Beberapa minggu yang lalu, aku masih sering menangis untuk seseorang yang telah pergi dari hidupku. Bahkan ketika harus latihan pelayanan, aku sempat-sempatnya menangis lebih dulu. Bukan karena aku lemah, tapi karena rasanya... sungguh sakit.

Aku sudah belajar menerima kenyataan. Namun, nyatanya rasa sakit itu kadang masih menyelinap masuk tanpa permisi—menghujam diam-diam ketika aku sedang sendiri, atau justru di keramaian yang penuh suara tapi hampa rasa.

Semua perasaan itu akhirnya kutumpahkan. Dalam doa. Dalam tulisan. Dalam cerita-cerita yang lahir dari peluh dan air mata: tentang Chiko dan Chika, tentang Kastra dan Elora, tentang Kura-Kura dan Tupai, Elang dan Ular, dan entah siapa lagi. Semua kisah itu bukan sekadar fiksi—mereka adalah perpanjangan tanganku, suara dari hatiku yang rindu, yang sayang, yang diam-diam tak ingin kehilangan.

Saat menuliskannya, air mata adalah sahabat paling setia. Mengalir tanpa batas. Tak terhitung sudah berapa kali aku menangis sampai suara habis, hanya karena aku... sangat menyayanginya.

Namun, hidup selalu mengajarkan. Perlahan, aku belajar: bahwa melepaskan bukan berarti menyerah. Bahwa ikhlas bukan berarti melupakan. Bahwa mencintai tak selalu harus memiliki.

Setiap hari, aku mengulang doa yang sama—penuh luka, penuh harap:

"Tuhan, aku sayang dia... tapi hidup harus terus berjalan."

"Aku cuma mau dia... Huhuhuuuu" 

Sampai akhirnya, aku sampai di titik ini:

"Ternyata aku baik-baik saja meskipun tanpa dia."

Hidup tetap berwarna, meski tak ada jejaknya di dalamnya. Meski ia tak lagi hadir, hidup tetap berarti. Dan anehnya, rasanya damai. Lega.  Tidak ada lagi cengkraman sakit yang membekukan langkah.

Aku pun tak pernah benar-benar tahu kami ini apa. Ada rasa nyaman, tapi tanpa nama. Tak ada pengkhianatan, tapi tiba-tiba diputuskan begitu saja. Meskipun tanpa status, luka itu nyata. Perih. Pedih. Menyesakkan.

Aku menangis sampai suara hilang. Mataku sembab. Hatiku hancur. Dan aku... nyaris kehilangan kekuatan untuk hidup.

Namun, aku sampai di titik ini juga:

"Tuhan, hatiku patah. Hatiku sakit. Tapi aku mau serahkan semuanya kepada-Mu. Nyatakan jalan-Mu."

Dengan suara parau dan air mata di tengah malam, aku bernyanyi. Dan dari situ... aku merasakan kelegaan.

Mungkin memang, dalam hidup, kita perlu belajar membuka genggaman. Bukan karena menyerah, tapi karena kita ingin terus hidup. Ingin bisa bernapas dengan tenang.

Saat ini, mungkin waktunya untuk fokus menata hidup masing-masing. Menyembuhkan luka yang belum pulih. Menyusun kepingan hidup yang masih belum menyatu.

Diam dalam hadirat-Nya, menyatu dalam damai-Nya. Mungkin suatu hari nanti—ketika semua sudah baik, ketika kita sudah menjadi versi terbaik dari diri kita—Tuhan akan menjawab doa-doa itu. Mungkin Dia akan mempertemukan kita kembali. Atau mempertemukan kita dengan seseorang yang benar-benar dipersiapkan-Nya—untuk berjalan bersama dalam rencana yang akan digenapi, untuk menjadi sahabat jiwa dan rekan  pelayanan sampai ke bangsa-bangsa. Hehehehe aminnnn 🥰🕊️

Seseorang yang hadir tanpa menyisakan luka. Yang datang di waktu yang tidak tergesa. Dalam musim yang matang. Dalam waktu yang manis.

Belum sekarang... karena memang belum waktunya.

Seperti mangga yang masih mentah—jika dipetik terlalu cepat, rasanya akan asam dan getir. Tapi jika sabar menunggu, suatu hari kelak ia akan menjadi manis, ranum, dan layak dinikmati.

Dan untuk saat ini, aku memilih menunggu. Dalam tenang. Dalam iman. Dalam pengharapan yang tidak tergoyahkan.

Aku memilih menunggu...bukan karena tak lagi punya pilihan,tapi karena aku mulai percaya bahwa waktu Tuhan skselalulebih baik dari waktu hatiku sendiri.

Aku mulai bisa tersenyum saat menengok ke belakang,bukan karena semua sudah sembuh,tapi karena aku tahu…

Tuhan tak pernah meninggalkanku di tengah luka itu.

Aku belajar,

bahwa hidup tak perlu selalu dipenuhi jawaban.

Ada yang cukup dijalani dengan iman.

Ada yang cukup dipercayakan kepada Tuhan,

tanpa harus tahu akhirnya akan seperti apa.

Dan sekarang, aku sedang di fase itu.

Fase membangun ulang diriku sendiri.

Fase menata serpih-serpih harapan yang pernah kusandarkan pada orang lain,lalu kukembalikan pelan-pelan ke tempat semestinya:

di tangan Tuhan.

Aku tak tahu bagaimana nanti.

Aku tak tahu apakah doaku tentang dia akan terjawab dengan "ya", "tunggu dulu", atau bahkan "tidak".

Tapi aku tahu,

Tuhan selalu menyiapkan yang terbaik.

Bukan yang paling cepat datang.

Tapi yang paling tepat.

Dan jika suatu hari nanti aku bertemu seseorang yang Tuhan utus, bukan sebagai pelipur lara,tapi sebagai rekan sejiwa...yang siap berjalan bersama, bukan untuk saling menyempurnakan—karena hanya Tuhan yang bisa—tapi untuk saling menguatkan dalam segala musim hidup...

Maka aku akan tahu: semua air mata yang pernah jatuh,semua doa yang tak henti kupanjatkan,semua perih yang pernah kupeluk dalam sepi,tak pernah sia-sia.

Sebab Tuhan tak pernah tidur.

Ia mengukir setiap air mata.

Ia menjahit setiap robekan hati.

Dan di tangan-Nya, luka bisa berubah jadi keindahan.

Untuk saat ini,aku sedang menyulam harap.

Menjadi lebih sabar,lebih kuat,dan lebih mengenal diriku sendiri.

Sampai nanti, jika aku menoleh ke belakang,aku bisa berkata:

"Terima kasih, Tuhan, karena Engkau izinkan aku patah…agar aku belajar bersandar hanya pada-Mu."

Malam ini hening.

Langit seperti ikut diam,

mendengar isi hati yang tak mampu lagi kuucap keras-keras.

Aku duduk di dekat jendela,

ditemani secangkir teh yang mulai dingin,

dan lembar-lembar diary yang sejak dulu jadi tempat pulang bagi perasaanku.

Dan di halaman ini, aku menulis:

"Aku sudah tak menangis lagi. Bukan karena tak rindu, bukan karena sudah lupa… tapi karena hatiku mulai menerima bahwa cinta tak harus memiliki wujud yang terus menetap."

Aku mulai paham,bahwa tidak semua orang yang hadir dalam hidup kita mmemiliki tugas untuk tinggal selamanya.

Beberapa hanya mampir,

untuk mengajarkan arti kehilangan,dan mengarahkan kita lebih dekat pada diri sendiri... dan pada Tuhan.

Dulu aku berpikir,jika dia tidak kembali, maka segalanya akan runtuh.

Tapi nyatanya, aku masih berdiri.

Masih bisa belajar, melayani, menulis, tertawa...

meski di balik semua itu, sempat ada luka yang diam-diam kubawa ke mana-mana.

Aku mulai belajar menata hidupku kembali,

mengisi hari-hari dengan hal-hal kecil yang membuatku hidup:

membaca buku yang lama tertunda,mendengarkan musik pagi-pagi sekali,

berbincang dengan sahabat tanpa topik yang terlalu berat,dan menulis... menulis... menulis...

Dan ketika aku membaca ulang cerita-cerita tentang Chiko dan Chika, aku menyadari bahwa semua itu bukan tentang dia semata,melainkan tentang prosesku sendiri.

Bagaimana aku tumbuh.

Bagaimana aku belajar mencintai,

tanpa kehilangan diriku.

Bahwa saat ini bukan musim untuk menggenggam seseorang,melainkan menggenggam harapan.

Bukan untuk menambatkan hati pada siapa pun,melainkan menambatkan iman pada Tuhan.

Aku tidak tahu kapan musim itu akan berganti.

Mungkin nanti, ketika aku tak lagi menunggunya.

Mungkin saat aku sedang asyik menjalani hari-hari penuh syukur,dan seseorang datang… bukan sebagai jawaban dari kerinduan lamaku, tapisebagai bagian dari rencana baru yang Tuhan percayakan.

Dan jika suatu hari dia—entah dia siapa—datang dengan mata yang jujur dan hati yang siap,aku ingin bisa berkata:

"Selamat datang. Aku sudah lama menunggumu, bukan sebagai pelarian, tapi sebagai perhentian yang damai."

Tapi malam ini, aku hanya ingin tidur dengan tenang.

Tanpa tangis. Tanpa khawatir.

Sebab aku tahu, hatiku sedang disembuhkan oleh tangan yang tak pernah salah merajut:

Tangan Tuhan.

Hari ini aku memilih untuk tidak lagi mengejar seseorang yang bahkan tak pernah benar-benar menoleh.

Bukan karena aku menyerah,tetapi karena aku sadar: cinta yang tulus tak pernah memaksa pintu yang tak mau dibuka.

Aku mulai mengerti, bahwa menjaga hati sendiri bukanlah bentuk keegoisan.

Itu bentuk penghormatan.

Pada diriku. Pada luka-luka yang telah disembuhkan.

Dan pada proses panjang yang telah kutempuh bersama Tuhan.

Ada masa di mana aku merasa hampa tanpa kabar darinya,tapi kini aku merasa tenang… bahkan tanpa suaranya.

Ada masa di mana satu pesan darinya mampu menghidupkan hari-hariku,tapi kini aku tahu: aku bisa bahagia dengan atau tanpa pesan itu.

Karena ternyata… pesanku pada Tuhan lebih dulu dijawab.

Dan aku sadar, aku tidak sedang menanti dia kembali.

Aku sedang menanti waktuku tiba.

Waktu di mana aku bisa mencintai tanpa luka yang belum sembuh,menerima seseorang tanpa membandingkan,dan dipeluk bukan karena kesepian,tapi karena sungguh pantas untuk dicintai.

Mungkin, ketika musim itu tiba,aku akan menulis lagi di diary ini,dengan air mata yang bukan karena sakit,tapi karena haru.

Karena akhirnya aku tahu,mengikhlaskan bukan berarti kalah.

Terkadang itu satu-satunya cara agar kita menang: menang atas diri sendiri, atas rasa takut, dan atas bayang-bayang yang tak ingin pergi.

Dan jika nanti seseorang datang,bukan sebagai pengganti, tapi sebagai jawaban, aku ingin menyambutnya bukan dengan hati yang bergantung…

melainkan dengan hati yang penuh.

Penuh rasa syukur.

Penuh iman.

Penuh cinta yang tidak lagi menuntut balasan,

karena ia telah berakar pada kasih Tuhan yang kekal.

Tapi hari ini, aku tak ingin menebak siapa dia, atau kapan ia datang.

Aku hanya ingin hidup.

Sungguh-sungguh hidup.

Menjadi versi terbaik dari diriku sendiri.

Bertumbuh dalam damai.

Melayani dengan hati yang utuh.

Menulis dengan jiwa yang jujur.

Dan mencintai hidup—sekalipun tanpanya.

Karena ternyata,aku… baik-baik saja.

Dan itu bukan kalimat pelarian.

Itu adalah kebenaran yang kini bisa kuterima,

dengan senyum yang tenang…

dan hati yang utuh.

Mungkin… inilah yang disebut pulih.

Bukan karena waktu menghapus luka,tapi karena kasih Tuhan perlahan menjahitnya kembali.

Bukan karena aku pura-pura kuat,melainkan karena aku belajar mempercayai rencana yang lebih besar dari yang bisa kupahami.

Aku masih ingat harapan-harapan kecil yang dulu kubisikkan pada malam,tentang dia yang mungkin akan kembali… tentang cinta yang mungkin akan tumbuh kembali dari abu yang lama.

Tapi sekarang, aku tidak lagi berdoa agar dia kembali.

Aku hanya berdoa agar hatiku tetap lembut, meski pernah disakiti.

Agar aku tetap mampu mengasihi, tanpa harus memiliki.

Dan agar aku tak pernah lupa,

bahwa aku juga berharga… bahkan saat tidak dipilih.

Aku belajar bahwa tidak semua kehilangan berarti akhir.

Terkadang itu hanya cara semesta memintaku melonggarkan genggamanku,agar aku bisa menerima sesuatu yang jauh lebih baik—yang tak perlu dikejar,karena ia datang sendiri, pada waktunya.

Dan saat itu terjadi nanti,aku ingin bisa mencintai dengan tenang, bukan dengan rasa takut ditinggalkan.

Aku ingin mencintai dengan hati yang penuh,bukan hati yang masih setengah tertinggal di masa lalu.

Sampai saat itu tiba,aku ingin terus membangun hidupku dengan iman.

Aku ingin menjadi perempuan yang utuh, bukan karena dilengkapi oleh siapa pun, tapi karena aku tahu siapa diriku di hadapan Tuhan.

Aku ingin menulis cerita-cerita yang menyentuh,bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk menyembuhkan.

Aku ingin hadir untuk orang lain,bukan karena aku butuh dicintai, tapi karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan.

Aku ingin terus tumbuh dalam keheningan,karena di sanalah suara Tuhan paling jelas terdengar.

Dan malam ini… aku bersyukur.

Untuk setiap luka, setiap kehilangan, setiap air mata, dan setiap keheningan.

Karena semua itu mengajarkanku satu hal:

Bahwa hatiku adalah milik Tuhan lebih dulu,

sebelum siapa pun yang berani memintanya.

Malam makin larut. Hujan turun tipis di luar jendela, seperti suara bisik yang menenangkan, bukan lagi mengundang kenangan. Aku tak lagi mengulang-ulang dialog yang tak pernah terjadi. Kini, aku lebih memilih mendengarkan diam Tuhan, yang justru paling fasih menjawab isi hatiku.

Aku mulai mencintai proses ini.

yang tetap percaya meski pernah dikecewakan,

yang tetap setia pada kebaikan—meski dunia kadang tak membalasnya.

Dulu aku bertanya-tanya: kenapa bukan aku yang dia pilih?

Kini aku tak lagi butuh jawaban itu.

Karena ternyata, yang lebih penting adalah aku memilih diriku sendiri.

Aku memilih untuk tidak terus memohon pada pintu yang telah tertutup,

dan mulai berjalan pelan ke arah cahaya yang lain…

yang selama ini menunggu di balik luka.

Aku tidak ingin menjadi seseorang yang hanya dikenang ketika sepi datang.

Aku ingin menjadi seseorang yang pantas dipeluk dalam damai,

ketika dua hati yang sehat akhirnya saling menemukan.

Dan sebelum itu terjadi,

aku ingin sibuk membangun hal-hal baik:

Ilmu yang bertumbuh, karya yang berarti, sahabat yang hangat,

doa-doa yang tak putus, dan jiwa yang tidak lagi tergantung pada validasi.

Aku tidak akan lagi menulis cerita tentang “kapan dia kembali.”

Tapi aku akan terus menulis tentang bagaimana Tuhan memelukku saat tak ada satu pun yang tinggal.

Tentang bagaimana aku berdiri lagi… bukan karena ada yang datang,melainkan karena aku memilih untuk tidak tenggelam.

Karena yang terindah bukan selalu mereka yang datang pertama,melainkan mereka yang datang terakhir,lalu memilih untuk tinggal… sepenuh hati.

Dan jika kelak seseorang itu datang,

aku ingin menatap matanya tanpa getir masa lalu.

Aku ingin menggenggam tangannya tanpa bayang-bayang siapa pun.

Aku ingin mencintainya bukan karena aku takut sendiri,

tapi karena aku ingin berbagi hidup yang telah Tuhan pulihkan dengan sempurna.

Aku akan tidur malam ini tanpa rasa sesak.

Dengan lampu kamar yang redup, suara hujan sebagai lagu nina bobo,dan hati yang tidak lagi memberontak,karena sudah berdamai.

Kalau esok pagi aku terbangun,aku akan menyambutnya dengan doa sederhana:

"Tuhan, terima kasih. Hari ini aku tidak lagi menunggu siapa pun… kecuali Engkau yang selalu setia.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin