Talitha

🌊 Talitha, si Bintang Laut yang Lupa Jalan Pulang🌊

Di dasar laut yang biru dan sunyi, hiduplah seekor bintang laut mungil bernama Talitha. Tubuhnya berwarna jingga pudar, tak lagi berkilau seperti dulu. Ia tak suka menatap bayangannya sendiri di permukaan air—ia merasa tak berharga, terlalu lambat, dan tidak seperti makhluk laut lain yang tahu arah dan punya tujuan.

Talitha sering bersembunyi di balik batu karang.

Ia menunda banyak hal—bercahaya, berenang ke arus terang, berteman.

Kadang ia hanya berbaring, menatap rumput laut yang melambai dan bertanya dalam diam:

"Mengapa aku di sini? Apakah aku salah lahir? Apakah Sang Pencipta lupa membuat rencana yang indah buatku?"

Banyak hari berlalu. Banyak musim pasang-surut datang dan pergi. Tapi Talitha tetap sama: diam, beku, dan merasa tak berarti.

Hingga suatu malam, ombak besar datang.

Arus menyeret Talitha jauh dari karangnya—ke tempat asing dan gelap.

Ia panik. Ia takut. Ia merasa sendiri.

Namun justru di kegelapan itu, ia mendengar suara lembut.

Tidak dari ikan, tidak dari ubur-ubur, dan bukan dari dirinya sendiri.

Sebuah suara dari dalam hati, dari langit yang tak terlihat:

"Talitha kum.

Hai engkau yang kecil dan lelah, bangkitlah. Aku melihatmu."

Talitha terdiam.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia menangis. Tapi air matanya tidak asin seperti laut.

Air matanya terasa hangat, seperti pelukan dari jauh.

Esok paginya, ketika matahari menyelinap ke celah karang, tubuh Talitha mulai bersinar samar.

Tidak seperti dulu—tapi cukup.

Cukup untuk membuat ubur-ubur menoleh.

Cukup untuk membuat rumput laut berhenti bergoyang dan menatap.

Talitha memutuskan untuk melangkah.

Satu lengan dulu.

Kemudian dua.

Kemudian perlahan, ia berenang. Bukan karena sudah kuat, tapi karena ia tidak sendiri lagi.

Dan sejak saat itu, kisah Talitha tak lagi tentang kemenangan instan. Tapi tentang keberanian untuk mencoba hari demi hari, meski kadang masih ingin sembunyi.

Ia bukan makhluk laut paling cepat, paling cantik, atau paling produktif.

Tapi dia yang berani bangkit, meski belum sembuh.

Dia yang tetap melangkah, meski belum sampai.

Dia yang percaya suara dari atas laut, meski tidak selalu melihat terang.

Karena nama Talitha bukan cuma nama.

Ia adalah panggilan.

Ia adalah pengingat bahwa setiap jiwa kecil berhak bangkit.


🐚Pelajaran dari Pasir yang Diam🐚

Hari-hari Talitha tak langsung berubah jadi petualangan indah.

Ia masih tersandung karang. Masih takut ombak. Masih ragu melihat bintang laut lain yang tampak lebih tahu arah hidupnya.

Suatu hari, saat ia sedang duduk di atas pasir lembut, datanglah seekor kelomang tua.

Cangkangnya usang, langkahnya pelan. Tapi matanya jernih, seperti pernah melihat dunia lebih luas dari dasar laut.

Kelomang itu tidak menasihati. Ia hanya duduk di samping Talitha dan berkata:

 “Pasir ini diam, tapi ia tahu cara menunggu ombak.”

Talitha menoleh.

 “Apa maksudnya?”

Kelomang tersenyum. “Kadang, yang paling kuat bukan yang paling cepat. Tapi yang paling sabar.

Pasir tak pernah lari dari gelombang. Ia tetap di tempatnya, membiarkan ombak datang, membentuknya, menghaluskannya. Sampai suatu hari, ia jadi pantai.”

Talitha terdiam. Ia memandang pasir di sekelilingnya.

Ia tak pernah melihatnya seperti itu sebelumnya.

Selama ini, ia mengira diam berarti gagal. Ternyata diam juga bisa berarti… sedang dibentuk.

Hari itu Talitha belajar:

Ia boleh lambat. Ia boleh takut.

Tapi selama ia tetap percaya—bahwa ada tangan tak terlihat yang membentuknya—maka ia tidak sia-sia.


πŸŽ€Undangan dari Taman LautπŸŽ€

Beberapa minggu berlalu.

Kilau Talitha makin terlihat—bukan dari luar, tapi dari caranya mendengar, bertanya, dan memilih bertumbuh.

Suatu pagi, seekor kuda laut mendekatinya dengan anggun.

“Namamu Talitha, ya?”

“Iya…”

“Kami dari Taman Laut Terang ingin mengundangmu. Ada ruang belajar di sana. Tempat para makhluk laut datang… bukan karena sudah hebat, tapi karena ingin belajar kembali menjadi dirinya.”

Talitha ragu.

 “Tapi aku belum sembuh... aku belum layak.”

Kuda laut mengangguk lembut.

“Itulah mengapa tempat itu ada. Untuk mereka yang belum selesai.”

Talitha tidak langsung mengiyakan.

Ia merenung sepanjang hari. Tapi malam itu, ia mendengar kembali suara itu—suara dari langit yang pernah memanggilnya saat gelap.

 “Bangkitlah, anak kecil. Berjalanlah ke tempat terang.”

Dan Talitha pun berenang pelan-pelan, meninggalkan batu lamanya.

Menuju Taman Laut Terang, tempat yang bukan untuk makhluk sempurna, tapi untuk yang mau bertumbuh.


🐠 Teman-Teman yang Tak Sempurna πŸ  

Taman Laut Terang bukanlah istana karang seperti yang Talitha bayangkan.

Ia bukan tempat penuh makhluk laut yang selalu tersenyum dan tahu tujuan hidupnya.

Tidak.

Tempat itu seperti pelukan: sederhana, hangat, dan menerima siapa pun yang datang dengan hati terbuka.

Di sanalah Talitha bertemu tujuh sahabat jiwa, masing-masing dengan luka dan cerita.

✨ 1. Lumina, sang ubur-ubur lembut yang cemas menyinari.

Ia pernah kehilangan sahabat karena tak sengaja menyakitinya. Tapi di tempat ini, Lumina belajar bahwa cahayanya tak berbahaya jika diarahkan dengan kasih. Ia mulai percaya bahwa keberadaan dirinya adalah penerang, bukan ancaman.

πŸŒ€ 2. Nalu, ikan kecil yang sulit diam karena pikirannya terlalu ramai.

Nalu selalu merasa harus bergerak agar tidak tenggelam dalam kekhawatiran. Tapi Taman Laut mengajarinya bernapas perlahan, dan bahwa diam bukan berarti tertinggal, melainkan memberi ruang bagi suara Tuhan terdengar.

πŸƒ 3. Nemoah, si kura-kura muda yang penyendiri.

Bukan karena ia sombong, tapi karena ia takut kehilangan lagi. Di sinilah Nemoah belajar bahwa membuka hati tidak selalu berarti akan dilukai kembali—kadang, itu berarti menemukan rumah baru.

πŸ’§ 4. Mirae, ikan yang selalu ingin menyenangkan semua makhluk laut.

Ia sering lupa dirinya sendiri karena terus mencoba jadi “cukup” di mata semua. Tapi Talitha mengingatkannya bahwa menjadi diri sendiri adalah bentuk pelayanan yang paling jujur.

πŸŒ™ 5. Elai, belut laut pemalu yang punya suara indah.

Ia hampir tak pernah bicara, padahal tutur katanya menyembuhkan. Di Taman Laut, ia pelan-pelan belajar bahwa suaranya adalah jembatan—bukan beban.

🌷 6. Kirra, kuda laut penuh ide, tapi takut salah.

Kirra sering mengubur mimpinya sendiri karena suara-suara di kepalanya terlalu keras. Bersama Talitha dan teman-temannya, ia belajar bahwa gagal bukan akhir—kadang, itu gerbang menuju pengertian baru.

🌊 7. Solas, makhluk laut yang tidak tahu siapa dirinya.

Ia sering bertanya, “Aku ini siapa? Apa aku penting?” Tapi setiap kali Talitha tersenyum atau menyebut namanya, Solas merasa sedikit lebih nyata. Ia mulai percaya, mungkin identitas bisa dibangun perlahan—dari kasih yang konsisten.

Hari-hari di Taman Laut Terang bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang saling menguatkan.

Mereka semua belum sembuh. Tapi mereka saling menemani, memberi ruang untuk tumbuh, dan mengingatkan satu sama lain bahwa:

Tidak apa-apa belum tahu arah—yang penting, tetap berenang.

Tidak apa-apa masih goyah—yang penting, tidak memadamkan cahaya.

Tidak apa-apa takut—asal percaya bahwa Kasih tidak pernah berhenti mencarimu.

Dan Talitha pun, si bintang laut kecil yang dulunya tak tahu arah, kini menjadi titik temu:

Bukan pusat, bukan pemimpin, tapi pelita kecil yang ikut bertumbuh bersama mereka.


πŸŒ…Suara dari Dalam KarangπŸŒ…

Suatu pagi yang tenang, Talitha duduk sendirian di balik lengkungan karang tua.

Ia memandang permukaan air yang diterpa sinar matahari, menciptakan bayangan menari-nari di dasar laut.

Ia tidak sedang sedih. Tapi ada sesuatu yang belum selesai di hatinya.

Seperti doa yang belum selesai diucapkan.

Seperti surat yang belum dikirim.

Lalu suara lembut itu datang, seperti gema dari dalam dirinya sendiri.

“Talitha, bagaimana rasanya mencintai yang belum utuh?”

Talitha memejamkan mata.

Ia tahu, suara itu bukan datang dari luar. Itu suara hatinya sendiri, yang akhirnya berani bertanya.

Ia mengingat Chara, teman laut yang dulu menjauh tanpa pamit. Ia mengingat luka-luka yang belum punya nama.

Tapi ia juga mengingat Lumina, Nalu, Nemoah... yang mengajarkannya bahwa keutuhan bukan prasyarat untuk dicintai.

“Rasanya seperti menanam benih di dasar laut,” jawab Talitha dalam hati.

“Kita tidak tahu apakah akan tumbuh. Tapi tetap menanam… karena cinta bukan hasil, tapi kesetiaan untuk hadir.”

Ia meraih batu kecil dari dasar pasir. Membaliknya. Di balik batu itu tumbuh ganggang mungil yang lembut seperti harapan.


🐚  Surat kepada Yang Pernah Pergi πŸš  

Malam itu, Talitha menulis dengan pasir.

Bukan untuk dibaca makhluk laut mana pun, tapi agar laut tahu—ia sedang melepaskan.

πŸ•Š️Untuk kamu, yang pernah bersandar di sisiku lalu pergi tanpa suara—

Aku sempat menyalahkan diriku. Berharap aku bisa lebih tenang, lebih pintar membaca gelombang hatimu.

Tapi kini aku tahu... kepergianmu bukan karena aku kurang, tapi karena kamu juga sedang mencari arah.

Aku tidak lagi menunggumu di tempat yang sama.

Tapi jika suatu hari kamu berenang kembali dan mencari tempat yang menerima luka—aku harap kamu tahu, aku pernah mendoakanmu menemukan terang.

Laut diam. Tapi diamnya seperti pelukan.

Talitha tak menangis. Tapi matanya berkaca.

Dan ia tahu, malam itu ia tidak sendiri—Tuhan sedang membaca suratnya.


🐬 Saat Laut Membuka Jalan🐬 

Beberapa waktu berlalu. Di Taman Laut Terang, Talitha dan ketujuh sahabatnya semakin kuat—bukan karena tak lagi terluka, tapi karena mereka belajar memeluk luka dengan lembut.

Suatu hari, penjaga Taman Laut datang.

Seekor pari tua yang bijak, penuh guratan waktu di tubuhnya.

Ia berkata, “Talitha, sudah waktunya. Ada tempat yang membutuhkanmu. Bukan untuk jadi pemimpin, tapi untuk menjadi cerita.”

Talitha mengerutkan alis. “Aku? Ke mana?”

Penjaga itu mengarahkan siripnya ke celah karang yang belum pernah Talitha lewati. “Ke Perairan Dalam. Di sana, ada makhluk-makhluk muda yang takut gelap. Mereka butuh cahaya dari yang tahu rasanya tersesat.”

Talitha diam sejenak. Ia menoleh ke Lumina, Nalu, dan teman-temannya.

Mereka tersenyum dan mengangguk. Tidak ada tangisan. Hanya berkat diam-diam.

 “Kamu akan baik-baik saja,” kata Mirae.

“Karena kamu bukan pergi… kamu sedang diutus.”

Dan Talitha pun berenang, perlahan namun pasti.

Membawa luka-luka yang sudah dilunakkan kasih.

Membawa cerita.

Membawa terang.

Di laut yang lebih dalam, Talitha tidak tahu harus berkata apa.

Ia tidak membawa banyak hal, selain dirinya sendiri dan keyakinan ini:

Bahwa makhluk laut terkecil pun bisa menjadi terang—bukan karena besar cahayanya, tapi karena ia tidak takut dibentuk oleh gelap.

Dan mungkin, itulah misi hidup Talitha.

Bukan untuk menjadi sorotan, tapi untuk menjadi sahabat dalam perjalanan.

Untuk berkata pada mereka yang merasa tak cukup:

 “Aku juga pernah merasa begitu. Tapi lihatlah… kita masih di sini. Masih berenang. Masih bernapas. Masih dicintai.”


🌿  Di Laut yang Hening, Aku Bertemu Diriku🌿

Laut Dalam tidak ramai. Tidak seperti Taman Laut Terang.

Di sini, sunyi terasa seperti musik yang nyaris tak terdengar—tapi jika kamu diam cukup lama, kamu bisa mendengar hatimu sendiri bicara.

Talitha berenang pelan di antara batu karang yang terlapisi waktu.

Tidak ada yang menyuruhnya pergi cepat-cepat. Tidak ada yang menuntutnya untuk kuat.

Untuk pertama kalinya, Talitha bisa benar-benar diam… dan dari diam itu, muncul kesadaran:

“Selama ini aku terlalu sibuk ingin menyembuhkan luka orang lain… sampai lupa menepuk pelan luka-lukaku sendiri.”

Ia pun duduk di dasar pasir, meraba bekas luka lama yang sudah tak sakit, tapi masih terasa.

Ia mengingat kalimat yang pernah diucapkan Solas:

“Mungkin identitas bukan soal siapa kita harusnya… tapi siapa yang kita peluk saat kita lemah.”

Talitha menarik napas dalam-dalam. Lalu perlahan, ia menyentuh dadanya sendiri—dan berkata, dengan suara yang nyaris seperti doa:

“Maaf ya… sudah lama kamu berjuang sendirian.”

“Terima kasih… karena masih di sini. Masih lembut, meski dunia pernah keras padamu.”

“Aku pulang. Bukan ke tempat, tapi ke diriku sendiri.”


πŸ”† Lautan sebagai CerminπŸ”†

Hari demi hari di Laut Dalam membuat Talitha mengerti satu hal besar:

Bahwa penyembuhan bukan tujuan. Ia adalah proses pulang ke rumah—yang rumahnya adalah kasih yang tak bersyarat.

Di tengah perjalanan itu, Talitha mulai menyukai keheningan. Ia mulai menyapa dirinya sendiri dengan lembut.

Ia menari perlahan di antara sinar yang menembus sela karang. Tidak untuk dilihat siapa-siapa. Tapi karena tubuhnya rindu bergerak bebas.

Ia bernyanyi—bukan lagu yang sempurna, tapi suara yang tulus.

Dan air laut mengalir seperti ikut menyanyikan nada-nada pengampunan.

Talitha belajar memeluk semua versinya:

– Talitha yang takut,

– Talitha yang marah diam-diam,

– Talitha yang mencoba terlalu keras untuk “cukup”,

– Talitha yang tertawa saat hatinya gemetar.

Ia mulai tahu:

Menjadi utuh bukan tentang menghilangkan sisi-sisi itu, tapi mengajak mereka duduk bersama di satu hati, lalu berkata:

“Kita semua penting. Kita semua berharga. Kita semua… dicintai.”


Surat kepada Diri yang Lama 

Suatu malam, Talitha menulis surat.

Bukan untuk makhluk laut lain. Tapi untuk versi dirinya yang dulu: si bintang laut kecil yang pernah tersesat, pernah merasa tak dipilih, pernah ingin jadi siapa pun selain dirinya.

Hai, aku tahu kamu capek. Aku tahu kamu pernah menunggu seseorang datang untuk menyelamatkanmu.

Tapi ternyata… yang kamu tunggu itu adalah dirimu sendiri.

Dan sekarang aku di sini. Memelukmu.

Terima kasih sudah bertahan, meski gelap dan dingin. Aku bangga padamu. Kita tak sempurna, tapi kita sungguh hidup.

Talitha tidak tahu apakah laut membaca surat itu. Tapi malam itu, ia merasa air menjadi lebih hangat. Seperti pelukan dari Tuhan sendiri.


🌈Saat Laut Menyambut Kembali 🌈

Beberapa waktu kemudian, ketika ia sudah siap, Talitha kembali ke permukaan.

Bukan untuk memperlihatkan bahwa ia “sudah sembuh,”

tapi untuk hadir bagi mereka yang masih mencari arah—seperti dirinya dulu.

Ia berenang ke Taman Laut Terang.

Satu per satu sahabatnya memeluknya dengan tawa dan air mata.

Dan untuk pertama kalinya, Talitha tidak merasa “lebih kuat” atau “lebih paham”—

tapi ia merasa, lebih hadir.

Hadir bagi yang takut.

Hadir bagi yang ingin menyerah.

Hadir bagi yang hanya butuh ditemani diam.

Dan malam itu, saat mereka duduk melingkar di bawah sinar bulan laut, Nalu berkata:

“Kamu tampak berbeda, Talitha… bukan seperti bintang laut yang dulu pergi.”

Talitha tersenyum.

 “Aku bukan berubah… aku kembali. Bukan sebagai versi terbaikku—tapi sebagai diriku yang belajar mencintai dirinya sendiri.”

Talitha kini tahu bahwa laut dalam, laut terang, bahkan laut yang gelap sekalipun—semuanya adalah bagian dari dirinya.

Dan ia tahu: selama ia bisa berkata lembut pada dirinya sendiri, selama ia bisa mencintai dari tempat yang utuh meski belum sempurna…

Ia akan selalu menemukan jalan pulang.

Karena rumah…

bukan tempat.

Bukan seseorang.

Bukan masa lalu.

Rumah adalah hati yang bersedia mencintai dirinya sendiri, apa pun bentuk lukanya.


πŸ“–Talitha Menjadi Pencerita LautπŸ“– 

Di suatu pagi yang tenang, Talitha duduk di atas batu karang datar, dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya yang menunggu dalam diam. Laut hari itu tidak ramai, tapi ada kehangatan yang berbeda: seperti pelukan yang tidak terburu-buru.

Nalu menggeliat kecil, lalu bertanya pelan,

“Talitha… bisa cerita lagi gak? Yang tentang waktu kamu nyasar ke Laut Dalam…”

Talitha tersenyum.

Ia bercerita karena ingin berbagi napas kehidupan.

“Waktu itu aku takut banget. Aku pikir, kalau aku hancur, siapa yang akan peduli?”

“Tapi ternyata… ketika aku berani duduk dengan luka-lukaku, aku tahu… mereka tidak menghancurkanku. Mereka malah membentukku.”

Ia tidak berusaha membuat kisahnya dramatis. Ia tidak menyembunyikan bagian yang rapuh.

Dan justru karena itu, setiap kata Talitha menjadi obat.

Kirra menggenggam ekornya sendiri sambil berkata,

“Aku jadi gak merasa sendiri lagi, Talitha. Ternyata perasaan takutku… bukan kelemahan ya?”

Talitha mengangguk.

 “Bukan. Itu bukti bahwa kamu peduli.”

Sejak hari itu, Talitha jadi penjaga malam—yang duduk di sudut Taman Laut dan membuka sesi cerita bagi siapa pun yang ingin mendengarkan. Kadang, mereka hanya diam bersama. Kadang, mereka menangis, lalu tertawa karena air laut menutupi air mata mereka.

Dan setiap cerita yang Talitha bagikan… bukan tentang bagaimana ia ‘menang’. Tapi bagaimana ia tetap lembut, bahkan saat hatinya nyaris patah.


Festival Cahaya Laut

Tiba hari yang istimewa: Festival Cahaya Laut—hari di mana semua makhluk laut memperingati kasih yang tak pernah padam, bahkan di tengah kegelapan.

Talitha awalnya ingin hanya menjadi penonton.

Namun sahabat-sahabatnya menyusun kejutan kecil:

Mereka menominasikan Talitha untuk menyalakan lentera laut pertama—tanda dimulainya malam penuh cahaya.


Mirae mendekatinya sambil berkata,

“Kamu gak harus bicara banyak. Cukup hadir. Itu saja sudah menyembuhkan banyak dari kami.”

Dengan tangan gemetar, Talitha mengangkat lentera kecil itu.

Di dalamnya, bukan cahaya biasa. Tapi potongan cerita-cerita kecil yang dulu ia tulis diam-diam, waktu ia masih belajar menerima dirinya.

Dan saat lentera itu menyala—bukan dengan nyala terang, tapi dengan cahaya yang hangat dan tetap—seluruh lautan menjadi hening.

 Bukan karena Talitha sempurna.

Tapi karena semua makhluk laut di sana melihat satu hal:

Jika Talitha bisa bertahan dan tetap lembut… mungkin mereka juga bisa.


🌺Talitha dan Laut yang Baru🌺

Musim laut berubah. Angin bawah laut membawa aroma bunga-bunga karang yang mulai tumbuh. Tanda bahwa sebuah siklus telah selesai—dan babak baru akan dimulai.

Talitha kini tidak tinggal di satu tempat.

Ia berenang dari satu wilayah ke wilayah lain—bukan untuk mencari, tapi untuk menemani.

Ia tidak memberi nasihat panjang.

Ia hanya mendengarkan, memeluk dengan kehadiran, dan kadang meninggalkan satu bintang laut kecil yang ia bentuk dari pasir dan kasih.

Makhluk laut menyebutnya:

Talitha si Penjaga Hati Laut.

Tapi Talitha hanya tersenyum, karena jauh dalam dirinya, ia tahu:

Ia tetap si bintang laut kecil yang dulu takut tenggelam.

Bedanya kini—ia tahu bahwa Kasih tidak akan pernah membiarkannya benar-benar hilang.

Talitha tidak sedang menuju akhir.

Ia sedang mengalir, seiring arus kehidupan yang pelan tapi pasti membawanya makin dekat ke terang.

Dan jika kamu pernah merasa seperti Talitha—pernah takut, pernah lelah, pernah ingin menjadi siapa pun selain dirimu sendiri—maka ingatlah:

Kamu tidak sendiri.

Kamu tidak rusak.

Kamu tidak tertinggal.

Kamu sedang disembuhkan—bukan dengan tergesa-gesa, tapi dengan kasih yang setia menemani sampai kamu siap berkata:

“Aku pulang. Dan aku mencintai rumah ini… yaitu diriku sendiri.”


🌌Laut yang Mendengar Doa🌌

Malam itu, laut sangat tenang.

Tak ada ombak tinggi, tak ada arus liar.

Hanya gemuruh lembut dari dasar samudra, seperti suara Tuhan yang berbisik di dada Talitha.

Ia duduk di puncak karang, memandang bulan laut yang menggantung seperti lentera kasih.

Tangannya gemetar memegang sehelai rumput laut yang ia bentuk jadi salib kecil.

“Tuhan…” bisiknya pelan,

“Kalau Engkau memang mendengar, bisakah Kau tunjukkan bahwa aku tak sedang sendirian berenang dalam hidup ini?”

Air matanya jatuh, menyatu dengan air laut.

Namun saat itu juga, ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasa sebelumnya:

Kehadiran yang tak terlihat, tapi nyata.

Bukan suara keras.

Bukan mukjizat besar.

Tapi keheningan yang hangat, seperti pelukan yang datang dari dalam.

 “Aku di sini, Talitha,”

seolah ada suara lembut di hatinya,

“Aku tak pernah berhenti mengawasi langkahmu. Bahkan saat kamu lupa berdoa, Aku tidak pernah lupa menjagamu.”

🌿Surat Kasih dari Laut🌿

Pagi harinya, Talitha menemukan sesuatu di balik batu karang tempat ia sering duduk:

Sebentuk kerang yang terbuka, dan di dalamnya ada lembaran kecil dari ganggang laut yang membentuk kata-kata.

"Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia dan Aku ini mengasihi engkau...."

(Yesaya 43:4)

Talitha terdiam. Ia tak tahu siapa yang menulisnya, tapi ia merasa seperti surat itu memang ditujukan untuknya.

Hari itu, Talitha berenang bukan karena ia kuat, tapi karena hatinya terasa dituntun.

Ia mulai memahami bahwa pemulihan bukan sekadar usaha pribadi, tapi respon terhadap kasih yang setia mendekap, bahkan di saat kita tak percaya diri layak didekap.


πŸ•Š️ Talitha dan Doa DiamπŸ•Š️

Di suatu sore, Elai—sang belut laut pemalu—menggeliat pelan di sebelah Talitha.

“Talitha… kamu kayaknya sering ngobrol sama… langit ya?”

“Atau sama laut? Atau... sama Tuhan?”

Talitha tersenyum, menatap cahaya senja yang menembus air laut.

“Iya. Aku gak selalu tahu harus ngomong apa. Tapi kadang aku cuma duduk, dan menyerahkan segalanya dalam diam.”

“Kupikir, mungkin Tuhan bisa mendengar bahkan yang tidak kuucapkan.”

Elai mengangguk, lalu menutup matanya.

Dan saat itulah mereka mengerti—doa tidak harus selalu indah.

Kadang, doa adalah tangisan diam yang naik perlahan,

seperti gelembung udara yang naik ke permukaan dan… cukup sampai di sana.

Dan Tuhan tahu sisanya.


Talitha Kembali ke Laut Dalam

Talitha memutuskan kembali ke Laut Dalam—tempat yang dulu pernah membuatnya hampir tenggelam.

Tapi kali ini, bukan untuk mencari.

Melainkan untuk membawa terang.

Bersama Solas dan Lumina, mereka menyusuri gua-gua gelap tempat makhluk-makhluk laut sering bersembunyi dalam luka dan rasa malu.

Di sana, Talitha tidak datang sebagai guru.

Ia datang sebagai teman seperjalanan.

Dan sesekali, ia berdoa dalam hatinya:

“Tuhan, tolong pakai lukaku yang sudah Kau sembuhkan ini,

untuk mengusap luka yang masih berdarah di hati mereka.”

Dan pelan-pelan, di tengah kegelapan Laut Dalam,

terang kecil mulai muncul dari satu hati ke hati lain.

Talitha masih menangis sesekali.

Tapi kini ia tahu, ia tidak berenang sendirian.

Ada Tuhan yang berenang bersamanya.

Ada Kasih yang tak akan meninggalkannya, bahkan saat ia terpuruk.

Dan setiap kali ia merasa tenggelam, ia belajar berkata:

“Tuhan, genggam aku.

Jangan biarkan aku melepaskan-Mu, meski tanganku lemah.

Karena Kau-lah jangkar jiwaku di tengah badai laut hidup ini.”

Dan suara lembut pun datang dalam hati Talitha:

“Aku di sini. Dan Aku tak akan pernah melepaskanmu.”


πŸ‚Maaf dari DalamπŸ‚

Ada luka yang tak kelihatan di tubuh Talitha.

Bukan goresan dari karang, bukan bekas gigitan predator laut.

Tapi luka di hatinya sendiri—yang ia buat karena terlalu sering menyalahkan diri.

Di malam yang hening, Talitha duduk di antara taman anemon. Cahaya bioluminesensi menari pelan, dan suara Laut Terang seperti lagu pengantar tidur.

Ia menatap pantulan dirinya di air.

“Kenapa kamu begitu keras pada dirimu, Talitha?”

bisik suara dari dalam.

“Padahal kamu cuma anak laut yang sedang belajar bernapas.”

Tangisnya pecah.

Semua rasa bersalah yang selama ini ia simpan—karena tidak cukup kuat, karena pernah marah, karena pernah berharap kepada yang pergi—semuanya muncul ke permukaan.

Lalu Talitha meletakkan tangannya di dada.

Dan dengan suara pelan, ia berkata:

 “Talitha…

Maaf karena selama ini aku tak pernah benar-benar mendengarkanmu.

Maaf karena aku menuntutmu menjadi sempurna.

Maaf karena aku memaksa kamu untuk terus berenang, padahal kamu hanya ingin diam dan menangis.”


Air laut menghangat, seolah ikut menangis bersamanya.

Tapi malam itu, sesuatu berubah.

Untuk pertama kalinya, Talitha bukan hanya menyadari lukanya.

Ia memeluknya. Ia memaafkan dirinya.


πŸ•―️Doa PengampunanπŸ•―️

Di tempat biasa ia berdoa diam, Talitha menutup mata dan mengucap pelan:

“Tuhan…

Jika Engkau telah mengampuniku,

tolong ajari aku untuk mengampuni diriku sendiri.

Karena kadang, yang paling sulit kuampuni… adalah aku yang pernah kecewa.

Aku yang menyerah. Aku yang marah.

Tapi kini aku ingin belajar untuk berdamai.”

Dan untuk pertama kalinya, Talitha merasa hatinya seperti dibersihkan.

Seperti ada tangan lembut yang mengangkat beban yang selama ini ia bawa ke mana-mana.

Bukan karena dia sudah benar-benar pulih, tapi karena ia mulai mempercayai bahwa Kasih yang memaafkan itu nyata, dan tinggal di dalam dirinya.


πŸ’ŒSurat untuk Diriku yang DuluπŸ’Œ

Malam itu, Talitha menulis sesuatu di atas pasir laut. Surat, untuk dirinya yang dulu:

Hai Talitha kecil,

Aku tahu kamu sering merasa sendiri.

Kamu menahan tangis terlalu lama, pura-pura kuat di depan arus yang ganas.

Tapi kamu baik-baik saja sekarang.

Kamu boleh kecewa. Kamu boleh jatuh.

Karena dari reruntuhan itu, Tuhan menumbuhkan sesuatu yang indah.

Terima kasih karena kamu tidak menyerah.

Terima kasih karena kamu tetap berenang, meski tidak tahu ke mana.

Sekarang aku akan menjagamu.

Aku tidak akan membiarkanmu disalahkan terus-menerus.

Aku akan menyayangimu, seperti Tuhan menyayangimu.

Karena kamu pantas dimaafkan.

Dengan kasih,

Aku yang kini.

-------

Dan dengan itu, Talitha tahu...

Mengampuni diri bukan berarti melupakan kesalahan.

Tapi mengizinkan kasih Tuhan menulis ulang kisah itu dengan kelembutan.

Talitha berenang perlahan kembali ke Taman Laut Terang.

Bukan sebagai makhluk laut yang sempurna.

Tapi sebagai jiwa yang pulang—

Dengan dada yang lebih lapang,

dan hati yang tahu:

aku dikasihi, bahkan di titik paling hancurku.


πŸ“– Kitab Laut yang Lembut

Talitha duduk di atas batu karang datar, dikelilingi cahaya ubur-ubur kecil yang melayang seperti lentera. Di pangkuannya terbentang selembar daun laut besar, tempat ia menulis dengan tinta mutiara. Itu bukan sekadar tulisan, tapi bisikan doa dan puisi untuk jiwa yang remuk namun masih ingin mencinta.

Ia menyebutnya:

“Kitab Laut yang Lembut: Doa-doa bagi yang Pernah Patah tapi Tidak Mati.”

Berikut salah satu halaman pertama:

🌊 Doa Saat Sulit Memaafkan Diri Sendiri🌊 

Tuhan,

Jika Engkau telah melupakan dosaku,

Ajari aku untuk tidak menggali makam luka yang telah Kau kubur.

Jika Engkau menyebutku "dikasihi",

Ajari aku untuk tidak memanggil diriku "cacat".

Tuhan,

Kadang aku ingin menampar diriku karena gagal.

Tapi hari ini, tolong biarkan aku menyentuh pipiku dengan kasih,

Dan berkata,

“Kamu masih layak dicintai.”

🌱 Laut pun Memberi Kesempatan Kedua

Laut tidak pernah marah saat karang patah,

Ia malah menyapanya dengan ombak baru.

Langit tidak menyesal menurunkan hujan kemarin,

Ia tetap bersinar hari ini, seolah berkata:

“Hari ini juga bisa jadi indah.”

Untuk  kamu yang pernah diam-diam menyalahkan diri,

Tuhan tahu.

Dan kasih-Nya tidak pernah berkurang satu tetes pun.

Tuhan tidak memanggilmu dengan nama luka.

Ia memanggilmu: Anak yang sedang belajar pulang.

πŸ’¬ Membaca Doa untuk Orang Lain

Suatu hari, Talitha duduk di tengah kumpulan anak-anak laut yang lebih muda. Ia membuka kitabnya, dan membaca salah satu doa.

Suasana hening.

Beberapa makhluk kecil menunduk. Ada yang meneteskan air mata garam.

“Aku kira aku satu-satunya yang merasa seperti ini,” bisik salah satu dari mereka.

Talitha menatapnya lembut.

“Aku juga pernah pikir begitu. Tapi ternyata… kita semua pernah lelah. Dan itu bukan dosa. Itu manusiawi.”


🌌Talitha dan Laut dalam Dirinya🌌

Di ujung malam, Talitha menyadari:

Kitab kecil itu bukan hanya untuk orang lain.

Itu juga untuk dirinya—versi hari ini, besok, dan saat ia lupa lagi bagaimana cara mencintai diri.

Ia menyimpannya di tempat paling dalam dalam hatinya.

Dan ketika nanti ada badai,

Ia akan membacanya lagi.

Bukan karena ia lemah,

Tapi karena ia tahu:

Setiap luka butuh diingat dengan kasih, bukan dengan rasa malu.

Malam itu, Talitha tersenyum kecil.

Untuk pertama kalinya, bukan karena segalanya baik-baik saja.

Tapi karena ia tahu kini bagaimana caranya menemani dirinya sendiri... dengan lembut.

Dan di dalam Laut Terang, gema lembut pun terdengar:

“Aku telah mengampunimu. Kini, belajarlah untuk hidup dari kasih, bukan dari penyesalan.”


Waktu yang Tidak Bisa Diulang, Tapi Bisa Ditebus

Talitha duduk memandangi jam laut yang terbuat dari koral tua dan pasir bintang. Waktu terus mengalir, seperti arus yang tak bisa ditarik kembali. Ada hari-hari yang ia sesali. Kata-kata yang terlalu tajam. Peluang yang dilewatkan. Pelukan yang tak sempat diberikan.

Tetapi malam itu, angin laut membawa bisikan baru:

"Waktu memang tidak bisa diulang. Tapi kasih bisa menebusnya."

Talitha menunduk, menangis. Bukan karena menyesal lagi, tapi karena mulai percaya… bahwa Tuhan sanggup menenun ulang kisah yang retak.


🧡 Jahitan Kasih di Luka Lama🧡

Di suatu pagi yang lembut, Talitha duduk di tepi gua karang bersama seorang makhluk laut tua bernama Nalia. Tubuh Nalia penuh bekas luka, namun sorot matanya tenang seperti matahari pagi.

Talitha bertanya, “Bagaimana caranya tidak malu dengan luka ini?”

Nalia tersenyum. “Jangan ditutup dengan kemarahan. Jahitlah dengan kasih.”

Talitha memejamkan mata. Ia mulai melihat bahwa semua luka yang dulu ia sembunyikan… kini mulai berubah menjadi pola. Seperti tambalan kain dalam sebuah permadani kehidupan—rapuh, tapi indah.


🌿 Talitha dan Jiwa yang Ia Temani🌿

Talitha mulai bertemu jiwa-jiwa lain yang datang kepadanya dengan mata penuh cerita. Mereka tidak datang untuk dinasihati, tapi untuk didengarkan.

Seorang anak laut kecil berkata, “Aku ingin berhenti. Aku lelah jadi kuat terus.”

Talitha tidak menjawab panjang. Ia hanya meraih tangan kecil itu dan memeluknya.

“Kamu boleh lelah. Aku di sini. Tuhan juga di sini.”

Dan di pelukan yang hangat itu, tanpa kata, penyembuhan pun mengalir.

πŸ”₯Ketika Luka Menjadi Pelita πŸ”₯

Talitha suatu malam menyalakan lentera laut dari kristal pendar. Ia menggantungnya di atas tempat tidur salah satu anak laut yang sedang sakit.

Anak itu bertanya dengan mata berkaca, “Kenapa kamu tahu persis rasanya sakit begini?”

Talitha menggenggam tangannya dan menjawab:

“Karena aku pernah berada di tempatmu. Dan saat itu, seseorang juga datang membawakan cahaya untukku. Sekarang giliranku.”

Dan lentera itu menyala. Bukan karena listrik. Tapi karena kasih yang diwariskan dari satu luka yang pulih, kepada luka yang lain.


πŸ“‘Diari Doa TalithaπŸ“‘

Kitab kecil Talitha kini penuh. Tapi ia masih terus menulis. Ia menyebut halaman-halaman barunya sebagai “diari doa”—bisikan lembut yang ia tulis untuk menemani dirinya sendiri dan siapa pun yang tersesat.

Salah satu halamannya berbunyi:

🌀️ Doa untuk Hari yang Tidak Kuat

Tuhan,

Hari ini aku tidak ingin jadi kuat.

Aku hanya ingin jadi nyata.

Tolong peluk aku, bukan karena aku hebat,

Tapi karena aku anak-Mu.

Yang jatuh. Yang takut. Tapi tidak sendiri.

Karena Engkau adalah pelindung dari jiwa yang tak tahu harus ke mana.


πŸŒ™Talitha, PulangπŸŒ™

Di malam terakhir musim semi, Talitha berenang perlahan ke puncak terumbu tertinggi. Ia melihat langit laut yang penuh bintang laut dan cahaya dari dasar samudra.

Lalu, ia menutup mata dan berbisik:

“Terima kasih, Tuhan. Karena ternyata luka bukan akhir. Tapi awal dari jalan pulang.”

Talitha bukan lagi hanya gadis laut yang menangis di anemon. Ia kini adalah penjaga kasih, pembawa lentera untuk jiwa-jiwa yang pernah kehilangan arah.

Dan saat ia menyelam kembali, suaranya terdengar lembut di seluruh Laut Terang:

“Aku pernah patah. Tapi sekarang, aku sedang tumbuh… dan tidak sendiri.”


🌊 Ketika Ombak Membawa Nama Lama 

Suatu senja, Talitha duduk di tepi Laut Terang sambil menulis di pasir basah. Angin membawa harum garam dan kenangan. Tiba-tiba ombak datang, menyapu sebuah kerang kecil ke hadapannya. Di atas kerang itu, terukir samar sebuah nama—nama yang dulu pernah sangat ia jaga di doanya.

Talitha terdiam.

Itu adalah nama seseorang yang dulu meninggalkannya tanpa penjelasan, ketika ia sedang remuk. Tapi alih-alih pahit, hatinya kini hanya terasa… tenang.

“Tuhan, aku tidak ingin membalas. Aku hanya ingin memberkati,” bisiknya.

Dan sore itu, ia menulis sebuah doa untuk orang itu. Doa sederhana. Tapi tulus.

Karena ia tahu: kasih yang sejati tidak selalu harus memiliki. Kadang, cukup dengan melepaskan dalam doa yang murni.


🐚 Surat Tak Bernama di Bawah Laut πŸš

Di dasar laut yang sunyi, Talitha menemukan sebuah gulungan daun rumput laut, terikat rapi dengan benang mutiara. Isinya adalah surat tanpa nama.

"Untuk siapa pun yang pernah merasa tidak cukup:

Kamu bukan kegagalan. Kamu adalah karya yang sedang dipulihkan."

"Dan kamu tidak harus terburu-buru menjadi sembuh. Karena Tuhan tidak mendesakmu. Dia menunggu dengan sabar, di setiap napas, di setiap air mata."

Talitha membaca surat itu berkali-kali. Lalu, ia menaruhnya di tempat istimewa: di antara halaman-halaman diari doanya. Karena ia tahu, suatu hari nanti, akan ada jiwa lain yang membutuhkannya.


Lentera untuk Dirinya Sendiri 

Malam itu, saat semua makhluk laut telah tidur, Talitha duduk sendirian. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… ia menangis untuk dirinya sendiri.

Bukan karena sedih. Tapi karena ia mulai benar-benar menyadari:

Ia juga berhak dicintai. Bukan karena berguna. Tapi karena ia adalah ciptaan yang berharga.

Lalu, ia menyalakan lentera laut kecil dan menggantungnya di dalam hatinya. Kali ini bukan untuk siapa-siapa.

Tapi untuk dirinya sendiri.


🌌 Laut yang Kini Menyala πŸŒŒ 

Hari-hari berlalu. Talitha terus berjalan, bukan sebagai orang yang sudah sempurna, tapi sebagai jiwa yang terus berlatih untuk mengasihi… dengan luka yang sudah diberkati.

Kini, Laut Terang bersinar lebih hangat. Bukan karena sihir. Tapi karena ada banyak lentera kasih yang menyala dari hati ke hati.

Dan setiap kali seseorang bertanya pada Talitha,

“Apakah kamu masih takut terluka lagi?”

Ia akan tersenyum dan menjawab:

“Iya. Tapi sekarang aku tahu, luka pun bisa dipakai Tuhan untuk menciptakan terang.”



🌱Taman Kecil di Dalam Diri

Di sudut sunyi Laut Terang, Talitha mulai menanam benih-benih kecil di dasar laut. Ia menyebutnya “Taman Pemulihan.” Tempat di mana makhluk laut yang lelah boleh datang hanya untuk diam.

Di tengah taman itu, tumbuh bunga laut biru muda—bunga yang hanya bisa mekar dari air mata yang dijadikan doa.

Setiap kali Talitha merasa letih, ia kembali ke sana, duduk diam, membiarkan air menyentuh luka-luka lamanya yang kini tak lagi berdarah—hanya berbekas… namun tak menyakitkan.

"Tak semua luka harus hilang. Beberapa cukup disayangi, agar tak menyiksa."


πŸŽ€ Lagu yang Dinyanyikan Luka

Suatu malam, seekor paus muda berenang ke arah Talitha. Ia ketakutan, tubuhnya dipenuhi goresan, suaranya pecah oleh tangis.

Talitha tak berkata apa-apa. Ia hanya duduk di sampingnya, memeluk kepala besar paus itu dan mulai bersenandung.

Nadanya tidak sempurna. Suaranya lirih.

Tapi itu lagu yang lahir dari luka. Dan luka mengenali bahasa luka.

Dan paus itu, yang tadinya gemetar, akhirnya tenang. Ia tertidur dalam pelukan suara Talitha.


πŸ”– Buku yang Belum Selesai

Talitha membuka kembali buku catatannya yang sudah usang. Ada halaman-halaman yang masih kosong. Dulu, ia takut mengisinya. Takut membuat kesalahan lagi.

Tapi malam itu, ia menulis satu kalimat di halaman pertama yang kosong:

“Tuhan, aku siap menulis lagi. Tapi kali ini, aku tak menulis sendiri.”

Karena sekarang ia tahu: kisahnya bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang perjalanan. Dan setiap bab yang baru, adalah bab yang ditulis bersama kasih yang tidak pernah meninggalkannya.


🌀️ Di  Saat Tidak Ada yang Mengerti

Pada suatu hari kelabu, Talitha merasa sendirian lagi. Tidak ada makhluk laut yang datang. Tidak ada pelukan. Tidak ada kata-kata.

Tapi ia tidak melawan kesepian itu.

Ia membiarkannya duduk di sebelahnya.

Dan dengan suara nyaris tak terdengar, ia berkata kepada sunyi itu:

 “Kalau kamu memang harus hadir hari ini, aku akan tetap menyajikan teh untukmu. Tapi kamu tidak berkuasa atas jiwaku.”

Dan ketika malam tiba, angin membawa bisikan lembut ke telinganya:

“Engkau tidak dimengerti oleh dunia, karena engkau disiapkan untuk mengasihi dunia yang tidak mengerti.”


πŸ•Š️ Menjadi RumahπŸ•Š️

Talitha kini bukan hanya seorang penyembuh. Ia adalah rumah.

Rumah bagi yang ingin berhenti pura-pura kuat. Rumah bagi yang ingin belajar memaafkan. Rumah bagi dirinya sendiri—yang dulu begitu lama ditinggalkan oleh kasih yang mestinya tinggal.

Kini, Talitha tidak lagi mencari siapa yang akan menyelamatkannya.

Karena ia sudah menjadi rumah tempat kasih tinggal.


🌈 Jika Nanti Aku Bertemu Lagi

Talitha suatu pagi menulis satu doa paling jujur dalam hidupnya:

“Tuhan, jika suatu hari aku bertemu lagi dengan seseorang dari masa lalu—seseorang yang dulu membuatku menangis di malam-malam sepi—tolong buat aku tetap lembut. Biarkan aku tidak menuntut penjelasan. Hanya tersenyum, dan berkata: 'Terima kasih. Karena tanpamu, aku tidak akan sampai sejauh ini.'”

Dan doa itu bukan tentang memaafkan orang lain saja.

Tapi juga tentang memeluk versi dirinya yang dulu—yang pernah sangat takut, tapi terus berjalan.

Dengan kelembutan yang terus tumbuh dari kedalaman jiwanya, Talitha melangkah lagi—bukan untuk melupakan masa lalu, tetapi untuk menghidupi harapan yang kini tinggal di dalam dirinya…


Cermin dari Cahaya yang Retak

Di suatu pagi hening, Talitha menemukan sebuah cermin kecil yang terbuat dari pecahan kaca laut. Tak sempurna. Retak. Tapi memantulkan sinar matahari dengan cara yang justru indah.

Ia menatap bayangannya di sana. Matanya tak lagi penuh tanya, meski masih ada sisa air.

Lalu ia berkata pelan kepada bayangan itu:

"Kamu sudah melewati badai. Kamu tak harus jadi utuh… untuk bisa jadi terang."

Karena akhirnya, Talitha mengerti: keindahan bukan hanya dari hal yang utuh, tapi dari keberanian untuk tetap bersinar meski pernah hancur.


🧡Jahitan Doa di Luka Lama

Suatu malam, ketika laut sedang sunyi dan bintang tidak terlalu terang, Talitha membuka kembali kenangan yang dulu sangat ia hindari. Kali ini, bukan untuk tenggelam… tapi untuk menjahitnya.

Dengan benang yang ia rendam dari air mata dan kasih, ia mulai menyulam.

Satu demi satu.

Tanpa tergesa.

Dan di atas luka yang dulu dalam, terbentuklah pola sederhana: bentuk hati kecil, bersinar lembut, seperti pelukan doa.

"Tuhan, terima kasih. Bukan karena aku kuat. Tapi karena Engkau tidak pernah meninggalkanku di tengah lubang tergelapku."


🐾Jejak yang Tak Ingin Dihapus

Ada suatu sore saat seekor penyu tua datang ke Talitha. Di punggungnya ada bekas luka, dan di matanya ada damai.

"Kenapa kamu tidak sembunyikan jejak itu?" tanya Talitha, sambil menyentuh lembut cangkangnya.

Penyu itu menjawab:

"Karena itu bukti aku pernah selamat. Bukan semua hal perlu disembuhkan untuk bisa jadi indah. Beberapa cukup dikenang—dan dihargai."

Talitha mengangguk.

Dan ia tahu: kisahnya juga bukan untuk dihapus. Tapi untuk menjadi jalan bagi jiwa-jiwa yang sedang tersesat.


✉️Surat kepada Masa Depan

Di suatu pagi yang cerah, Talitha menulis sebuah surat untuk dirinya yang akan datang.

"Untuk aku yang di masa depan:

Jika suatu hari kamu merasa lupa siapa dirimu…

Bacalah kembali kisah ini.

Kisahmu bukan tentang kehilangan… tapi tentang pulang."

"Dan ingat: kamu telah dikasihi sejak awal.

Bukan karena kamu sempurna.

Tapi karena kamu nyata."

Lalu Talitha menyelipkan surat itu ke dalam botol kaca dan melemparkannya ke laut. Ia tersenyum.

Karena ia tahu, surat itu akan kembali padanya…

pada saat yang tepat.


🌸Ketika Talitha Tersenyum pada Langit

Kini, Talitha tak lagi hanya menulis di pasir.

Ia menulis di hati. Di doa. Di jejak langkah. Di setiap senyum yang ia berikan dengan tulus kepada dunia.

Ia tahu, hidup tidak akan selalu mudah. Tapi kini ia punya lentera.

Lentera kasih. Lentera luka yang telah dilalui. Lentera terang yang tidak padam oleh malam.

Dan setiap kali ia menatap langit biru di atas Laut Terang, ia akan tersenyum dan berkata:

“Tuhan, aku tak tahu ke mana langkah selanjutnya. Tapi aku tahu… aku akan terus berjalan bersamamu.”

Dan begitulah Talitha, gadis yang pernah terluka, kini menjadi penutur cahaya.

Bukan karena ia tidak pernah jatuh,

tapi karena ia memilih untuk bangkit… dengan cinta.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tangisan Pohon Mangga

Chiko & Chika

Cinta Yang Hangat Untuk Hati Yang Dingin