Terkadang aku duduk diam dan bertanya dalam hati—kenapa ia pergi hanya karena satu pertanyaan sederhana yang kulontarkan? Bukankah sebuah pertanyaan ada untuk dijawab, bukan untuk dijadikan alasan menghilang?
Namun yang datang bukanlah jawaban, melainkan amarah yang diam-diam membeku. Bukan penjelasan yang kuterima, melainkan hukuman, seolah aku telah melakukan kesalahan besar yang harus kutebus dengan air mata.
Mungkin, kita semua adalah kelanjutan dari luka-luka masa lalu. Ada yang berhasil menyembuhkannya, tapi ada pula yang malah mewariskannya. Mungkin yang kuterima bukan sekadar sikapmu, tapi luka yang masih basah dan menganga dari masa lalumu.
Dan itu menyakitkan. Duniaku seketika remuk. Hatiku hancur bukan hanya patah—tapi sudah menjadi bubur perasaan yang tak lagi berbentuk. Aku pernah menangis di hadapan Tuhan, hingga suara ini hilang… mengadu kepada Bapa karena aku tak sanggup menanggung rasa ini. Terlalu perih.
Namun di tengah rasa yang mendesak seperti gelombang pasang itu, aku menemukan satu tekad: aku tak ingin meneruskan luka ini ke siapa pun. Jika ini adalah luka yang dititipkan kepadaku dalam hidup, biarlah aku yang menamatkannya. Biar berhenti di sini.
Aku tahu, prosesnya tidak mudah. Pahit. Sesak. Perih. Tapi aku berlari menuju Tuhan, dan di situlah obatnya. Jujur pada Bapa. Tak ada yang perlu disembunyikan. Di sanalah luka mulai dibalut, diberi obat merah, diperban kasih-Nya, dan Ia memberikan kekuatan untuk tetap bertahan… bahkan sukacita yang menetes lembut di tengah proses yang sesak.
Tak ada yang bisa menggantikan-Nya. Untuk saat ini, aku hanya ingin fokus menjalani hidupku sendiri. Fokus pada pertumbuhan pribadi—self development dan improvement. Membuat hidup menjadi lebih hidup. Mengejar kehendak-Nya, mencari wajah-Nya lebih dari segala hal, bahkan lebih dari kerinduan hatiku sendiri.
Karena bukankah kita adalah rancangan-Nya? Ia adalah Sang Pembentuk, Pembela, dan Penerobos kehidupan. Dan mungkin… saat ini memang belum waktunya berjalan bersama siapa pun. Mungkin fondasinya belum ada. Pilar-pilarnya belum berdiri. Dan jika dipaksakan, mungkin hanya akan mengulangi lingkar luka yang sama. Ujungnya? Sudah bisa kutebak: patah hati yang berujung pilu.
Masa iya hidup cuma berisi siklus penyembuhan hati yang retak terus-menerus? Bukankah harusnya kita bisa hidup untuk hal-hal yang lebih berarti? Bukan tenggelam dalam lautan perasaan yang tak bertepi, yang dingin seperti palung laut yang sunyi, tempat di mana tak ada kehidupan.
Sudah saatnya berhenti mengulangi siklus itu. Jika ingin hasil yang berbeda, maka siklusnya harus dipatahkan. Meski menyakitkan, mungkin itu adalah cara Tuhan menumbuhkan tunas baru. Menjadikan hati ini lebih kuat. Lebih dewasa.
Karena teman hidup itu bukan sekadar keinginan. Ia adalah rancangan Tuhan. Maka jalan terbaik adalah bertanya pada-Nya dan menanti dalam keheningan yang penuh pengharapan. Sebab teman hidup bukanlah untuk memperbaiki kita, melainkan untuk berjalan bersama dalam versi terbaik masing-masing. Menjadi dua kaki yang kokoh, menopang satu sama lain, agar bisa menggenapi rencana-Nya yang lebih besar.
Mungkin… memang belum saatnya. Dan itu tidak apa-apa. Aku sedang belajar menemukan kebahagiaan dalam fondasi yang paling kokoh: Tuhan Yesus. Karena untuk menjalani hidup yang penuh plot twist ini, aku butuh dasar yang kuat—agar tidak mudah menyerah hanya karena luka dan sepi.
Aku percaya, pemberian dari Tuhan selalu hadir dengan damai sejahtera. Bukan dengan tangisan, sesak, atau rasa sakit yang menghancurkan.
Dan tentang kamu… Aku tidak membencimu. Aku bahkan takut berdoa agar kamu menjadi takdirku. Karena aku merasa terlalu kecil untuk seseorang seperti kamu. Dalam doaku, aku justru minta agar kamu bisa bersama seseorang yang telah lama kamu cintai, mungkin bahkan sejak kecil.
Aku ingin kamu benar-benar bahagia. Saat cinta yang kamu rindukan akhirnya hadir dan disambut, aku akan menjadi orang yang paling bersukacita—meski mungkin sambil menitikkan air mata. Jika itu membuatmu benar-benar hidup, maka aku akan bersorak dalam diam.
Sebab aku tidak ingin menjadi orang egois. Aku tidak ingin bersama seseorang yang ternyata tidak merasa bahagia denganku. Karena apa pun yang kulakukan terasa seperti kesalahan di matamu. Kesalahan yang layak dihukum.
Kadang, hukumannya terlalu berat. Diam yang mencekik. Sunyi yang menyayat. Aku tidak kuat, sungguh. Aku pun sering bertanya dalam hati, jika yang melakukan kesalahan itu adalah perempuan yang kamu cintai, apakah sikapmu akan tetap sama? Atau justru kamu akan membujuknya, memeluknya, dan tidak meninggalkannya?
Mungkin itu pertanda bahwa cintamu memang tidak pernah ada untukku.
Mungkin semua kisah yang kutulis selama ini—tentang cinta, harapan, dan kebahagiaan—hanyalah milikku sendiri. Harapan yang tidak pernah bersambut. Harapan yang sepi.
Pahit, ya. Tapi dari sinilah aku belajar. Aku tidak marah. Aku tidak membenci. Tapi aku terluka… sangat dalam.
Kamu bahkan tak memberi setetes pun obat merah. Atau mungkin kamu tak tahu bahwa aku terluka? Bahwa aku sedang berdarah di dalam diam? Angin waktu mengeringkan lukaku, tapi rasa perihnya seakan abadi dalam ingatanku.
"Aku tidak ingin menyakitimu…" katamu dulu, berkali-kali.
Tapi saat aku ingin berkata, “Aku sangat terluka…”, aku tahu… mungkin kamu akan kembali membanting pintu itu. Memberi hukuman lagi.
Tapi aku masih di sini. Perlahan menyusun kepingan puzzle kehidupanku. Perlahan sembuh. Dan luka ini… perlahan mengering bersama sang waktu.
Terkadang aku masih memejamkan mata di malam yang sunyi, lalu membayangkan andai semua tak terjadi. Andai satu pertanyaan itu tak pernah terucap. Tapi aku segera tersadar, bahwa hidup bukan tentang "andai". Hidup adalah tentang keberanian untuk terus melangkah, meski hati tertatih.
Aku belajar untuk tidak membenci hari-hari yang pernah kulalui bersamamu. Karena di dalamnya ada aku yang benar-benar mencintai, yang berdoa dengan tulus, yang berharap dengan sepenuh iman. Aku ingin mengenangnya bukan sebagai luka, tapi sebagai bagian dari proses pendewasaan. Karena hatiku layak diberi ruang untuk tumbuh, bukan untuk dikurung dalam kenangan yang tak berpulang.
Jika kelak kita bertemu lagi—entah sebagai dua orang asing yang hanya saling melempar senyum sopan, atau sebagai dua jiwa yang pernah saling menyentuh tanpa pernah benar-benar digenggam—aku ingin hatiku tenang. Aku ingin melihatmu tanpa sesak. Tanpa getir. Tanpa luka yang berteriak dari balik dada. Hanya aku, yang telah pulih, dan kamu, yang semoga telah bahagia.
Aku sedang belajar… bahwa tidak semua cinta harus memiliki wujud bersama. Tidak semua rasa harus diperjuangkan sampai hancur. Kadang, cinta adalah melepaskan dengan hormat, agar keduanya tak kehilangan diri sendiri dalam jerat yang semu.
Malam ini aku menulis lagi, bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri. Untuk merayakan langkah kecil menuju penyembuhan. Untuk menyambut pagi dengan dada yang sedikit lebih lapang. Dan untuk memeluk diriku yang dulu pernah sangat mencintaimu—dengan polos, dengan penuh harap, dengan air mata yang tak sempat kau lihat.
Mungkin luka ini takkan pernah hilang sepenuhnya. Tapi tak apa. Aku tidak ingin menghapus semuanya. Aku hanya ingin menjadikannya pengingat: bahwa aku pernah berani mencinta, dan kini aku berani bangkit.
Karena aku percaya, akan tiba masanya di mana aku tak lagi menulis tentang luka, tapi tentang kemenangan. Tentang seseorang yang datang membawa damai. Tentang cinta yang tidak menyakitkan, tidak menggantung, tidak membuatku merasa seperti masalah.
Cinta yang sederhana, tapi nyata. Yang tidak membuatku harus bertanya, “Apakah aku cukup?”—karena jawabannya akan tampak dari tatapan matanya, dari ketulusan sikapnya, dari doa yang diam-diam ia panjatkan untukku.
Dan saat cinta itu tiba, aku akan tahu… bahwa semua luka ini layak dilalui. Semua air mata ini bukan sia-sia. Sebab Tuhan tidak pernah tidur. Ia melihat. Ia peduli. Dan Ia sedang menulis kisahku—dengan tinta kasih yang tidak pernah habis.
Untuk saat ini, biarlah aku berjalan perlahan. Membangun hidupku bukan di atas bayanganmu, tapi di atas rancangan Tuhan. Aku percaya… waktunya akan datang.
Dan saat itu tiba, aku akan menatap ke belakang—bukan dengan sedih, tapi dengan senyum kecil di sudut bibirku. Karena aku berhasil melewati musim ini… dan tak membiarkan luka ini hidup lebih lama dari yang seharusnya.
Karena ya… luka ini ingin berhenti di sini.
Dan ketika luka ini berhenti di sini, aku ingin jiwaku menjadi tanah yang subur bagi kasih yang baru. Bukan kasih yang datang terburu-buru untuk menambal kekosongan, tapi kasih yang hadir karena kedewasaan… karena kesiapan. Kasih yang tumbuh dari akar yang dalam, bukan hanya dari bunga yang indah di permukaan.
Aku ingin mencintai lagi, tapi tidak dengan sisa-sisa hatiku. Aku ingin mencintai dengan hati yang utuh, yang telah belajar membedakan antara cinta sejati dan keterikatan yang menyakitkan. Aku ingin mencintai dengan tenang, tanpa harus terus-menerus membuktikan bahwa aku layak untuk dipertahankan.
Dan aku tahu, untuk sampai ke sana, aku harus melewati padang sunyi ini terlebih dahulu. Menangis semalam suntuk, berbicara pada langit, menuliskan berlembar-lembar surat yang tak akan pernah kukirimkan. Aku harus merangkul sendiri perihnya, sebelum tangan yang lain bisa menggenggamku dalam kehangatan.
Hari demi hari, aku belajar mencintai diriku sendiri. Memaafkan apa yang tak pernah dijelaskan. Melepaskan apa yang tak pernah dimiliki. Mengikhlaskan apa yang terlalu lama kupertahankan. Karena ada jenis cinta yang tak seharusnya terus dipaksakan—sekalipun dulu aku pernah meyakini bahwa kaulah jawabannya.
Jika nanti seseorang datang, aku ingin dia menemukan aku yang telah sembuh, bukan aku yang masih berharap seseorang kembali. Aku ingin dia mencintai seorang perempuan yang telah berdamai dengan masa lalunya. Perempuan yang telah mengubah luka menjadi pelajaran, dan tangis menjadi kekuatan.
Dan bila suatu hari aku jatuh cinta lagi, aku akan tahu itu dari kedamaian yang tumbuh di antara percakapan. Dari tawa yang ringan. Dari mata yang saling memahami, tanpa banyak tanya. Aku ingin cinta yang membebaskan, bukan yang membelenggu.
Karena aku tahu sekarang, bahwa aku tidak dilahirkan untuk mengemis cinta. Aku diciptakan untuk dikasihi secara utuh, tanpa syarat. Seperti kasih Bapa yang setia dan tak pernah mengecewakan.
Maka hari ini, aku memilih untuk menutup bab ini dengan tenang. Bukan karena aku sudah lupa, tapi karena aku sudah cukup belajar. Sudah cukup menangis. Sudah cukup berharap pada yang tak pasti.
Luka ini, biarlah menjadi bagian dari arsip jiwaku—bukan untuk disesali, tapi untuk dikenang sebagai bukti bahwa aku pernah mencintai, dan pernah memilih untuk sembuh.
Dan esok hari, ketika pagi datang tanpa namamu di benakku, aku akan tahu… bahwa aku telah benar-benar bebas.
Bahwa akhirnya, luka ini telah menemukan ujungnya.
Dan ya—ia telah benar-benar berhenti di sini.
Ternyata… bukan kamu yang harus kembali. Tapi aku, yang harus kembali kepada diriku sendiri.
Kepada perempuan yang pernah hampir hilang saat terlalu sibuk mencintaimu. Kepada jiwa yang dulu begitu mudah gemetar saat ditinggal tanpa kata. Kepada hatiku yang sempat lupa bahwa ia tak pernah diciptakan untuk terus-menerus menanti yang tak pasti.
Kini aku kembali. Dengan langkah yang masih perlahan, tapi lebih mantap. Dengan mata yang masih menyimpan kenangan, tapi tak lagi dipenuhi kabut. Dengan hati yang tak lagi menoleh setiap kali bayanganmu melintas.
Dan tahukah kamu… rasanya damai. Bukan karena semuanya telah sempurna, tapi karena aku tak lagi memaksakan diri memahami sesuatu yang memang tak dimaksudkan untuk kupahami.
Aku belajar, bahwa terkadang Tuhan mengizinkan hati kita retak, bukan untuk menghancurkan, tapi untuk membuka ruang baru—tempat kasih-Nya mengalir lebih dalam. Tempat terang-Nya bisa masuk lebih luas.
Aku belajar, bahwa tidak semua kehilangan adalah akhir. Kadang, kehilangan adalah pintu. Dan di baliknya, ada versi diriku yang lebih kuat… lebih bijak… lebih mampu mengasihi dengan penuh, tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Malam-malam kini terasa berbeda. Bukan karena aku tak lagi mengingatmu, tapi karena aku tak lagi membiarkan bayanganmu menentukan perasaanku. Aku menulis bukan lagi untuk mencari jawaban darimu. Tapi untuk memberi tempat bagi diriku yang dulu… agar ia bisa pulang.
Dan saat aku menyentuh lembaran terakhir dari cerita ini, aku tahu, tidak ada yang sia-sia. Bahkan air mata itu pun, ada gunanya. Ia menyirami tanah luka, hingga sekarang mulai bertunas harapan.
Bukan lagi harapan tentang kamu. Tapi tentang hari esok. Tentang seseorang yang mungkin sedang belajar mencintaiku dari kejauhan—tanpa aku tahu, tanpa aku minta. Seseorang yang nanti akan berkata, "Aku bersyukur kamu pernah terluka, karena tanpanya… aku tak akan bertemu kamu yang seindah ini."
Tuhan tahu waktunya. Tuhan tahu jalannya. Dan aku… aku memilih percaya.
Jadi malam ini, aku menulis tentangmu. Bukan untuk memanggilmu kembali. Tapi untuk mengucapkan terima kasih. Karena tanpa sadar, lewat lukamu, aku belajar menemukan diriku sendiri.
Dan mungkin itulah arti cinta yang sesungguhnya:
yang meski tak berakhir bersama, tetap meninggalkan bekas yang membentuk, bukan menghancurkan.
Dan setelah kepergianmu tak lagi menggetarkan hatiku, aku mulai menata ulang ruang-ruang dalam diriku. Membersihkan sudut-sudut yang dulu dipenuhi harap yang tak berbalas, menyapu debu rindu yang tak pernah menemukan pelabuhan, dan membuka jendela bagi cahaya yang baru untuk masuk perlahan.
Aku belajar menyambut pagi tanpa harus menunggu pesan yang tak kunjung datang. Aku mulai tersenyum kepada dunia bukan karena sedang bahagia, tapi karena aku memilih untuk tetap hidup, meski tanpa kamu di sampingku.
Hari-hariku kini bukan tentang melupakanmu, tapi tentang membangun sesuatu yang baru—yang tak lagi bergantung pada kehadiranmu. Aku menanam impian-impian kecil, menyiraminya dengan doa-doa lirih, dan membiarkannya tumbuh dalam diam. Karena aku tahu, semua yang tumbuh dengan sabar, akan berbunga pada waktunya.
Lalu suatu hari, mungkin di hari yang biasa saja, seseorang akan datang. Bukan dengan janji manis atau gombal penuh dusta, tapi dengan tatapan yang tenang, dan kehadiran yang tidak tergesa. Ia tidak akan mengisi ruang kosong yang kamu tinggalkan. Tidak. Tapi ia akan menciptakan ruang baru—yang lebih sehat, lebih damai, dan lebih dalam.
Ia tidak akan membuatku lupa akanmu. Tapi ia akan membuatku bersyukur, karena tak lagi mencarimu.
Karena dengannya, aku bisa menjadi diriku sendiri—tanpa rasa takut ditinggalkan. Dengannya, aku bisa tertawa tanpa harus menyembunyikan luka. Dan dengannya… aku bisa berdoa bukan hanya agar ia tetap tinggal, tapi agar aku pun mampu menjadi rumah yang hangat baginya.
Aku ingin mencintai lagi, bukan karena sepi… tapi karena aku sudah siap berbagi bahagia, bukan hanya luka. Aku ingin mencintai karena hatiku telah penuh, bukan karena masih ada kekosongan yang belum terisi.
Dan bila hari itu tiba, aku akan memeluk diriku sendiri terlebih dahulu. Sebagai ucapan terima kasih… karena telah memilih sembuh, memilih bertahan, dan memilih percaya bahwa cinta yang baik tidak perlu dipaksakan. Ia akan datang… dengan caranya sendiri. Dalam waktu yang Tuhan tahu paling tepat.
Mungkin tidak hari ini. Tapi kelak.
Dan sampai saat itu datang, aku akan terus menulis. Tentang pertumbuhan. Tentang iman. Tentang perempuan yang belajar menjadi utuh. Bukan untuk menyenangkan siapa pun. Tapi untuk menjadi saksi bagi hidupku sendiri—bahwa aku pernah patah, dan memilih untuk bangkit.
Aku tahu, proses ini tidak selalu mulus. Ada hari-hari ketika aku masih menoleh ke belakang, meski hanya untuk memastikan bahwa aku benar-benar telah berjalan sejauh ini. Ada malam-malam di mana udara dingin membisikkan namamu, seolah rindu ingin kembali mengetuk pintu yang telah kututup rapat.
Tapi setiap kali aku tergoda untuk menoleh terlalu lama, aku mengingat satu hal: bahwa aku bukan lagi perempuan yang sama. Aku adalah versi yang telah melewati gelap, dan perlahan menemukan cahaya—bukan dari luar, tapi dari dalam.
Kini aku belajar untuk hidup lebih pelan. Tidak lagi berlari mengejar yang tak pasti, tapi menapaki hari demi hari dengan hati yang lebih sadar. Aku menyeduh teh bukan karena menunggu seseorang datang, tapi karena ingin merayakan momen kecil bersama diriku sendiri. Aku menulis bukan karena ada yang harus kubuktikan, tapi karena ada yang ingin kuabadikan—tentang hidup, tentang luka, dan tentang kekuatan yang tumbuh dari kedalaman yang sunyi.
Aku mulai melihat hidup bukan sebagai serangkaian kehilangan, tapi sebagai rangkaian kelahiran baru. Dari tiap patah, aku belajar mengenal diriku lebih dalam. Dari tiap perih, aku belajar bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki. Kadang, mencintai justru berarti melepaskan, dan mendoakan diam-diam dari kejauhan.
Dan mungkin… inilah bentuk cinta paling murni yang bisa kupelajari dari kepergianmu: cinta yang tidak memaksa untuk dimiliki, tapi cukup untuk membuatku bertumbuh. Cinta yang tidak tinggal, tapi tetap meninggalkan jejak pembelajaran. Cinta yang pernah kurawat dengan segenap jiwaku, hingga kini bisa kubiarkan pergi… tanpa getir lagi.
Hari-hari ke depan masih panjang. Mungkin akan ada hujan lagi, mungkin akan ada angin kencang. Tapi kini aku tahu ke mana harus berteduh: bukan pada bahu siapa-siapa, tapi pada pelukan doaku sendiri. Pada iman yang tak pernah pergi. Pada tulisan-tulisan yang tak lelah menemaniku menata langkah.
Aku akan terus berjalan—pelan-pelan, tanpa tergesa. Karena aku percaya, perjalanan yang paling indah bukan yang paling cepat sampai, tapi yang paling banyak mengajarkan makna.
Dan aku… sedang dalam perjalanan itu.
Menuju diriku yang lebih damai. Lebih jujur. Lebih utuh.
Bukan karena siapa yang datang atau pergi,
tapi karena aku akhirnya memilih untuk pulang—kepada diriku sendiri.
Aku tahu, pulang kepada diri sendiri bukan perkara satu malam. Ia bukan sekadar keputusan sesaat, tapi pilihan yang harus diulang setiap hari. Di tengah riuhnya dunia yang terus berlari, aku belajar untuk tetap tinggal—bersama diri yang kadang ragu, kadang lelah, tapi terus berusaha setia.
Aku belajar memeluk diriku sendiri, bukan hanya saat berhasil, tapi justru ketika aku merasa paling kecil dan tak cukup. Aku menenangkan hatiku dengan kalimat-kalimat sederhana: tidak apa-apa, kamu sudah berusaha. Aku merawat luka-lukaku bukan dengan menyembunyikannya, tapi dengan membiarkannya bercerita… sampai ia lelah dan memudar dengan sendirinya.
Ada keindahan yang tidak bisa dijelaskan ketika aku mulai menerima kenyataan tanpa berusaha mengubahnya jadi cerita yang manis. Aku tak lagi mencoba mempercantik masa lalu, atau mengutuki kenangan yang tidak sesuai harapan. Aku hanya menatapnya sebagaimana adanya—sebuah bagian dari hidup, yang pernah kuberikan segalanya.
Dan barangkali, itu cukup.
Karena ternyata, hidup tidak selalu harus diisi dengan “akhir bahagia” seperti dongeng. Kadang, akhir yang sebenarnya adalah ketika kita bisa mengatakan “aku baik-baik saja sekarang,” dan benar-benar merasakannya, bahkan ketika tidak ada orang yang mendengarnya.
Kini aku menjalani hari-hari dengan lebih ringan. Tidak selalu cerah, tidak selalu tertawa, tapi lebih jujur. Lebih tenang. Aku menyukai versi diriku yang ini—yang tidak selalu kuat, tapi tidak lagi menyangkal rapuhnya. Yang tidak lagi sibuk mencari siapa yang bisa menyelamatkan, karena sudah percaya bahwa keselamatan sejati datang dari dalam: dari Tuhan, dan dari keberanian untuk terus hidup.
Dan saat malam datang, bukan kesepian yang menyapa… tapi keheningan yang hangat. Aku menatap langit, bukan untuk berharap seseorang kembali, tapi untuk mengucap syukur atas semua yang telah berlalu, dan semua yang sedang tumbuh.
Mungkin aku tidak tahu ke mana langkah ini akan membawaku. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak takut.
Karena aku percaya: selama aku setia menulis, berdoa, dan mencintai diriku sendiri dengan tulus, maka aku tidak akan pernah benar-benar tersesat.
Aku telah belajar cara bertahan. Sekarang, aku sedang belajar cara hidup sepenuhnya.
Dan untuk itu, aku tidak perlu siapa-siapa.
Cukup aku.
Cukup Tuhan.
Dan cukup keyakinan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Komentar
Posting Komentar