Tiga Bulan yang Lalu, Saat Langitku Retak
Tiga bulan yang lalu, ada suara yang patah di dalam dadaku—suara yang tak lagi dapat kembali menjadi utuh. Aku masih mengingatnya jelas, seolah waktu menorehkan guratan luka itu di sisi terdalam ingatanku. Kala itu, hatiku seperti reranting yang patah oleh badai, tanpa tahu dari mana angin konflik itu sebenarnya bertiup. Aku hanya ingin tahu arah perahu kecil yang tengah kami dayung bersama—apakah aku adalah dermaga baginya, atau sekadar perahu cadangan yang boleh tenggelam kapan saja.
Pertanyaan yang kuajukan—yang katanya sederhana—adalah jeritan hatiku yang selama ini membisu. Aku hanya ingin tahu: “Apakah aku berarti bagimu?”
Tapi yang kudapat bukan jawaban, melainkan kepergian. Bukan kejujuran, melainkan kemarahan. Ia meninggalkan aku, diam seperti senja yang tak pernah menjelaskan mengapa ia harus tenggelam begitu cepat. Seakan pertanyaanku adalah dosa yang layak dihukum dengan kesunyian yang membekukan.
Aku tetap harus berjalan di atas luka itu. Sambil menahan sakit yang tak terlihat oleh siapa pun. Hati ini retak dalam senyap, remuk dalam balutan rutinitas. Siang hari aku tersenyum, malam hari aku menggigil dalam tangis.
Setiap tengah malam, ketika dunia larut dalam mimpi, aku masih terjaga—tersedu di pelataran sunyi, membawa hatiku yang luka ke kaki salib-Nya. Air mata menetes, menenggelamkan setiap suaraku yang telah habis—satu-satunya tempat aku bisa menjatuhkan semuanya tanpa ditanya alasan.
Di sana aku menyanyikan satu lagu: Kuberikan Hatiku.
Suaraku patah di tiap baitnya. Rasanya seperti menyayat dada sendiri. Tapi aku tahu, itu satu-satunya jalan agar jiwaku lega. Tidak ada pengganti seperti yang pernah ia katakan. Tak ada wajah baru yang menggantikan tempatnya. Hanya Bapa di surga yang memeluk reruntuhan hatiku dan membentuknya kembali dengan penuh kasih.
Tapi aku masih tidak mengerti… bagaimana seseorang bisa begitu mudah menyebutkan kata "pengganti" tanpa merasa sedang menusuk dengan pelan?
Katanya, semua ini “untuk kebaikanku.”
Kebaikan? Di mana? Aku hanya melihat reruntuhan dan kabut yang tak kunjung reda. Jika memang harus sakit, katakan sejak awal. Jangan biarkan aku terombang-ambing dalam lautan teka-teki. Seperti menyusun puzzle tanpa tahu bentuk akhirnya—seperti menulis surat tanpa tahu kepada siapa harus dikirimkan.
Sebenarnya… kita ini apa?
Kalau memang keputusanmu juga menyakitkan untukmu, mengapa harus dilakukan? Bukankah dulu kamu pernah berkata, “Hadapi rasa sakitnya, tanya dia kenapa?”
Tapi kamu sendiri lari dari pertanyaan yang sama. Diam. Membisu. Seakan aku seharusnya bisa membaca isi hatimu tanpa perlu kamu jelaskan. Dan itu menyakitkan: diminta mengerti tanpa pernah dijelaskan.
Sampai hari ini aku masih sesekali menangis. Tak setegar itu aku. Kadang aku ingin bertanya ulang: “Kenapa dulu kamu marah?” Tapi aku takut. Takut pertanyaan yang sama akan melukis luka yang sama. Aku tidak sanggup mendengarnya lagi.
Kamu dorong aku jauh, lalu sesekali kamu tarik aku kembali. Seakan kamu ingin aku tetap di antara pintu dan pagar. Aku jadi takut. Takut salah menafsirkan kebaikanmu. Takut jatuh dalam harapan yang tidak kamu maksudkan. Takut berjalan masuk ke dalam hati yang sebenarnya sudah tertutup untukku. Karena kalau aku jatuh lagi, aku tak tahu apakah aku sanggup bangkit.
Sampai aku belajar satu hal: rela.
Rela, meski air mata masih mengalir. Rela, meski dalam hati aku masih ingin kamu memilihku. Tapi bila kebahagiaanmu bukan bersamaku—aku belajar merelakanmu. Bahkan jika aku tahu, kamu menyimpan seseorang lain dalam doamu. Bahkan saat kulihat kamu turut merayakan ulang tahunnya, penuh suka cita dan syukur. Bahkan memposting nya distory Instagram tanda dirimu begitu merayakan hidup nya.
Sedangkan aku?
Ulang tahunku bahkan tak kamu ketahui. Dan saat kutanya, kamu jawab dengan begitu dingin, “Aku nggak pernah tahu ulang tahunmu, Me.”
Tak perlu hafal tanggalnya, aku hanya ingin kamu mengucapkannya. Bahkan sekadar basa-basi. Tapi kamu memilih untuk memperjelas bahwa aku tak cukup berarti untuk diingat. Dan di titik itu, semua yang rancu menjadi jelas.
Namun—aku tidak pernah membencimu. Tidak sekalipun aku menyimpan marah.
Aku hanya terluka. Tapi luka itu kini telah pulih. Bukan karena ada yang baru datang menggantikanmu. Tapi karena aku meletakkannya di tangan Tuhan—Tangan yang tak pernah menjauh, yang tak pernah ragu membalut luka dengan kelembutan surgawi.
Aku tahu, tak semua cinta harus dimiliki. Terkadang cinta paling dalam justru terlihat saat kita memilih mundur dan mendoakan dari kejauhan. Dan untukmu, aku pernah berdoa dengan banyak air mata.
Kini, biarlah semuanya berlalu.
Biarlah ketenangan datang dalam bentuk damai yang tak perlu penjelasan.
Karena kadang, berdamai dengan keadaan adalah satu-satunya cara agar hati bisa tetap hidup.
Kini, Aku Belajar Menyulam Cahaya dari Luka
Saat aku menoleh ke belakang, yang kulihat bukan lagi reruntuhan—melainkan taman kecil yang perlahan tumbuh dari puing-puing. Tak megah, tak juga sempurna. Tapi di sanalah aku menemukan diriku yang baru: lebih hening, lebih dalam, lebih dekat dengan Sang Pemilik Hati.
Aku tak lagi mencari alasan kenapa semua ini harus terjadi. Mungkin memang tak semua pertanyaan diciptakan untuk dijawab. Ada yang hanya perlu diterima, dipeluk, dan dilepaskan perlahan, seperti daun yang gugur di akhir musim—tak bersuara, tapi bermakna.
Dan malam-malam panjang yang dulu dipenuhi tangis, kini telah berubah menjadi perenungan. Aku belajar mencintai keheningan. Dalam diam, aku mendengar suara hatiku sendiri—yang dulu tenggelam dalam harap dan ingin dimengerti. Aku tahu kini: tidak semua yang kita perjuangkan harus kembali. Ada yang cukup untuk dikenang, untuk didoakan, lalu dilambaikan dengan penuh kasih.
Karena cinta, pada akhirnya, bukan tentang memiliki. Cinta adalah keberanian untuk tetap mengasihi, bahkan saat kamu harus berjalan menjauh. Cinta adalah ketika kamu tak lagi menunggu kabar darinya, tapi tetap mendoakan agar ia baik-baik saja. Cinta adalah ketika kamu merelakan tanpa rasa dendam—dan hatimu tetap lembut meski pernah disakiti.
Di hari-hari ini, aku tersenyum bukan karena semua telah baik-baik saja. Tapi karena aku memilih untuk berdamai dengan apa yang tak bisa kupahami. Aku memilih menanam harapan di tanah yang pernah gersang. Aku percaya, Tuhan tak pernah membiarkan air mataku jatuh sia-sia. Setiap tetesnya menumbuhkan kekuatan baru, kepekaan baru, dan kepercayaan baru—bahwa di balik patah, ada arah yang lebih baik.
Jika suatu saat kita bertemu lagi—di dunia nyata atau hanya dalam ingatan—aku ingin kamu tahu: aku tak lagi menunggu. Tapi aku masih mendoakanmu. Dengan tulus. Dengan tenang. Dengan hati yang tak lagi retak, meski masih membawa bekas luka. Luka yang kini telah menjadi bagian dari kisahku—kisah tentang kehilangan, pengampunan, dan pertumbuhan.
Dan jika di kemudian hari kamu membaca ini, ketahuilah… aku pernah mencintaimu tanpa syarat, dan mungkin, di satu sisi hatiku yang sunyi, aku masih menyayangimu. Tapi aku memilih melangkah. Dengan damai. Dengan iman. Dengan kasih yang tak lagi memaksa untuk dimiliki—cukup untuk dikasihi, dari jauh.
Sebab kini, aku tak lagi mengharap kamu kembali. Aku hanya berharap, kamu BAHAGIA.
Hingga Aku Bisa Bernapas Tanpa Menyebut Namamu Lagi
Waktu terus berjalan, dan pelan-pelan aku belajar bernapas tanpa harus menyebut namamu di tiap detik doa. Dulu, namamu seperti mantra yang tak bisa kuhapus dari bibirku. Tapi kini, aku mulai menyadari: bukan karena aku berhenti mencintai, melainkan karena aku memilih mencintai diriku lebih dulu.
Kamu pernah menjadi bagian dari harapanku. Bagian yang kubangun diam-diam dengan doa dan bayangan masa depan. Tapi harapan itu ternyata bukan rumah. Ia hanya halte sementara—tempat aku menunggu, bukan tempat aku tinggal. Dan kini, aku sudah turun dari kendaraan itu. Aku berjalan kaki, membawa langkahku sendiri, dengan satu keyakinan: Tuhan tahu ke mana aku akan sampai.
Kadang, kenanganmu masih menyapaku. Di sela-sela waktu lengang, di tengah lagu yang tiba-tiba memutar ulang fragmen usang. Tapi aku tak lagi menangis karenanya. Aku hanya diam. Menggenggam napas, dan tersenyum sendu. Karena aku tahu, aku telah sampai di titik di mana aku bisa berkata: Aku baik-baik saja.
Aku masih ingat bagaimana kamu tersenyum, bagaimana kamu tertawa, bahkan bagaimana kamu marah. Aku masih ingat nada suaramu, caramu diam, dan caramu pergi. Tapi kenangan itu kini tak lagi menyakitkan. Ia hanya seperti daun kering yang ikut jatuh bersama angin sore—pernah hidup, pernah hijau, tapi kini telah selesai.
Ada yang berubah dalam diriku, dan aku bersyukur karenanya. Aku menjadi lebih peka terhadap luka, lebih lembut dalam berkata, lebih sabar dalam berharap. Kau mengajarkanku arti keteguhan melalui kehilangan. Mengajarkanku cara mengampuni, bahkan ketika kata maaf datang belakangan.
yDan hari ini, aku menulis semua ini bukan untuk mengulang luka, tapi untuk mengenangnya dengan kasih yang tak lagi menyakitkan. Karena kadang, satu-satunya cara untuk menyembuhkan adalah dengan mengenali luka itu sepenuh hati—lalu melepaskannya perlahan, seperti menurunkan bintang yang sudah terlalu lelah menyala.
Kini, aku sedang menata ulang hidupku. Bukan untuk menghapus jejakmu, tapi untuk memberi ruang bagi cerita baru yang Tuhan sedang tuliskan untukku. Mungkin ada seseorang di luar sana yang akan mencintaiku tanpa ragu, tanpa syarat, tanpa pintu yang setengah terbuka. Dan jika ia datang, aku ingin menyambutnya dengan hati yang utuh—bukan hati yang masih menoleh ke masa lalu.
Tapi sebelum itu, izinkan aku menyayangi diriku lebih dulu. Menyembuhkan setiap inci yang pernah retak. Merangkul setiap sisi yang sempat merintih. Karena aku tahu, untuk mencintai dengan benar, aku harus sembuh dengan sungguh.
Dan malam ini, sebelum aku tidur, aku akan berdoa seperti biasa. Tapi tidak lagi dengan tangis. Tidak lagi dengan “kembalikan dia.” Melainkan dengan satu kalimat sederhana: “Tuhan, terima kasih karena Engkau telah menggenggam hatiku saat semua orang melepaskannya.”
Dan kini aku tahu: mencintai bukan tentang siapa yang tetap tinggal, tapi tentang bagaimana kita tetap utuh, meski yang kita doakan tak lagi memilih kita sebagai rumahnya. Mencintai adalah keberanian untuk melepaskan, tanpa kehilangan diri sendiri di tengah-tengah perpisahan.
Ada harapan yang dulu kugenggam erat, seolah dunia akan runtuh jika aku melepaskannya. Tapi ternyata, dunia tetap berdiri, bahkan ketika harapan itu perlahan memudar. Aku tetap bisa bangun di pagi hari, tetap bisa tersenyum meski ada ruang kosong yang tak lagi terisi oleh hadirmu. Dan dari situlah aku belajar: hidup tidak menunggu yang tak pasti. Hidup terus berjalan bersama mereka yang hadir sepenuh hati.
Malam-malam tak lagi terasa seperti perih yang harus kutahan sendirian. Tangis pun tak lagi menjadi bahasa utama dalam doaku. Ada damai yang perlahan tumbuh, seperti embun yang jatuh pelan-pelan di ujung daun—diam-diam, tapi menyejukkan. Aku mulai berdamai, bukan karena semua luka telah sembuh, tapi karena aku tak lagi ingin menggaruk bekasnya.
Aku tak lagi menanti kabar dari seseorang yang tak lagi melihat ke arahku. Tak lagi bertanya apakah aku masih diingat, atau apakah doaku pernah menyentuh relung hatinya. Karena kini aku tahu, mencintai bukan tentang menggenggam erat. Tapi tentang menengadah ke langit, menyerahkan segalanya pada kehendak Tuhan, lalu melangkah maju—meski sendirian.
Aku bukan lagi perempuan yang menggantungkan harapan pada balasan pesan atau tatapan mata yang pernah membuatku runtuh. Aku adalah perempuan yang kini belajar mencintai dengan lapang dada, termasuk mencintai kepergian sebagai bagian dari jawaban.
Dan pada akhirnya, aku ingin sampai pada titik paling tenang dalam diriku. Titik di mana menyebut namamu bukan lagi sebuah beban, melainkan sekadar kenangan. Titik di mana aku bisa menulis tentangmu tanpa air mata, tanpa harapan yang menggantung, tanpa keinginan untuk kembali. Titik di mana aku benar-benar bisa bernapas... tanpa harus menyebut namamu lagi.
Mungkin nanti, di suatu waktu yang tak kutahu kapan, aku akan duduk di sebuah kafe kecil atau berjalan di bawah langit senja, lalu namamu terlintas tanpa sengaja. Bukan sebagai rindu, bukan pula sebagai luka—melainkan sebagai bagian dari kisah yang pernah kubaca habis, lalu kututup dengan tenang. Tak ada air mata, hanya senyum kecil... semacam syukur karena aku pernah mencintai dengan sepenuh hati.
Aku tak menyesal pernah menaruh hatiku padamu. Tak pernah menyesal pernah memperjuangkan sesuatu yang akhirnya tak menjadi milikku. Karena dari situ, aku belajar bahwa cinta tak pernah sia-sia, selama ia tulus. Dan jika cinta itu tak kembali padaku, bukan berarti aku kalah. Justru di situlah aku menang—karena aku memilih mencintai tanpa menggenggam, memberi tanpa menuntut balas.
Kini aku menulis, bukan untuk mengingatmu lagi, tapi untuk mengingatkan diriku sendiri: bahwa aku berharga, bahkan ketika tak dipilih. Bahwa aku layak dicintai, bahkan jika orang yang kudoakan tak menjadi bagian dari takdirku. Dan bahwa aku bisa bahagia, meski bukan kamu yang menemaniku menjalani hidup ini.
Aku sudah tidak marah. Tidak kecewa. Tidak sedih. Hanya ada lapang yang baru tumbuh di dadaku—ruang untuk diriku sendiri. Ruang untuk cinta yang lebih sehat. Ruang untuk masa depan yang tak lagi dibayang-bayangi masa lalu.
Dan jika nanti aku mencintai lagi, aku ingin melakukannya dengan penuh sadar, bukan karena kesepian, bukan karena trauma, tapi karena hatiku memang sudah siap kembali berbagi. Dengan seseorang yang tak datang untuk menguji, tapi untuk menemani. Seseorang yang akan memelukku bukan saat aku kuat saja, tapi juga saat aku rapuh. Seseorang yang tak akan membuatku bertanya-tanya apakah aku cukup.
Tapi untuk sekarang, aku memilih mencintai proses ini lebih dulu. Menyembuhkan diri, memeluk luka, dan merawat harapanku sendiri. Sampai tiba waktunya aku benar-benar bisa berkata:
“Aku utuh. Aku pulih. Aku siap.”
Tanpa perlu menoleh ke belakang. Tanpa lagi menyebut namamu.
Aku tidak tahu akan seperti apa perjalanan ke depan. Aku hanya tahu bahwa aku tak akan berjalan mundur. Mungkin ada hari-hari di mana langkahku terseok, mungkin ada malam-malam di mana hening terasa menyesakkan. Tapi tak apa. Karena kini aku tahu bagaimana cara menggenggam diriku sendiri saat dunia terasa terlalu sepi.
Aku sudah tak menunggu kabarmu, sudah tak mengecek ulang pesan-pesan lama, sudah tak berharap ada kejutan dari masa lalu. Karena aku telah meyakinkan hatiku bahwa apa yang tertunda belum tentu untukku, dan apa yang hilang belum tentu kembali. Ada damai yang tumbuh saat aku berhenti berperang dengan kenyataan.
Aku memilih jalan ini bukan karena aku menyerah. Tapi karena aku memutuskan untuk menghormati diriku. Karena aku layak untuk bahagia, bukan hanya bertahan. Karena aku layak untuk dicintai sepenuhnya, bukan setengah-setengah. Karena aku layak untuk dirangkul, bukan sekadar diingat sesekali saat sepi menghampirimu.
Dan jika nanti, aku kembali mencintai—aku ingin melakukannya bukan dari luka, tapi dari keberlimpahan. Bukan karena butuh, tapi karena ingin berbagi. Aku ingin datang kepada seseorang bukan sebagai puing-puing yang minta disusun kembali, melainkan sebagai taman yang telah dirawat dengan sabar. Bukan kosong menunggu diisi, tapi penuh dan siap memberi.
Hari ini, aku memilih berdamai. Dengan masa lalu, dengan hatiku, dengan semua yang pernah tak selesai. Aku memilih untuk tetap melangkah meski pelan. Menyusun hari-hari baruku, membangun kebahagiaan dari hal-hal sederhana: dari tawa sahabat, dari pelukan keluarga, dari pagi yang hangat, dan dari malam yang sunyi namun damai.
Aku mencintai hidupku yang sekarang. Meskipun belum lengkap, tapi aku merasa cukup. Karena Tuhan tak pernah benar-benar pergi. Ia selalu ada, memegang tanganku, bahkan saat aku lupa menggenggam-Nya. Dan dalam kesunyian yang paling dalam pun, ada suara yang berkata: “Lihat, kamu sudah sejauh ini. Bertahan. Bertumbuh. Dan sekarang, waktunya hidup.”
Bukan hanya bertahan, bukan sekadar mengisi hari-hari dengan rutinitas kosong. Tapi sungguh-sungguh hidup—dengan seluruh kesadaran, kehadiran, dan keberanian untuk merasakan.
Waktunya menyalakan kembali cahaya dalam dada yang dulu sempat padam karena kecewa. Waktunya menari, meski langkahnya masih ragu. Waktunya tersenyum tanpa alasan, tertawa tanpa beban, mencintai hal-hal kecil yang dulu terlewat karena terlalu sibuk mengingat yang telah pergi.
Aku ingin hidup, bukan sekadar bernapas.
Ingin menyapa matahari pagi tanpa bayang-bayang kehilangan. Ingin menyeduh kopi tanpa air mata. Ingin membuka jendela dan berkata pada diri sendiri: “Hari ini akan baik-baik saja. Bahkan jika tidak sempurna, aku tetap layak untuk bersyukur.”
Karena hidup ini tak menunggu siapa pun. Dan aku tak ingin lagi tertinggal hanya karena menoleh terlalu sering ke masa lalu. Cukuplah aku mencintai dengan diam, merelakan dengan tenang, dan kini: memeluk diriku sendiri dengan penuh kasih.
Aku akan menulis cerita baru.
Bukan untuk mengganti halaman yang telah usai, tapi untuk merayakan betapa kuatnya aku bertahan sampai di sini. Akan kutulis bukan hanya dengan tinta, tapi dengan napas yang utuh, langkah yang mantap, dan harapan yang kembali tumbuh.
Tak perlu lagi menunggu seseorang untuk datang dan menyelamatkan. Karena aku telah belajar: diriku sendiri pun bisa menjadi tempat pulang yang hangat. Pelan-pelan, aku sedang menciptakan rumah di dalam dada. Rumah yang tak dibangun dari nama orang lain, tapi dari penerimaan dan cinta yang jujur kepada diri sendiri.
Sekarang waktunya hidup.
Mengisi hari-hari dengan makna. Membiarkan luka menjadi pelajaran, bukan penghalang. Membuka lembar baru bukan karena aku lupa, tapi karena aku memilih untuk tumbuh. Dan setiap langkah kecil hari ini adalah bentuk dari keberanian itu.
Jika kelak cinta datang lagi, biarlah ia menemukan aku yang sudah hidup, bukan yang masih bersembunyi di balik kenangan. Dan jika tidak, aku tetap akan berjalan.
Karena hidupku terlalu berharga untuk terus ditunggu oleh yang tak pasti.
Sekarang waktunya hidup, dan aku merasa lebih kuat dari sebelumnya. Keberanian untuk melangkah maju datang dari pemahaman bahwa setiap langkah, betapapun kecilnya, membawa aku lebih dekat pada impian yang selama ini kupegang. Ada keyakinan baru dalam diriku, keyakinan bahwa aku tidak harus menjadi sempurna untuk menjadi berarti. Aku hanya perlu menjadi diriku yang sejati, dengan segala kelebihan dan kekuranganku.
Setiap hari aku berlatih untuk menghadapi ketidakpastian dengan kepala tegak. Ada saat-saat di mana dunia terasa berat, di mana tantangan tampak begitu besar, tetapi aku belajar bahwa setiap beban yang aku pikul akan memberiku kekuatan yang lebih besar. Keberanian bukanlah tentang menghindari rintangan, tetapi tentang berani menghadapinya, menghadapinya dengan hati yang penuh kedamaian dan keyakinan bahwa aku tidak pernah benar-benar sendiri.
Ada kedamaian dalam hatiku yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Itu adalah kedamaian yang datang dari memahami bahwa hidup ini adalah anugerah yang tak ternilai. Dengan setiap detik yang berlalu, aku diberi kesempatan untuk mencintai, untuk belajar, dan untuk berkembang. Aku berterima kasih atas setiap momen, baik yang manis maupun yang pahit, karena semua itu membentuk siapa aku hari ini.
Dan meskipun ada banyak yang masih belum kuketahui, satu hal yang pasti: pengharapan itu tidak akan pernah padam. Pengharapan adalah api yang membara dalam hatiku, api yang memberi cahaya saat kegelapan datang, yang membimbingku ketika jalan terasa kabur. Aku tahu bahwa Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang indah untukku, sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang bisa kubayangkan. Mungkin aku belum tahu persis seperti apa masa depanku, tapi aku tahu bahwa itu akan penuh dengan kasih, kedamaian, dan tujuan.
Kini, aku belajar untuk melepaskan apa yang tak bisa aku kendalikan, dan mempercayakan semuanya pada Tuhan. Aku tidak perlu memaksakan segala sesuatu untuk berjalan sesuai dengan kehendakku, karena aku tahu Tuhan memiliki rencana yang jauh lebih indah. Keberanian datang ketika aku melepaskan kendali, ketika aku berani untuk tidak tahu, dan hanya mengandalkan iman yang teguh.
Setiap hari adalah kesempatan baru untuk hidup dengan penuh semangat, dengan keberanian yang tak goyah. Aku memilih untuk berdamai dengan diriku sendiri, dengan masa laluku, dan dengan segala hal yang telah terjadi. Semua itu adalah bagian dari perjalanan, bagian dari siapa aku saat ini. Dengan kedamaian di dalam hati, aku siap menyambut hari-hari yang penuh dengan kemungkinan, siap untuk menulis cerita hidupku dengan tinta keberanian, harapan, dan cinta yang tak pernah padam.
Sekarang waktunya hidup—waktunya untuk mengejar impian-impian besar, untuk terus berjalan meski jalan terasa terjal, dan untuk mengisi hidup dengan makna yang lebih dalam. Karena aku tahu, di balik setiap tantangan yang aku hadapi, ada sebuah kekuatan yang lebih besar, kekuatan yang berasal dari Tuhan yang selalu ada di sisiku, membimbingku dengan kasih dan pengharapan.
Aku percaya bahwa masa depan yang penuh harapan itu bukanlah sesuatu yang akan datang secara tiba-tiba, tetapi sesuatu yang akan kubangun dengan setiap langkah, dengan setiap keputusan yang kuambil, dan dengan setiap tekad yang kukumpulkan. Dan ketika aku menoleh ke belakang, aku ingin melihat hidupku sebagai sebuah perjalanan yang penuh arti, perjalanan yang penuh dengan cinta, keberanian, dan pengharapan yang terus berkobar.
Sekarang, aku siap untuk hidup. Dengan iman, dengan keberanian, dan dengan hati yang penuh harapan, aku melangkah maju menuju masa depan yang menantiku, penuh dengan potensi yang belum tergali dan kebahagiaan yang belum sepenuhnya ditemukan.
Komentar
Posting Komentar