💌 Surat Terakhir dari Chika untuk Chiko

Chiko,

Aku menulis ini bukan untuk membuatmu kembali.

Bukan juga untuk mengungkap luka, karena luka itu sudah kutulis berulang kali, dan diam-diam sudah kutitipkan kepada Tuhan di setiap malam yang sepi.

Aku menulis ini… untuk menyudahi diamku sendiri.

Untuk membebaskan hatiku dari pertanyaan yang tidak pernah kau jawab, dan mungkin memang tak akan pernah kau jawab.

Chiko,

Aku pernah mencintaimu sedalam-dalamnya,

Dengan sabar yang kutumbuhkan sendiri,

Dengan doa yang kupanjatkan diam-diam,

Dengan tulisan yang kerap kali kamu abaikan tapi tetap kutuliskan—seolah kamu sedang membacanya.

Aku menunggumu bukan sehari,

Menunggu kamu menoleh, menanggapi, menanyakan, memilih.

Tapi kamu tidak datang. Dan hari ini, aku tidak akan menyalahkanmu lagi.

Mungkin memang begitulah kamu mencintai:

Dengan diam. Dengan jarak. Dengan logika yang membungkus hatimu seperti tembok laboratorium.

Dan mungkin begitulah aku mencintai:

Dengan kata. Dengan harap. Dengan puisi yang menggigil di dada.

Tapi sekarang aku sadar,

Cinta yang hanya tinggal di satu sisi akan perlahan menjadi beban.

Dan aku lelah memanggil namamu dalam hati yang tidak pernah kamu ketuk kembali.

Chiko,

Aku tidak membencimu.

Kamu pernah menjadi inspirasiku. Kamu bahkan masih mengalir dalam naskah-naskahku. Tapi aku tidak ingin menjadikanmu pusat dari hidup yang terus bergerak.

Aku ingin menulis cerita baru—bukan tentang kamu, tapi tentang aku.

Tentang seorang perempuan yang memutuskan untuk tidak lagi menggantungkan hatinya pada seseorang yang tidak memilihnya.

Aku akan tetap berdoa untukmu.

Tapi aku tidak akan lagi berharap padamu.

Terima kasih sudah menjadi bagian dari perjalananku,

terima kasih sudah hadir sebagai Chiko di masa lalu.

Kini, aku pamit—bukan dalam dendam,

tapi dalam damai.

Chiko,

Setelah ini, mungkin kamu akan tetap diam.

Mungkin kamu tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang kutinggalkan hari ini.

Tapi tidak apa-apa.

Aku tidak menulis ini untuk membuatmu merasa bersalah.

Aku tidak berharap ada balasan.

Karena aku telah belajar bahwa tidak semua cinta perlu diselesaikan dengan kata,sebagian hanya perlu diselesaikan dengan keikhlasan.

Aku juga tidak akan lagi menanyakan apakah kamu pernah mencintaiku.

Karena jawabannya sudah cukup jelas dari sikapmu.

Dan aku... sudah cukup berani untuk menerimanya.

Kini aku tahu, melepaskan bukan berarti kalah.

Melepaskan adalah bentuk cinta yang paling jujur.

Cinta kepada diriku sendiri.

Cinta kepada Tuhan yang telah menenunku dengan begitu indah—bahkan ketika aku hancur.

Aku ingin menyambut hidup yang baru.

Aku ingin memberi ruang bagi cinta yang hadir, bukan yang hanya dikenang.

Aku ingin menulis lembaran baru—bukan tentang kehilanganmu,

tapi tentang aku yang akhirnya pulang pada diriku sendiri.

Jika suatu hari kamu membaca ini—entah karena takdir atau kebetulan,

ingatlah:

Aku pernah mencintaimu dengan segenap doa dan kata.

Dan kini, aku mencintai diriku dengan keberanian untuk berkata:

"Sudah cukup sampai di sini, Chiko. Aku pulang."

Semoga Tuhan menjagamu di jalan yang kamu pilih,

Dan semoga suatu hari, kamu juga bisa mencintai seseorangdengan kehadiran, bukan hanya dengan keberadaan samar.


Chiko,

Kini aku mengerti...

Tidak semua orang yang hadir dalam hidup kita harus menetap.

Beberapa hanya datang untuk menunjukkan rasa, lalu pergi meninggalkan ruang bagi kita untuk tumbuh.

Aku tidak akan lagi mencari-cari kamu di tengah keramaian.

Tidak akan menebak-nebak apakah langkahmu pernah mengarah kepadaku.

Tidak akan menunggu kamu menjelaskan sesuatu yang sejak lama sudah kujawab sendiri.

Karena pada akhirnya, kamu hanya bisa tinggal dalam satu tempat:

tulisanku.

Kamu akan tetap hidup di sana—di antara bait-bait yang pernah kugoreskan, sebagai tokoh yang pernah kucintai, dan kini kuabadikan…

bukan untuk dikenang, tapi untuk ditutup dengan tenang.

Biarlah kamu tetap menjadi Chiko di lembar cerita itu.

Bukan di hari-hariku, bukan di masa depanku, bukan di altar doaku lagi.

Hanya di cerita—tempat di mana aku bisa melihatmu, tanpa harus terluka lagi.

Terima kasih karena pernah membuatku jatuh cinta,dan lebih dari itu—terima kasih karena akhirnya membuatku beraniu untukbangkit…dan pulang.

Selamat tinggal, Chiko.

Kini kamu hanyalah tokoh dalam cerita yang pernah kutulis dengan air mata.

Dan kini, cerita itu telah kututup dengan senyuman.

Dengan kasih yang tak lagi menggantung ,dan pena yang kini beralih menulis tentang masa depan. 

Chika🌸🎀



Setelah surat itu selesai kutulis, aku diam.

Tidak ada air mata yang jatuh. Tidak ada sesak yang tersisa.

Hanya ada keheningan… yang terasa seperti pelukan dari Tuhan.

Mungkin inilah arti kedewasaan yang sesungguhnya—bukan saat kita berhasil memiliki seseorang,tetapi saat kita mampu melepaskan tanpa kehilangan diri sendiri.

Aku berjalan ke jendela kamar, melihat langit yang mulai gelap.

Siluet sore beranjak malam, tapi anehnya… hatiku tidak lagi berat.

Aku tahu, tidak akan ada jawaban dari Chiko.

Tapi aku tidak membutuhkannya lagi.

Karena aku sudah mendapat jawaban dari Tuhan:

Bahwa cinta sejati tidak pernah membiarkan kita terus menunggu sendirian.

Bahwa seseorang yang benar-benar ditakdirkan,

tidak akan membuat kita bertanya-tanya setiap hari,

"Apakah aku cukup?"

Aku menutup surat itu, melipatnya rapi, dan menyimpannya dalam laci bersama kenangan lainnya.

Bukan untuk dilupakan, tapi untuk tidak lagi dijadikan pusat semesta.

Kini, aku memilih berjalan.

Bukan ke arah Chiko, tapi ke arah diriku sendiri.

Ke arah masa depan yang tidak lagi membawanya.

Dan malam itu, sebelum tidur, aku berdoa:

“Tuhan, jika dia memang bukan milikku, tolong jagalah dia.

Tapi jika aku masih akan jatuh cinta lagi suatu hari nanti,

biarkan aku jatuh cinta pada seseorang yang tidak membuatku ragu,seseorang yang hadir, bukan hanya ada.

Seseorang yang tidak hanya diam, tapi tinggal.”

Lalu aku tidur dengan tenang,karena untuk pertama kalinya, aku tahu:

Aku telah memaafkan semuanya.

Termasuk diriku sendiri.

Dan besok, aku akan bangun sebagai Chika yang baru.

Bukan karena Chiko telah kembali—

tetapi karena aku telah memilih untuk tidak lagi menunggu.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin