Di sebuah hutan tua yang penuh bisikan angin dan cahaya matahari yang menari di antara dedaunan, hiduplah tiga tupai yang tak terpisahkan: Theodore, Elora, dan Poppy.
Elora adalah yang tertua. Tupai itu dikenal bijak dan pendiam, tapi semua tahu: jika bahaya datang, ia akan berdiri paling depan. Ia menyimpan banyak peta hutan dalam ingatannya, dan tahu pohon mana yang menyimpan buah termanis tanpa harus bertanya.
Theodore, si tengah, adalah penenang jiwa kelompok. Tubuhnya mungil, bulunya sedikit keemasan, dan matanya seperti sore hari yang damai. Ia suka duduk di dahan tertinggi, menulis puisi di udara, dan mendengar cerita dari ranting yang bergoyang. Theodore adalah hati dari persahabatan itu.
Dan terakhir, Poppy. Ah, siapa yang bisa menandingi semangat Poppy? Ia berlari ke sana ke mari, tertawa sendiri, menjerit bahagia hanya karena melihat kupu-kupu. Bulu ekornya sedikit merah jambu, dan ia suka menamakan jamur atau membuat acara lomba lari antar semut. Tapi jangan remehkan Poppy—jika sahabatnya sedih, ia akan menjadi pelangi tercepat yang turun dari langit.
Suatu hari, angin dari utara membawa kabar: manusia akan membuka jalan di tengah hutan. Banyak pohon akan tumbang, banyak sarang akan hilang.
“Apa kita akan pergi dari sini?” tanya Elora pelan, duduk di samping Theodore.
Theodore diam sejenak. Ia memandang langit yang mulai mendung. “Belum tentu. Tapi kita harus bersiap.”
Poppy yang dari tadi terbang melompat dari pohon ke pohon, tiba-tiba berhenti dan berkata, “Kalau mereka datang, kita bisa ajak mereka main ke taman bawah pohon! Siapa tahu mereka suka dan nggak jadi motong pohon!”
Elora tertawa kecil, “Poppy, kadang kamu terlalu optimis.”
“Tapi kadang itu perlu, kan?” balas Poppy sambil berguling di atas daun-daun kering.
Theodore akhirnya tersenyum. “Kita tetap tinggal. Kita lindungi rumah ini. Tapi bukan dengan marah-marah. Kita tunjukkan bahwa hutan ini hidup. Penuh tawa, cerita, dan cinta.”
Maka mulailah mereka bertiga membuat “panggung hutan.” Dengan bantuan burung, semut, dan kelinci, mereka menciptakan suara-suara malam yang indah, lampu dari kunang-kunang, dan aroma manis dari bunga liar.
Ketika manusia datang, mereka terdiam. Mereka tak jadi menebang. Karena entah bagaimana, di tengah hutan itu, mereka merasa... dilihat. Dihargai. Disambut.
“Rasanya seperti… rumah,” kata salah satu manusia muda sambil tersenyum kecil.
Malam itu, di balik dedaunan yang berkilau diterpa bulan, tiga tupai kecil saling memeluk di atas pohon tua.
“Kalau kita tetap bersama, apa pun bisa kita hadapi,” bisik Elora.
“Ya,” kata Theodore pelan.
Poppy menambahkan, “Dan kalau bosan, kita tinggal buat lomba lari antar kabut!”
Tawa mereka pecah. Hutan ikut tertawa bersama mereka—karena tahu, selama Theodore, Elora, dan Poppy ada, hutan itu akan terus hidup. Dengan cinta, dengan keberanian, dan dengan persahabatan yang tak lekang oleh waktu.
Pagi berikutnya datang dengan aroma embun dan warna langit yang jernih seperti hati yang baru dicuci hujan. Di antara ranting dan dahan, ketiganya sudah sibuk. Poppy mengayuh ayunan daun yang digantung di akar gantung, tertawa setiap kali angin membuatnya terbang lebih tinggi.
“Eloraaa! Lihat! Aku hampir menyentuh awan!” teriak Poppy.
“Kalau kamu sampai ke awan, titip salam untuk pelangi ya,” sahut Elora, sedang menata sarang kecil mereka yang kini lebih ramai dengan hiasan bunga liar dan biji pinus berwarna.
Sementara itu, Theodore duduk di batu hangat yang dikelilingi semut-semut penari. Ia menulis sesuatu dengan ujung ranting di atas tanah lembut.
“Apa yang kamu tulis?” tanya Elora mendekat.
“Catatan kecil untuk hutan. Tentang kita. Tentang hari ini,” jawab Theodore, matanya menatap jauh, seperti melihat sesuatu yang belum terjadi.
Elora mengangguk. “Aku suka saat kamu menulis. Rasanya seperti hatimu sedang berbicara.”
Menjelang siang, langit mendadak berubah. Awan bergulung cepat, dan petir mulai bergaung lembut dari kejauhan.
“Badai?” gumam Theodore.
Elora menggigit bibirnya. “Ini lebih dari sekadar hujan biasa…”
Mereka segera turun ke akar besar pohon beringin, tempat mereka biasa berkumpul jika sesuatu terjadi. Poppy yang biasanya ceria, kali ini terlihat serius.
“Kalian dengar itu?” bisiknya. “Suara dari jurang sebelah timur.”
Mereka semua menajamkan telinga. Terdengar seperti… tangisan. Namun bukan suara manusia. Bukan pula binatang biasa.
Tanpa pikir panjang, ketiganya melompat dan berlari melintasi semak, ranting, dan kabut. Angin makin kencang, dan dedaunan beterbangan seperti pesan-pesan darurat dari langit.
Di tepi jurang, mereka menemukan seekor burung besar, bersayap cokelat keperakan, terjebak dalam anyaman ranting dan tali plastik. Sayapnya terluka. Matanya memohon.
“Aku akan mengalihkan perhatiannya dengan nyanyian,” ujar Elora, lalu mulai menyanyikan nada rendah dan menenangkan, membuat suasana sedikit damai meski angin belum berhenti menggila.
Poppy mengeluarkan seutas rumput manis yang biasa ia pakai bermain tali-temali. “Tenang, kita di sini,” katanya pada si burung.
Bersama, dengan hati-hati dan cekatan, mereka berhasil melepaskan sang burung. Burung itu tak bisa terbang jauh, tapi ia bisa melompat ke tempat aman di bawah pohon pinus besar.
Sebelum pergi, ia menatap mereka dan berkata, “Namaku Aureon. Kalian tidak hanya menyelamatkanku. Kalian telah menyelamatkan harapan. Suatu saat nanti, aku akan kembali… membawa pesan dari langit.”
Petang pun datang dengan cahaya keemasan. Theodore, Elora, dan Poppy duduk di ujung dahan besar, menatap langit yang mulai cerah kembali.
“Menurut kalian, kita akan menghadapi badai lain?” tanya Poppy pelan.
“Tentu,” jawab Elora. “Tapi kita tidak akan sendiri.”
Theodore menggenggam ranting kecil dan berkata, “Karena selama kita tetap bersahabat, hutan akan selalu punya pelindung. Dan harapan akan terus tumbuh.”
Lalu Poppy berdiri di ujung dahan, membentangkan tangan kecilnya ke langit, dan berseru, “Kami adalah para penjaga pohon! Penjaga tawa! Penjaga cahaya!”
Dan untuk pertama kalinya, langit menjawab dengan pelangi kecil yang menggantung rendah, seolah memberkati janji mereka.
Di tengah hutan yang penuh warna dan tawa, hari-hari Theodore mendadak berubah kelabu. Bukan karena badai, bukan karena musuh, tapi karena... dirinya sendiri.
Selama ini, Theodore dikenal sebagai si tupai pemikir — puitis, penuh ide, dan selalu tenang. Ia menulis cerita, merancang peta petualangan, bahkan pernah memenangkan lomba dongeng hutan. Tapi kali ini, setelah mencoba mengikuti lomba cerita terbesar di negeri hutan raya, karyanya tak terpilih. Tidak ada undangan. Tidak ada pengumuman. Hanya sunyi yang menjawab.
Ia mulai bertanya-tanya:
"Apa aku memang tidak cukup baik? Apa semua yang kutulis selama ini hanya... kebetulan?"
Elora mulai merasakan ada yang berubah. Theodore tak lagi duduk di dahan favoritnya. Ia tidak menyalin puisi daun seperti biasanya. Dan pagi itu, ia bahkan tak datang ke sarapan kacang bersama mereka.
“Dia sedang bersembunyi di balik pikirannya sendiri,” kata Elora pelan sambil memandangi langit.
Poppy langsung melompat, “Kalau begitu kita masuk ke pikirannya dan cat pilox semua tembok sedihnya dengan warna pelangi!”
“Elora, kita harus temui dia.”
Mereka menemukan Theodore di bawah akar beringin tua, tempat yang dulu sering ia jadikan ruang imajinasi.
“Kukira... aku bisa,” bisik Theodore tanpa menoleh. “Kupikir karyaku cukup berharga. Tapi ternyata... tidak ada yang peduli.”
Elora mendekat, dan dengan suara lembut ia berkata, “Kalau kamu menulis hanya untuk dipilih, mungkin kamu akan sering patah. Tapi kalau kamu menulis karena hatimu tak bisa diam, maka dunia butuh itu — meski tak selalu memberimu piala.”
Poppy menyodorkan setangkai bunga liar berwarna oranye cerah. “Ini bukan penghargaan lomba. Tapi penghargaan dari kami. Karena kamu… berhasil membuat hidup kami jadi lebih bermakna.”
Mata Theodore berkaca-kaca. Ia tak menangis — tapi dadanya sedikit lebih lapang.
Hari-hari berikutnya, Theodore kembali menulis. Tapi kini bukan demi lomba. Ia menulis surat-surat kecil yang ia gantungkan di pohon-pohon hutan. Surat tentang rasa, semangat, penghiburan, dan harapan. Para penghuni hutan membacanya, dan satu per satu mulai meninggalkan balasan.
Surat-surat itu kelak dikenal sebagai “Angin Theodore” — pesan kecil yang menghangatkan pagi siapa pun yang membacanya.
Dan di balik semua itu, Elora dan Poppy tahu: mereka tidak hanya menyelamatkan sahabatnya... mereka telah membantu dunia menemukan kembali suaranya.
Musim semi hampir berakhir. Hutan mulai berubah warna, dan dedaunan yang dulu hijau mulai menguning perlahan. Tapi yang paling berubah bukan hanya pepohonan—melainkan hati Elora.
Selama ini, Elora dikenal sebagai penunjuk arah. Ia tahu jalan pulang bahkan dalam badai. Ia hafal nama-nama bintang dan tahu kapan embun akan turun. Tapi kali ini, justru dia yang tersesat… dalam pikirannya sendiri.
Pagi itu, saat Poppy dan Theodore sedang merancang festival kacang musim gugur, Elora duduk diam di akar pohon tua, memandangi dua cabang jalan kecil yang terbentuk karena longsoran kecil di hutan.
“Dua jalan,” bisiknya pelan. “Seperti hidupku sekarang.”
Elora mendapat tawaran dari Koloni Tupai Utara—sebuah tempat penuh ilmu dan pengetahuan hutan. Mereka memintanya bergabung sebagai penjelajah langka yang akan memetakan bagian hutan yang belum pernah dijelajahi siapa pun.
Tapi… jika ia menerima itu, ia harus meninggalkan hutan kecil tempat ia tumbuh. Meninggalkan Theodore. Meninggalkan Poppy.
“Aku ingin belajar,” katanya pada dirinya sendiri. “Tapi aku juga takut kehilangan.”
Malam Sunyi dan Dua Pasang Telinga
Malam itu, Theodore menemukan Elora termenung memandangi cahaya kunang-kunang dari ujung dahan.
“Kamu takut jalan yang baru?” tanya Theodore lembut.
Elora mengangguk. “Aku takut… kalau aku pergi, aku tak bisa kembali jadi Elora yang kalian kenal.”
Theodore tersenyum, “Mungkin kamu akan jadi Elora yang baru. Tapi kami akan tetap mengenalmu. Karena bukan tempat yang membuatmu Elora—tapi hatimu.”
Lalu Poppy datang melompat dengan pelukan tiba-tiba, “Kamu boleh pergi ke mana pun. Tapi janji satu: kamu harus bawa biji kacang kesukaanku dan cerita-cerita seram dari utara!”
Mereka bertiga tertawa dalam gelap. Tawa kecil, tapi cukup untuk meredakan badai batin.
Musim Berganti, Hati Tetap Satu
Akhirnya, Elora memutuskan berangkat. Tapi sebelum pergi, ia membuat peta kecil untuk Theodore dan Poppy—peta yang bukan hanya berisi rute hutan, tapi juga kenangan, tawa, dan pesan-pesan kecil yang ia sisipkan di sela gambar.
Dan saat ia melangkah meninggalkan pohon rumah mereka, ia berbalik dan berkata:
“Jalan yang panjang tak menakutkan, selama aku tahu siapa yang akan kuceritakan ketika aku pulang.”
Musim semi telah kembali. Angin membawa aroma bunga liar dan bisikan lembut yang seperti menyanyikan lagu lama: lagu tentang pulang.
Di kejauhan, seekor tupai dengan langkah mantap berjalan melewati akar-akar tua yang ia kenal sejak kecil. Bulunya sedikit berubah warna karena perjalanan panjang, tapi matanya… masih mata Elora—si bijak yang pernah pergi untuk menemukan dirinya sendiri.
Dari kejauhan, terdengar suara yang tak mungkin salah.
“ELORAAAAAAA!”
Itu suara Poppy, tentu saja. Si kecil yang tak pernah bisa berbisik kalau sedang bahagia.
Dalam sekejap, tubuh mungil Poppy menabrak Elora dengan pelukan melingkar dan tawa yang pecah seperti hujan pertama. Tak lama kemudian, Theodore muncul, tersenyum penuh hangat sambil membawa daun teh dan selimut dari serat pohon beringin.
“Sudah kuduga kamu akan pulang di musim semi,” bisik Theodore, mata lembutnya menyimpan air yang tak jadi jatuh.
Elora menatap mereka berdua. Dunia bisa seluas apa pun, tapi rumah… selalu seperti ini: dua makhluk yang menerimanya tanpa banyak tanya, tanpa menuntut penjelasan.
Malam itu, di bawah cahaya bintang dan nyala api kecil yang mereka buat dari ranting kering, Elora bercerita.
Tentang air terjun yang berbisik. Tentang burung hantu tua yang menyimpan rahasia malam. Tentang satu malam di mana ia menangis di bawah pohon asing—merindukan suara tawa Poppy dan puisi-puisi diam dari Theodore.
“Setelah jauh melangkah,” kata Elora sambil memeluk lututnya, “aku sadar… hutan bukan hanya pohon dan jalan. Tapi siapa yang kau pikirkan saat kau tersesat.”
Theodore mengangguk. Ia menuliskan kalimat itu di sehelai daun besar.
Poppy hanya berkata, “Aku tahu kamu bakal balik! Karena siapa lagi yang bisa bantu aku bikin peta rahasia untuk lomba lari semut?”
Mereka semua tertawa—lama, hangat, dan tanpa beban.
Kini, mereka bertiga tidak hanya tinggal di hutan yang sama, tapi membawa versi baru dari diri mereka sendiri. Elora lebih lembut, tapi juga lebih percaya diri. Theodore lebih terbuka, dan Poppy… tetap Poppy, tapi sekarang ia sering mendengarkan lebih lama sebelum melompat-lompat.
Mereka kembali membangun “panggung hutan,” tapi kali ini lebih besar. Ada pojok cerita dari Elora, dahan musik dari Theodore, dan arena tawa dari Poppy.
Hutan itu hidup lagi—dengan nyawa persahabatan yang telah melewati musim, jarak, dan perubahan.
Dan setiap kali angin berhembus lewat dahan-dahan tinggi, terdengar suara kecil yang tertinggal…
"Jika kita pernah saling jaga, maka kita selalu saling jaga. Selamanya, dalam versi terbaik kita masing-masing."
Di balik tawa riangnya yang selalu meledak seperti kembang api, Poppy punya rahasia kecil. Kadang, saat matahari terbenam dan hutan mulai sunyi, ia merasa sendiri. Bukan karena tidak ada teman, tapi karena ia takut kalau teman-temannya hanya menyukai versi cerianya saja—bukan Poppy yang sesungguhnya.
Suatu malam, Theodore menemukan Poppy duduk sendiri di bawah pohon akasia, menatap bintang-bintang dengan mata yang sayu. Tidak seperti biasanya, Poppy diam, tanpa canda atau lari-larian.
“Kamu kenapa, Poppyy?” tanya Theodore pelan, mendekat sambil membawa sehelai daun sebagai tempat duduk.
Poppy menghela napas panjang, “Kadang aku merasa… mereka cuma lihat aku sebagai si lucu, si riang. Tapi siapa yang tahu kalau aku juga punya hati yang ingin didengar? Aku takut kalau aku tunjukkan sisi itu, mereka jadi pergi.”
Theodore tersenyum hangat, “Kami sahabatmu. Tidak hanya suka tawa dan lomba lari, tapi juga suka kamu apa adanya. Semua sisi kamu.”
Keesokan harinya, Elora datang dengan membawa bunga liar dan duduk di samping Poppy.
“Aku dengar kamu semalam tidak tidur?” katanya lembut.
Poppy mengangguk. “Aku takut teman-temanku tidak benar-benar kenal aku.”
Elora menatap Poppy dengan penuh pengertian, “Aku juga pernah takut seperti itu, Pop. Tapi kamu tahu, persahabatan bukan soal hanya melihat yang terang. Tapi juga siap berbagi yang gelap.”
Theodore ikut menambahkan, “Kita bertiga, dari dulu sampai sekarang, selalu belajar bersama. Jadi jangan takut untuk jadi dirimu sendiri. Kami ada untuk itu.”
Malam itu, Poppy untuk pertama kalinya bercerita panjang lebar tentang rasa takutnya, tentang impian yang belum pernah ia ungkapkan, dan tentang harapan-harapan kecil di dalam hati.
Dan teman-temannya mendengarkan. Sungguh mendengarkan. Tanpa canda, tanpa lelucon. Hanya keheningan yang hangat dan pelukan yang tak perlu kata.
Poppy tersenyum lebar, kali ini dari hati yang benar-benar lega. Ia tahu, selama Theodore dan Elora ada, ia tak perlu lagi menyembunyikan siapa dirinya. Karena persahabatan mereka adalah rumah—tempat di mana semua warna hati boleh hidup dan bersinar.
Suatu pagi yang cerah, saat embun masih menempel di daun-daun segar, Theodore, Elora, dan Poppy sedang bermain di sekitar pohon besar tempat mereka biasa berkumpul. Tiba-tiba terdengar suara ceria dari cabang pohon seberang.
“Tuuuuuupaiiii!” teriak suara yang lembut namun penuh semangat.
Mereka menoleh dan melihat tiga tupai perempuan melompat dengan lincah menuju mereka. Siapa sangka, ada tiga tupai baru yang tak kalah lincah dan ceria:
Mira, si pemikir cermat dengan bulu abu-abu berkilau seperti embun pagi.
Luna, si penjelajah pemberani dengan mata hijau tajam dan ekor yang panjang.
Sari, si penyanyi dengan suara merdu yang selalu membuat semut dan burung berhenti mendengarkan.
Mira, Luna, dan Sari bercerita bahwa mereka datang dari hutan sebelah yang mulai berubah. Mereka mencari teman dan tempat yang aman.
Theodore tersenyum hangat. “Kalau begitu, ayo kita jelajahi hutan bersama. Aku yakin banyak hal seru yang bisa kita temukan kalau bersama-sama.”
Poppy meloncat-loncat girang, “Aku mau bikin lomba lari dengan kalian semua! Ada yang berani kalah?”
Elora mengangguk setuju. “Dan aku ingin membuat peta petualangan baru. Kita bisa cari tempat-tempat rahasia yang belum pernah dijelajahi.
Mereka bertujuh mulai berjalan bersama, melewati pepohonan rimbun dan aliran sungai kecil yang berkelok. Di perjalanan, Luna memimpin jalan dengan keberanian dan rasa ingin tahu yang besar.
Mira mencatat semua hal menarik di sekeliling mereka dengan cermat, sementara Sari sering berhenti bernyanyi, membuat suasana jadi hangat dan penuh energi.
Theodore, Elora, dan Poppy merasa ada semangat baru yang mengalir dari pertemanan ini. Mereka belajar dari satu sama lain, saling melengkapi seperti warna-warni di hutan yang berkilau di bawah sinar mentari.
Saat sampai di Lembah Berbunga, mereka menemukan sebuah tantangan: sebuah jembatan gantung kecil yang terbuat dari akar dan ranting, goyah saat mereka melangkah.
“Ini ujian keberanian kita,” kata Luna.
Sari mulai bernyanyi pelan, memberi semangat, sementara Mira menghitung langkah dengan teliti agar mereka bisa melewati dengan aman.
Theodore menguatkan tangan Elora, Poppy memberi semangat dengan lari-larinya yang ceria.
Bersama-sama, mereka melewati jembatan itu dengan hati-hati dan tertawa lega ketika kaki mereka menginjak tanah lembah yang penuh bunga.
Di lembah itu, mereka duduk bersama di tengah bunga berwarna-warni. Malam mulai turun, bintang bermunculan, dan suara-suara hutan menjadi musik pengiring yang indah.
“Ini baru permulaan,” kata Mira sambil tersenyum.
“Ya, petualangan kita akan terus berlanjut,” balas Theodore.
Elora, Poppy, Luna, Sari, dan Mira saling pandang, dan dalam kehangatan itu, mereka tahu: persahabatan yang baru tumbuh ini akan menjadi kisah indah yang tak terlupakan.
Malam telah tiba, tapi hutan tak menjadi sunyi. Justru sebaliknya, hutan berubah menjadi dunia yang penuh keajaiban. Di bawah cahaya bulan yang lembut, Theodore, Elora, Poppy, Mira, Luna, dan Sari berkumpul di tengah Lembah Berbunga.
“Ini saatnya petualangan malam kita,” bisik Luna dengan mata berkilau penuh semangat.
Poppy melompat kegirangan. “Aku sudah siap! Siapa yang mau ikut lomba lari dengan aku sampai bintang jatuh?”
Elora tersenyum dan mengeluarkan peta kecil. “Kita harus melewati Taman Kunang-Kunang, danau kecil yang berkilau di bawah bulan, lalu ke Gua Suara Angin. Di sana, katanya suara angin bisa bercerita.”
Saat mereka tiba di Taman Kunang-Kunang, ribuan titik cahaya kecil berterbangan, menari-nari seperti bintang yang turun dari langit. Sari mulai bernyanyi dengan suara lembut, membuat cahaya kunang-kunang berputar mengikuti iramanya.
Theodore mengamati bintang di langit dan menulis puisi dalam hati, sementara Mira mencatat pola cahaya kunang-kunang yang berkelap-kelip.
Poppy dan Luna mulai berlomba kecil di antara bunga-bunga, tawa mereka mengalun bersahutan dengan suara malam.
Mereka berjalan menuju danau kecil yang permukaannya berkilau seperti cermin. Di sana, Elora dengan hati-hati mengambil beberapa bunga air untuk membuat rangkaian sebagai tanda persahabatan mereka.
Mira berkata, “Air danau ini jernih sekali. Sepertinya tempat ini menyimpan banyak rahasia.”
Sari mengangguk sambil mengayunkan ekornya, “Kalau malam hari seperti ini, kita bisa mendengar suara hati hutan.”
Langkah mereka berlanjut ke Gua Suara Angin. Di mulut gua, angin malam berhembus lembut, membawa bisikan-bisikan rahasia.
Luna yang paling pemberani melangkah duluan, memasuki gua dengan hati-hati. Suara angin di dalam gua bergema, terdengar seperti cerita lama yang diceritakan kembali.
Theodore menutup matanya, mendengarkan cerita angin itu—kisah tentang persahabatan, keberanian, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.
Setelah keluar dari gua, mereka semua duduk bersama di bawah pohon besar. Theodore mengangkat tangan, “Kita sudah melewati banyak bersama hari ini. Aku percaya, persahabatan kita akan terus bersinar, seperti cahaya kunang-kunang di malam ini.”
Elora, Poppy, Mira, Luna, dan Sari mengangguk setuju, saling berpelukan hangat.
“Malam ini, kita tak hanya menemukan keindahan hutan, tapi juga kekuatan kita bersama,” kata Elora dengan suara lembut.
Malam itu, hutan menjadi saksi persahabatan enam tupai kecil yang berani bermimpi, saling menjaga, dan berpetualang tanpa takut.
Dan di bawah langit penuh bintang, mereka tahu — petualangan indah ini baru saja dimulai.
Beberapa hari setelah petualangan malam yang magis, kabar datang dari ujung hutan — sebuah rawa berkabut yang dulunya tenang kini berubah menjadi misterius dan berbahaya. Banyak binatang kecil menghindar karena kabutnya tebal dan suara-suara aneh yang terdengar dari dalam.
Mira mengusulkan, “Kita harus cek apa yang terjadi di rawa itu. Mungkin ada yang butuh bantuan.”
Luna mengangguk penuh semangat, “Aku juga penasaran. Ayo kita pergi bersama.”
Theodore, Elora, dan Poppy bersama Mira, Luna, dan Sari menyiapkan perlengkapan kecil: ranting panjang sebagai tongkat, daun-daun besar sebagai payung, dan tentu saja, keberanian yang mereka bawa bersama.
Elora berkata dengan tenang, “Kita hadapi bersama, seperti biasa.”
Poppy menambah, “Dan kalau ada yang takut, aku akan jadi pelindung paling kencang!”
Saat mereka sampai di tepi rawa, kabut putih pekat menyelimuti hampir seluruh area, mengurangi jarak pandang. Suara-suara aneh memang terdengar, tapi bukan suara yang menakutkan—lebih seperti bisikan samar.
Mira memimpin langkah, “Ikuti aku, hati-hati di mana melangkah.”
Luna menambahkan, “Tetap dekat ya, jangan sampai terpisah.”
Di tengah rawa, mereka menemukan sebuah sarang burung air yang rusak. Ternyata, angin kencang dan hujan deras beberapa hari lalu telah membuat banyak sarang binatang hilang.
Sari lalu bernyanyi dengan lembut, memanggil burung-burung yang mulai kembali pulang. Suara merdunya seakan mengusir kabut dan membawa kedamaian.
Theodore berkata, “Kadang, hal yang kita takuti itu cuma bayangan. Kalau kita bersama, semuanya terasa lebih ringan.”
Elora tersenyum, “Ini pelajaran yang berharga.”
Poppy melompat, “Sekarang, ayo kita bantu bangun sarang-sarang itu lagi!”
Mereka bekerja sama membangun kembali sarang-sarang, saling membantu dengan semangat yang luar biasa. Kabut perlahan menghilang, berganti dengan sinar matahari yang hangat.
Saat matahari terbenam, tupai-tupai kecil duduk bersama, lelah tapi bahagia.
“Ini bukan hanya petualangan, tapi juga tugas menjaga hutan dan satu sama lain,” kata Mira.
Theodore mengangguk, “Persahabatan kita adalah kekuatan terbesar.”
Mereka tahu, apapun tantangannya, selama mereka bersama, hutan dan persahabatan mereka akan selalu bertahan dan tumbuh semakin kuat.
Suatu pagi yang cerah, Poppy tiba-tiba punya ide gila.
“Ayo kita adain lomba lari! Tapi… harus sambil bawa kacang di kepala!” serunya dengan semangat meledak-ledak.
Theodore mengernyit, “Apa itu nggak bikin susah?”
Elora terkekeh, “Justru itu yang seru, Theo.”
Mira, Luna, dan Sari langsung setuju, sambil membawa kacang dan bersiap di garis start.
Poppy berdiri di garis start, memegang tongkat kecil sebagai tanda mulai.
“Siap? Mulai… sekarang!”
Semua tupai berlari dengan serius, tapi sambil menjaga agar kacang tetap di kepala. Tak lama, kacang mulai berjatuhan dan mereka berusaha menangkapnya kembali sambil tertawa.
Luna terpeleset, tapi malah terjatuh sambil gelak tawa. Theodore, yang biasanya serius, tiba-tiba berlari sambil memutar tubuh agar kacangnya tidak jatuh — kelihatan seperti badut kecil di hutan.
Elora dan Sari berusaha bertahan sambil saling mengejek lucu, “Hati-hati, jangan sampai kacangnya hilang!”
Akhirnya, Poppy yang paling gesit memenangkan lomba, tapi dengan kacang yang sudah hampir copot.
“Kemenangan ini untuk persahabatan kita!” teriak Poppy sambil tertawa lepas.
Semua saling berpelukan, tertawa, dan menikmati momen hangat bersama.
Malam itu, mereka berkumpul lagi, bercerita dan bercanda tentang lomba kacang kocak itu.
Elora tersenyum, “Kadang, kebahagiaan itu sederhana—hanya dengan kacang dan teman-teman.”
Theodore menambahkan, “Dan tawa bersama, itulah harta yang paling berharga.”
Poppy melompat kecil, “Besok kita bikin lomba makan buah beri, siapa takut!”
Semua tertawa, dan hutan pun ikut berseri-seri karena tawa tupai-tupai kecil yang tak pernah lelah menjaga persahabatan dan kebahagiaan mereka.
Udara mulai terasa lebih dingin. Daun-daun memerah dan menguning, gugur satu per satu dari pohon-pohon tua. Hutan tempat para tupai tinggal berubah menjadi lautan warna keemasan.
“Musim gugur sudah datang!” seru Poppy, melompat ke atas tumpukan daun. Ia lalu berguling, membuat hujan daun beterbangan di sekelilingnya.
Theodore menatap dedaunan yang jatuh pelan, lalu menulis puisi di udara menggunakan ranting kecil:
"Di antara dedaun gugur, kita pun jatuh — tapi bersama."
Elora melihat ke arah langit, lalu berkata, “Ini musim yang tepat untuk memetik buah beri terakhir sebelum membeku…”
“Lomba lagi, yuk!” teriak Poppy tiba-tiba. “Kali ini siapa yang bisa kumpulkan buah beri paling banyak dalam waktu satu jam!”
Tupai tupai itu— Theodore, Elora, Poppy, Mira, Luna, Sari, dan si paling pendiam bernama Livi turut bergabung dengan mereka — bersiap dengan kantong kecil di punggung mereka.
“Aturan mainnya: cuma boleh ambil buah beri yang jatuh alami, nggak boleh ambil dari pohon langsung!” seru Poppy, yang lagi-lagi jadi wasit.
“Poppy… kamu bikin aturan biar bisa menang ya?” canda Mira.
“Enggak dong! Aku wasit kok. Juri agung!” Poppy tertawa, membuat semua ikut cekikikan.
Para tupai berlari ke arah berbeda. Theodore menyusuri jalur sunyi yang penuh semak, sambil bernyanyi pelan. Elora naik ke dahan pohon tua, menatap ke kejauhan dan mengingat tempat-tempat rahasia yang menyimpan banyak buah.
Sari dan Luna malah saling bantu, walau mereka juga bersaing. “Kita tim tapi juga musuh!” kata Luna sambil tertawa.
Livi, diam-diam, jadi yang paling cepat. Ia tak banyak bicara, tapi tangannya lincah memetik buah yang jatuh dan menyimpannya rapi.
Tiba-tiba langit mendung, dan angin musim gugur meniup keras. Daun-daun beterbangan, dan kabut tipis mulai turun.
Theodore tersesat di semak-semak dan kehilangan arah.
“Elora…?” panggilnya lirih.
Tak lama kemudian, Elora datang, matanya tajam menembus kabut. Ia menggandeng Theodore dan tersenyum, “Aku tahu kamu bakal nyasar ke sini.”
“Kamu hafal semua jalur ya?” tanya Theodore.
“Kalau jalur hati teman, aku hafal.”
Saat mereka semua kembali ke titik awal, ternyata yang menang adalah… Livi! Si tupai pendiam itu tersipu malu.
“Livi… kamu ninja tupai ya?” goda Poppy.
Mereka lalu membuat lingkaran, duduk di atas dedaunan, dan berbagi hasil tangkapan buah beri.
Sambil makan bersama, Elora berkata, “Musim akan terus berubah. Tapi selama kita saling jaga… kita nggak akan pernah kehilangan arah.”
Dan malam itu, di tengah hutan berwarna jingga dan emas, tawa tujuh tupai kecil membumbung tinggi ke langit — membentuk harmoni yang hanya bisa diciptakan oleh sahabat sejati.
Salju pertama turun saat pagi masih pucat. Butiran putih itu menari-nari di udara, mendarat di hidung kecil Poppy, yang langsung menjerit senang, “Ini salju pertama tahun ini!!!”
Ia melompat-lompat dan membuat jejak kecil di permukaan yang mulai memutih.
Theodore memandangi salju dengan tatapan sendu. Ia menuliskan kata "diam" di atas salju.
“Musim ini membuat semuanya jadi tenang…” katanya pelan.
“Tapi bukan berarti harus sepi,” sambung Elora, meletakkan kacang hangat di telapak Theodore.
Karena udara makin dingin, mereka butuh tempat berlindung. Bukan sekadar lubang pohon—mereka ingin membuat rumah rahasia.
Luna punya ide: “Dulu aku pernah lihat gua kecil di balik tebing utara. Tapi jalannya curam...”
“Petualangan!” seru Poppy tanpa berpikir dua kali.
Maka berangkatlah mereka, tujuh tupai kecil membawa ranting, tali rumput, dan semangat persahabatan.
Jalan menuju tebing penuh tantangan: licin, berangin, dan penuh cabang patah. Tapi dengan saling membantu, mereka sampai ke mulut gua. Dan ternyata… gua itu hangat! Airnya menetes dari dinding batu, dan ada lumut lembut yang bisa dijadikan tempat tidur.
“Ini seperti pondok impian!” kata Mira, matanya berbinar.
Saat mereka membersihkan gua, Livi—yang biasanya diam—menemukan ukiran tua di dinding.
“Lihat…” bisiknya. Ukiran itu membentuk gambar tujuh tupai yang memegang ekor satu sama lain, mengelilingi api unggun.
“Seperti kita,” gumam Elora.
Theodore menyentuh ukiran itu dan berkata, “Mungkin ini rumah dari sahabat-sahabat lama, yang dulu juga saling jaga seperti kita. Sekarang giliran kita menghidupkan tempat ini.”
Malam itu, mereka menyalakan api kecil dari ranting, duduk melingkar, dan minum sup kacang hasil racikan Luna dan Sari.
Salju turun deras di luar, tapi tawa, cerita, dan nyanyian mengisi gua itu.
“Kalau salju jadi terlalu lebat, kita bisa tetap di sini sampai musim semi datang,” kata Elora.
“Tapi jangan lupa… kita punya alasan untuk kembali ke hutan nanti,” kata Theodore.
“Yaitu bikin pesta kacang raksasa buat semua binatang!” sahut Poppy, membuat semua tertawa.
Dan begitulah, tujuh tupai kecil berteduh di tengah salju. Tapi hati mereka tetap hangat, karena mereka tahu: musim boleh berubah, dunia boleh membeku, tapi persahabatan seperti ini… akan selalu menyala.
Malam itu, angin menderu seperti serigala lapar. Salju menebal di luar gua, mengaburkan jejak dan suara.
Tujuh tupai yang biasanya ramai mulai terdiam, saling menggulung dalam pelukan dan dedaunan hangat.
Tapi saat pagi menjelang dan badai mulai mereda... Sari tidak ada.
“Sari…?” Elora memanggil sambil memeriksa sekitar gua.
“Dia tidur di sampingku semalam, tapi... sekarang selimut daunnya kosong,” bisik Mira dengan suara gemetar.
Theodore langsung berdiri, wajahnya serius. “Dia pasti keluar saat badai. Mungkin ingin mencari kacang untuk sarapan. Tapi di luar…”
“Di luar bisa membekukan ekor dalam lima menit,” kata Luna cemas.
Poppy, yang biasanya ceria, kini menggenggam ekornya sendiri. “Kita harus cari dia. Sekarang.”
Dengan kain dari kulit pohon dan api kecil yang dibawa dalam batok, mereka menyusuri jejak samar di salju yang tertiup angin. Elora memimpin di depan, Theodore membaca arah angin, dan Poppy melompat dari dahan ke dahan, matanya liar mencari tanda-tanda.
Livi—yang diam-diam paling peka—menyentuh batang pohon beku. “Ada goresan kecil di sini… jejak cakarnya.”
Mereka mengikuti tanda itu sampai ke jurang dangkal yang ditutup salju dan ranting.
Dan di sanalah—terjebak di balik cabang tumbang dan menggigil—Sari.
Tanpa ragu, Theodore menuruni sisi licin, diikat tali akar oleh Elora dan Luna. Ia menyusup ke bawah dahan-dahan beku dan menarik Sari keluar.
“Maaf…” gumam Sari lemah. “Aku hanya mau mencari bunga musim dingin buat hiasan makan pagi…”
Poppy menangis. “Kamu bisa saja beku!” Tapi ia langsung memeluk Sari erat. “Kamu itu keluarga. Bunga bisa nunggu.”
Dengan kerja sama dan kekuatan hati, mereka mengangkat Sari kembali ke gua, menyelimutinya, dan menyuapinya sup kacang hangat.
Malam harinya, ketika api unggun kecil menyala di tengah gua, Elora menatap teman-temannya satu per satu.
“Kita nyaris kehilangan seseorang hari ini.”
“Tapi kita tidak menyerah. Karena kita satu tali—dan tali ini nggak akan pernah putus,” kata Theodore sambil menggenggam tangan Sari.
Dan malam itu, dengan Sari yang tertidur di tengah pelukan persahabatan, mereka tahu: rumah bukan hanya tempat hangat—rumah adalah kehadiran mereka satu sama lain.
Beberapa hari berlalu sejak badai besar itu mereda. Salju masih tebal, tapi matahari musim dingin mulai bersinar lembut, mencairkan ujung-ujung ranting dan membentuk tetesan air yang berkilau seperti kristal.
Sari sudah pulih. Masih mengenakan syal daun yang dijahit Elora sendiri, ia duduk di ayunan akar sambil tertawa bersama Poppy yang sedang membuat topi dari kelopak beku.
Theodore menatap mereka dari atas dahan, matanya penuh syukur. “Kita butuh sesuatu untuk merayakan hidup,” katanya pada Elora yang duduk di sampingnya.
“Setelah hampir kehilangan satu dari kita… ya. Kita butuh cahaya,” balas Elora sambil menatap langit yang jernih.
Malam itu, saat Sari dan beberapa yang lain tertidur, Theodore, Elora, dan Poppy diam-diam mengumpulkan kunang-kunang musim dingin yang hanya muncul saat suhu membeku tapi langit cerah.
Mereka membuat lentera-lentera dari kelopak es dan daun, menggantungnya dari dahan ke dahan seperti jembatan cahaya.
Mira dan Luna menyiapkan makanan dari simpanan kacang, beri kering, dan madu pohon.
Dan Livi, dengan tangannya yang terampil, membuat gelang kecil dari rumput salju yang hanya tumbuh di celah bebatuan.
Saat semua sudah siap, Poppy dengan semangat melompat ke tengah gua, membuka sayap pintu dedaunan dan berseru,
“Sari, bangun! Kamu harus lihat ini!”
Sari yang masih setengah mengantuk mengikuti langkah-langkah kecil itu keluar… dan matanya membelalak.
Seluruh bagian tengah hutan berubah menjadi taman cahaya. Lentera menyala lembut, berpendar dalam berbagai warna. Di tengahnya, ada meja panjang dari batang pohon, dengan lilin alami dan makanan tersusun indah.
“Ini… untukku?” tanya Sari pelan.
“Untuk kita,” jawab Elora lembut. “Untuk semuanya. Untuk bertahan. Untuk hadir. Untuk cinta.”
Mereka makan, menari, dan bernyanyi. Livi dan Mira membuat simfoni kecil dari ranting dan batu, Poppy membuat salju menjadi panggung tari.
Theodore membacakan puisi tentang badai, pelukan, dan cahaya.
Sari tak berhenti tersenyum malam itu. Di tangannya kini tergenggam gelang rumput salju pemberian Livi.
Ketika malam hampir selesai dan bintang-bintang menyelimuti langit, tujuh tupai kecil itu berbaring berdekatan, memandangi langit dan salju yang jatuh lembut.
“Ini musim dingin paling hangat yang pernah kita punya,” bisik Theodore.
Elora tersenyum. “Karena hangat itu bukan dari api. Tapi dari hati yang nggak pernah pergi.”
Dan sekali lagi, mereka membuktikan—di dunia yang luas dan dingin, rumah bisa sekecil pelukan tujuh tupai yang saling menjaga.
Salju perlahan mencair. Tanah mulai bernafas kembali, dan warna hijau lembut muncul di sela-sela putihnya musim dingin. Suara air dari sungai kecil yang sebelumnya membeku kini kembali mengalir, membisikkan lagu-lagu baru untuk hutan.
Tujuh tupai kecil—Theodore, Elora, Poppy, Mira, Luna, Livi, dan Sari—memulai hari pertama musim semi dengan ritual kecil: menanam biji-biji kenangan.
“Ini dari pohon kenari yang tumbang saat badai,” kata Elora sambil menggenggam biji dengan hati-hati.
“Dan ini dari buah beri yang kita simpan waktu pesta cahaya,” tambah Poppy, matanya berbinar.
Mereka menanam biji-biji itu berjejer, menyiraminya dengan air embun pagi dan memberi nama pada setiap lubang kecil di tanah.
“Yang ini kita sebut ‘Harapan’,” kata Theodore.
“Yang ini ‘Tertawa’!” seru Poppy.
“Dan yang ini…” Elora menatap Sari dengan lembut, “…‘Bertahan’.”
Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan menjelajahi hutan yang perlahan bangkit dari tidurnya. Mereka menemukan sarang burung baru, aliran air yang bercabang ke kolam tersembunyi, dan bahkan tempat tinggi di balik tebing tempat matahari tenggelam seperti emas cair.
Tapi bukan hanya hutan yang berubah—mereka pun berubah.
Mira mulai menulis lagu-lagu baru, menggunakan daun sebagai alat musik.
Livi mulai melatih anak-anak kelinci membuat jembatan kecil dari ranting.
Sari, kini lebih berani, memimpin ekspedisi ke wilayah hutan yang belum mereka jamah.
Elora? Ia mulai sering berbicara tentang masa depan. Tentang hutan lain di balik gunung. Tentang tempat yang bisa ia kunjungi, bukan untuk pergi, tapi untuk kembali membawa cerita.
Dan Theodore… mulai menulis buku. Di dalam batok pohon kecil, ia menulis tentang badai, cahaya, persahabatan, dan biji-biji kenangan yang kini mulai tumbuh.
Satu pagi, saat matahari menyinari daun-daun yang masih basah oleh embun, mereka berkumpul di taman kecil tempat mereka menanam biji beberapa minggu lalu.
Dan di sana, tumbuh tunas-tunas kecil. Masih mungil, tapi kuat.
“Ternyata harapan memang bisa tumbuh dari tanah yang beku,” bisik Sari.
Theodore menatap sekelilingnya. “Kita sudah melewati musim yang berat. Tapi kini… kita tumbuh.”
“Dan mungkin, suatu hari nanti,” lanjut Elora, “taman ini akan jadi tempat bermain anak-anak kita.”
Poppy langsung melompat, “Aku mau punya anak tujuh! Biar bisa lomba lari antar keluarga!”
Tawa pecah, bergema di hutan yang kini lebih hangat dari sebelumnya.
Dan di langit, seekor burung terbang tinggi, membawakan pesan dari musim dingin yang lalu:
"Jika cinta adalah akar, maka persahabatan adalah pohon yang tidak akan tumbang, meski badai datang berulang kali"
Suatu pagi yang cerah, ketika embun masih menggantung dan mentari mencium pucuk-pucuk daun, terdengar suara asing dari arah timur hutan. Bukan suara burung, bukan suara angin—melainkan denting halus seperti lonceng kecil.
Poppy, tentu saja, menjadi yang paling penasaran.
"Ayo selidiki!" serunya sambil berputar di udara.
Theodore dan Elora saling pandang. “Aman nggak, ya?” bisik Elora.
“Kalau Poppy yang memimpin, kita bisa pastikan… akan seru,” jawab Theodore dengan senyum lembut.
Mereka berenam berlari menembus semak dan daun lembab, mengikuti suara misterius itu. Dan di balik tirai pepohonan… mereka menemukan seekor tupai kecil dengan mantel bulu putih dan lonceng emas di lehernya. Ia sedang duduk, mengikat bunga ke batang kayu, seperti sedang membangun sesuatu.
“Uh... halo?” sapa Mira pelan.
Tupai itu menoleh dengan mata besar bening. “Halo juga! Kalian... penghuni hutan barat?”
“Yap! Dan kamu?” tanya Luna sambil melompat ke dahan atas.
“Aku Niva. Dari Hutan Timur. Aku sedang dalam perjalanan mencari tempat untuk mendirikan... panggung cerita.”
“Panggung cerita?” ulang Theodore.
Niva tersenyum. “Tempat di mana kisah-kisah bisa hidup. Bukan hanya diceritakan, tapi juga ditarikan, dinyanyikan, dan... dirasakan.”
Ketujuh tupai menyambut Niva dengan hangat. Mereka membantu membangun “panggung cerita” di tengah padang rumput kecil, dikelilingi semak berbunga. Kelinci, burung, dan bahkan serangga berdatangan. Malam itu, seluruh hutan berkumpul.
Sari membacakan puisi.
Livi mendirikan tenda cahaya dari jamur bersinar.
Mira menyanyikan lagu tentang badai dan keberanian.
Poppy menari dengan tali daun, membuat semua tertawa.
Luna menciptakan pertunjukan bayangan dari cahaya kunang-kunang.
Elora berbicara pelan, membagikan kisah tentang ragu dan keberanian memilih jalan.
Dan Theodore? Ia membaca lembar pertama dari bukunya, berjudul: "Taman yang Tumbuh dari Hati.”
Niva tersenyum dan berbisik, “Aku tidak salah memilih hutan.”
Pagi berikutnya, Niva bersiap melanjutkan perjalanannya. Ia tak sedih. Karena ia tahu, kisah yang telah ditanam di hutan ini... akan terus tumbuh.
“Kita akan saling kirim cerita lewat angin,” kata Niva sambil memeluk satu per satu.
Dan saat ia melompat ke arah timur, matahari menyambut dengan sinar keemasan.
Malam itu, Theodore menuliskan kalimat baru:
"Kadang, kita tak tahu siapa yang akan datang ke dalam hidup kita. Tapi saat mereka datang membawa cerita, kita tahu... mereka sudah menjadi bagian dari kisah kita selamanya."
Setelah perpisahan hangat dengan Niva dari Hutan Timur, ketujuh tupai sepakat untuk membuat satu hari khusus setiap minggu sebagai Hari Tertawa—hari di mana tak ada yang dipikirkan terlalu dalam, tak ada tugas berat, hanya murni bermain, berbagi, dan tertawa bersama.
Di hari pertama Hari Tertawa, mereka berkumpul di Danau Biru—sebuah tempat tersembunyi yang airnya sebening kaca, dikelilingi bunga liar dan dedaunan muda yang baru tumbuh. Pepohonan di sekitarnya melengkung seperti memeluk danau itu dengan cinta.
Poppy langsung mencipratkan air ke Theodore.
"Hei!" seru Theodore sambil tertawa, lalu membalas dengan percikan lembut yang mengenai wajah Elora.
Elora pura-pura kaget, “Oh, kalian mau perang air? Baiklah!”
Livi dan Luna menjerit kecil sambil berlindung di balik batu besar, lalu keluar dengan daun lebar sebagai “perisai.” Mira membuat pelampung dari anyaman rumput. Sari, si pemalu, akhirnya ikut tertawa sambil menggelinding di rumput basah, bulunya basah kuyup dan berantakan, tapi wajahnya bersinar.
Hari itu penuh tawa yang tak bisa dihitung. Mereka bernyanyi, berlari, membuat istana dari lumpur dan bunga, bahkan membuat pertunjukan kecil: Theodore membaca puisi konyol, Elora menirukan suara burung hantu dengan aksen kerajaan, dan Poppy... tentu saja menari sambil mengenakan mahkota jamur.
Saat matahari mulai tenggelam dan langit berubah jingga ke ungu lembut, ketujuh tupai duduk melingkar di atas akar besar pohon beringin, menghadap danau yang memantulkan warna langit seperti lukisan.
“Kalau suatu hari kita semua tumbuh dewasa, dan sibuk... janji ya, kita akan tetap berkumpul seperti ini,” bisik Mira.
“Setidaknya sekali setiap musim,” tambah Luna.
“Setiap ada bintang jatuh,” kata Poppy sambil menunjuk langit.
“Setiap kali kita merindukan satu sama lain,” Theodore melanjutkan, suaranya lembut seperti angin sore.
Lalu Elora berkata pelan, “Kita adalah bagian dari satu pohon yang sama, kan? Daunnya boleh berbeda, tapi akarnya satu.”
Semua terdiam sejenak. Lalu tersenyum.
Malam itu, saat satu per satu bintang muncul, ketujuh tupai kecil tidur dalam pelukan rumput dan hangatnya persahabatan. Tak ada kecemasan, tak ada kehilangan, hanya keindahan hadir bersama. Dan dari kejauhan, burung hantu tua berkata kepada angin:
"Mereka bukan hanya penghuni hutan... mereka adalah jiwanya."
Musim panas datang dengan semerbak manis dan langit biru tak berawan. Burung-burung bernyanyi lebih lama, angin bertiup lebih malas, dan seluruh hutan tampak seperti sedang tersenyum. Di sinilah ketujuh tupai memutuskan: sudah waktunya menanam sesuatu yang bisa mekar, bukan hanya di tanah... tapi juga di hati mereka.
Maka dimulailah Proyek Kebun Bunga.
“Setiap dari kita pilih satu bunga yang paling kita suka, lalu tanam bersama,” usul Elora sambil membentangkan sketsa kebun kecil di atas kulit kayu tipis.
Poppy langsung melompat, “Aku pilih bunga matahari! Besar dan ceria! Seperti... aku!”
Theodore tersenyum, “Aku pilih lavender. Wangi dan tenang.”
Mira berkata pelan, “Aku suka melati. Putih dan lembut...”
Livi mengangkat tangan, “Daisy untukku. Sederhana, tapi manis.”
Luna menatap langit, “Aku ingin menanam forget-me-not. Kecil, tapi berarti.”
Sari ragu-ragu, lalu berbisik, “Aku suka bunga lili...”
Dan Elora? Ia memilih mawar liar. “Karena meski berduri, ia tetap mekar dengan megah.”
Hari-hari berikutnya, hutan bagian timur ramai oleh suara ketujuh sahabat yang mencangkul tanah dengan cakar mungil, membawa air dalam batok kelapa kecil, menanam benih, menandai barisan bunga dengan batu warna-warni, dan bahkan membuat pagar kecil dari ranting. Terkadang mereka salah tanam, terkadang mereka menumpahkan air terlalu banyak, tapi tak ada yang marah—semuanya justru tertawa.
Setiap pagi, mereka menyiram sambil menyanyi lagu sederhana ciptaan Poppy.
Setiap sore, mereka duduk di pinggir kebun, membayangkan bagaimana bentuk taman itu saat semua bunga mekar.
Dan akhirnya... pada suatu pagi yang cerah...
Satu per satu, bunga mulai mekar. Warna kuning, ungu, putih, merah muda, biru, merah... seolah-olah pelangi tumbuh dari tanah. Ketujuh tupai duduk di tengah taman kecil itu, terdiam oleh keindahannya sendiri.
“Ini bukan cuma kebun bunga...” kata Theodore, memandang ke sekeliling. “Ini... taman persahabatan.”
Elora mengangguk. “Dan setiap bunga punya cerita. Tentang siapa kita.”
Poppy tiba-tiba berlari ke balik semak dan kembali membawa sebuah kotak kayu kecil. “Aku bikin ini!” serunya bangga.
Mereka semua melihat ke dalam: ada tujuh gulungan daun lontar kecil, masing-masing bertuliskan pesan pribadi—sebuah surat untuk masa depan.
“Kubuat supaya suatu hari nanti, kita bisa buka lagi... dan ingat hari ini,” kata Poppy pelan.
Luna menambahkan, “Hari ketika kita menanam bukan hanya bunga, tapi kenangan.”
Mereka mengubur kotak kecil itu di bawah pohon di tengah kebun. Lalu berpegangan tangan, menutup mata, dan berdoa dalam hati.
Sore itu, angin musim panas bertiup lembut, membawa aroma bunga dan tawa kecil yang mengalun seperti lagu lama.
Dan di hutan yang tak pernah berhenti tumbuh, tujuh sahabat itu tahu—selama mereka menanam cinta, kebahagiaan akan selalu mekar.
Suatu malam, saat mereka duduk melingkar di tengah kebun bunga, Poppy tiba-tiba berseru, “Aku punya ide gila!”
Semua menoleh.
“Kita bikin Festival Lentera! Tapi bukan buat kita aja—buat semua penghuni hutan! Bayangin... malam penuh cahaya, lagu, dan tawa. Hutan kita jadi bintang!”
Mata Theodore berkilat. “Itu... indah sekali, Poppy.”
Livi langsung mengangguk. “Kita bisa buat lentera dari kulit kelapa dan daun lebar, diisi cahaya kunang-kunang!”
“Dan musiknya?” tanya Luna.
“Kita ajak jangkrik dan burung hantu!” sahut Mira sambil tertawa.
Sari menyambung, “Aku bisa ajak para kelinci bikin makanan kecil dari buah liar.”
Dan Elora, sang pemimpin tenang, akhirnya berkata, “Kita mulai besok pagi.”
Tiga Hari Persiapan
Tujuh tupai itu bekerja dari fajar hingga senja. Mereka mengumpulkan kunang-kunang dengan lembut, membuat lentera gantung, menyusun panggung dari batu datar, dan membagi undangan yang ditulis di daun besar. Burung pipit terbang membawa undangan ke penjuru hutan.
Semua hewan diundang: rusa, tikus tanah, burung hantu, kadal pohon, rubah kecil, bahkan kura-kura tua yang biasanya tak keluar dari sarangnya.
Dan saat malam ketiga tiba...
Langit gelap seperti kain beludru, bertabur bintang. Tapi di tengah hutan, sinar lentera menyala—kuning keemasan, oranye lembut, biru kehijauan—menggantung di pohon, melayang di udara, menyinari jalan kecil menuju kebun bunga.
Para hewan berdatangan, mengenakan mahkota dari ranting atau hiasan ekor dari kelopak bunga. Mereka duduk bersama, tanpa takut, tanpa batas: pemakan serangga duduk di samping pemetik buah, hewan nokturnal bersandar pada yang diurnal.
Theodore membuka acara dengan puisi:
"Jika bintang tak turun ke bumi, maka biarlah kita yang menjadi cahayanya."
Elora membacakan cerita asal mula kebun mereka.
Poppy menyanyi—sebuah lagu yang ia buat saat mandi hujan dulu, lucu dan mengharukan.
Luna dan Mira menari bersama kelinci kecil.
Livi membaca puisi pendek.
Sari memimpin doa syukur.
Dan saat semua lentera naik ke langit—didorong oleh angin dan semangat malam itu—semua hewan diam, menyaksikan cahaya-cahaya kecil itu terbang dan berpadu dengan bintang.
Seseorang berkata pelan, “Malam ini, hutan seperti bermimpi.”
Yang lain menjawab, “Atau mungkin... inilah mimpi yang jadi nyata.”
Malam itu tak diakhiri dengan ucapan perpisahan. Tapi dengan pelukan. Dengan tatapan. Dengan harapan.
Tujuh tupai itu duduk bersama, menggenggam satu sama lain.
“Kalau suatu hari kita terpisah…” ujar Theodore pelan,
“…biarlah lentera ini jadi penanda, bahwa kita pernah menyalakan cahaya bersama.”
Elora menambahkan, “Dan kita akan menemuinya kembali. Karena cahaya sejati… tidak pernah padam.”
Poppy tersenyum. “Kalian semua… adalah bintangku.”
Langit menutup malam dengan bintang paling terang.
Dan di tanah yang hangat oleh persahabatan, tujuh tupai kecil tertidur… dengan hati penuh cahaya.
Komentar
Posting Komentar