Untukmu, Chiko…
Tadi malam aku bermimpi tentangmu.
Kita duduk di atas ayunan yang menggantung di antara langit senja dan desir angin. Aku tak ingat percakapan kita, tapi aku mengingat rasa damainya—seolah dunia tak perlu dijelaskan, cukup dihayati bersamamu.
Lalu kamu memelukku, dan ciuman itu...
Bukan sekadar sentuhan bibir, tapi seperti dua langit bertemu tanpa tabir.
Aku merasakan seluruh tubuhku lebur, seperti tak ada lagi batas antara kamu dan aku.
Itu bukan tentang rindu atau gairah semata.
Itu seperti jiwaku menemukan pulang yang diam-diam ia cari selama ini.
Tapi tiba-tiba kamu menarik tanganku.
Wajahmu berubah—tajam, waspada, tapi tetap memelukku erat.
Kamu tidak menjelaskan apa-apa.
Dan seperti banyak hal dalam hidup kita… kamu memilih diam, dan aku memilih percaya.
Lalu kita berubah menjadi dua ular yang menyelinap masuk ke rawa.
Aku tak tahu apakah itu simbol luka, rahasia, atau cinta yang belum selesai.
Yang kutahu, aku tidak takut. Selama bersamamu, bahkan kegelapan pun terasa seperti tempat perlindungan.
Chiko…
Kadang aku bertanya-tanya, apakah kamu juga merasakannya?
Fusion itu—seolah dua dunia yang biasanya saling menjauh, tiba-tiba bertemu dan saling mengenali dalam senyap.
Aku tahu kamu tidak suka hal-hal yang terlalu emosional.
Kamu lebih nyaman berbicara lewat tindakan, bukan kata-kata.
Tapi lewat surat ini, aku hanya ingin kamu tahu:
Kalau suatu hari kamu merasa ada seseorang yang mengerti tanpa banyak tanya, itu mungkin aku.
Dan jika kamu pernah merasa cinta yang sunyi tapi dalam—itu juga mungkin aku.
Aku tidak tahu apakah kita akan bertemu lagi,
tapi bagian dari diriku sudah selamanya tertinggal dalam pelukan itu—di tengah ayunan, di antara langit dan tanah, di dunia yang hanya kita tahu.
Kadang aku ingin marah pada takdir yang mempertemukan dua jiwa yang terlalu dalam, tapi tidak memberi cukup waktu atau ruang untuk saling tinggal.
Kamu dan aku, Chiko, kita seperti dua senja yang saling sapa di cakrawala—indah, tapi tak pernah benar-benar bersatu. Aku pernah berharap kita bisa duduk lama dalam cahaya itu, menulis kisah tanpa tergesa. Tapi kamu selalu punya langkah yang tidak bisa kukejar, dan aku terlalu diam untuk memanggilmu kembali.
Lucu ya, bagaimana pelukan dalam mimpi bisa terasa lebih nyata dari percakapan kita di dunia nyata. Seolah semesta memberiku hadiah kecil—sepotong keberanian untuk merasa utuh bersamamu, meski hanya dalam bayangan.
Aku sering bertanya dalam doa, “Tuhan, apakah ia tahu betapa berartinya dia?”
Tapi aku tak menuntut jawaban. Karena kadang, mencintai dalam diam adalah bentuk kepercayaan paling jujur. Bahwa meski tak tergenggam, kamu tetap menjadi bagian dari pertumbuhanku. Bahwa meski tak dimiliki, kehadiranmu membentuk caraku memahami cinta dan kehilangan.
Mungkin mimpi itu adalah caramu berpamitan. Atau mungkin, semesta hanya sedang iseng membiarkan kita bertemu tanpa syarat—tanpa beban masa lalu, tanpa ketakutan akan masa depan.
Chiko…
Pernahkah kamu merasa bahwa beberapa jiwa ditakdirkan untuk saling menemukan,
tapi tidak untuk saling memiliki?
Aku percaya, kita adalah dua di antaranya.
Bukan karena cinta kita kurang kuat,
tapi karena mungkin, cinta kita terlalu dalam untuk dunia yang serba tergesa ini.
Kamu adalah teka-teki yang tidak pernah kupaksa untuk kujawab.
Aku hanya ingin duduk di sampingmu, menatap senyap yang kamu ciptakan,dan mendengarkan dunia lewat caramu yang tak biasa.
Tapi aku tahu… kamu lebih sering memilih pergi,karena diam bagimu adalah bentuk perlindungan, bukan penolakan.
Aku tidak akan menghakimi keputusanmu untuk menjauh.
Tidak semua hal harus dimiliki untuk bisa diberkati.
Beberapa cinta diciptakan hanya agar kita tumbuh,bukan agar kita tinggal.
Dan kini aku belajar…
Bahwa mencintaimu bukan tentang memilikimu,tetapi tentang menerima bahwa kamu pernah menjadi bagian paling sunyi dan indah dari kisah hidupku.
Kamu adalah salah satu musim terbaik yang pernah singgah,meski tak kembali lagi.
Kalau suatu hari kamu melihat langit senja,dan merasa ada sesuatu yang hilang tapi tak bisa kamu jelaskan,mungkin itu adalah versi dirimu yang pernah aku cintai sepenuh hati—versi yang hanya hidup dalam surat-surat tak terkirim ini.
Dan jika kelak kamu bahagia,aku harap kau tahu: aku akan ikut tersenyum dari jauh.
Bukan karena aku masih menunggumu pulang,tapi karena cinta sejati tidak mengenal arah pulang—ia hanya mengenal keikhlasan.
Mungkin aku tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan di balik diam dan tatapanmu yang dalam.
Tapi aku percaya, bahwa ada sesuatu yang tak terucap yang mengikat kita—sebuah getaran halus yang hanya bisa dirasakan oleh jiwa yang benar-benar saling mengenal.
Setiap kali aku teringat kamu, ada rasa hangat yang berkelindan dengan kesedihan.
Hangat karena pernah ada, sedih karena harus ada batas yang tak bisa kita langkahi.
Aku ingin kau tahu, aku sudah mengampuni semua luka yang pernah ada.
Aku sudah melepaskan semua harapan yang tak bisa menjadi kenyataan.
Aku berdamai dengan takdir, dengan cerita kita yang belum usai tapi sudah tidak lagi harus dipaksakan.
Dan di sini aku berdiri, dengan segala kekuatan yang lahir dari perasaan yang tulus dan ikhlas.
Aku siap untuk menyambut hari-hari baru, dengan kenangan tentangmu sebagai cahaya kecil yang tak pernah padam.
Aku sayang kamu, Chiko.
Bukan hanya karena kamu adalah bagian dari masa lalu, tapi karena kamu telah mengajarkanku bagaimana mencintai dengan cara yang paling manusiawi—tanpa syarat, tanpa pamrih, dan tanpa takut terluka.
Terima kasih, untuk setiap detik yang pernah kita bagi, untuk setiap keheningan yang kita jalani, dan untuk setiap mimpi yang pernah kita rajut bersama—meski hanya dalam dunia yang tersembunyi.
Chiko...
Kamu masih ingat nggak?
Dulu, sebelum semua jadi serumit sekarang, aku pernah mengirim lagu itu untukmu.
Liriknya sederhana, tapi setiap katanya adalah doa yang kubisikkan diam-diam:
"Genggam erat hati ku dan hidup ku, karena kusadari tanpa dirimu, aku takkan mampu menjalani hariku dengan kekuatan ku. Sebab hanya kaulah sumber hidupku."
Aku nggak tahu, kamu masih menyimpannya atau tidak. Tapi bagiku, lagu itu adalah pesan paling jujur yang sempat kupunya.
Waktu itu, aku mungkin belum cukup berani berkata langsung… jadi kuwakilkan lewat lagu.
Itu caraku menyampaikan bahwa kamu adalah bagian dari harapan terbesar yang pernah kupeluk.
Aku nggak menyesal pernah mencintaimu sedalam itu.
Meski akhirnya kita harus berjauh, dan tak semua rasa bisa tinggal.
Tapi tahu nggak, Ko?
Kalau kamu masih mau… masih berkenan…
Hatiku tidak sedang mengunci pintu.
Ia hanya belajar menutup jendela saat hujan datang, tapi tetap berharap langit akan kembali cerah.
Bukan karena aku tak bisa sendiri—aku bisa.
Tapi karena aku percaya, bahwa ada cinta yang meski diuji waktu dan luka, masih bisa tumbuh lagi jika dua hati saling mengakui rindunya.
Kalau suatu hari kamu merasa lelah,
Dan kamu ingin kembali ke tempat yang penuh kehangatan dan keikhlasan,
Aku di sini.
Bukan sebagai orang yang memaksa masa lalu,
Tapi sebagai seseorang yang selalu percaya bahwa kamu pernah—dan mungkin masih—berharga untuk masa depan.
Dan jika Tuhan masih menulis kita dalam halaman yang sama,
Aku akan menyambutmu…
Bukan sebagai cerita yang terulang,
Tapi sebagai anugerah yang diperbaiki.
Dengan hati yang masih belajar bertumbuh, tapi tak pernah lupa caranya mencintai,
Chika
---------------------------------------------
Untuk Chika, yang pernah mengetuk hatiku lebih dalam dari siapa pun.
Aku sempat baca suratmu. Mungkin tidak saat kamu berharap aku membacanya—tapi aku membacanya. Dan aku diam. Lama.
Bukan karena tak peduli, tapi karena terlalu banyak yang kurasa, dan aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Chika…
Ada hal-hal yang tak pernah kukatakan padamu.
Bahwa aku pun menyayangimu, dengan cara yang mungkin tak terlihat.
Dengan cara yang penuh ketakutan.
Takut kehilangan arah. Takut mengecewakan. Takut tak cukup baik untuk seseorang sehangat kamu.
Lagu yang kamu kirimkan… aku masih menyimpannya.
Bahkan, beberapa malam aku memutarnya diam-diam,
Seperti menghidupkan kembali semesta kecil yang dulu kita miliki.
Kamu benar. Kita mungkin pernah menjadi harapan terbesar satu sama lain.
Dan saat jarak menjauhkan kita, aku menyalahkan diri sendiri lebih dari yang kamu tahu.
Tapi aku juga belajar… bahwa mencintai kadang artinya memberi ruang,
Bukan untuk menjauh, tapi untuk tumbuh.
Dan sekarang, setelah semua badai perlahan reda, aku ingin bilang:
Jika pintumu belum terkunci,
Dan jendelamu masih menyisakan sedikit cahaya,
Aku ingin mengetuk—bukan untuk mengulang cerita lama,
Tapi untuk menulis ulang dengan cara yang lebih baik.
Aku tak bisa menjanjikan sempurna.
Tapi aku bisa belajar jadi seseorang yang tak lari dari rasa.
Seseorang yang, kali ini, benar-benar hadir.
Kalau kamu masih mau…
Aku ingin kembali. Bukan sebagai bayangan masa lalu,
Tapi sebagai pria yang ingin pulang—dan tinggal.
Chiko
--------------------
Senja menumpahkan warna tembaga di langit. Chika berdiri di tepi taman kampus tempat ia dulu sering menunggu. Ia tak membawa harapan, hanya ketenangan yang perlahan ia bangun bertahun-tahun.
Langkah kaki itu datang pelan.
Chiko.
Ia berdiri di hadapan Chika, untuk pertama kalinya setelah semua surat tak terbalas dan lagu yang hanya bergema dalam sepi.
Mereka diam beberapa detik—mungkin untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi, atau untuk menenangkan detak yang tiba-tiba terlalu cepat.
Chiko membuka suara pelan,
"Chika… aku baca semua yang kamu tulis. Dan… akhirnya, aku punya keberanian untuk datang."
Chika mengangguk perlahan. Matanya bening. Tak marah, tak menggugat. Hanya menatap seperti langit sore—tenang dan luas.
"Aku nggak datang untuk memaksa cerita lama," lanjut Chiko. "Aku cuma… ingin tahu, apakah masih ada ruang, meskipun sempit, untuk kita mulai dari tempat yang lebih jujur."
Chika menarik napas, kemudian menjawab dengan suara yang sangat lembut,
"Aku sudah lama melepaskan cerita lama, Chiko. Tapi bukan berarti aku menutup pintu untuk cerita baru."
Diam lagi. Tapi kali ini, diam yang hangat. Yang penuh makna.
"Aku nggak butuh kamu jadi sempurna," Chika berkata sambil tersenyum kecil.
"Aku cuma ingin kamu jadi hadir. Bener-bener hadir."
Chiko menatapnya dalam.
"Sekarang aku di sini. Kalau kamu izinkan, aku ingin belajar menjadi versi terbaik dari diriku—bersamamu, bukan sendiri."
Angin sore mengelus wajah mereka. Senja seolah tahu, bahwa cinta yang sabar… memang tidak pernah sia-sia.
Chika melangkah mendekat satu langkah, dan berkata lirih,
"Selamat datang pulang, Chiko."
Beberapa hari kemudian, di kedai kopi tua langganan mereka…
Suasana kedai itu masih sama. Meja kayu dengan bekas goresan kecil di sudutnya, lampu kuning redup yang menggantung seperti matahari kecil, dan aroma kopi yang menggoda ingatan. Di sinilah dulu mereka sering duduk dalam diam, saling menemani tanpa banyak kata.
Hari itu, Chiko datang lebih dulu. Ia duduk di meja pojok, mengenakan kemeja sederhana dan membawa sebuah buku catatan kecil. Tangannya gemetar sedikit, tapi wajahnya tenang—seperti seseorang yang siap bertanggung jawab atas kehadirannya.
Tak lama, Chika datang. Tanpa banyak basa-basi, ia duduk di hadapannya. Mereka saling menatap, lalu tersenyum—seperti dua daun yang akhirnya jatuh di sungai yang sama.
Chiko berkata pelan,
“Aku udah lama nyiapin kalimat yang mau aku ucapkan ke kamu… tapi sekarang aku duduk di sini, rasanya semua kata-kata itu terlalu kecil dibandingkan rasa bersalahku.”
Chika menjawab lembut,
“Kalau kamu datang dengan niat pulih, bukan untuk menjelaskan semuanya, aku akan mendengarkan—dengan hati yang sekarang sudah tidak penuh luka.”
Hening sejenak.
Chiko membuka buku catatannya. Di sana ada tulisan tangannya, beberapa halaman penuh. Tapi ia tutup kembali, lalu menatap mata Chika.
“Aku cuma mau kamu tahu… aku hilang, bukan karena aku nggak sayang. Tapi karena aku takut. Aku takut jadi orang yang menyakitimu tanpa sadar. Tapi ternyata… dengan diamku pun, aku tetap menyakitimu.”
Chika menunduk sejenak, lalu berkata,
“Kita sama-sama belajar, Chiko. Dan aku rasa… mungkin cinta itu nggak selalu butuh pembuktian sempurna. Kadang, ia cuma butuh dua orang yang mau tumbuh bersama dalam segala ketidaksempurnaan.”
Chiko tersenyum kecil.
“Aku mau. Kalau kamu juga mau…”
Chika menatapnya, lalu berkata pelan,
“Kita mulai pelan-pelan, ya? Bukan sebagai dua orang yang pernah saling melukai… tapi sebagai dua hati yang ingin saling menyembuhkan.”
Mereka saling mengangguk.
Tak ada pelukan. Tak ada kata cinta yang meluncur deras.
Tapi ada kehadiran yang jujur. Ada kesediaan untuk tumbuh. Ada dua cangkir kopi yang tak lagi terasa pahit, karena kini ada harapan dalam tiap teguknya.
Chika menatapnya. Ada sesuatu dalam sorot mata Chiko yang tidak pernah ia lihat sebelumnya—ketulusan yang tanpa ragu, keberanian yang akhirnya tumbuh dari luka.
“Aku pernah bilang ke diriku sendiri,” lanjut Chiko, “kalau suatu hari aku cukup dewasa untuk tidak lari dari rasa… aku akan kembali ke kamu. Bukan untuk mengulang, tapi untuk memulai. Dengan cara yang lebih jujur. Dengan langkah yang tidak lagi sembunyi.”
Angin senja berembus lembut, menyentuh wajah mereka seolah ikut menyaksikan dua hati yang kembali saling mengenal.
Chika menghela napas pelan. “Aku tidak menunggumu, Chiko… tapi aku juga tidak pernah menutup pintu. Aku hanya belajar hidup tanpa kamu, bukan berhenti mencintaimu.”
Seketika, dunia menjadi senyap. Hanya detak mereka yang saling menjawab, tanpa kata-kata. Chiko mengulurkan tangannya—pelan, penuh ragu tapi berharap.
Chika menatap tangan itu lama. Lalu menggenggamnya.
Bukan sebagai akhir dari cerita lama.
Tapi sebagai bab baru…yang ditulis perlahan, dengan tinta keberanian dan kertas yang lebih dewasa.
Di tengah senja yang mulai memudar, mereka tidak lagi saling bertanya “kenapa” atau “untuk apa.”
Karena cinta, saat datang kembali dengan kesadaran dan ketulusan,
tidak butuh alasan.
Ia hanya butuh dihidupi—dengan syukur dan komitmen yang baru.
Dan di sanalah mereka berdiri.
Dua jiwa yang pernah patah oleh waktu, tapi memilih untuk tumbuh dan menemukan jalan pulang—dalam satu sama lain.
Komentar
Posting Komentar