir sebagai cermin yang utuh, bukan serpihan yang saling melukai.

Aku telah menitipkan hatiku jauh ke dalam kedalaman hati-Nya Tuhan, seperti permata yang tersembunyi di genggaman Bapa. Bukan karena aku putus asa, tapi karena aku tak sanggup menanggung satu patah lagi. Biarlah yang kemarin menjadi episode terakhir dari luka bernama kehilangan. Aku ingin istirahat dari kisah yang terlalu sering retak sebelum sempat mekar.

Berdiam di dalam hadirat-Nya adalah perlindungan terbaik. Fokus membangun hidup, meski jalannya kadang sepi, mendaki, dan tak berujung pandang. Tapi aku tahu—selama fondasinya Tuhan, rumah ini akan berdiri, meski diterpa badai.

Kelak, jika hidup telah sampai di musim yang matang, Tuhan sendiri yang akan mempertemukan dua bejana yang sudah utuh. Bukan sekadar saling menemukan, tapi saling memberi. Bukan saling menuntut, tapi saling mencurahkan kasih yang berasal dari sumber kasih itu sendiri—Tuhan Yesus.

Sebab fondasi itu tetap satu: Tuhan yang kekal. Jika Dia yang jadi dasar, maka tak ada kekecewaan yang tak bisa dipulihkan. Tak ada kehilangan yang tak bisa diganti. Karena dari semula, rencana-Nya adalah rancangan damai sejahtera—bukan kehancuran.

Kita hanya perlu kembali ke desain awal dari Sang Perancang.

Maka hari ini, aku memilih berjalan dengan tenang. Menjalani masa kini dengan sepenuh hati, tidak mengikat diri pada bayang masa lalu yang sudah pamit.

Aku teringat, saat aku, mamakkuu, dan adikku berdoa bersama di senja yang sunyi. Suara adikku menggema lembut di  doa:

"Tuhan, aku percaya Engkau sudah siapkan masa depan dan jodoh yang terbaik untuk kakakku. Tapi jangan kasih tahu dulu siapa orangnya, supaya kakakku bisa fokus membangun hidupnya dulu. Simpan untuk waktu yang terbaik ya, Tuhan…”

Aku terdiam—dan dunia ikut diam bersamaku.

Kadang, kebijaksanaan tak datang dari usia, tapi dari hati yang diajar langsung oleh Surga.

----

Malam itu, setelah doa mengalir seperti sungai kecil yang tenang, aku duduk di dekat jendela. Langit seperti selembar surat cinta yang belum selesai ditulis Tuhan. Bintang-bintang tak menjawab, tapi keheningan mereka menguatkan.

Angin masuk pelan, menyapu rambutku seperti tangan lembut Bapa yang sedang menenangkan anak-Nya. Dalam sunyi, aku tahu: hidup ini bukan tentang siapa yang datang duluan, tapi tentang siapa yang bertahan ketika badai datang.

Kadang aku membayangkan, jika kelak aku bertemu dia—sosok yang Tuhan siapkan dalam diam—aku ingin menyambutnya bukan dengan tangan yang gemetar karena takut disakiti, tapi dengan hati yang telah pulih, siap mengasihi tanpa luka lama yang masih menganga.

Aku ingin mencintai dengan tenang. Bukan cinta yang gaduh dan penuh cemburu, tapi cinta yang seperti pohon besar—berakar dalam, tumbuh perlahan, menaungi, tapi tak pernah mengikat.

Sebab cinta sejati tidak mengekang, tapi melepaskan sayap.

Tidak menuntut, tapi menghidupi.

Dan hanya Tuhan yang bisa mengajarkanku cinta yang seperti itu.

Jadi, hari-hari ini, aku seperti gadis yang sedang merajut masa depan dengan benang-benang kesetiaan. Kadang tersangkut, kadang benangnya kusut. Tapi aku terus merajut. Pelan-pelan. Karena aku percaya, setiap tusukan jarum itu sedang membentuk pola keindahan yang belum bisa kulihat sekarang.

Aku tahu… Tuhan sedang menulis kisahku. Dan aku ingin tetap berada dalam alur-Nya, meski terkadang aku ingin membalik halaman terlalu cepat.

Jika hari itu tiba, di mana dua langkah saling bertemu dalam satu irama, aku ingin bisa berkata pada Tuhan:

"Terima kasih sudah mengajarkanku sabar. Terima kasih sudah menyelamatkan hatiku dari cinta yang terlalu cepat. Dan terima kasih… karena aku belajar mencintai-Mu terlebih dahulu, sebelum mencintainya."

Untuk sekarang, biarlah aku tetap berjalan.

Dengan langkah yang kadang gontai, tapi percaya.

Dengan hati yang belum sepenuhnya sembuh, tapi sedang dipulihkan.

Karena aku tahu… jalan pulang selalu ada di dalam hati-Nya.

Dan rumah yang sejati bukan sekadar tempat, tapi hati yang menemukan damainya di dalam kasih Tuhan.

----

Pagi harinya, matahari terbit tanpa tergesa, seolah tahu bahwa segala yang indah tak pernah perlu terburu-buru. Cahaya lembutnya menyusup masuk lewat celah tirai, membasuh luka-luka semalam dengan warna emas yang hangat.

Aku menyeduh teh, lalu duduk diam menatap uapnya menari perlahan. Seperti harapan—tak terlihat wujudnya, tapi terasa hangatnya. Dalam hening pagi itu, aku tahu: proses ini masih panjang, tapi aku tak sendiri. Ada kasih yang tak pernah tertidur, yang menjagaku bahkan saat aku tidak tahu bagaimana menjaga diriku sendiri.

Aku belajar bahwa mencintai diri sendiri bukan egois, melainkan tanggung jawab.

Bahwa berjalan sendiri bukan berarti sepi, tapi sedang diajar untuk mandiri dalam pelukan kasih Tuhan.

Dan bahwa menanti bukan berarti diam, tapi bersiap—mengasah hati, membenahi laku, menguatkan akar iman.

Ada kalimat yang terus bergema di hatiku:

"Biarkan hatimu tumbuh dalam tanah yang subur, bukan dalam tangan yang belum siap menggenggamnya."

Dan aku percaya, tangan Tuhan selalu siap. Ia tak pernah ragu menggenggam, tak pernah lelah menanti hati yang kembali pulang.

Lalu jika nanti Dia mengetuk pintu hatiku melalui seseorang—dalam cara yang tak terduga, dalam waktu yang tak kutebak—aku ingin menjawabnya bukan dengan panik, bukan dengan ragu, tetapi dengan damai. Karena aku tahu, perjumpaan itu bukan tentang ‘akhir cerita’, tapi awal dari dua perjalanan yang telah ditempa, dibentuk, dan dipulihkan oleh kasih yang sama.

Dan bila saat itu tiba, aku akan mencintai seperti matahari: hangat, tenang, tak berisik, dan tak pernah memaksa bunga untuk mekar sebelum waktunya. Aku ingin mencintai seperti hujan: memberi, membasuh, lalu tenang kembali ke langit.

Untuk saat ini… biarlah aku terus berjalan, mencatat hari-hari dalam jurnal langit, dan menyematkan doa-doa kecil di antara hela napas.

Karena aku tahu…

Cinta yang disiapkan Tuhan bukan sekadar tentang bahagia, tapi tentang menggenapi tujuan-Nya.

Dan aku ingin menjadi seseorang yang juga disiapkan—bukan sekadar ditemukan.

---

Hari-hari berlalu seperti musim yang berganti tanpa diminta. Kadang langit biru memberi harapan, kadang awan kelabu mengingatkan bahwa hujan juga bagian dari pertumbuhan. Tapi aku belajar memeluk semua musim dengan hati yang lapang, karena setiap musim membawa pesan-Nya.

Ada malam-malam di mana aku menangis bukan karena lemah, tapi karena akhirnya aku bisa jujur pada diriku sendiri. Bahwa aku pun butuh dipeluk, didengar, dimengerti. Tapi aku sadar, pelukan pertama yang harus kuterima adalah dari diriku sendiri.

Dan di tengah sunyi yang kupilih, aku mulai menyadari:

Kesendirian yang kudekap bukan hukuman, melainkan ruang suci tempat Tuhan menulis ulang kisahku.

Aku pernah mencoba menyusun masa depan seperti menyusun puzzle dengan gambar yang belum lengkap. Tergesa. Tak sabar. Tapi kini, aku ingin menyerahkan potongan-potongan itu kembali ke tangan-Nya, Sang Perancang Hidup, yang tak pernah keliru dalam menata.

Ada waktu untuk segala sesuatu. Dan mungkin sekarang adalah waktu untuk membangun.

Membangun karakter. Membangun iman. Membangun kehidupan yang kokoh di atas fondasi yang tak tergoyahkan.

Karena jika cinta datang tapi fondasinya retak, maka indah pun bisa runtuh dalam sekejap.

Aku ingin menjadi rumah bagi seseorang, bukan reruntuhan kenangan.

Tempat yang bisa ia datangi bukan hanya saat tertawa, tapi juga ketika dunia tak lagi ramah.

Dan agar aku bisa menjadi rumah seperti itu, aku harus terlebih dulu menjadi rumah bagi diriku sendiri.

Hari ini, aku kembali menyelipkan satu doa kecil di antara detak waktu:

“Ajari aku mencintai bukan karena aku butuh, tapi karena aku siap memberi.”

Karena cinta sejati bukan tentang memenuhi kekosongan, tapi tentang meluapkan kelimpahan.

Dan ketika Tuhan menilai bahwa kelimpahan itu telah cukup…

Ia akan mengikatkan dua hati, bukan dengan tali yang mengekang, tapi dengan ikatan kasih yang tak terlihat, namun tak tergantikan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin