Kita Yang Tidak Pergi🌼

Chiko menatap Chika. Tak berkedip. Seperti waktu sedang mencoba berhenti.

Ia mendengar pertanyaan itu, dan dadanya terasa sesak. Tapi bukan karena luka—melainkan karena harapan yang mulai menyala… perlahan… lalu membesar.

“Kenapa kita nggak mulai lagi... dari sesuatu yang benar?”

Suara itu masih terngiang di telinganya. Suara Chika yang gemetar, tapi jujur.

Suara yang datang bukan untuk menuntut, tapi untuk mengulurkan tangan.

Chiko membuang napas panjang. Perlahan. Lalu berkata:

“Karena aku takut... kalau kita mulai lagi, aku nggak bisa menjaganya dengan baik.”

“Aku takut ngulangin kesalahan. Takut kamu sakit hati lagi.”

“Takut... aku bukan versi terbaik dari apa yang kamu doakan.”

Chika tersenyum tipis. Tangannya menggenggam ujung lengan baju.

Tapi matanya tenang. Seperti danau yang menampung banyak hujan.

 “Chiko,” katanya lembut.

“Aku juga nggak minta kamu jadi sempurna. Aku cuma minta kamu jujur... dan hadir. Itu aja.”

Sunyi. Tapi bukan sunyi yang dingin.

Sunyi yang hangat. Seperti pagi setelah badai.

“Aku udah belajar memaafkanmu dari lama, Chiko.”

“Dan sekarang... aku cuma ingin kita jujur soal satu hal: apakah kita masih saling memilih?”

Chiko menunduk. Lama. Lalu mengangguk kecil.

Tangannya bergerak pelan, menggenggam tangan Chika—bukan untuk memaksa, tapi untuk memastikan bahwa ia tidak mimpi.

“Kalau kamu masih mau, aku... aku mau mulai lagi.”

“Tapi bukan dari cinta yang meledak-ledak.”

“Aku mau mulai dari yang benar. Dari persahabatan. Dari komunikasi. Dari ketulusan.”

“Aku mau kita jadi tim. Bukan drama.”

Chika mengangguk. Wajahnya mulai basah. Tapi senyumnya justru tumbuh lebih dalam.

Ia tahu: ini bukan akhir yang bahagia. Ini awal yang jujur.

Hari itu, mereka tidak langsung berpelukan. Tidak saling berkata "aku cinta kamu" seperti cerita-cerita lama.

Mereka hanya duduk berdampingan.

Memandang langit sore Bandung dari balik jendela perpustakaan.

Dan untuk pertama kalinya, tak ada yang harus disembunyikan.

Karena mereka tahu…

Cinta yang matang tidak selalu datang dengan dentuman. Tapi dengan kejujuran.

Dan kali ini, mereka memilih untuk melangkah bukan dari kerinduan, tapi dari pengertian.

Hening menemani mereka selama beberapa menit. Tak ada yang perlu dipaksakan.

Tak ada kalimat yang harus ditutup dengan kepastian manis.

Cukuplah duduk berdampingan.

Cukuplah saling hadir… dengan tenang, jujur, dan seadanya.

Di dalam batin Chika, sebuah percakapan lain sedang berlangsung.

Pelan. Tapi sangat nyata.

“Tuhan…”

“Dulu aku memulai ini dengan banyak harap yang belum sembuh. Dengan kekosongan yang kutambal dengan cinta.”

“Sekarang, aku nggak minta hubungan yang besar. Aku cuma ingin hubungan yang benar.”

Ia melirik Chiko sekilas. Sosok itu masih menatap ke luar jendela.

Ada garis lelah di wajahnya, tapi juga cahaya yang tak ia lihat sebelumnya.

Seperti Chiko juga sedang belajar mencintai… bukan dengan dendam masa lalu, tapi dengan kesadaran hari ini.

 “Dulu aku pikir, menyayangi berarti memiliki.”

“Tapi sekarang aku tahu… menyayangi kadang berarti: memberi ruang.”

“Dan kalau Chiko bukan untukku, Tuhan… setidaknya izinkan aku jadi bagian kecil dari proses pertumbuhannya.”

Chika menarik napas panjang. Ia merasa damai.

Bukan karena semuanya selesai, tapi karena hatinya sudah tidak mengejar jawaban instan.

Ia ingin membiarkan segala sesuatu tumbuh sesuai waktu Tuhan.

Sementara itu, di sisi Chiko…

Hatinya seperti baru dibersihkan dari debu panjang.

Ia tidak tahu apakah mereka akan kembali bersama. Tapi satu hal pasti: ia merasa aman di hadapan Chika.

“Dia nggak menuntutku untuk menebus semuanya.”

“Dia cuma ingin tahu apakah aku bersedia jalan bareng, dari awal… dengan cara yang lebih sehat.”

Chiko belum pernah merasakan cinta seperti ini.

Yang tidak menuntut.

Yang tidak memaksa.

Yang hanya mengajak—bukan menyeret.

Langit mulai berubah warna. Sinar jingga menyentuh wajah mereka.

Chika berdiri. Chiko ikut berdiri. Keduanya menatap satu sama lain.

 “Kalau suatu hari nanti kita terlalu sibuk, terlalu jauh, atau terlalu takut…”

“…ingat hari ini, ya?” ucap Chika sambil tersenyum.

Chiko mengangguk.

“Ingat hari ketika kita sepakat buat mulai dari yang benar.”

“Bukan dari cinta yang emosional, tapi dari hubungan yang bisa dipertanggungjawabkan.”

Lalu mereka berjabat tangan.

Seperti dua sahabat yang sedang menyegel perjanjian diam-diam.

Dan di antara doa-doa senja yang pelan, langit mencatat langkah pertama mereka—

Langkah kecil, tapi jujur.

Angin lembut menyapu jendela. Daun-daun trembesi menari seperti menirukan perasaan yang belum selesai.

Chiko bersandar pelan. Sorot matanya jatuh ke arah lantai kayu tua perpustakaan. Tapi pikirannya tidak ada di sana. Ia sedang kembali ke waktu-waktu yang tak pernah benar-benar selesai di dalam dirinya.

"Kenapa kita nggak mulai lagi dari sesuatu yang benar?"

Kata-kata Chika masih menggema di telinganya. Seperti doa kecil yang mengetuk pintu hatinya yang selama ini tertutup rapat.

Jujur saja, Chiko takut.

Bukan karena ia tidak mencintai Chika. Tapi justru karena ia terlalu mencintai Chika… sampai ia takut mengulang kesalahan yang sama.

“Dulu aku pergi bukan karena nggak cinta.”

“Aku pergi karena aku ngerasa nggak cukup buat dia.”

“Dia punya mimpi besar. Cahaya besar. Sementara aku? Aku masih berantakan. Masih takut. Masih ngerasa kecil di hadapannya.”

“Waktu itu aku pikir, menjauh adalah cara melindungi dia dari versiku yang buruk.”

“Tapi ternyata, menjauh cuma bikin aku sadar... bahwa kehilangan itu bukan solusi. Itu pelajaran.”

Chiko memejamkan mata sejenak. Dalam hatinya, ia berbisik:

 “Chika…”

“Kalau saja kamu tahu seberapa sering aku ingin kembali. Tapi aku takut kamu sudah menemukan versi lebih baik dari aku—versi yang kamu pantas dapatkan.”

“Aku menyakiti kamu bukan karena aku jahat. Tapi karena aku pengecut.”

“Dan aku butuh waktu bertahun-tahun buat berdamai dengan fakta itu.”

Ia menoleh ke arah Chika yang kini sedang menatap langit dari balik jendela. Ada ketenangan yang tak pernah berubah dari sorot matanya. Tapi ada juga kedewasaan baru yang membuat Chiko merasa… semakin kagum.

“Tuhan…”

“Kalau kali ini aku diberi kesempatan untuk mencintai dia dari tempat yang benar… ajari aku untuk nggak lari lagi.”

Chiko tidak mengatakan apa-apa hari itu. Tapi dalam diamnya, hatinya mulai berubah.

Tidak lagi bertahan dari cinta. Tapi membuka diri untuk kemungkinan yang baru.

 Bukan cinta yang sempurna.

Tapi cinta yang bertumbuh.

Cinta yang berani mengakui luka, dan tetap mau belajar berjalan bersama. 

Perpustakaan hampir sepi. Hanya suara jam tua di dinding dan napas dua manusia yang mulai bersahabat dengan keheningan.

Chika masih menatap jendela, tapi pikirannya menunggu. Ia bisa merasakan—Chiko sedang menahan sesuatu di dalam dadanya. Seperti air yang sudah terlalu penuh dalam gelas, sebentar lagi tumpah jika tak disampaikan.

Lalu, suara itu datang. Pelan. Nyaris bergetar.

“Chik…”

Chika menoleh perlahan.

Chiko mengusap tengkuknya sebentar, lalu menatap mata perempuan yang dulu membuatnya tumbuh, dan juga runtuh.

“Aku denger tadi… waktu kamu bilang, ‘kenapa kita nggak mulai dari sesuatu yang benar?’”

“Aku nggak tahu harus jawab apa, karena di dalam aku tuh, campur aduk semua.”

“Tapi ada satu hal yang harus aku bilang ke kamu. Malam ini. Sekarang juga.”

Chika diam. Tapi sorot matanya membuka ruang. Memberi tempat untuk kejujuran.

“Aku pergi waktu itu bukan karena aku berhenti sayang.”

“Aku pergi… karena aku takut.”

“Takut aku malah jadi beban buat kamu. Kamu terlalu terang waktu itu, dan aku belum siap. Aku ngerasa, kalau aku tetap di samping kamu, aku cuma akan nyakitin kamu pakai ketakutanku sendiri.”

Chiko berhenti sebentar. Menarik napas panjang. Jemarinya mengepal di pangkuan.

“Tapi ternyata, menjauh dari kamu nggak bikin aku tenang.”

“Setiap kali aku ngelihat langit sore, aku inget kamu. Tiap kali aku nulis di jurnal penelitian, aku inget gimana kamu dulu bilang, ‘kamu pasti bisa jadi peneliti yang hebat, Ko.’”

“Aku tuh bawa kamu ke mana-mana, Chik. Bahkan waktu aku pura-pura kuat.”

Seketika mata Chika memerah. Tapi ia masih diam. Hanya anggukan kecil sebagai izin untuk Chiko melanjutkan.

 “Aku salah karena aku ninggalin kamu tanpa kata.”

“Tapi malam ini… aku mau bilang sesuatu yang dari dulu harusnya aku ucapin.”

Chiko menatap mata Chika dalam-dalam. Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan doa:

“Kalau kamu masih percaya sama aku,kalau kamu masih mau…aku pengin belajar mencintai kamu dengan cara yang benar. Bukan yang sempurna. Tapi yang jujur, dan bertumbuh.”

 “Aku pengin kita mulai bukan dari masa lalu,tapi dari keberanian untuk membangun yang baru, yang lebih sehat, yang lebih jujur, yang saling belajar, saling dengar,salingjaga.”

“Kalau kamu bilang ‘iya’ malam ini… aku nggak akan lari lagi.”

“Aku janji, Chik.”

Diam.

Angin masuk dari sela jendela. Jam tua berdetak tiga kali.

Chika menunduk, menggigit bibirnya. Ia menarik napas gemetar, lalu mengangguk pelan. Lalu, satu kalimat keluar dari bibirnya—halus, namun penuh makna.

“Ayo kita mulai dari yang benar, Chiko.”

Chiko menutup matanya sejenak. Seperti seseorang yang baru saja sampai rumah setelah tersesat sangat lama. Lalu, ia tersenyum kecil.

Dan dunia, malam itu, menjadi sedikit lebih tenang.

Mereka tidak langsung berpelukan. Tidak juga saling genggam tangan.

Tapi keheningan yang tercipta setelah kata “ya” itu lebih hangat daripada pelukan.

Lebih utuh daripada genggaman.

Chika menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit, seperti sedang menahan air mata yang belum tumpah. Tapi bukan karena luka—melainkan lega.

“Aku kira… kamu udah sepenuhnya ninggalin aku,” katanya pelan.

“Dan aku udah belajar buat nerima itu. Tapi ternyata, kamu masih ada di sini. Masih kamu yang dulu, tapi… udah lebih jujur.”

Chiko mengangguk, pelan.

“Aku nggak janji akan jadi orang yang sempurna, Chik. Tapi aku mau jadi orang yang terus belajar, bareng kamu. Dengan semua lukaku. Dengan semua lukamu juga.”

“Aku tahu, nggak semua bisa kita perbaiki. Tapi kalau kamu mau, aku pengin jadi tempat kamu pulang—yang nggak bikin kamu merasa sendirian lagi.”

Chika tersenyum kecil.

Senyum yang tumbuh bukan dari kebahagiaan instan, tapi dari luka yang perlahan sembuh.

“Kalau kita beneran mulai dari sesuatu yang baru,” katanya, “boleh nggak aku jujur juga?”

Chiko menatapnya, memberi isyarat ‘iya’ tanpa suara.

“Aku nggak sepenuhnya kuat, Ko. Kadang aku cuma kelihatan baik-baik aja karena aku nggak mau orang tahu betapa hancurnya aku waktu kamu pergi.”

“Tapi… aku juga belajar. Kalau aku cuma mengandalkan kamu buat bikin aku utuh, nanti aku jadi nuntut. Jadi haus. Dan itu nggak sehat buat kita.”

Ia menatap mata Chiko. Kali ini tanpa ragu.

 “Jadi aku juga janji. Aku mau belajar jadi utuh—tanpa mengharapkan kamu jadi penyelamatku. Tapi aku mau kita jadi rekan seperjalanan. Sama-sama. Nggak lebih tinggi, nggak lebih rendah.”

Chiko mengangguk. Kali ini matanya berkaca-kaca.

Ia mengulurkan tangan. Tidak buru-buru. Tidak dengan tekanan.

“Boleh aku pegang tangan kamu malam ini, bukan karena kita udah kembali, tapi karena kita mulai jalan bareng?”

Chika tertawa kecil. Menepuk tangan Chiko dengan ringan.

“Kamu boleh pegang. Tapi kamu harus tahu, tangan ini bawa banyak kenangan. Nggak semua indah. Tapi aku tetap mau kasih ke kamu… kalau kamu siap jaga, bukan cuma terima.”

Chiko mengangguk. Lalu menggenggam tangan itu—perlahan. Hangat.

Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian musim dan ratusan hari yang saling menghindar, mereka duduk berdua. Di bawah cahaya lampu perpustakaan yang redup, di antara jejak kata-kata yang akhirnya disampaikan.

Tak ada perayaan. Tak ada musik latar. Hanya dua hati yang pernah hancur, kini mencoba merakit ulang dunia kecil mereka.

Bukan dari awal. Tapi dari kesadaran bahwa cinta sejati, bukan soal kembali. Tapi soal membangun ulang—dengan cara yang lebih benar.

Masih di kursi kayu perpustakaan tua itu, tangan mereka saling menggenggam—tak erat, tapi cukup untuk menegaskan bahwa tak ada lagi jarak yang ingin mereka jaga.

Chiko menatap tangan Chika lama sekali. Seolah sedang membaca ulang bab-bab kenangan yang pernah ia tinggalkan begitu saja. Jemarinya gemetar sedikit, lalu suaranya mengalun pelan, dengan nada yang lebih hangat, lebih jujur dari sebelumnya.

 “Chik… aku kangen kamu. Banget.”

Chika menoleh pelan. Matanya membulat sedikit, tidak terkejut—lebih ke arah terharu karena mendengarnya dari mulut yang dulu hanya tahu caranya diam.

“Aku kangen kamu, tiap hari,” ulang Chiko. “Tiap sore yang sepi. Tiap pagi yang terlalu tenang. Tiap kali aku lagi duduk sendiri ngerjain penelitian, aku ngebayangin kamu duduk di sebelahku, nanya-nanya hal remeh, terus bilang ‘semangat ya, peneliti kecilku.’”

Ia tertawa kecil. Tertahan. Tapi tidak menyembunyikan betapa dalamnya rasa itu tumbuh.

“Kamu itu, aneh banget buatku.”

“Makin aku jauhin, makin kamu muncul di kepala aku. Waktu aku pergi, aku pikir itu jalan terbaik buat kita. Tapi ternyata malah makin nyakitin, karena setiap hari aku ngerasa kayak ninggalin rumah yang belum selesai aku bangun.”

 “Aku kangen cara kamu dengerin aku. Kangen tatapan kamu yang bisa bikin aku ngerasa cukup, padahal aku lagi hancur-hancurnya.”

“Dan aku kangen suara kamu manggil nama aku, tanpa basa-basi.”

Chika masih diam, menatapnya, dan ada setetes air mata yang akhirnya jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena tahu: ini bukan sekadar rindu yang mengendap, tapi rindu yang bertumbuh—diam-diam, dalam.

“Aku masih inget warna sweater kamu yang kamu pakai terakhir kali kita ketemu. Masih inget cara kamu bilang ‘nggak apa-apa kok’ padahal kamu jelas-jelas terluka. Aku nyesel, Chik. Sering banget nyesel. Tapi rindu itu yang paling sering nyelip di sela-sela hari-hari aku.”

Chika menutup matanya sebentar. Jemarinya menggenggam tangan Chiko lebih erat.

“Aku juga kangen, Ko,” bisiknya. “Tapi aku tahan rindu itu karena aku nggak tahu kamu masih ada atau udah pergi jauh banget. Tapi sekarang kamu di sini…”

“Dan kamu masih inget semuanya.”

Mereka diam lagi. Tapi malam itu, diam bukan berarti kosong. Diam adalah bentuk paling hening dari pelukan jiwa.

“Aku sayang kamu, Chika,” ucap Chiko, nyaris berbisik. “Masih. Dari dulu. Nggak pernah hilang. Cuma… aku baru berani bilang sekarang.”

“Aku juga sayang kamu, Chiko,” jawab Chika, kali ini tanpa ragu. “Dan aku udah lama berhenti nunggu kamu kembali. Tapi aku tetap berdoa… kalau suatu hari kamu datang lagi, kamu datang bukan buat mengulang, tapi buat menyembuhkan.”

“Dan kamu datang malam ini, tepat waktu.”

Chiko tersenyum. Lalu menunduk, menyentuh punggung tangan Chika dengan perlahan. Bukan sebagai milik, tapi sebagai hormat—kepada perempuan yang pernah ia tinggalkan, namun tak pernah ia lupakan.

 Dan di antara rak-rak buku yang sunyi, dua manusia itu mulai menulis ulang cerita mereka. Bukan dari lembar kosong. Tapi dari bekas luka yang kini jadi tempat paling subur untuk menanam cinta yang baru.

Cahaya pagi menyelinap perlahan lewat celah tirai. Aroma tanah basah dari taman kecil di depan perpustakaan semalam masih tertinggal samar, seakan malam itu belum benar-benar pergi.

Chika membuka matanya perlahan. Bukan karena alarm. Tapi karena perasaannya membangunkannya lebih dulu. Ada semacam hangat yang baru—bukan hangat dari selimut, tapi dari kepastian kecil yang ia bawa pulang semalam.

Ponselnya menyala pelan. Satu pesan baru.

Chiko – 06:03

“Pagi. Aku tahu kamu suka pagi yang tenang.

Tapi hari ini, boleh nggak aku ganggu sedikit? Aku tunggu kamu di taman kampus. Bukan buat nanya ‘kita ini apa’, tapi cuma buat nemenin kamu minum teh. Kalau kamu mau.”

Chika tersenyum. Sederhana. Tapi dalam.

Ia berdiri, memakai cardigan abu tipis kesukaannya, dan melangkah pelan. Tidak terlalu berharap akan ada momen luar biasa. Tapi cukup ingin hadir… untuk menemani.

Di taman kampus, Chiko sudah duduk di bangku panjang dekat pohon trembesi. Di tangannya ada dua gelas karton kecil. Teh hangat dan satu biskuit kacang.

Saat Chika datang, ia berdiri sebentar. Tak buru-buru menyapa. Hanya menatap—lama. Seolah ingin memastikan: ya, ini bukan mimpi. Ini pagi yang nyata. Dan Chika benar-benar di sini.

“Tehnya masih hangat,” kata Chiko sambil menyerahkan satu.

“Aku inget kamu suka teh pahit, tapi kamu nggak pernah nolak biskuit manis. Kayak kamu. Luka, tapi nggak pernah pahit.”

Chika terkekeh pelan. Duduk di sampingnya, berjarak satu siku. Cukup dekat untuk merasakan kehadiran, cukup jauh untuk memberi ruang.

“Chiko, kamu kelihatan beda pagi ini,” ujarnya.

“Kayak seseorang yang baru nemu arah pulang.”

Chiko mengangguk pelan. Menatap langit sebentar.

“Aku nggak tahu bisa jadi ‘rumah’ yang baik buat kamu, Chik. Tapi aku pengin belajar. Dan kalau kamu izinkan, aku pengin jadi teman paling jujur yang pernah kamu punya. Yang mau dengerin, yang nggak kabur pas kamu lelah.”

“Aku nggak akan janji buat selalu tahu jawaban. Tapi aku akan selalu ada buat denger pertanyaan-pertanyaanmu.”

Chika diam. Teh di tangannya kini menghangatkan telapak.

“Dulu aku pikir kamu pergi karena kamu ga sayang,” katanya pelan.

“Tapi sekarang aku ngerti. Kamu pergi karena kamu takut… takut melukai aku lebih dalam.”

Chiko menunduk. Ia tak menyangkal. Tapi juga tidak membela diri.

“Aku takut kamu terlalu percaya sama versi aku yang belum siap, Chik. Tapi malam itu, di perpustakaan… waktu kamu bilang kamu nggak nyari penyelamat, tapi rekan seperjalanan, aku ngerasa lega banget.”

“Karena itu juga yang aku mau. Kita saling rangkul, tapi tetap bertumbuh. Saling jaga, tapi nggak saling bebankan.”

Mereka sama-sama menghela napas. Angin pagi berhembus ringan. Daun-daun trembesi menari pelan di atas kepala mereka, seperti saksi bisu kebersamaan yang sedang ditenun ulang.

Chika menoleh. Kali ini tanpa senyum, tapi dengan tatapan penuh cahaya.

“Kalau nanti aku ragu lagi… boleh aku bilang terus terang? Tanpa takut kamu pergi?”

Chiko membalas tatapannya. Tegas, lembut.

 “Tiap kali kamu ragu, bilang. Aku nggak akan pergi. Aku akan duduk di sini, dengerin, dan kita cari arah bareng. Lagi dan lagi.”

Dan pagi itu, tanpa pelukan.

Hanya dua cangkir teh yang menghangat, dua tangan yang sesekali bersentuhan, dan dua hati yang akhirnya berani menyusun ulang hidup mereka — dengan perlahan, tapi penuh makna.

Pagi itu bergulir perlahan. Teh sudah habis, tapi mereka belum beranjak.

Chiko menggenggam cangkir kosong di tangannya. Lalu mendesah pelan, seperti sedang mencari keberanian untuk bicara. Matanya menatap ke depan, tapi kata-katanya tertuju hanya untuk Chika.

“Chik… aku harus jujur sesuatu lagi. Bukan tentang masa lalu. Tapi tentang rasa yang nggak pernah sempat aku ucap.”

Chika menoleh. Diam, tapi penuh perhatian.

Setelah kita pisah dulu… ada malam-malam yang rasanya nggak bisa aku lewati. Aku nggak nangis. Tapi aku juga nggak hidup. Kayak… kosong. Aku coba sibuk, kerja, riset, nulis laporan panjang-panjang, baca jurnal… Tapi di antara semua itu, selalu ada satu ruang kosong—dan namamu ada di situ.”

Ia menunduk sejenak. Matanya mulai berkabut.

“Aku rindu. Tapi aku terlalu sombong untuk bilang. Terlalu takut kalau kamu udah baik-baik aja tanpaku.”

“Aku ngelihat kamu dari jauh. Di media sosial, kadang waktu kamu nulis di blog. Aku tahu kamu lagi berjuang. Tapi aku juga lihat, kamu tumbuh luar biasa. Dan jujur… aku bangga.”

Chika menggigit bibir bawahnya. Ada air bening yang mulai menggenang, tapi belum jatuh.

 “Ko… kenapa kamu nggak bilang dari dulu?”

Chiko tersenyum miris.

“Karena waktu itu aku pikir… cowok harus kuat. Harus bisa ‘move on’. Padahal, dalamnya aku hancur juga. Tapi aku terlalu takut kelihatan rapuh.”

Ia menarik napas dalam, lalu menoleh. Kali ini langsung ke mata Chika.

“Tapi sekarang aku tahu, jadi laki-laki bukan berarti harus selalu kelihatan tangguh. Tapi harus cukup jujur buat bilang: aku butuh kamu, aku sayang kamu, dan aku pengin kamu tahu itu setiap hari.”

“Aku sayang kamu, Chika. Dari dulu. Dari yang paling diam sampai yang paling sakit. Dan sekarang… aku mau sayang kamu dengan cara yang lebih dewasa. Bukan dengan gengsi. Tapi dengan kehadiran.”

Chika menunduk. Bahunya bergetar. Kali ini air matanya jatuh, bukan karena luka, tapi karena terjawab.

Ia tidak menjawab dengan kata. Tapi ia meraih tangan Chiko. Menggenggamnya, lalu meletakkannya di dadanya sendiri.

“Kamu tahu?” katanya pelan.

“Setiap kali aku nulis, rasanya seperti ada kamu yang diam-diam baca. Dan aku cuma bisa berdoa… semoga kamu tahu aku nggak pernah benar-benar berhenti sayang.”

“Tapi sekarang, aku nggak perlu nulis sembunyi-sembunyi lagi. Karena kamu udah ada di sini.”

Chiko menatap tangan mereka yang kini saling menggenggam.

“Boleh kita mulai hari ini… bukan sebagai mantan, bukan juga sebagai pelarian… tapi sebagai dua orang yang saling memilih—setiap pagi, setiap kali ragu datang?”

Chika mengangguk pelan.

“Iya. Kita pilih satu sama lain. Hari ini, dan nanti-nanti.”

Dan pagi itu… mereka tak butuh pengakuan ke seluruh dunia. Tak perlu pengumuman atau foto berdua yang penuh filter.

Karena cinta yang paling utuh bukan yang paling sering dipamerkan, tapi yang paling tenang diperjuangkan.

Hari itu, mereka bukan yang kembali jadi sepasang kekasih.

Tapi mereka yang menjadi dua sahabat jiwa—yang saling menyembuhkan, saling mengenal ulang, dan saling mencintai… dengan cara yang lebih lembut.

Hari itu, tubuh Chika mendadak lemas. Mungkin karena terlalu banyak agenda. Mungkin juga karena pikirannya terlalu penuh.

Ia pulang lebih cepat dari biasanya. Begitu sampai di kontrakannya, ia hanya sempat menaruh tas dan berganti baju, sebelum akhirnya rebah begitu saja di kasur. Tubuhnya panas. Kepalanya berdenyut.

Ia hanya sempat mengirim satu pesan:

"Ko… maaf. Kayaknya aku nggak bisa ke mana-mana hari ini. Badanku nggak enak banget. 😷”

Tak butuh waktu lama. Satu jam kemudian, pintu rumahnya diketuk perlahan.

Chiko datang.

Dengan masker di wajah, termos kecil berisi air jahe di tangan, dan kantong plastik berisi bubur ayam, vitamin, serta biskuit kesukaan Chika.

Ia tidak langsung bicara banyak. Hanya mengusap rambut Chika perlahan sambil berbisik:

“Tenang, bunga kecilku. Hari ini nggak usah mikir apa-apa dulu. Kamu cuma perlu istirahat. Sisanya… biar aku yang urus.”

Ia menyiapkan kompres, menaruh kain basah di dahi Chika. Ia mengecek suhu tubuh Chika setiap dua jam sekali. Membacakan sedikit puisi pelan-pelan agar Chika tidak merasa sepi. Ia bahkan menyanyikan lagu lama yang dulu pernah mereka dengarkan diam-diam—walau suaranya sumbang, tapi cintanya tidak.

Chika membuka mata setengah, suaranya serak:

“Kamu repot banget…”

Chiko mencium punggung tangannya perlahan.

“Nggak repot kalau yang aku rawat adalah rumah buat hatiku.”

Chika terdiam. Air matanya jatuh satu-satu. Bukan karena sakit, tapi karena… akhirnya ia mengerti apa arti dicintai tanpa syarat.

“Ko…” ia berbisik.

“Kamu kayak pelindung kecil dari Tuhan. Datang nggak pakai suara, tapi selalu ada waktu aku paling butuh.”

Chiko hanya tersenyum. Ia menyelimuti tubuh Chika, lalu duduk di lantai di samping kasurnya.

“Kalau kamu bunga yang sedang layu, maka aku akan jadi matahari yang hangat, tapi nggak memaksa kamu mekar. Cukup jadi cahaya yang sabar. Sampai kamu pulih. Sampai kamu kuat lagi.”

Hari itu, Chiko tidak sibuk membenahi dunia.

Ia hanya sibuk menjaga satu dunia kecilnya: Chika.

Dan Chika, dalam kelemahannya, merasa seperti bunga mungil yang sedang dipeluk musim semi. Tak perlu mekar cepat-cepat. Tak perlu indah dulu. Karena cintanya kini tak menghakimi, hanya menemani.

Hari keempat sejak Chika jatuh sakit.

Demamnya sudah turun. Nafasnya mulai stabil. Tapi Chiko tetap datang setiap pagi, tanpa diminta.

Hari itu, ia datang lebih pagi dari biasanya. Membawakan sarapan ringan dan satu pot kecil bunga daisy putih, yang diam-diam ia beli di perjalanan. Katanya:

“Nggak tahu kenapa, bunga ini kayak kamu. Lembut, sederhana, tapi kalau mekar… semua yang lihat jadi tenang.”

Chika hanya tersenyum, tak membalas banyak. Tapi di dalam hati, ia seperti ingin menjerit:

“Tuhan, kenapa aku bisa disayang seindah ini… dan masih merasa belum cukup baik untuknya?

Hari mulai siang. Chika duduk di kursi dekat jendela, mengenakan sweater abu yang agak gombrang, rambutnya masih berantakan.

Chiko tertidur di lantai, bersandar di kasur dengan hoodie menutupi setengah wajahnya. Tapi Chika tahu—Chiko sedang tidak tidur betulan. Ia hanya diam, memberi ruang. Seperti biasa.

Chika membuka lembar notes kecil dari tasnya. Menulis sesuatu yang beberapa hari ini tersimpan di kepalanya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi ia terus menulis. Kata demi kata. Bukan untuk dibaca banyak orang. Hanya untuk satu jiwa—yang sedang diam di dekat kakinya.

Lalu, dengan suara lirih, seperti berdoa, ia mulai membaca puisi itu.

“Untuk yang Tak Banyak Tanya, Tapi Selalu Ada”

Kamu nggak pernah nanya,

kenapa aku tiba-tiba diam, kenapa aku nangis pelan,

atau kenapa tubuhku tiba-tiba rapuh.

Tapi kamu datang.

Bawa teh hangat, tangan hangat, dan napas yang tidak menuntut.

Kamu diam. Tapi diam yang penuh kasih.

Diam yang jadi pelukan tanpa lengan.

Saat aku rebah, kamu duduk di lantai.

Saat aku tidur, kamu tetap berjaga.

Aku tahu kamu lelah,

Tapi kamu memilih jadi lentera.

Maka hari ini, izinkan aku jadi satu kata:

terima kasih.

Bukan cuma karena kamu ada,

tapi karena kamu tidak pernah membuatku merasa

seperti beban yang harus disembunyikan.

Kamu,

adalah cara Tuhan menunjukkan bahwa cinta bisa tenang,

dan tidak perlu gaduh untuk bisa terasa dalam.

--

Chika berhenti membaca. Matanya basah. Tapi senyum tipisnya merekah.

Chiko diam beberapa detik. Lalu membuka mata.

“Kamu tahu?” katanya pelan.

“Aku denger dari baris pertama.”

Chika menunduk, malu.

“Tapi aku pura-pura tidur, supaya kamu bisa berani baca sampai habis.”

Lalu ia bangkit. Berdiri pelan, lalu meraih tangan Chika.

“Terima kasih udah nulis itu. Tapi aku pengin kamu tahu: kamu nggak perlu jadi penyair buat dicintai. Kamu cukup jadi kamu… yang sakit pun masih mikirin orang lain.”

Ia menarik kursi di sebelah Chika. Duduk, lalu menatap jendela bersama.

Hujan turun pelan. Tapi dalam hati mereka, matahari baru saja lahir.

Karena cinta bukan hanya saat kamu sehat, ceria, dan sempurna. Tapi saat kamu rapuh, berantakan, dan tetap dipeluk… tanpa syarat.

Sudah lewat seminggu sejak pagi itu—saat Ibu diam-diam tersenyum. Sejak hari itu, ada yang berubah, meski tak ada yang diumumkan. Tak ada status, tak ada ucapan selamat. Hanya tatapan yang lebih dalam. Diam yang lebih hangat. Dan senyum yang… menyimpan sesuatu.

Hari itu, Chiko datang sedikit lebih pagi dari biasanya. Ia tak membawa bubur ayam. Tak juga membawa bunga daisy. Tapi di tangannya ada buku catatan kecil berwarna coklat tua, agak usang di pinggir-pinggirnya.

Ia duduk di bangku kayu dekat taman kecil belakang rumah Chika. Angin pagi Bandung masih terasa dingin, dan wangi melati dari pot-pot gantung mengambang di udara seperti ingatan masa kecil.

Chika datang dengan sweater putih dan rok panjang bergaris halus. Rambutnya dikuncir sederhana. Ia membawa dua cangkir teh, lalu duduk di sebelah Chiko.

"Aku nggak bawa bubur hari ini," kata Chiko sambil menatap halaman kosong di depannya.

"Nggak apa-apa. Aku udah mulai makan roti gandum sekarang," jawab Chika, tersenyum ringan.

Lalu, Chiko membuka buku kecil itu. Halamannya penuh tulisan tangan. Rapi. Tenang. Seperti dirinya. Ia menyerahkannya ke Chika.

"Aku nulis ini minggu lalu. Setelah kamu sembuh, aku mikir… kalau suatu hari kamu bertanya kenapa aku masih sering datang, mungkin aku nggak akan bisa jawab dengan kalimat pendek. Jadi aku nulis aja daftar."

Chika menerima buku itu dengan pelan. Di halaman pertama, ada judul:

“Hal-hal yang Ingin Kulakukan Bersamamu Sebelum Tua”

Ia tertawa kecil. Tapi matanya hangat. Ia mulai membaca, dan setiap poin terasa seperti jendela kecil yang memperlihatkan dunia di dalam hati Chiko—yang selama ini hanya ia duga, tapi belum pernah ia masuki sepenuhnya.

1. Beli peta besar dunia, lalu lingkari tempat-tempat yang ingin kita kunjungi—meski mungkin nggak semua bisa tercapai.

2. Menonton hujan sambil minum teh di teras rumah kamu. Nggak ngapa-ngapain. Hanya duduk diam.

3. Belajar masak makanan favorit kamu—dan gagal berkali-kali sampai akhirnya bisa.

4. Menghabiskan satu hari di toko buku. Kamu baca, aku cuma duduk dan lihat kamu.

5. Mendengar kamu cerita masa kecilmu, bahkan yang kamu pikir nggak penting.

6. Menemani kamu kalau kamu gugup sebelum seminar atau sidang tesis.

7. Nulis cerita pendek bareng. Kamu bagian narasi, aku bagian tokohnya.

8. Jalan kaki sore hari, saling cerita tentang kekhawatiran kecil yang nggak pernah kita ucapkan ke siapa-siapa.

9. Bantu kamu menyusun rak buku impianmu. Lengkap dengan label warna dan urutan emosi.

10. Tua bareng kamu. Mungkin bukan sebagai pasangan. Tapi kalau bisa... ya, sebagai itu. Tapi kalau nggak, setidaknya, tetap bisa ada di daftar kecil kamu.

Chika membaca perlahan. Setiap kalimat seperti menyentuh bagian dari dirinya yang selama ini dijaga rapat. Ia menutup buku itu perlahan, lalu menatap Chiko.

“Kenapa kamu tulis ini semua?” tanyanya, lirih.

Chiko tak langsung menjawab. Ia mengangkat bahu sedikit, lalu menatap langit yang mulai biru.

“Karena… aku belum berani bilang aku cinta kamu. Tapi aku tahu, kalau bisa melakukan semua ini sama kamu, rasanya mungkin lebih jujur daripada sekadar bilang tiga kata itu.”

Chika tidak menjawab. Ia hanya menggenggam buku kecil itu lebih erat. Lalu bersandar pelan di bahu Chiko.

Tak ada musik romantis. Tak ada pelukan dramatis. Hanya dua manusia yang tahu… bahwa cinta tak harus selalu diumumkan. Kadang cukup ditulis dalam daftar. Dalam langkah-langkah kecil menuju hari tua.

Dan hari itu, tanpa disadari, Chika sudah mencentang satu dari daftar itu:

“Menonton hujan sambil minum teh di teras rumah kamu. Nggak ngapa-ngapain. Hanya duduk diam.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin