Hari ini aku belajar sesuatu yang pelan-pelan mengendap di hati: keutuhan itu bukan soal siapa yang ada di sampingku, tapi siapa yang memenuhi seluruh rongga hatiku—dan hanya Tuhan yang mampu melakukannya. Di dalam-Nya, kekosongan menemukan tempatnya untuk pulang.
Sejak bulan dua, aku diam-diam menanggung kehilangan. Ada seseorang yang begitu berarti, yang dulu sangat aku sayangi, dan rasanya seperti separuh dari hidupku tercerabut dari akarnya. Awalnya hanya salah paham, begitu kupikir. Tapi ternyata konflik itu menjelma seperti benang kusut yang tak kunjung menemukan ujungnya. Lama-lama, perihnya menembus sunyi. Menangis bukan hanya saat sendiri, bahkan di tengah keramaian, di gereja, di antara teman, airmata itu tetap jatuh seperti hujan yang enggan berhenti.
Ada malam-malam di mana seluruh dunia terlelap, namun aku tetap terjaga, hanya untuk menangisi kehilangan yang tak bisa kutahan. Bukan karena lemah, tapi karena aku mencintai dengan sungguh-sungguh. Dan satu-satunya tempat aku berlari adalah Tuhan. Aku tidak mencari pengganti seperti yang ia katakan—aku hanya bertahan, menjalani hari demi hari sambil mengusap pipi yang basah karena rindu dan kecewa.
Aku tahu, tak semua yang kita sayangi akan memilih untuk tetap tinggal. Dan sesayang apapun aku, tak akan cukup untuk memaksa seseorang bertahan. Maka yang bisa kulakukan hanyalah ini: fokus.
Fokus untuk sembuh. Fokus mengembangkan bakat dan talenta yang Tuhan percayakan. Fokus untuk menjadi versi terbaik dari diri ini tanpa perlu melibatkan siapa pun di dalam luka itu, bahkan dia—yang diam-diam masih tinggal dalam doaku.
Ya, rasanya perih. Karena perasaan ini tidak pernah meminta untuk ditekan, ia hanya ingin didengarkan. Tapi demi stabilitas hidup, perasaan itu harus kujinakkan. Supaya aku tidak berjalan di tempat, tidak terjebak dalam nostalgia yang tidak pasti. Karena bertumbuh memang sakit—tapi jauh lebih menyakitkan jika tidak bertumbuh sama sekali.
Maka aku menyerahkan semuanya—perasaan ini, kenangan itu—ke tempat yang seharusnya: di bawah kaki Tuhan yang berkuasa atas hidupku. Karena aku tahu, jika aku terus menampung rasa ini, aku bisa saja menangis dua tahun, lima tahun, bahkan sepuluh tahun, hanya demi sesuatu yang tidak pasti dan mungkin takkan pernah kembali.
Hidup yang Tuhan beri terlalu berharga untuk dihabiskan oleh perasaan yang terus diberi makan. Dan aku tahu, sudah waktunya berkata cukup.
Aku mulai merasakan bahagia yang utuh—bukan dari manusia, tapi dari hadirat Tuhan. Ada kelegaan yang lembut saat melayani Tuhan, saat membimbing adik-adik PA. Awalnya canggung, kikuk, tapi sekarang aku selalu menanti-nantikan waktu kami bersama. Kami tertawa, saling menceritakan kisah, saling menguatkan, dan saling mendoakan.
Salah satu dari mereka berkata, “Iya juga ya, kak, kalau anak-anak sekolah minggu naik ke TNG , mungkin akan lebih efektif jika kami yang memuridkan mereka, karena rentang usia yang tidak terpaut begitu jauh”
Hatiku terharu melihat pertumbuhan itu. Karena kita semua dipanggil bukan hanya untuk menjadi murid, tapi juga memuridkan. Bukan menunggu jadi sempurna, tapi melangkah karena Tuhan yang akan menyempurnakan.
Tuhan tak pernah mencari yang sempurna—Dia hanya mencari hati yang mau taat.
Menundukkan hati dan perasaan untuk sebuah visi dari-Nya.
Gideon dulu terlihat seperti pengecut, namun Tuhan menyebutnya "pahlawan gagah perkasa." Dunia mungkin melihat kekurangan, tapi Tuhan melihat potensi dalam ketaatan.
Aku tahu, kasih manusia seringkali berbatas, bahkan bersyarat. Tapi kasih Tuhan… kasih-Nya tak pernah bersyarat, tak pernah berkesudahan.
Tentang hatiku, aku sudah menyerahkannya bulat-bulat pada Tuhan. Aku sudah belajar menikmati hidup yang utuh, tanpa perlu pengakuan dari siapa pun. Mau disalahpahami? Silakan. Mau diomongin? Bodo amat. Aku tidak hidup untuk menyenangkan manusia—aku hidup untuk menyenangkan Tuhan. Bahkan jika hatiku harus dibentuk, dirombak, dan dihancurkan berkali-kali, aku tetap ingin setia melayani Tuhan Yesus, Pribadi yang tak pernah lelah mencintaiku.
Sampai semua janji-Nya tergenapi, aku ingin terus melangkah.
Karena hidupku bukan untuk perasaanku, tapi untuk Rajaku. Tuhan Yesus yang baikkk🤗❤️
Dan aku percaya, ketika waktunya tiba, Tuhan sendiri yang akan mempertemukan aku dengan seseorang yang telah Ia siapkan—di waktu yang terbaik, saat kami sama-sama telah selesai diproses, dimurnikan, dan dimatangkan oleh waktu dan api hidup.
Karena pasangan hidup bukan sekadar keinginan hati, tapi bagian dari kehendak-Nya. Bila aku menyerahkan seluruh rencana dan langkahku ke dalam tangan-Nya, aku yakin... someday, aku akan menemukan—dan ditemukan—oleh yang terbaik. Tuhan sanggup bekerja jauh melampaui batas logika manusia.
Tugas kita hanya satu:
Tetap utuh di dalam-Nya.
Melakukan kehendak-Nya.
Bertumbuh di hidup ini.
Menjadi versi terbaik yang Tuhan rindukan.
Dan kelak, saat waktunya tiba, Dia yang akan membukakan setiap pintu yang sudah lama kita selipkan dalam doa-doa penuh air mata. Sebab Tuhan tidak buta dengan tangisan kita, tidak tuli terhadap jerit hati kita. Dia sedang memproses segalanya—jiwa, tubuh, dan roh—untuk rencana yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan.
Seperti firman-Nya:
“Rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, jalan-Ku bukanlah jalanmu. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya rancangan-Ku dari rancanganmu.”
Hanya firman Tuhan yang sanggup menenangkan hati ini.
Jadi, bertumbuhlah.
Berdamailah dengan keadaan.
Fokus. Fokus. Fokus.
Karena untuk mencapai yang terbaik, ada harga yang harus dibayar.
Tapi percayalah: semuanya akan worth it.
Dan meski benih itu tumbuh di tanah yang retak, ia akan tetap berjuang menembus kerasnya tanah… karena ia tahu, di balik luka dan tekanan, ada kehidupan yang sedang disiapkan. 🌱✨
Kini aku tak lagi berusaha menjelaskan segalanya pada dunia. Aku memilih diam yang teduh. Karena tidak semua kisah harus dibuktikan lewat kata-kata—beberapa cukup dibawa dalam doa, digenggam dalam hati, dan dibisikkan hanya pada Tuhan yang tahu segalanya sejak awal.
Aku belajar satu hal: yang tidak dibalas, bukan berarti tidak diperhatikan Tuhan. Kadang justru Tuhan sedang melindungiku dari balasan yang akan merusak damai yang baru saja tumbuh dalam hati ini.
Aku juga tidak lagi marah pada siapa pun. Tidak pada dia yang pergi. Tidak pada mereka yang salah paham. Tidak pada diri sendiri yang dulu begitu lemah. Karena kemarahan hanya akan merantai jiwa pada masa lalu. Dan aku sudah terlalu ingin merdeka.
Kau tahu? Ada keindahan dalam keterlambatan. Dalam waktu-waktu yang terasa kosong, ternyata Tuhan sedang menata ulang isi hidupku. Yang dulu kuanggap kehilangan, ternyata adalah bentuk perlindungan. Yang dulu kuanggap kegagalan, ternyata adalah undangan untuk naik kelas dalam kedewasaan rohani.
Pelan-pelan aku mulai mengerti, bahwa Tuhan bukan hanya sedang memperbaiki hidupku, tapi sedang menyiapkan aku yang baru—yang lebih matang, lebih peka, lebih mengakar di dalam kasih-Nya.
Dan siapa sangka, dari luka yang paling dalam, justru muncul kekuatan untuk menguatkan yang lain. Dari cerita yang hampir kututup rapat-rapat, lahir pelajaran yang kini memberkati orang-orang sekitarku. Tuhan memang Ahli dalam membalikkan keadaan. Ia sanggup menjadikan tangis sebagai sumber kesaksian, dan kehancuran sebagai ladang pemurnian.
Sebab setiap orang yang pernah merasa hancur akan tahu bagaimana caranya menjadi rumah yang nyaman bagi orang lain yang sedang remuk. Dan setiap orang yang pernah merasa ditinggalkan akan mengerti bagaimana pentingnya hadir dengan penuh kesungguhan.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi bulan depan, tahun depan, atau di masa yang jauh di depan sana. Tapi satu hal aku percaya: Tuhan tidak akan menyia-nyiakan setiap air mata yang jatuh dalam ketaatan. Tidak satu pun.
Setiap luka yang kuserahkan kepada-Nya sedang dijahit pelan-pelan dengan benang kasih karunia. Setiap bagian hidup yang dulu terasa rusak sedang disulam ulang menjadi sesuatu yang indah dan berguna di tangan-Nya. Tuhan tidak terburu-buru, dan aku pun belajar untuk tidak tergesa-gesa.
Bertumbuh bukan soal cepat atau lambat. Tapi tentang menjadi. Dan aku ingin menjadi—menjadi wanita yang hatinya tertambat pada Tuhan, yang pikirannya tertanam dalam firman, yang langkahnya tak lagi dikendalikan oleh luka, tapi oleh kasih yang menyembuhkan.
Karena hanya kasih yang sanggup menaklukkan trauma. Hanya kasih yang bisa memulihkan puing-puing menjadi pelita. Dan kasih itu… bukan berasal dari dunia, tapi dari Tuhan sendiri
Aku mulai belajar hidup seperti akar—diam, tapi menghujam. Tidak tampak dari permukaan, namun menopang kehidupan. Aku tidak perlu dilihat untuk bisa bertumbuh. Tidak perlu disorot untuk menjadi kuat. Karena kekuatan sejati tidak selalu lahir dari sorak sorai… seringkali justru dari keheningan yang sabar.
Dan dari keheningan itu, aku menyadari satu hal yang tak bisa diganggu gugat: Tuhan tahu segalanya. Bahkan sebelum aku bercerita, sebelum aku mengeluh, sebelum aku jatuh tersungkur, Dia sudah ada di sana—menanti, menggendong, menjaga dengan kasih yang tidak berubah.
Ada masa-masa di mana aku merasa tak ada seorang pun memahami betapa beratnya perjuangan ini. Tapi ternyata, Tuhan tidak menuntutku untuk selalu kuat. Dia justru hadir saat aku paling lemah. Ia tak menjanjikan jalan tanpa badai, tapi menjanjikan pelukan yang tak pernah lepas—di tengah angin, di tengah petir, di tengah rintik air mata yang jatuh tanpa suara.
Aku belajar berhenti menyalahkan waktu, berhenti bertanya "kenapa", dan mulai bertanya "untuk apa". Karena di setiap kejadian, selalu ada maksud ilahi yang sedang ditenun, rapi, pelan, tapi pasti.
Dan kini, aku tidak lagi takut pada musim sepi. Karena aku tahu, musim itu bukan hukuman—tapi ladang latihan iman. Aku belajar diam dalam pengharapan, bukan dalam kepahitan. Aku belajar menanti, bukan dengan resah, tapi dengan keyakinan bahwa yang Tuhan tunda, sedang Ia sempurnakan.
Bahkan jika esok masih hening, jika doa-doaku belum juga dijawab seperti yang kuinginkan, aku tahu: diam-Nya bukan penolakan. Diam-Nya adalah panggilan untuk mendekat lebih dalam.
Maka hari ini, aku tidak lagi berdoa untuk dipercepat…
Aku berdoa untuk dibentuk.
Aku berdoa agar hatiku cukup lembut untuk tetap mengampuni, cukup besar untuk tetap percaya, dan cukup rendah untuk tetap berharap—sekalipun jalan tampak sunyi. Aku ingin menjadi pribadi yang tetap memilih kasih di tengah kecewa, yang tetap memuliakan Tuhan di tengah ketidakpastian, dan yang tetap melayani, bahkan saat sendiri.
Karena aku percaya, seseorang yang telah diproses dalam rahasia Tuhan… akan tampil bukan untuk disorot, tapi untuk menyinari.
Dan ketika waktunya tiba, saat buah dari ketekunan ini matang di musimnya, aku akan memeluk diriku yang dulu—yang hancur, yang rapuh, yang hampir menyerah—dan berbisik: “Kau hebat, karena tak pernah berhenti percaya… bahkan saat semuanya terasa gelap.”
Sampai hari itu datang…
Aku akan terus bertumbuh—di tanah yang retak, di ladang yang sepi, di bawah langit yang terkadang mendung—karena aku tahu, akar-akar yang dalam tidak lahir di musim yang mudah. 🌿
Komentar
Posting Komentar