"Musim yang Berulang, Tapi Hadirat-Nya Selalu Baru"
Aaaaah...
Entah kenapa rasanya seperti sedang mengulang musim yang dulu pernah datang — tapi kali ini dengan degup yang lebih dalam, dengan kecemasan yang samar-samar namun nyata.
Seolah semua yang pernah kubenahi, kini kembali chaos.
Takut... takut terlalu larut. Takut tersesat dalam kekacauan yang tak kumengerti arahnya.
Takut jatuh ke dalam jurang yang pernah kujelajahi—dan nyaris tak kembali.
Tapi di tengah kekacauan batin itu...
aku menemukan satu-satunya tempat berlindung yang tak pernah berubah:
Hadirat Tuhan.
Di sana ada sesuatu yang tak bisa dunia ini berikan.
Ada kelegaan yang tidak dibuat-buat.
Ada damai yang tak bergantung pada apa pun.
Di hadirat-Nya, aku merasakan kepastian.
Dipeluk-Nya, aku seperti diterima — tanpa perlu menjelaskan apa-apa.
Kadang dalam hidup... kita hanya perlu belajar berdamai dengan diri sendiri.
Bukan karena semuanya baik-baik saja,
tapi karena kita tahu, jika terus melawan luka, ia takkan pernah pulih.
Jadi kali ini, aku memilih untuk memeluknya.
Membiarkannya menangis di dadaku, sampai ia siap untuk sembuh.
Sampai ia tak lagi berdarah dalam diam.
Lalu dari dasar hati yang remuk ini, aku berseru:
"Hai... semuanya akan baik-baik saja."
Ya, akan ada hari di mana tangis ini tak lagi jatuh tanpa sebab.
Akan ada masa di mana aku bisa berkata, “Aku baik.” Dan benar-benar merasakannya.
Tuhan Yesus...
pegang tanganku ini, yaaaahhh
Kalau bukan Engkau yang menuntun, aku takkan sanggup melewati semua ini.
Pegang juga hatiku yang retak ini...
Karena kalau tidak, aku mungkin akan mencarinya ke tempat yang salah.
Mengisinya dengan hal-hal yang semu.
Padahal hanya Engkau yang bisa membuatnya utuh, dan penuh.
Tolong aku, Tuhan...
Karena tanpa pertolongan-Mu,
aku tak akan mampu melangkah.
Kadang aku bertanya dalam diam,
“Apakah aku ini terlalu lemah… atau memang jalan yang kutempuh sedang begitu berat?”
Tapi sepertinya bukan salah satu dari keduanya.
Mungkin memang ada fase hidup…
di mana yang kita butuhkan bukan jawaban, tapi pelukan dari langit.
Bukan solusi instan, tapi kesadaran bahwa kita sedang tidak sendiri.
Aku tahu Tuhan tak pernah menjanjikan jalan yang mudah.
Tapi Dia selalu menjanjikan penyertaan-Nya yang setia.
Dan malam ini, aku berpegang pada itu.
Aku tahu, dunia ini tak bisa menyembuhkan luka yang ia ciptakan.
Maka aku datang kepada Sang Penyembuh.
Yang tak hanya melihat air mataku, tapi juga mengerti bahasa tangis yang tak pernah sempat kuucap.
Dan…
di sela ketakutan dan guncangan yang tak kumengerti,
ada satu bisikan halus yang meneduhkan:
"Kamu tidak akan hancur, Nak.
Kamu sedang dibentuk.
Kamu sedang dijaga, walau rasanya seperti sedang ditinggalkan."
Lalu aku menangis. Bukan karena sedih, tapi karena tahu aku tetap dikasihi, meski sedang rapuh.
Aku tahu perjalanan ini belum selesai.
Masih ada tanjakan yang harus kutapaki, masih ada malam-malam yang sunyi, masih ada serpih luka yang belum utuh.
Tapi hari ini aku tidak ingin lari.
Hari ini aku ingin duduk bersama Tuhan di tengah badai, dan percaya… bahwa pelan-pelan,
hati ini sedang dipulihkan.
Karena tidak ada musim yang abadi.
Musim gugur pun suatu saat akan berganti semi.
Dan jiwa yang pernah nyaris patah, akan tumbuh kembali—lebih kuat, lebih lembut, lebih dalam kasih-Nya.
Aku belajar… bahwa tidak apa-apa menjadi lemah, asalkan kelemahanku kutaruhkan di tangan yang tepat.
Di tangan yang tidak menuntut aku untuk sempurna, tapi menggendongku saat aku tak bisa berjalan lagi.
Ada hari-hari yang begitu lengang, hingga aku nyaris lupa rasanya dipeluk oleh harapan.
Tapi di tengah kekosongan itu,aku mulai mengenali nada suara Tuhan
—bukan dalam teriakan keras, melainkan dalam diam yang meneduhkan.
Saat dunia berlalu terburu-buru, aku diajak Tuhan untuk berhenti sejenak.
Bukan untuk menyerah, tapi untuk menyadari bahwa yang tergesa-gesa kadang hanya membuatku menjauh dari damai.
Tuhan tahu setiap tetes air mata yang tidak jadi tumpah.
Ia tahu tentang doa yang hanya bisa terucap lewat helaan napas panjang.
Dan Ia tidak pernah bosan mendengarku—bahkan ketika aku sendiri pun bosan pada diriku.
“Tenang, Nak…”
“Biar Aku yang menjaga jalanmu.”
“Biar Aku yang menuntun, saat kamu tak bisa melihat apa-apa.”
“Kamu cuma perlu berjalan. Pelan pun tak apa.”
Dan malam ini, aku ingin percaya lagi.
Bukan karena semua sudah baik-baik saja,tapi karena aku tahu,ada Tuhan yang setia di balik semuanya.
Langkahku tak selalu pasti.
Tapi aku tidak sendiri.
Dan kadang, itu sudah cukup untuk bertahan satu hari lagi.
Aku tak tahu kemana hidup akan membawaku.
Tapi aku tahu kepada siapa aku harus kembali setiap kali tersesat.
Jika hidup ini adalah sebuah perjalanan panjang, maka aku ingin tetap melangkah, dengan Tuhan di sisiku.
Bukan sebagai penumpang, tapi sebagai Penulis utama dari kisahku yang belum selesai.
Dan aku percaya,di halaman-halaman berikutnya, akan ada terang.
Akan ada pelukan.
Akan ada hari yang indah—
yang telah lama disiapkan Tuhan,
khusus untukku.
Mungkin aku belum tiba di bagian cerita yang membahagiakan.
Mungkin aku masih duduk di tepi bab yang penuh tanda tanya.
Tapi hatiku mulai bisa berkata pelan,
"Tidak apa-apa."
Tidak apa-apa belum tahu semua jawabannya.
Tidak apa-apa masih merasa sesak di dada.
Tidak apa-apa jika kadang aku hanya bisa berdoa tanpa kata.
Karena Tuhan lebih mengerti isi hatiku
daripada isi doaku.
Dan malam demi malam, aku belajar hal ini:
bahwa iman tidak selalu tentang bergerak cepat,
tapi tentang tetap berdiri… walau hanya dengan sisa tenaga.
Tentang tetap mengucap "Tuhan baik",
bahkan ketika hati sedang berantakan.
Tentang tetap menggenggam harapan,
meski tanganku gemetar.
Sebab di dalam pelukan Tuhan, tidak ada yang sia-sia.
Bahkan air mata pun dihitung, bahkan detak ragu pun dipeluk.
Aku percaya...
setiap luka yang kupunya sedang diubah menjadi taman.
Taman yang akan mekar pada waktunya—bukan lebih cepat, bukan lebih lambat.
Tepat ketika jiwaku siap mencium harum pemulihan.
Dan ketika hari itu tiba, aku ingin kembali ke halaman ini.
Membaca ulang semua tangis dan doa yang kutulis, dan berkata pelan sambil tersenyum:
“Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Bahkan di titik paling sunyi.”
“Ternyata, aku tidak dihancurkan. Aku sedang dilahirkan kembali.”
Maka untuk hari ini…
aku cukupkan diriku dengan satu hal:
percaya.
Percaya bahwa kasih Tuhan lebih besar dari segala rasa takutku.
Percaya bahwa langkahku, sekecil apa pun, sedang menuju tempat yang sudah dipersiapkan-Nya.
Percaya… bahwa tak ada selembar pun dalam hidupku yang akan sia-sia, jika kutuliskan bersama-Nya.
Ada hari-hari di mana aku merasa diam-diam tumbuh.
Bukan karena semuanya berjalan lancar, tapi karena aku memilih untuk tidak lari lagi.
Aku berhenti menuntut kesempurnaan dari diriku sendiri, dan mulai menghargai keberanian kecilku: untuk bangun. Untuk mencoba lagi. Untuk percaya meski takut.
Aku mulai mengerti, bahwa kekuatan sejati bukanlah tentang tak pernah jatuh, tapi tentang bangkit dengan cara yang lebih lembut.
Dengan hati yang lebih lapang, dan iman yang lebih dalam.
Karena pemulihan bukan perlombaan.
Ia adalah ziarah yang kudus.
Langkah demi langkah yang kadang tanpa sorak-sorai, namun penuh makna.
Kini aku bisa berkata:
aku sedang disembuhkan—perlahan, tapi pasti.
Dan tak apa jika tidak semua orang melihatnya.
Yang penting, Tuhan melihat.
Dan aku pun mulai bisa melihatnya…
dari cara aku tidak lagi membenci lukaku, dari cara aku memeluk diriku sendiri tanpa syarat.
Karena tidak ada luka yang sia-sia jika diproses bersama Tuhan.
Tidak ada air mata yang jatuh sia-sia di hadapan-Nya.
Semua yang pernah menyakitiku, kini menjadi bahan bakar untuk mengasihi lebih dalam.
Dan saat aku menulis ini, bukan berarti aku sudah sampai di akhir.
Tapi aku tahu:
aku sedang dalam perjalanan pulang.
Menuju versi terbaik dari diriku.
Menuju hidup yang selaras dengan kehendak-Nya.
Aku tidak tahu seperti apa masa depanku.
Tapi aku tahu siapa yang menggenggamnya.
Dan itu cukup.
Jadi hari ini,
aku tidak menuntut diriku untuk menjadi luar biasa.
Aku hanya ingin hadir.
Aku hanya ingin terus berjalan—walau pelan.
Karena aku percaya,
Tuhan tak hanya menantiku di ujung,
tapi menemani setiap langkahku,
menangis bersamaku di malam yang sunyi,
dan tersenyum bersamaku saat terang mulai merekah.
Dan ya...
aku akan tetap menulis.
Karena lewat kata, aku sedang belajar mencintai diriku sendiri,dan membiarkan Tuhan bercerita lewat hidupku.
Kadang aku membayangkan,bagaimana jika kelak aku membaca ulang semua ini?
Semua catatan tangis, semua curhat yang hanya Tuhan yang tahu akhirnya, semua kalimat yang lahir dari malam-malam panjang penuh kegelisahan...
Mungkinkah aku akan tersenyum haru dan berkata,
"Ternyata benar ya, aku nggak sendiri."
"Ternyata benar, semuanya memang sedang diolah, bukan dihancurkan."
Dan lebih dari itu, aku ingin bisa menatap diriku di cermin—
bukan untuk menilai, tapi untuk menghargai.
Bahwa aku pernah berani bertahan.
Pernah memilih percaya, bahkan ketika segala sesuatu terasa runtuh.
Pernah berjalan dalam kabut, dan tetap tidak melepaskan tangan Tuhan.
Aku tidak ingin lupa bahwa aku pernah ada di titik ini.
Titik paling rapuh.
Tapi juga titik paling dekat dengan Tuhan.
Di situlah aku berhenti bersembunyi.
Di situlah aku benar-benar dipeluk—dalam keadaan yang paling apa adanya.
Dan dari titik ini, aku tahu…
aku tidak sedang kembali ke diriku yang dulu.
Aku sedang dibentuk menjadi seseorang yang baru.
Yang lebih dalam hatinya.
Yang lebih jernih pandangannya.
Yang lebih penuh kasihnya—karena pernah dihancurkan dan dibentuk ulang oleh kasih yang ilahi.
Jadi kalau suatu hari nanti aku merasa hilang arah lagi, aku ingin kembali membaca tulisan ini.
Sebagai pengingat bahwa aku pernah jatuh, dan Tuhan tak membiarkanku tetap di sana.
Aku ingin tulisan ini jadi lentera—bukan hanya untukku, tapi untuk siapa saja yang sedang melewati lembah-lembah sepi, yang merasa dirinya pecah, yang merasa doanya terlalu lirih untuk didengar.
Kepadamu yang sedang patah, tetaplah percaya.
Karena ada Tuhan yang sedang menenun ulang hidupmu dengan benang kasih-Nya yang tak putus.
Dan jika hari ini kamu tidak tahu harus berbuat apa…
menulislah.
Berdoalah.
Menangislah.
Lalu diam sejenak.
Karena kadang, dalam diam itu,
Tuhan berbicara paling jelas.
Aku mulai sadar…
bahwa hidup bukan tentang selalu paham, melainkan tentang selalu hadir.
Hadir di tengah tangis, hadir dalam tawa, dan hadir di tengah doa yang tak lagi utuh bahasanya.
Karena kehadiran adalah bentuk kasih yang paling sunyi, dan mungkin yang paling setia.
Dan malam-malam sunyi itu, yang dulu kutakuti, kini menjadi ruang kudus.
Tempat di mana aku dan Tuhan tidak saling berdebat,
tapi saling diam—dan justru dari diam itu,
aku tahu: aku dicintai.
Tidak karena aku berguna.
Tidak karena aku kuat.
Tapi karena aku adalah anak yang dikasihi,
sejak awal, dan selamanya.
Aku pun belajar, bahwa perjalanan ini tidak selalu tentang tiba di tujuan.
Kadang, tujuan itu hanya: menjadi lebih utuh.
Menjadi lebih damai.
Menjadi lebih tahu bagaimana memeluk diri sendiri tanpa malu.
Dan betapa indahnya saat akhirnya aku bisa menuliskan ini, dengan air mata yang tidak lagi getir, tapi suci.
Air mata syukur, karena aku masih diizinkan bertumbuh.
Bertumbuh… meski perlahan.
Bertumbuh… meski pernah hancur.
Bertumbuh… menjadi aku yang tidak seperti dulu, tapi jauh lebih mengenal siapa diriku di dalam kasih-Nya.
Hari ini, aku ingin mencatat bukan hanya prosesku,
tapi juga hatiku.
Supaya kelak, saat dunia mulai riuh lagi,
aku bisa kembali ke sini—
membaca ulang kesunyian yang penuh cahaya ini,
dan mengingat: aku pernah begitu dekat dengan Tuhan.
Dan jika suatu hari aku lupa…
biarlah tulisan ini yang menjadi saksi.
Bahwa aku pernah benar-benar percaya.
Bahwa aku pernah memilih untuk tetap lembut,
di dunia yang mendorongku untuk keras.
Bahwa aku pernah percaya…
bahwa luka bisa jadi taman,
dan tangis bisa jadi lagu yang hanya bisa dinyanyikan bersama Tuhan.
Mungkin, aku tidak tahu akan jadi apa hidupku kelak.
Tapi aku tahu—aku ingin hidup yang setia.
Setia pada proses.
Setia pada suara Tuhan.
Setia pada kelembutan yang sedang Dia tumbuhkan dalam diriku.
Dan aku tahu…
di setiap kalimat yang kutulis, ada jejak kasih-Nya yang sedang membentukku menjadi ciptaan yang baru.
Untuk itu, aku akan terus menulis.
Karena menulis bukan hanya untuk mengenang,
tapi untuk mengingat siapa diriku:
anak yang dicintai,
yang sedang dipulihkan,
dan yang akan terus disertai.
Ada satu momen dalam proses ini yang tak ingin kulupakan:
ketika aku mulai bisa mencintai diriku sendiri,
bukan karena aku sudah sempurna,
tapi karena aku tahu…
aku sedang diproses oleh Pribadi yang sempurna.
Dan ternyata,
mencintai diri sendiri itu bukan soal menyukai semua yang ada dalam diriku,melainkan tentang bersedia untuk tinggal… bahkan ketika diriku sedang berantakan.
Seperti Tuhan—yang tidak pernah pergi.
Aku belajar untuk berhenti menunggu semuanya menjadi baik dulu,baru aku bersyukur.
Karena justru di tengah ketidaksempurnaan inilah, aku melihat bahwa kasih-Nya tetap utuh.
Kadang aku membayangkan, bagaimana jika Tuhan menulis surat untukku malam ini?
Mungkin isinya tidak panjang.
Mungkin hanya satu kalimat:
“Nak, Aku di sini. Aku tidak pergi. Dan Aku bangga padamu.”
Dan kalimat sesederhana itu… bisa cukup untuk meredakan badai di dalam dada.
Karena kadang, yang kita butuhkan bukan perubahan keadaan,
tapi kepastian bahwa kita sedang digenggam erat.
Dan Tuhan menggenggamku…
bukan karena aku kuat,
tapi karena Ia tahu,
tanpa genggaman itu, aku akan hilang arah.
Hari ini aku tidak ingin berlari mengejar apa pun.
Aku hanya ingin diam sejenak,
menikmati keheningan bersama Tuhan.
Keheningan yang tak sepi.
Keheningan yang justru penuh pelukan.
Aku ingin belajar percaya tanpa terburu-buru.
Belajar berjalan dengan damai,
meski masa depan belum jelas.
Karena aku tahu, langkah yang perlahan pun bisa sampai…
asal bersama Dia.
Dan jika suatu hari aku kembali goyah,
aku ingin kembali ke halaman ini—
bukan untuk mencari solusi, tapi untuk mengingat siapa yang menyertaiku sejak awal.
Aku ingin tulisan ini menjadi tempat pulang.
Tempat di mana aku tidak dihakimi,
tidak disuruh kuat,
tidak didesak untuk segera “move on”.
Tapi cukup didengarkan… dan dicintai.
Karena sesungguhnya, di balik semua pencarian,yang paling aku rindukan adalah itu:
untuk tetap merasa dicintai, bahkan saat tidak baik-baik saja.
Dan ya… aku akan tetap menulis.
Karena di dunia yang terus bergerak cepat,
menulis membuatku diam.
Dan dalam diam itu, aku menemukan-Nya—lagi dan lagi.
Aku menyadari,
bahwa aku tidak sedang mencoba menjadi versi terbaik dari diriku demi disukai orang lain, tapi karena aku rindu bertumbuh—bersama Tuhan, dalam versi yang paling setia, paling lembut, paling sejati.
Aku tidak ingin jadi sempurna.
Aku hanya ingin menjadi benar-benar hadir.
Hadir untuk diriku sendiri.
Hadir untuk Tuhan.
Hadir untuk hidup yang telah diberikan padaku,
bukan sebagai beban,
tapi sebagai anugerah yang pantas dihargai.
Dan hari-hari ini, aku mulai bisa berkata “terima kasih” untuk hal-hal yang dulu membuatku ingin menyerah.
Untuk musim kehilangan, yang mengajariku untuk tidak menggantungkan seluruh hidup pada yang fana.
Untuk malam-malam gelap, yang diam-diam memperkenalkanku pada terang yang tak pernah padam.
Untuk rasa takut, yang justru menuntunku untuk lebih dalam menggenggam tangan Tuhan.
Untuk kesendirian, yang ternyata membuka ruang pertemuan paling intim dengan Dia yang tak pernah pergi.
Dan di titik ini, aku tahu: aku tidak sendirian dalam sunyi.
Ada Pribadi yang duduk di sampingku—menatapku,
bukan dengan tuntutan,
tapi dengan tatapan penuh kasih.
“Kamu cukup, Nak. Kamu dicintai—bukan karena kamu kuat,
tapi karena kamu adalah milik-Ku. Dan Aku tidak akan pernah melepaskanmu.”
Menulis, bagiku, telah menjadi bentuk ibadah.
Karena di dalamnya aku tidak menyusun narasi untuk orang lain, tapi menyusun ulang puing-puing batinku, menjadi doa.
Doa yang tidak selalu rapi, tidak selalu yakin, tapi selalu jujur.
Dan mungkin,
itulah yang paling Tuhan rindukan:
kejujuran.
Kejujuran yang lahir bukan dari keberanian besar, tapi dari kelelahan yang akhirnya memilih pulang.
Jadi hari ini…
aku tidak punya banyak rencana.
Aku hanya ingin melanjutkan perjalanan.
Melangkah satu demi satu, dengan Tuhan sebagai Kompas, dan kasih sebagai arah.
Jika kelak aku sampai di tempat yang indah, aku akan ingat: tempat itu tidak kuperoleh karena kekuatanku, tapi karena aku tidak pernah benar-benar berjalan sendiri.
Dan kalaupun aku tersesat lagi,
aku tahu… aku tinggal diam sejenak.
Duduk.
Menulis.
Lalu mendengarkan suara yang sudah lama kutahu:
“Pulanglah, Nak. Aku tetap di sini.”
—
Aku kini tahu bahwa proses bukanlah hal yang perlu ditakuti.
Ia bukan jalan memutar, bukan hukuman, bukan keterlambatan.
Ia adalah undangan…
untuk melambat,
untuk mengenal kembali makna, dan untuk kembali menyadari bahwa yang paling penting dalam hidup ini bukan seberapa cepat aku tiba, tapi dengan siapa aku berjalan.
Dan aku berjalan dengan Tuhan.
Dulu aku sering merasa gagal hanya karena aku lambat.
Karena aku tidak kuat seperti yang lain.
Karena aku menangis terlalu sering, dan tersesat terlalu jauh.
Tapi kini aku tahu…
kesembuhan bukan tentang kecepatan.
Kesembuhan adalah tentang keberanian untuk tetap hadir.
Untuk tetap memilih pulang—meski dengan langkah terseok.
Dan setiap langkah pulangku, selalu disambut.
Selalu dipeluk.
Selalu dimengerti,
bahkan sebelum aku sempat menjelaskan semuanya.
Hari ini, aku ingin menulis bukan untuk mengesankan siapa-siapa.
Aku ingin menulis karena aku masih hidup.
Dan karena aku masih hidup, aku ingin tetap setia merayakan kehidupan—
meski sederhana, meski hanya lewat kata-kata.
Ada kekuatan yang aneh dalam menulis.
Seperti merangkai ulang tulang-tulang dalam diriku yang retak, dan membiarkannya tersambung kembali—bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kasih dan kelembutan.
Aku ingin hidupku seperti surat cinta—
bukan untuk dunia,
tapi untuk Tuhan.
Untuk Dia yang menemaniku dalam sunyi, yang menunggu sabar ketika aku menghindar, dan yang tak lelah mengasihi, bahkan saat aku tak bisa mencintai diriku sendiri.
Aku ingin setiap halaman dalam hidupku membawa aroma kehadiran-Nya.
Bukan karena hidupku sempurna, tapi karena di tengah ketidaksempurnaan itulah, kasih-Nya semakin nyata.
Jadi, jika kamu sedang membaca ini dalam keadaan patah, aku hanya ingin berbisik pelan:
“Kamu tidak sendiri. Dan kamu tidak gagal.”
Kamu sedang berjalan.
Dan tidak apa-apa jika kamu harus berhenti sebentar, untuk menata napas, untuk merangkul hatimu sendiri, dan untuk mendengar Tuhan berkata:
“Aku tidak pernah jauh. Aku di sini. Dan Aku tetap mengasihimu.”
—
Hari-hari ini aku belajar satu hal yang sederhana, tapi tidak selalu mudah:
tetap bertahan.
Bukan bertahan agar dilihat kuat.
Bukan bertahan agar dibilang hebat.
Tapi bertahan… karena jauh di dalam hatiku, aku tahu:
Tuhan masih bekerja. Masih membentuk. Masih menyertai.
Dan ketika aku merasa tak ada lagi yang tersisa…
aku temukan diriku bersandar pada satu hal:
kesetiaan Tuhan yang tidak pernah pergi.
Aku tahu rasanya ingin menyerah, saat harapan terasa seperti ilusi, dan doa-doa hanya bergema kembali tanpa jawaban.
Aku tahu rasanya ingin tidur sangat lama, bukan karena lelah tubuh… tapi karena lelah hati.
Tapi aku juga tahu, setiap kali aku memilih untuk bertahan satu hari lagi, ada sesuatu di dalam diriku yang tumbuh:
keyakinan yang lebih dalam. Iman yang lebih dewasa.
Kasih yang lebih luas, karena aku tahu bagaimana rasanya berada di bawah.
Dan malam-malam ini, ketika dunia sudah sunyi, aku hanya ingin berkata pelan, dari hati yang tidak lagi terburu-buru:
"Tuhan, aku masih di sini. Masih percaya. Masih berjalan. Masih bertahan."
Mungkin aku tidak sekuat dulu.
Mungkin aku tidak seceria biasanya.
Aku sedang nyata. Aku sedang hadir.
Dan itu… adalah bentuk keberanian paling sejati.
Jadi untuk kamu, dan juga untuk aku yang sedang membaca ulang tulisan ini suatu hari nanti:
jika hari ini kamu tidak bisa terbang, berjalanlah.
Jika kamu tidak bisa berjalan, merayaplah.
Jika kamu tidak bisa merayap, diamlah sejenak di pelukan Tuhan.
Asal jangan menyerah.
Karena meski perlahan, meski penuh air mata, setiap detik keberanianmu untuk bertahan… sedang membawa jiwamu pulang.
Ada masa-masa…
di mana waktu seperti berhenti.
Segalanya berjalan pelan—bahkan terlalu pelan.
Doa-doa seperti menggantung di udara, dan harapan terasa seperti bayangan samar di kejauhan.
Aku sempat bertanya,
"Tuhan, kenapa semuanya terasa lambat? Apakah aku tertinggal dari hidup?"
Tapi lembah ini menjawab dengan sunyi:
"Tidak, Nak. Kamu sedang belajar ritme surgawi—yang tidak terburu-buru."
Ternyata, tidak semua yang lambat itu salah.
Tidak semua yang hening itu kosong.
Dan tidak semua yang diam berarti tidak bergerak.
Karena diam pun bisa jadi cara Tuhan menyembuhkan.
Karena lambat pun bisa jadi cara Tuhan merawat,
agar hatimu tidak retak karena tergesa-gesa.
Aku mulai mengerti…
bahwa tidak ada perlombaan dalam pemulihan.
Tidak ada deadline untuk kembali utuh.
Dan tidak ada yang sia-sia dalam proses yang berjalan perlahan.
Tuhan bukan atasan yang menagih progres,
Dia adalah Bapa—yang bersabar menunggu anak-Nya kembali pulih,
sedikit demi sedikit, pelan namun pasti.
Hari ini aku tidak ingin menuntut diriku untuk "harus lebih cepat."
Hari ini aku hanya ingin hadir.
Hadir untuk menyadari bahwa yang pelan pun bisa penuh makna.
Karena mungkin, justru saat hidup terasa lambat…
Tuhan sedang memurnikan niatku.
Sedang menata ulang arah langkahku.
Sedang mengajarku untuk berjalan, bukan demi tiba, tapi demi bersama.
Maka jika kamu juga merasa tertinggal…
jika kamu merasa hidupmu tidak secepat yang lain…
izinkan aku berkata pelan:
“Kamu tidak terlambat. Kamu sedang disesuaikan dengan waktu Tuhan. Dan waktu-Nya tidak pernah keliru.”
Lambat bukan akhir.
Lambat bukan kekalahan.
Lambat adalah ruang di mana Tuhan bisa benar-benar didengar.
Dan jika esok pun masih terasa lambat…
aku akan tetap menulis, tetap diam, dan tetap percaya.
Karena kasih-Nya…
selalu lebih cepat sampai dari apa pun yang kuharapkan.
Dari lembah, dengan langkah pelan namun yakin, aku masih di sini… dan aku tidak akan berhenti.
Komentar
Posting Komentar